Mandi Angin; Bermula Dari Karang Bak Menuju Karang Pinang - Erwin Basrin

Breaking

Recent Posts

 photo Untitled-1_1.jpg

Senin, 18 Maret 2019

Mandi Angin; Bermula Dari Karang Bak Menuju Karang Pinang





Gemuruh suara knalpot motor membawa baki-baki durian melintas depan rumah Pak yanto seperti memecah arus Beliti mengamuk pagi ini, banjir mengamuk karena hujan deras tadi malam. Kami, yang sebagian besar bersama petani pengarap kawasan-kawasan hutan lereng dan pucak-puncak Balai Rejang. Petani yang nyaman dengan tanaman kopi, durian dan aren. Petani yang bertahun-tahun ketakutan atas refresif Negara, petani perambah. Demikian disematkan streotif pada mereka sejak bertahun-tahun lalu.

Berkumpulah kami pagi ini di kediaman Bapak Yanto. Serorang petani yang sesungguhnya bukanlah pengarap kawasan hutan. Kepedualiannyalah yang sejak enam tahun lalu mencari jalan keluar melepaskan streotif perambah yang disematkan kepada petani tetangga dan keluarganya. Rumah sederhananya terletak di ujung gang sempit yang difungsikan sebagai pintu gerbang menuju hutan Balai Rejang. Rumah sederhananya dijadikan sebagai “markas” perjuangan. Rumah rakyat, katanya.

Rumah rakyat ini berada di Desa Karang Pinang, desa yang masyarakatnya berbahasa Lembak dialek Marga Beliti. Desa yang dulunya adalah perkampungan ini dibangun oleh Muneng Bau. Leluhurnya yang hidup ratusan tahun lalu. Yang, menurut legendanya mejelma menjadi harimau kumbang, harimau hitam. Istrinya konon menjelma menjadi naga. Suami istri inilah yang dipercayai secara gaib menjaga perkampungan, dan menjaga keselamatan anak keturunannya. Kekuatan gaib yang ditempelkan pada Muneng Bau konon didapatinya dari pertapaan yang panjang di petilasan Mandi Angin. Puncak dari kekuatan magis di wilayah Lembak.

Secara sosiologis tidak ada kekacauan di Karang Pinang, kalaupun ada kekacauan ada adat peninggalan Muneng Bauk yang mendamaikan. Jika kita berjalan di sepanjang jalan desa, rumah-murah tua yang terkesan tidak terurus berjejer rapi karena penghuninya berada di kebun-kebun di Kawasan Hutan Balai Rejang. Maka segera kita tahu ada persoalan ekonomi yang menimpa anak keturunan Muning Bauk. Muneng Bauk meninggalkan lahan yang subur lagi luas sebagai alat produksi untuk menghidupi anak keturunannya. Lahan-lahan vulkanik yang subur ini di jadikan sebagai hutan Retes, hutan Lindung atau Hutan Negara tanpa pengetahuan dan persetujuan dari mereka. Mereka tidak lagi berdaulat mengelola hutan, sebagain yang nekat karena kebutuhan ekonomi keluarga dilebelkan sebagai perambah yang harus segera meninggalkan lahan-lahan peninggalan Muneng Bauk.

Lahan peninggalan Muneng Bauk adalah tumpuan harapan anak cucunya, harapan yang menghidupkan untuk masa yang panjang. Negara hadir dengan seperangkat aturan membatasi ruang hidup. Negara hadir, secara sayup-sayup didengar untuk kelestarian aliran Beliti, untuk kestabilatan dan keseimbangan kawasan. “Kami harus mencari celah untuk kelestarian dan kebutuhan masa depan kami” Kata Bapak Yanto di kediamannya yang sederhana ketika aparatus Negara berkunjung ke kediamannya. Ada lima orang tamu yang datang, terdengar ada sayup-sayup harapan memulihkan hak atas kawasan peninggalan Muning Bauk. Para tamu ini berbahasa Indonesia yang baik dengan penampilan bersih dan rapi, salah seorang yang muda umurnya terkesan ponggah. Sayapun senyum-senyum pasti dia tidak dan belum tahu betapa kerasnya jalan hidup keturunan Moneng Bauk.  

Perhutanan Sosial dan Hutan Kemasyarakatan demikian istilah yang sering di ucapkan oleh tamu Bapak Yanto. Sayapun yang duduk meringkuk dekat pintu bersama teman-teman petani pengarap meyimak secara seksama. Pelan-pelan saya perhatikan sinar yang tersorot dari mata para petanipun berbinar. Perhutanan Sosial dan Hutan Kemasyarakatan adalah perbendaharan kata dan istilah baru bagi mereka yang berbahasa Lembak tetapi mengandung harap masa depan yang ceriah. Merekapun kemudian diskusi. Diskusi yang tidak panjang argumennya karena memang membicarakan tentang hal yang teknis bukan konseptual.

Mereka suka langsung berbicara pada pokok apa yang di bahas. Misalnya ketika sampai pada pembasahan individu mereka langsung menyebut nama-nama dan jenis-jenis tanaman yang di tanam petani. Pun, begitu ketika membicarakan tentang lokasi lahan masing-masing. “Itulah gunanya kami verifikasi” Kata sang tamu yang berbadan agak gemuk berkacamata untuk mengurangi perdebatan yang memicu emosi. Atau, dia mulai binggung dengan komunikasi yang satu berbahasa Indonesia, yang satunya berbahasa Lembak.

Para tamu mulai nyaman tetapi agak takut untuk sedikit menyematkan argument dalam komunikasi mereka. Berlahan saya perhatikan ketika menjelaskan hal-hal tertentu seperti mengurui dengan Bahasa yang membujuk. Dan, prosesnya semakin membaik dan konstruktif, ada kejujuran dalam Bahasa komunikasi. Mereka seperti dimandikan oleh angin. Dan saya merasakan ada aura kedatangan Moneng Bauk yang bercerita tentang istana para leluhur, tentang musik, tentang perang, tentang menteri-menteri, tentang dayang-dayang. yang mengambarkan dengan rinci setiap ceritanya, kisah ceritanya seperti sebuah epic. Ceritanya selalu saja sama dengan alur yang dikarang sesukanya. Ketika mentari mulai redup, sinarnya berlindung di balik pepohonan di hutan. Muning Bauk berkata “Kini kawan-kawan, arwah leluhur berkata bahwa kisah hari ini cukup sampai disini.? Dia lalu bangkit pergi, membaringkan diri dan jatuh tertidur sebelum gumaman kerumunan para pendengar berhenti.

2 komentar:

  1. Salam kenal dari Tanah Grogot Kab Paser kaltim, saya fasilitator program kehutanan sosial di KPHP

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal juga bos, dan salam PS kami di Bengkulu

      Hapus