Di Bawah Ombak yang Retak: Sehari Bersama Para Penjaga Laut Seluma - Erwin Basrin

Breaking

Recent Posts

 photo Untitled-1_1.jpg

Senin, 20 Oktober 2025

Di Bawah Ombak yang Retak: Sehari Bersama Para Penjaga Laut Seluma


Fajar di Pasar Seluma,16 Oktober 2025. Fajar hari itu menembus kabut di atas laut Bengkulu, menghapus perlahan sisa-sisa gelap malam. Di Pasar Seluma, suara kehidupan mulai bangun seperti irama lama yang tak pernah padam. Decit meja kayu, seruan pedagang, bau asin ikan segar yang menempel di udara seperti doa yang terus diulang.


Aku datang sebagai peneliti bersama tiga orang lainnya, pagi itu aku lebih merasa seperti murid mencoba belajar dari setiap wajah dan tangan yang bekerja di pasar.


Di sudut utara, di antara deretan bak plastik berisi tongkol dan udang, seorang lelaki dengan wajah keras tapi hangat melambaikan tangan.


“Ini Kawan-kawan dari Akar Global Inisiatif, kan? Saya Ekwan,” katanya. Suaranya berat, seperti ombak kecil yang menghantam batu karang.


Ekwan adalah Ketua Kelompok Nelayan Seluma Selatan, tokoh yang dikenal vokal menolak praktik penangkapan ikan dengan jaring tarik dasar laut, trawl, atau yang mereka sebut pukat harimau. Ia menyalamiku dengan tangan kasar yang masih basah air laut. “Kami baru naik jam tiga pagi,” katanya sambil tersenyum. “Kalau laut tenang, kami senang. Tapi sekarang laut seperti sudah luka.”


Aku mengikutinya menembus lorong pasar, ke sebuah warung kopi kecil tempat nelayan biasanya berkumpul setelah melaut.


“Dulu, di perairan depan Desa Pasar Seluma ini, ada padang lamun yang luas sekali,” kata Ekwan sambil menunjuk ke arah barat. “Tempat ikan-ikan kecil mencari makan, tempat penyu bertelur. Sekarang? Habis. Semua digulung pukat dasar.”


Ia mengeluarkan ponsel tuanya, memperlihatkan video yang diambil oleh nelayan muda di kelompoknya. Gambar buram dari kapal besar dengan jaring besi yang ditarik perlahan di dasar laut. “Itu, Bang. Mereka bilang alat modern. Tapi kami lihat sendiri, dasar laut jadi seperti padang gersang.”


Suaranya datar, tapi matanya menyimpan sesuatu antara marah dan sedih.


“Bukan cuma ikan yang hilang. Harapan juga.”


Temanku yang Perempuan, Dinar segera mencatat. Penangkapan ikan dengan jaring tarik dasar laut (bottom trawling) bukan hanya isu lingkungan, tapi juga politik tubuh dan ruang hidup.

Ekwan bercerita bahwa dalam setahun terakhir, ketegangan di laut makin sering terjadi. Kapal-kapal besar dari luar daerah kerap masuk tanpa izin. Mereka punya izin provinsi, tapi menembus perairan nelayan kecil yang seharusnya jadi ruang tangkap tradisional.


“Nelayan kami nggak bisa lawan kapal besar. Kami cuma punya perahu kecil dan jaring tangan. Tapi kalau diam saja, kami yang hilang,” katanya.

Aku berjalan bersamanya menyusuri tepi pantai. Di bawah langit yang mulai biru terang, puluhan perahu kayu berjejer di bibir pasir. Anak-anak bermain di dekatnya, berlari mengejar kepiting kecil.


“Kalau pemerintah mau tahu keadilan laut itu apa, datang saja ke sini,” kata Ekwan, sambil menunduk mengambil segenggam pasir. “Lihat ini, halus, lembut, tapi di bawahnya rapuh. Sekali kapal besar lewat, rusak semua.”


Ia menjelaskan bagaimana pukat harimau bukan sekadar alat tangkap, tapi simbol dari struktur ekonomi yang timpang. Modal besar, teknologi tinggi, dan izin yang berpihak pada pemodal, bukan pada nelayan kecil.


“Bagi kami, laut bukan komoditas,” katanya pelan. “Laut adalah keluarga.”


Kata-kata itu mengendap lama di kepalaku.


Aku teringat catatan dari beberapa media kelompok nelayan di Seluma telah memfasilitasi beberapa kali dialog kebijakan dengan pemerintah daerah. Fokusnya sederhana tapi mendasar memastikan regulasi alat tangkap lokal ditegakkan dan hak nelayan tradisional dilindungi.


“Kadang kami harus bicara dengan bahasa yang mereka mau,” kata Ekwan. “Kami mau belajar pakai GPS, catat koordinat, buat peta wilayah tangkap. Biar pemerintah tahu, ini laut kami. Bukan laut kosong yang bisa diserobot siapa saja.”


Menjelang siang, aku bertemu Ibu Helda di rumah panggungnya yang berjarak tak jauh dari pasar. Di bawah rumah, jaring-jaring dijemur, dan di dapur terdengar suara wajan menggoreng ikan kering. Ia mengenakan kain batik dan baju lengan panjang, tangannya cekatan memilah ikan kecil di baskom besar.


“Kalau laut rusak, perempuan yang paling dulu kena,” katanya tanpa basa-basi. “Karena kami yang harus masak tanpa ikan, jual tanpa hasil.”


Ibu Helda adalah tokoh perempuan nelayan dan penggerak koperasi ikan. Ia memimpin kelompok perempuan pesisir yang kini terlibat aktif dalam pengelolaan laut berbasis komunitas (CBMM). Dari tangannya, ide-ide besar lahir dalam bahasa sederhana. Keadilan, kedaulatan pangan, dan keberlanjutan.


“Laki-laki melaut, perempuan yang menanggung akibat kalau laut habis,” katanya sambil duduk di kursi bambu. “Dulu kami diam, sekarang kami bicara. Kami ikut rapat, ikut advokasi. Karena laut bukan cuma milik nelayan laki-laki laut juga milik kami.”


Ia bercerita bagaimana para perempuan pesisir membentuk sistem pemantauan partisipatif, mencatat kapal yang masuk, mendokumentasikan pelanggaran, dan melaporkan ke kelompok nelayan atau aparat jika perlu.


“Kami punya buku catatan sendiri. Kalau kapal besar datang, anak-anak muda langsung lapor lewat radio.”


Baginya, advokasi bukan hanya urusan hukum, tapi juga urusan moral.


“Kalau kami diam, laut akan diam. Dan kalau laut diam, siapa yang bicara untuk generasi setelah kami?”


Setelah Zuhur, pasar kembali ramai. Bau ikan bakar, teri asin, dan garam bercampur dengan aroma kopi hitam. Aku duduk bersama Ekwan dan Ibu Helda di bangku panjang dekat lapak penjual es kelapa. Kami membicarakan banyak hal. Tentang perubahan iklim, tentang laut yang makin panas, tentang anak-anak nelayan yang mulai enggan melaut karena hasil tak menentu.


“Anak muda sekarang banyak kerja di kota,” kata Ekwan. “Katanya laut tak lagi menjanjikan.”

Ibu Helda menimpali, “Kalau mereka pergi, siapa yang jaga laut?”


Pertanyaan itu menggantung lama di udara.


Sebagai peneliti, aku paham bahwa inti masalah ini bukan hanya alat tangkap yang destruktif, tapi sistem yang menyingkirkan nelayan kecil dari ruang hidupnya.


Bottom trawling bukan hanya jaring, tapi metafora tentang kekuasaan yang kuat mengeruk, yang kecil menunggu sisa.


Aku melihat di mata mereka semangat untuk menolak jadi korban. Mereka tak hanya ingin laut bersih, tapi juga ingin diakui sebagai penjaga sejati ekosistem, bukan sekadar “penerima bantuan” dalam proyek konservasi.


Menjelang senja, aku kembali ke pantai. Angin membawa aroma asin dan suara mesin perahu yang pulang. Anak-anak berlari di pasir, membawa ember kecil berisi ikan sisa tangkapan ayah mereka.


Aku teringat kata-kata Ibu Helda tadi siang:

“Kalau laut sembuh, manusia juga sembuh.”


Laut bukan sekadar air asin yang luas, laut adalah ingatan kolektif, ruang politik, dan tempat manusia belajar tentang keseimbangan.


Di Seluma, laut mengajarkan arti kesetiaan, bagaimana komunitas bertahan, bagaimana perempuan mengisi celah dalam perjuangan, dan bagaimana suara-suara kecil perlahan menjadi arus besar perubahan.


Program Community-Based Marine Management (CBMM) yang dikembangkan bersama Akar Global Inisiatif kini bukan lagi sekadar konsep proyek, melainkan jalan hidup untuk membangun sistem pengelolaan laut berbasis adat, kedaulatan pangan, dan keberlanjutan ekologi.

Ekwan dan Ibu Helda menjadi simbol dari perjuangan ini perlawanan yang lembut tapi tegas terhadap sistem yang selama ini membungkam nelayan kecil.


Sore tiba dengan cepat. Langit Seluma seperti payung hitam yang ditaburi bintang. Aku duduk di dermaga kayu, memandang perahu-perahu kecil yang terikat tali. Dari kejauhan, terdengar tawa nelayan yang baru pulang, suara ombak kecil, dan gesekan jangkar di pasir.


Ekwan datang membawa dua cangkir kopi.


“Kalau laut tenang begini, kami bisa tidur nyenyak,” katanya. “Tapi kalau ada kapal besar lewat, jangankan tidur dengar mesin saja sudah jantung berdebar.”


Aku bertanya, apakah ia masih berharap keadaan bisa berubah. Ia tertawa kecil.


“Harapan itu seperti ikan di laut,. Kadang susah ditangkap, tapi kalau berhenti mencari, kita mati.”


Dari balik keremangan sore, Ibu Helda muncul membawa nasi bungkus. Kami bersama di dermaga, ditemani bunyi laut dan lampu-lampu kecil yang memantul di air.


Di tengah kesederhanaan itu, aku merasa sedang menyaksikan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar perlawanan nelayan terhadap trawl. Ini tentang perjuangan mempertahankan martabat manusia dan alam di tengah dunia yang makin serakah.


Ketika malam merayap datang. Kami bersiap kembali ke Bengkulu Kota, tapi langkahku terasa berat meninggalkan Seluma.


Ekwan menyalamiku erat. “Tulis dan ingart yang benar, Bang,” katanya.


Ibu Helda menambahkan, “Biar dunia tahu, perempuan dan nelayan di Seluma ini belum menyerah.”


Di dalam mobil, aku menulis kalimat terakhir di buku lapangan:


“Di Pasar Seluma, laut bukan hanya sumber pangan, tapi juga sumber perlawanan.


Di tangan Ekwan dan Ibu Helda, laut bukan sekadar ruang ekonomi ia adalah ruang martabat.

Dan di tengah ombak yang retak, mereka tetap berdiri, menjaga laut agar tetap menjadi milik semua.”



2 komentar:

  1. sangat disayangkan jika kapal kapal besar mengambil hasil didaerah-daerah yang mempunyai hasil tangkapan yang banyak, terutama bagi nelayan kecil, hal ini akan berdampak pada pendapatan warga dan daya saing. Pemerintah harus menertibkan atau menerbitkan sebuah aturan yang membatasi pengambilan hasil laut yang berlebihan dan menetapkan wilayah yang dapat di kelolah hasil lautnya

    BalasHapus
  2. masalahnya ada di keberpihakan.! mesti ditanya posisi pemerintah dimana toh?

    BalasHapus