Fajar merayap di balik tembok-tembok batu Kerajaan Lamtara ketika Bayanaka mengangkat cangkir minumannya dan membiarkan uap kopi pahit menutup wajahnya seperti tirai. Di kejauhan, pelabuhan masih berbisik, layar-layar kapal mengembang oleh desir angin malam yang belum sepenuhnya padam. Negeri itu dengan istana klepuk yang bertumpu pada bukit berlumut adalah dunia yang diwarisinya oleh bahasa-bahasa lama: janji, adat, dan nama-nama yang diucap dengan hormat. Bayanaka, yang menanggung gelar raja bukan karena darah semata tetapi karena kerja dan keteguhan, masih menyimpan bekas-bekas masa kecilnya di lekuk-lekuk sudut istana bekas-sisa permen cengkeh yang menempel di langit-langit mulut, bekas-bekas tawa yang menembus malam.
Ia membesarkan seorang anak lelaki yang bukan dari rahimnya sendiri Hamsa dengan tangan yang keras namun sabar. Hamsa, yang datang ke istana sebagai yatim dari perbatasan, seperti potongan kayu liar yang diletakkan Bayanaka di perapian: pada awalnya tak tentu bentuknya, lalu diasah hingga berkilau. Bayanaka menolongnya membaca peta, mengenalkan nama-nama bintang, mengajarkan cara memandang laut sebagai guru yang setia. “Adikku,” kata Bayanaka pada suatu malam ketika Hamsa kecil menatap api, “laut mengajari kita tentang batas dan tak terbatas; jangan takut mengambil yang sah, tapi jangan ambil yang bukan hakmu.”
Netravati melintas dalam kehidupan mereka seperti lagu yang memelintir. Ia bukan putri raja, bukan pula gadis desa yang lugu. Rambutnya hitam seperti tinta, matanya memikat seperti cermin yang menyimpan banyak hari; suaranya lembut, namun di balik kelembutan itu ada sesuatu yang tegas sebuah kata yang tak mudah digoyahkan. Ia datang ke istana sebagai pengrajin kain tenun; lengan-lengannya kuat dari benang-benang yang ditarik berpuluh kali. Bayanaka melihatnya pertama kali di pasar, ketika Netravati menawar harga barat kain sutra untuk disulam motif-motif laut. Ada sesuatu yang membuat Bayanaka menarik napas lama: bukan sekadar kecantikan yang cermat, melainkan keteguhan yang menerawang seperti teluk.
Hari-hari di Lamtara berjalan dengan kebiasaan yang menenangkan. Bayanaka bangun lebih dulu, memeriksa daftar pesanan rakyat, acara panen, dan benda-benda kecil yang menuntut keadilan. Netravati menenun di rumahnya, mengunjungi pasar, mengajari anak-anak memasak ubi dengan santan. Hamsa tumbuh, menjadi lelaki yang postur tegapnya menggetarkan pelabuhan; senyumannya mudah, geraknya cekatan, dan matanya, matanya menengadah pada langit setiap kali ada hal yang hendak ia pahami. Bayanaka memberi Hamsa tempat duduk di sampingnya, berbagi rahasia, mengajarkan strategi, menaruh kepercayaan seperti menaruh benih di tanah subur.
Namun, cinta tidak pernah datang dalam bentuk yang lugas. Cinta adalah badai yang meremukkan pantai, atau embun yang menempel di rumput pagi, kedua-duanya dibaca dengan cara yang berbeda. Bayanaka mencintai Netravati dengan cara seorang pemimpin mencintai tanah airnya: penuh tanggung jawab, protektif, dan kadang-kadang tak berani menuntut lebih dari yang boleh dimintanya. Ia menghargai Netravati bukan sebagai hiasan istana, melainkan sebagai mitra kehidupan; ia ingin membangun sesuatu bersama, kebijakan yang melindungi nelayan, pembagian benih, bengkel tenun untuk perempuan pinggiran. Ketika Netravati menatapnya, ia merasa dibaca entah sampai kapan.
Hamsa, di sisi lain, menumbuhkan rasa lain; rasa yang bersemayam di dada seperti bara setelah musim kemarau panjang. Dia melihat Netravati bukan hanya sebagai gadis yang menenun, melainkan sebagai penjaga panas di dunia yang dingin. Dalam tatapan Netravati, Hamsa menemukan peta-peta yang tak pernah dia miliki: pelukan yang tak menuntut status, percakapan yang tak rapi oleh protokol, dan tawa yang memercikkan kebebasan. Bayanaka ajarkan kepadanya banyak perkara, tentang kebijakan dan kewajiban, tetapi cinta adalah pelajaran yang tidak diajarkan oleh buku; cinta ditemukan di antara sela-sela pekerjaan, di antara tangan yang sengaja menyentuh kain untuk menilai kelembutannya.
Dunia itu lalu terbelah oleh sesuatu yang halus: sebuah pertemuan malam di jembatan kecil yang melintang di atas sungai yang menampung buih-buih rahasia. Netravati dan Hamsa bertemu di sana, bukan dengan niat pengkhianatan yang jelas, tetapi karena ada kebutuhan untuk berbicara yang tumbuh di antara mereka, tentang selimut kedinginan yang tak tuntas, tentang mimpi yang tak jemu, tentang masa lalu yang menekan. Hamsa bercerita tentang kampung yang hilang karena ladang-ladang berpindah tangan, Netravati berbicara tentang kain yang tak lagi dibayar murah. Kedua hati itu, yang belum tahu batasan-batasan kehormatan, berkisar pada topik yang nyata: kelaparan dan sepi. Lama-kelamaan, dari simpul simpati itu tumbuh sesuatu yang lebih: persamaan yang menyejukkan, sebuah perusahaan untuk melindungi satu sama lain dari kerasnya hidup.
Bayanaka mengetahui hal tersebut bukan dengan kejelasan, tetapi melalui keganjilan-keganjilan kecil: Netravati pulang dengan helai kain hangat di bahu walau musim belum sempurna; Hamsa kembali ke kamar dengan bau harum minyak wangi Netravati yang belum pernah ia cium sebelumnya. Bayanaka, yang menaruh hati dengan tenang, merasakan sesuatu meretas bukan amarah yang meledak, melainkan rasa kecemasan yang merayap seperti lumut. Ia tak segera menuduh; ia memilih menunggu waktu, menunggu penjelasan seperti menunggu gelombang besar.
Satu malam, ketika rembulan menggantung tipis, Bayanaka mengikuti Netravati. Ia menyelinap di balik pintu satu-satunya yang menghadap ke jembatan ia tak hendak menginterupsi dengan dramatis; ia hanya ingin mendengar. Di sana, di bawah langit yang temaram, ia melihat dua tubuh yang saling berbisik, dua tangan yang saling merajut keabangunan yang harapannya tak boleh ada. Hamsa menyentuh rambut Netravati seperti menyentuh sebuah tangga yang ia berharap menanjak ke surga. Netravati menatap Hamsa dengan mata yang lembut seperti kain sutra yang basah hujan. Bayanaka menelan perih yang terasa seperti patahan tulang.
Pengkhianatan? Kata itu berputar seperti batu. Bayanaka berdiri di belakang tiang, mendengar setiap kalimat yang tak ia sukai, sepanjang mengatakan hal-hal yang ia sendiri ingin ucapkan pada zamannya. Ada adegan-adegan kecil di sana yang membuat dada Bayanaka sesak: canda yang berbaur, janji yang disusun dari kata-kata lembut, tawa yang menutupi kesunyian.
Keesokan harinya dunia menjadi sosok yang berbeda. Bayanaka tidak langsung menghentikan perintahnya atau meretakkan wajahnya di hadapan Hamsa dan Netravati. Ia memilih gaya pemaaf yang berbahaya, meneruskan kehidupan seperti tak terjadi apa-apa. Namun, lalu-lalu yang tidak diucapkan menimbulkan regangan: tatapan tak lagi setara, senyum menyimpan retakan. Hamsa merasa ada sesuatu yang bergelut di lingkar hidupnya; ia merasakan beban yang tiba-tiba menjadi berat.
Di malam-malam berikut, Bayanaka merenung di ruang kerjanya, membaca skrip tradisi yang menceritakan pahlawan dan kelemahan mereka. Ia tahu aturan kerajaan: harga diri seorang raja harus dipegang teguh. Ancak, kata hatinya, cinta tidak mendengar protokol. Jika ia menyulut api amarah, maka pasti akan ada luka lebih banyak lagi; jika ia diam, duka semakin menguat. Ia memilih menangguhkan penghakiman, bukan karena lemahnya kuasa, melainkan karena ia melihat sesuatu yang lebih menyiksa: rasa penyangkalan bahwa orang yang ia didik, yang ia terbikan, bisa melukai hatinya.
Hamsa merasa bersalah seperti tubuh yang diguyur hujan deras selepas hanya sedikit terlindung. Ia lahir dari tanah yang mengajar kerasnya kehidupan, dibesarkan oleh tangan yang memberinya rasa aman, tangan itu pula kini memandangnya dengan keheningan yang memaksa. Rasa bersalah itu membuat Hamsa keras kepala; ia tak berani meminta ampun secara terang-terangan. Netravati, di pihak lain, dikunyah oleh penyesalan; ia tahu ia telah menyakiti seorang yang memberi banyak. Namun cinta yang menyala tidak pudar hanya dengan penyesalan. Di malam-malam ia menenun, jarinya bergetar; kain yang ia hasilkan termenung seperti pernah terabaikan.
Bayanaka lalu mengundang Hamsa ke ruang tamu; bukan untuk menuntut pertanggungjawaban formal, tapi untuk bicara, untuk melihat apakah antara mereka masih ada sisa-sisa kehormatan yang bisa ditebus. Di sana, ia bertanya tentang masa lalu Hamsa, tentang alasan mengapa ia begitu menempel pada Netravati. Hamsa menunduk, kata-katanya pecah oleh tangis yang ia tahan lama-lama, “Tuan… aku tak bermaksud menghianatmu. Aku… aku mencari rumah dalam setiap napasku. Aku belajar mencintai karena ia juga memberi rasa nyaman yang tidak kumiliki waktu kecil.”
Memang, begitu banyak luka muncul karena manusia mencari pengobatan pada orang yang sama yang menolongnya. Bayanaka mendengar dan sedikitnya amat memahami; ia pernah juga menjadi anak yang tidak memiliki, tapi ia memilih jalan yang berbeda: ia memuji Hamsa karena menjadi kuat. Namun, ia tak menampik rasa nyeri. Ia tahu ia harus mengambil keputusan yang bukan hanya soal cinta, tetapi juga soal kuasa: apakah ia akan menegakkan hukum hati seperti menegakkan hukum kerajaan? Ataukah ia akan melepaskan, membiarkan mereka memilih jalan masing-masing?
Pilihan Bayanaka yang paling manusiawi dan paling berat adalah memberi ruang; ruang itu bukanlah pembenaran bagi pengkhianatan, melainkan pemaknaan ulang terhadap relasi. Ia mengajarkan Hamsa tentang konsekuensi yang harus ditanggung, namun ia juga membuka ruang bagi Hamsa untuk menempuh hidup baru, bukan sebagai anak yang terus-terusan dibesarkan, tetapi sebagai lelaki yang harus berdiri pada kakinya sendiri. Ia menginstruksikan agar Hamsa melaksanakan tugas yang jauh dari istana: mengawal ekspedisi bantuan ke perbatasan, mendirikan pos pembelajaran bagi anak-anak yang tak bersekolah; tugas yang menuntut kemandirian serta memberi kesempatan memperbaiki diri.
Netravati, di sisi lain, memilih untuk mundur dari ruang-ruang yang terlalu penuh makna bagi mereka bertiga. Ia tidak pergi ke jauh, tetapi ia mengurangi kunjungannya ke istana dan menenun lebih banyak kain, kain yang kini diwarnai oleh air mata yang diseka. Dalam keterasingan itu, ia menemukan keheningan yang mengajarkan tentang tanggung jawab: ia tak sekadar menjadi objek cinta yang harus dirawat, ia juga pelaku moral yang harus menentukan batas-batasnya.
Perubahan ini bukanlah drama yang segera pulih. Ada hari-hari ketika Hamsa kembali ke pintu istana, berharap diperkenankan masuk dengan muka yang berani; ia ditatap oleh Bayanaka dengan kebekuan yang tidak sepenuhnya dingin. Ada hari ketika Netravati tiba di pasar dan menatap kain-kainnya sendiri dengan rasa malu. Mereka bertiga hidup seperti pengungsi dari sebuah kebohongan yang dulu tak berwujud.
Waktu berjalan dan pelajaran yang paling getir mulai mengendap: cinta tidak selalu soal memiliki; seringkali ia soal membiarkan orang yang kau cintai menjadi baik tanpa harus memaksakan kehendakmu. Bayanaka memaknai pengkhianatan itu sebagai ujian tentang apa arti cinta yang sejati, apakah cinta itu alat untuk meneguhkan kuasa, atau justru semesta yang melepaskan belenggu agar cinta yang tumbuh menjadi bertanggung jawab?
Di medan itu, Bayanaka menemukan kekuatan yang baru: bukan kekuatan sebagai raja yang menaklukkan, tetapi kekuatan sebagai manusia yang bertanggung jawab pada keadilan hati. Ia memutuskan untuk tidak menghukum Hamsa dengan cara yang merusak, ia tak mengusir Hamsa mentah-mentah, ia tak menghendaki badai yang menghancurkan. Ia menawarkan konsekuensi yang membentuk: tugas jauh, tanggung jawab berat, kesempatan bagi penebusan. Tindakan itu di mata sebagian orang tampak lemah, di mata sebagian lain tampak luhur.
Hamsa pergi ke perbatasan dengan beban yang setara besar dengan harapan yang juga besar. Ia menghadapi badai yang nyata, bukan badai hati saja; ia bertugas membawa benih dan buku, membangun pos posko kecil yang menjadi sekolah untuk anak-anak kampung. Di daerah baru itu, ia bertemu wajah-wajah yang tidak tahu apa reputasi Bayanaka. Ia bekerja, berkeringat, menanggung tanggung jawab. Lambat laun, ia merasakan ada jenjang dalam diri yang menuntut penghormatan bukan pada namanya, melainkan pada kerja dan konsistensi.
Netravati pun, dalam pertapaannya yang malu-malu, menemukan pula sesuatu yang tak mudah diantisipasi: ia merajut kebajikan yang lebih dalam. Ia melatih perempuan dalam teknik tenun yang lebih sulit, membuka kelas kecil di rumahnya untuk mengajarkan tidak hanya kain tetapi juga kisah-kisah: tentang laut yang harus dijaga, tentang harga ikan yang adil. Karyanya mulai dikenal, bukan sekadar karena indah, tetapi karena bermakna: setiap sulaman menyiratkan peta hidup yang lebih jujur.
Dan Bayanaka, ia menua dengan bisu yang lebih terpilih. Kadang ia duduk di teras, menatap ke laut, mengingat betapa sempit dan hebatnya sebuah hati. Ada kalanya ia merasakan kesunyian yang mendalam ketika bayangan Netravati lewat di pasar. Ada kalanya ia merasa lega karena pilihan yang dibuatnya tidak melahirkan kebencian yang menelan. Ia menyadari bahwa kuasa yang ia pegang bukan jaminan atas cinta: ia tak dapat memaksa cinta untuk bertahan. Kuasa hanya berguna bila ditempa oleh kebijakan, oleh belas kasih yang mempunyai akar.
Waktu menyembuhkan dengan caranya yang sunyi. Hamsa kembali beberapa musim kemudian; ia pulang tanpa banyak kata, dengan bekas tanah di kakinya dan bekas-bekas perbuatan yang membuatnya matang. Netravati menyambutnya, bukan dengan pelukan yang sama seperti sebelum tercipta peristiwa, tetapi dengan pandangan yang kini seimbang antara keinginan dan tanggung jawab. Mereka berjalan bersama, bukan lagi sebagai remaja yang terjebak dalam gelombang, melainkan sebagai dua orang yang memikul sejarah mereka sendiri. Bayanaka menonton dari jauh, tersenyum lirih seperti matahari yang menampakkan sinar meski di balik awan.
Pengkhianatan yang pernah melukai kini menjadi peta: jalan berliku yang mengajari mereka arti cinta yang baru, cinta yang tidak menaklukkan, tidak mengklaim sebagai hak, tetapi menumbuhkan tanggung jawab. Mereka belajar bahwa penyesalan bukanlah akhir, melainkan titik mula dari pembalikan. Dalam penyesalan ada gerakan memperbaiki; dalam gerakan memperbaiki ada pembebasan dari masa lalu yang membelenggu. Dan yang paling penting: kekuasaan yang tidak digunakan untuk menindas, melainkan untuk memperbaiki, itulah hikmah yang Bayanaka pilihkan untuk diwariskan.
Akhirnya, pada sebuah sore ketika langit bersinar merah tembaga, Bayanaka berjalan perlahan ke tepi pantai. Ia menyentuh air dengan ujung jarinya, dan angin menulis lagu-lagu kecil di telinganya, lagu tentang orang-orang yang mencinta, yang mengkhianat, yang menyesal, dan yang belajar memaknai kembali duka. Di kejauhan, Netravati dan Hamsa bekerja sama menata kain-kain yang baru mereka hasilkan, motif-motifnya menampilkan garis-garis laut, batu, dan langkah-langkah kecil yang kini lebih mantap.
Bayanaka menutup mata, dan dalam hati yang tenang ia mengucap doa sederhana: semoga mereka semua menemukan jalan yang tidak penuh dendam, melainkan penuh kerja, pengampunan, dan keadilan. Kerajaan Lamtara terus berdenyut, tak hilang oleh tragedi kecil manusia, karena pada akhirnya sejarah ditulis oleh orang-orang yang sanggup mengubah luka menjadi pelajaran. Dan di antara pelajaran-pelajaran itulah, cinta menemukan bentuknya yang paling bijak: bukan dalam memiliki, tetapi dalam merawat, meski merawat kadang berarti melepaskan.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar