Cik Nanang: Antara Aliansi Tanah dan Zikir - Erwin Basrin

Breaking

Recent Posts

 photo Untitled-1_1.jpg

Rabu, 12 November 2025

Cik Nanang: Antara Aliansi Tanah dan Zikir

 


Pada pagi di mana kabut belum sepenuhnya menyerah pada matahari, Paraduta kembali ke Batu Belarik. Jalan setapak yang dulu dikenalnya seperti urat-urat tubuh desa, menyusur lereng, menyingkap pekarangan, lalu menyusut ke bibir sungai. Ia pulang bukan sebagai anak yang lari dari sekolah, melainkan sebagai lelaki yang menaruh nama pada catatan. Tentang tanah yang berbicara, tentang kearifan yang berdebat, dan tentang suara-suara tua yang harus didengar.

Di tengah desa, masjid kecil menonjol dengan kubahnya yang sederhana bukan monumental, tapi punya suara. Dari dalam pintu kayu, muncullah suara yang riuh, bukan riuh oleh kata-kata, melainkan riuh karena hidup. Tawa, lontaran sajak, dan suara seorang imam yang seperti menaruh pasir di mangkuk telinga bangsa. Itu Cik Nanang, imam yang flamboyan; dia bercerita seperti penyair, berpakaian sederhana tetapi memancarkan karisma seperti batu akik yang diasah. Ia lahir dan besar di Batu Belarik, keturunan Muning Raden, pendiri desa. Ia juga penggemar Rhoma Irama, kadang nyanyinya seperti merapal zikir yang menuruni tangga rindu.

Paraduta menemuinya di depan masjid. Cik Nanang menyambut dengan pelukan yang kuat, aroma kapur barus dan keringat kerja membalut bajunya. Wajahnya hitam, mata kecilnya cekung karena sering menyaksikan matahari naik dari ladang. Ia tertawa ketika melihat Paraduta: “Kau pulang, Duta. Bawa apa kali ini? Buku? Pena? Atau suara anak yang telah lama lupa cara menulis tanah?”

Paraduta tersenyum, meletakkan tas kecil berisi kertas-kertas yang namanya sudah rapuh. “Aku membawa nama-nama, Nek. Aku membawa kegelisahan dan sedikit keberanian untuk menulis kembali aturan yang tak tertulis di atas peta.”

Cik Nanang mengangguk. “Bagus. Kita butuh orang yang membawa kerja dan doa. Tanah tak pernah bisa berubah sendirian. Ia perlu hati manusia untuk menanam kembali bahasa.”

Mereka berjalan menyusuri halaman rumah, melewati rumah-rumah yang berdiri seperti rak buku, sebagian usang, sebagian baru. Anak-anak berlarian, ayam berkokok, dan di ujung desa, pohon besar yang oleh orang lampau disebut Kutei Nated menjaga seperti raja yang tidak pernah tidur. Kepala Desa, menurut Cik Nanang, tidak sekadar pejabat administrasi. “Kepala Desa adalah mandat,” ia berkata sambil menunjuk ke pohon itu. “Ia penjaga Kutei Nated. Ia menjaga batas, adat, aturan, dan doa. Tanpa pemangku yang paham, tanah jadi buku kosong tanpa huruf.”

Pada suatu sore, ketika keringat musim hampir menempel pada kulit dan burung-burung mencari teduh, Paraduta duduk dengan beberapa tokoh adat di bale desa. Mereka berkumpul bukan untuk rapat biasa, melainkan untuk menyusun sebuah perjanjian. Bagaimana mengikat nama pada tanah di tengah tekanan waktu yang mau merubah segalanya menjadi angka.

Tokoh hadir. Pak Imam Cik Nanang, Arian si penjaga padi, Lela sang tukang tenun, dan beberapa tetua yang rambutnya sudah putih. Semua membawa segelas kopi, beberapa rokok, dan sebuah kesabaran yang tebal. Di meja baja kecil, Paraduta membuka buku catatan.

“Kita perlu organisasi,” kata Paraduta memulai, suaranya datar namun bergetar. “Bukan organisasi kaku seperti lembaga donor, tapi organisasi yang bisa menyatukan semua suara: pemuda, perempuan, petani, nelayan. Aliansi yang menempatkan hukum adat bukan sebagai nostalgia, tetapi sebagai fondasi untuk menuntun kebijakan.”

Sejenak hening. Lalu Cik Nanang menepuk meja, membuat cangkir bergetar. “Aliansi itu harus seperti zikir,” katanya. “Ritual yang mengikat. Ia harus punya suara, dan suara itu harus bisa didengar oleh orang yang berada jauh di kota, di kantor mereka yang menilai tanah lewat peta digital tanpa mendengar suara akar.”

Bik Lela mengangkat kain tenun yang masih setengah jadi. “Kalau kau ingin membuat aliansi, kau harus memberi nama yang menahan angin,” katanya. “Nama yang mudah dibaca oleh anak kecil tetapi tak gampang dilupakan oleh pejabat.”

Arian menambah, “Dan jangan lupa, organisasi juga harus bisa memberi makan pertemuan. Kalau pertemuan selalu pagi dan tanpa makanan, orang takkan datang. Itu hukum manusia.”

Mereka pun tertawa; tawa itu seperti doa yang membentuk lingkaran. Dari tawa itu tumbuh kata: Aliansi Masyarakat Adat. Bukan hanya nama, tapi janji.

Waktu bergerak dan Aliansi mulai mendapatkan bentuk. Paraduta, dengan kegigihannya, mulai menyusun struktur yang tidak birokratis, melainkan organik. Ada Dewan Tetua, ada Seksi Perempuan, ada Unit Pemuda, dan ada Tim Dokumentasi. Mereka menetapkan bahwa setiap keputusan besar mesti dimulai dengan zikir Bersama bentuk penghormatan terhadap leluhur dan sebagai pernyataan niat.

Bagian terdalam yang ditekankan Cik Nanang adalah: setiap pesta adat, setiap pernikahan harus diawali oleh prosesi tertib. “Pesta pernikahan jujur selalu dimulai dengan adat,” ia berulang-ulang, seakan menanam mantra. “Organ tunggal, alat musik sederhana, zikir dua zap yang berhadapan, satu zap melafazkan puji-pujian pada Nabi Muhammad, dan zap lainnya menari sambil duduk, seperti tari Saman. Itu bukan hanya estetika, melainkan cara kita mengikat hati.”

Paraduta mengangguk sambil menuliskan. “Nenek, menyebutnya sebagai perpaduan agama dan komunalisme?” tanyanya.

“Betul,” jawab Cik Nanang. “Zikir itu bukan hanya doa. Ia adalah tempat di mana telinga belajar mendengar, mata belajar melihat, dan tubuh belajar menari bukan untuk menyenangkan orang luar, tetapi untuk menata jiwa sendiri.” Ia lalu menirukan intonasi zikir: “La ilaha,” suaranya menurun seperti rantai yang melepas beban. “Kita butuh tangan Tuhan, Duta. Bukan tangan manusia semata. Kita butuh yang tidak mungkin menjadi mungkin.”

Paraduta tertunduk, karena kata-kata itu membawa berat metafisika yang tak mudah ditulis dalam proposal donor. Ia tahu bahwa banyak pejabat akan berpikir itu tak relevan, tetapi bagi warga desa, itu adalah hukum yang mengikat.

Aliansi tumbuh bukan hanya dari kata-kata, tetapi dari tindakan. Mereka mengadakan pengumpulan data tradisional: memetakan makam, mengumpulkan cerita leluhur, dan membuat daftar ritual yang memiliki nilai hukum. Ketika pemerintah hendak memberikan izin sebuah proyek, Aliansi akan memanggil rapat, lalu melakukan zikir sederhana agar suara-leluhur terdengar, dan kemudian menyusun nota keberatan yang menggabungkan bukti administratif dan kisah-kisah adat. Mereka menulis bukan untuk menolak modernitas, tetapi untuk meminta modernitas agar mau berdialog.

Salah satu peristiwa besar datang ketika sebuah perusahaan tambang bermaksud memasang alat di lereng dekat Kutei Nated, dusun tua di Pinang Belapis. Surat izin cepat beredar di meja-meja kota, sementara di desa hanya ada kabar. Aliansi bergerak cepat. Mereka mengumpulkan saksi, orang tua yang pernah menanam pohon di sana, perempuan yang pernah menyusuri jalan setapak, dan pemuda yang punya foto lama. Mereka menyiapkan tim hukum yang mengajukan keberatan administratif, namun sebelum itu, mereka melakukan zikir di bawah Kutei Nated.

Malam itu, di bawah sinar bulan pucat, dua zap zikir duduk berhadapan. Satu zap melafazkan syair pujian, zap lain menari dalam diam, kepala mereka menunduk lalu mengangkat, tangan-tangan membentuk bayangan di tanah. Lagu zikir itu seperti kain yang menambal retak-revak di perut bumi. Anak-anak menonton dari tepian, dan beberapa tetua menangis. Ada pidato kecil setelah zikir, suara Cik Nanang gemetar: “Kami meminta agar orang-orang di kota tahu, tanah ini bukan hanya lapisan mineral. Di dalamnya ada doa.”

Keberatan itu tak serta-merta menangkis izin. Namun, notanya menjadi bahan diskusi di dewan kota, pejabat membaca petisi lalu menatap peta. Para teknokrat yang biasa memutuskan dengan angka, kini harus membaca daftar tumpukan batu nisan, tengok, dan zikir. Perubahan itu kecil, tapi perubahan kecil kerap menjadi pintu bagi pengakuan yang lebih besar.

Dalam perjalanan Aliansi, ada momen yang penuh konflik batin. Seorang kepala desa di Pinang Belapis, yang secara formal adalah penjaga Kutei Nated menurut garis administrasi, tergoda iming-iming proyek. Ia dipanggil oleh perusahaan, dijamu, diberi janji besar. Di desa, kabar itu sampai. Ketegangan muncul. Ada yang menganjurkan protes keras; ada yang meminta dialog. Paraduta menengahi. Ia memanggil Cik Nanang.

“Kita butuh kata-kata yang tak memancing amarah,” ujar Paraduta. “Kepala desa itu juga bagian dari kita. Ia tidak hanya pegawai. Ia kita beri mandat. Kita harus menjelaskan haknya, tapi kita tak boleh meniadakan hormat.”

Cik Nanang menatap lama. “Kita harus bicara dengannya dengan bahasa yang ia hormati,” ia berkata akhirnya. “Ajak ia untuk zikir bersama. Panggil ibu-ibu untuk memasak. Di meja makan, orang akan lebih jujur. Kita bukan menuntut; kita mengundang. Kadang undangan lebih keras daripada ancaman.”

Pagi itu mereka mengunjungi kepala desa. Di bale, di atas tikar yang dihamparkan, mereka berbagi nasi dengan ikan asap. Cik Nanang memulai zikir kecil; kepala desa menunduk, kemudian tersenyum getir. Percakapan yang dimulai dari makanan dan zikir menjadi tempat untuk menukar kata: janji, rasa takut, dan harapan untuk desa. Kepala desa akhirnya menunda keputusan sambil meminta waktu.

Dialog itu mengajarkan sesuatu pada Paraduta: kekuatan budaya bukan hanya dalam ritual spektakuler, tetapi juga dalam makanan sederhana, undangan, dan kesabaran.

Aliansi tidak melulu soal menolak. Mereka membangun program ekonomi lokal: pelatihan pembuatan permen kayu manis, pemasaran kain tenun Bik Lela, dan kebun kolektif yang memadukan padi, kopi, dan rotan sebuah agroforestry yang menjadi simbol rekonsiliasi antara kebutuhan ekonomi dan kehormatan tanah. Program itu diberi nama Kutei Berkelanjutan, menghormati pohon besar dan filosofi penjagaannya.

Perempuan memegang peran besar. Kebanyakan program dikomandoi oleh perempuan: mereka yang mengatur pasar, menyimpan buku, dan memimpin kelompok tabungan. Paraduta selalu menegaskan: “Jika perempuan kuat, komunitas bertahan.” Ibu-ibu di Aliansi mengorganisir pertemuan pasar mingguan di mana hasil kebun kolektif dijual dengan harga layak, dan keuntungan dipakai untuk pendidikan dan pengobatan.

Di salah satu pasar itu, Bik Lela berdiri memamerkan kain barunya. Seorang pejabat provinsi datang meninjau. Ia terkesan, bukan karena produk itu mewah, tetapi karena cerita di baliknya: kain yang menenun kisah leluhur, dihiasi benang yang dibuat dari serat pohon yang diambil dengan ritus. Pejabat itu menandatangani janji untuk mendukung program kecil itu. Janji-janji kecil seperti itu tidak menyamai pengakuan hukum, tetapi memberi napas pada upaya berkelanjutan.

Setahun kemudian, Aliansi menjadi rujukan. Mereka bukan hanya menuntut, tetapi juga merancang alternatif yang nyata. Paraduta sering diundang ke kota untuk menjadi pembicara, orang tua dan anak muda menonton, menulis, dan membandingkan. Di meja seminar, Paraduta berbicara tentang pentingnya menyatukan data teknis dan data kultural. Ia menampilkan peta di satu sisi peta administratif, di sisi lain peta memori yang berisi nama-nama sungai, makam, dan titik zikir.

Dalam satu pertemuan besar, seorang akademisi menanyakan: “Bagaimana kalian menggabungkan zikir dan litigasi? Bukankah itu dua dunia yang sulit disatukan?”

Paraduta tersenyum, mengingat malam di bawah Kutei Nated. “Zikir memberi kita kesadaran moral. Hukum memberi kita kapasitas formal. Tanpa zikir, kita jadi mekanis. Tanpa hukum, kita jadi mistik yang tidak dipahami negara. Aliansi adalah tempat kedua hal itu bertemu: suara doa yang juga belajar bahasa administrasi.”

Di ruangan itu, Cik Nanang berdiri, wajahnya memerah oleh kelelahan, namun matanya bersinar. Ia menambahkan, “Kita tidak mengajarkan negara untuk zikir, tetapi kita meminta negara mendengarkan zikir. Itu saja. Kalau negara mau mendengarkan, dunia bisa lebih adil.”

Pada musim panen, ketika udara harum oleh padi dan kayu manis, Aliansi mengadakan upacara besar: Pesta Bawa Pulang Tanah. Mereka menandai batas-batas lahan yang diakui secara adat, menempatkan batu penanda, dan menulis nama keluarga pada papan kayu. Di bawah Kutei Nated, zikir besar dilakukan: dua zap lagi duduk berhadapan, satu melafazkan puji-pujian, satu lagi menari sambil duduk. Ada tarian Saman yang sunyi, namun mengguncang. Zikir itu seperti hujan lembut yang menumbuhkan kembali akar.

Kepala desa hadir, serta perwakilan pemerintah yang telah belajar cara membaca peta memori. Mereka menandatangani surat kecil bukan surat besar yang datang dari istana, tetapi surat permintaan pengakuan. Tanda tangan itu bukan pengakuan sempurna, namun itu adalah titik awal tanda negara menoleh ke arah suara desa.

Anak-anak mengetuk gong kecil sebagai tanda syukur. Bik Lela mengurai kain panjang, meletakkan kain itu di bawah pohon besar, sebagai simbol bahwa kain ini dibuat dari benang yang diikat oleh doa. Paraduta merasa ada air panas di mata. Ia melihat wajah-wajah yang dulu takut kini menari, lambang-lambang takut beralih menjadi tanda perayaan.

Namun perjalanan itu tak lepas dari renungan. Suatu malam Paraduta duduk sendiri di tepi sungai, mendengar aliran dan memikirkan masa depan. Ia menulis dalam buku: “Aliansi bukan tujuan. Ia adalah cara hidup yang mesti diperbaharui setiap hari. Kita menang hari ini, tetapi kita harus waspada agar kemenangan jadi tidak hanya upacara.”

Saat itu Cik Nanang datang, duduk di sampingnya, lalu membuka mulut seperti biasanya: “Duta, ingat ketika aku bicara tentang tangan Tuhan? Dia yang tak terlihat itu bekerja dengan cara yang tak kita pahami. Kita menata di dunia; Dia menata di baliknya. Kita hanya tugas menyusun batu, menenun kain, dan menyanyikan zikir. Jangan kau pernah lupa: kita bukan penguasa, kita penjaga.”

Paraduta menatap saksi langit, lalu angkat bicara: “Tapi bagaimana kalau penjaga pun tergoda? Bagaimana kalau kepala desa yang kita percaya memilih jalan mudah?”

Cik Nanang mengangkat bahu. “Itu bukan soal tidak tergoda. Itu soal siapa yang mengajari dia menimbang, siapa yang menyodorkan nasi. Kita harus mengajari kepala desa kembali menimbang antara uang dan doa. Kita harus mengundang, bukan memaksa.”

Waktu berjalan, dan Aliansi bertumbuh merajut jaringan. Mereka membentuk hubungan dengan desa lain, membuat pertemuan antar-komunitas, berbagi pengalaman. Ada saat di mana Aliansi membantu menyelesaikan konflik tanah di desa tetangga bukan sekadar membawa pengacara, tetapi juga mengadakan zikir bersama sebagai penyejuk. Di lain waktu, Aliansi memberi ruang bagi pemuda untuk belajar peta dan GPS, agar pengetahuan tradisional tak hilang di tengah arus digital.

Satu peristiwa menyentuh: seorang anak muda, yang dulu lari ke kota, kembali ke desa setelah melihat saudara-saudaranya kehilangan tanah. Ia berdiri di depan Aliansi dan berkata dengan nada putus asa: “Saya dulu berpikir kota itu jawaban. Tapi kota membuat aku lupa bagaimana menatap akar. Di kota, saya tidak tahu nama pohon yang menimang dari halaman. Di sini saya pulang karena tanah memanggilku.”

Tangis pecah di ruangan. Itu bukan tangis kelemahan, melainkan tangis yang mengakui kembali asal. Aliansi menjadi rumah bagi yang pulang.

Seiring berjalannya waktu, Aliansi mendapat beberapa kemenangan penting: beberapa tempat yang semula akan digarap proyek besar berhasil ditunda; beberapa tradisi yang hampir hilang berhasil didokumentasikan; dan beberapa keluarga yang terdesak memperoleh kompensasi serta lahan alternatif yang diatur bersama komunitas. Namun lebih dari itu, yang paling penting adalah: suara desa kini punya ruang tempat berunding dengan negara.

Kadang kemenangan itu datang lewat pengakuan formal; kadang lewat doa di bawah pohon besar. Keduanya sama penting. Paraduta selalu mengingatkan: jangan meremehkan doa; jangan pula menolak surat. Keduanya menambal kehidupan.

Di suatu sore yang tenang, Paraduta dan Cik Nanang duduk di gubuk kecil. Mereka minum kopi pahit, lalu mulai bernyanyi bukan lagu populer, bukan puisi resmi, melainkan lagu-lagu kecil desa. Cik Nanang menepuk-neyupkan batu akik di saku, lalu menatap ke arah Kutei Nated.

“Kau tahu,” katanya tiba-tiba, “ketika aku masih kecil, Muning Raden pernah bilang: ‘Tanah berbicara bila kita mau menurunkan telinga.’ Kita menurunkan telinga dengan zikir dan bekerja, bukan dengan menjadikan tanah sebagai angka di buku. Kita harus pastikan generasi berikutnya juga menurunkan telinga ini.”

Paraduta menutup mata. “Kita menurunkan telinga, lalu menaruh nama pada peta, agar tidak ada yang lupa,” katanya.

Pada akhirnya cerita Aliansi bukan tentang pahlawan, melainkan tentang kebersamaan. Ada malam-malam ketika mereka merasa lelah, terguncang oleh tawaran uang yang tebal; ada hari-hari ketika pertemuan hanya dihadiri beberapa orang; ada pula momen-momen kemenangan yang sunyi: seorang ibu yang berhasil mendaftarkan tanah pekarangan untuk cucunya, anak-anak yang menulis nama mereka di peta komunitas, atau seorang pemuda yang menyampaikan pidato sambil meneteskan air mata.

Dialog-dialog di dalam Aliansi bukan hanya soal retorika; mereka adalah cara hidup. “Kita tidak meminta banyak,” kata Bik Lela suatu hari. “Kita hanya mau tetap punya tempat untuk menanam doa.” Dan doa itu, dalam tutur Cik Nanang, bukan sekadar lafaz. Ia adalah tindakan: memanggil yang tak terlihat agar menjadi tampak.

Cerita ini tidak berakhir dengan kemenangan permanen. Aliansi tetap berjalan, seperti sungai yang tidak pernah sama. Di hari-hari mendatang, Aliansi akan menghadapi tantangan baru, perubahan iklim, tekanan modal, urbanisasi, namun akar zikir dan peta memori akan tetap menancap kuat. Paraduta tahu: pekerjaan mereka adalah menulis ulang sejarah setiap hari, menjaga agar kisah lama tak menjadi abu.

Pada suatu malam terakhir musim panen yang panjang, Aliansi berkumpul lagi di bawah Kutei Nated. Bulan penuh seperti mangkuk perak, dan suara zikir memenuhi udara. Dua zap duduk berhadapan, satu melafazkan syair, satu menari sunyi, tubuhnya bergerak seperti batang padi. Lagu-lagu lama diputar kembali: zikir yang bukan hanya memohon, tetapi juga mengucapkan syukur.

Paraduta berdiri, menatap ke pohon, lalu menutup mata. Ia merasakan getaran di bawah kakinya, bukan hanya tanah, melainkan sebuah sejarah yang bergulir. Di sekelilingnya, Cik Nanang mengangkat suaranya, bukan untuk mengetuai, melainkan untuk meneguhkan: “Bumi ini kita jaga bukan karena kita punya hak, tetapi karena kita punya tanggung jawab.”

Aliansi Masyarakat Adat bukan sekadar nama di dokumen. Ia adalah perjanjian antara manusia dan tanah perjanjian yang diawali dengan zikir dan ditandatangani oleh kerja. Di Kutei Nated, perjanjian itu tak pernah ditulis hanya pada kertas; ia ditulis pada akar, pada benang tenun, pada makna yang digenggam oleh telinga yang selalu mau mendengar.

 

Cerita ini di ilhami oleh perjalanan Paraduta, bersama Cik Nanang dalam mengkonsolidasi dan mendirikan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bengkulu

 







Tidak ada komentar:

Posting Komentar