Pada pagi di mana kabut belum sepenuhnya menyerah pada matahari, Paraduta
kembali ke Batu Belarik. Jalan setapak yang dulu dikenalnya seperti urat-urat
tubuh desa, menyusur lereng, menyingkap pekarangan, lalu menyusut ke bibir
sungai. Ia pulang bukan sebagai anak yang lari dari sekolah, melainkan sebagai
lelaki yang menaruh nama pada catatan. Tentang tanah yang berbicara, tentang
kearifan yang berdebat, dan tentang suara-suara tua yang harus didengar.
Di tengah
desa, masjid kecil menonjol dengan kubahnya yang sederhana bukan monumental,
tapi punya suara. Dari dalam pintu kayu, muncullah suara yang riuh, bukan riuh
oleh kata-kata, melainkan riuh karena hidup. Tawa, lontaran sajak, dan suara
seorang imam yang seperti menaruh pasir di mangkuk telinga bangsa. Itu Cik
Nanang, imam yang flamboyan; dia bercerita seperti penyair, berpakaian
sederhana tetapi memancarkan karisma seperti batu akik yang diasah. Ia lahir
dan besar di Batu Belarik, keturunan Muning Raden, pendiri desa. Ia juga
penggemar Rhoma Irama, kadang nyanyinya seperti merapal zikir yang menuruni
tangga rindu.
Paraduta
menemuinya di depan masjid. Cik Nanang menyambut dengan pelukan yang kuat,
aroma kapur barus dan keringat kerja membalut bajunya. Wajahnya hitam, mata
kecilnya cekung karena sering menyaksikan matahari naik dari ladang. Ia tertawa
ketika melihat Paraduta: “Kau pulang, Duta. Bawa apa kali ini? Buku? Pena? Atau
suara anak yang telah lama lupa cara menulis tanah?”
Paraduta
tersenyum, meletakkan tas kecil berisi kertas-kertas yang namanya sudah rapuh.
“Aku membawa nama-nama, Nek. Aku membawa kegelisahan dan sedikit keberanian
untuk menulis kembali aturan yang tak tertulis di atas peta.”
Cik
Nanang mengangguk. “Bagus. Kita butuh orang yang membawa kerja dan doa. Tanah
tak pernah bisa berubah sendirian. Ia perlu hati manusia untuk menanam kembali
bahasa.”
Mereka
berjalan menyusuri halaman rumah, melewati rumah-rumah yang berdiri seperti rak
buku, sebagian usang, sebagian baru. Anak-anak berlarian, ayam berkokok, dan di
ujung desa, pohon besar yang oleh orang lampau disebut Kutei Nated menjaga
seperti raja yang tidak pernah tidur. Kepala Desa, menurut Cik Nanang, tidak
sekadar pejabat administrasi. “Kepala Desa adalah mandat,” ia berkata sambil
menunjuk ke pohon itu. “Ia penjaga Kutei Nated. Ia menjaga batas, adat, aturan,
dan doa. Tanpa pemangku yang paham, tanah jadi buku kosong tanpa huruf.”
Pada
suatu sore, ketika keringat musim hampir menempel pada kulit dan burung-burung
mencari teduh, Paraduta duduk dengan beberapa tokoh adat di bale desa. Mereka
berkumpul bukan untuk rapat biasa, melainkan untuk menyusun sebuah perjanjian. Bagaimana
mengikat nama pada tanah di tengah tekanan waktu yang mau merubah segalanya
menjadi angka.
Tokoh
hadir. Pak Imam Cik Nanang, Arian si penjaga padi, Lela sang tukang tenun, dan
beberapa tetua yang rambutnya sudah putih. Semua membawa segelas kopi, beberapa
rokok, dan sebuah kesabaran yang tebal. Di meja baja kecil, Paraduta membuka
buku catatan.
“Kita
perlu organisasi,” kata Paraduta memulai, suaranya datar namun bergetar. “Bukan
organisasi kaku seperti lembaga donor, tapi organisasi yang bisa menyatukan
semua suara: pemuda, perempuan, petani, nelayan. Aliansi yang menempatkan hukum
adat bukan sebagai nostalgia, tetapi sebagai fondasi untuk menuntun kebijakan.”
Sejenak
hening. Lalu Cik Nanang menepuk meja, membuat cangkir bergetar. “Aliansi itu
harus seperti zikir,” katanya. “Ritual yang mengikat. Ia harus punya suara, dan
suara itu harus bisa didengar oleh orang yang berada jauh di kota, di kantor mereka
yang menilai tanah lewat peta digital tanpa mendengar suara akar.”
Bik Lela
mengangkat kain tenun yang masih setengah jadi. “Kalau kau ingin membuat
aliansi, kau harus memberi nama yang menahan angin,” katanya. “Nama yang mudah
dibaca oleh anak kecil tetapi tak gampang dilupakan oleh pejabat.”
Arian
menambah, “Dan jangan lupa, organisasi juga harus bisa memberi makan pertemuan.
Kalau pertemuan selalu pagi dan tanpa makanan, orang takkan datang. Itu hukum
manusia.”
Mereka
pun tertawa; tawa itu seperti doa yang membentuk lingkaran. Dari tawa itu
tumbuh kata: Aliansi Masyarakat Adat. Bukan hanya nama, tapi janji.
Waktu
bergerak dan Aliansi mulai mendapatkan bentuk. Paraduta, dengan kegigihannya,
mulai menyusun struktur yang tidak birokratis, melainkan organik. Ada Dewan
Tetua, ada Seksi Perempuan, ada Unit Pemuda, dan ada Tim Dokumentasi. Mereka
menetapkan bahwa setiap keputusan besar mesti dimulai dengan zikir Bersama bentuk
penghormatan terhadap leluhur dan sebagai pernyataan niat.
Bagian
terdalam yang ditekankan Cik Nanang adalah: setiap pesta adat, setiap
pernikahan harus diawali oleh prosesi tertib. “Pesta pernikahan jujur selalu
dimulai dengan adat,” ia berulang-ulang, seakan menanam mantra. “Organ tunggal,
alat musik sederhana, zikir dua zap yang berhadapan, satu zap melafazkan
puji-pujian pada Nabi Muhammad, dan zap lainnya menari sambil duduk, seperti
tari Saman. Itu bukan hanya estetika, melainkan cara kita mengikat hati.”
Paraduta
mengangguk sambil menuliskan. “Nenek, menyebutnya sebagai perpaduan agama dan
komunalisme?” tanyanya.
“Betul,”
jawab Cik Nanang. “Zikir itu bukan hanya doa. Ia adalah tempat di mana telinga
belajar mendengar, mata belajar melihat, dan tubuh belajar menari bukan untuk
menyenangkan orang luar, tetapi untuk menata jiwa sendiri.” Ia lalu menirukan
intonasi zikir: “La ilaha,” suaranya menurun seperti rantai yang melepas beban.
“Kita butuh tangan Tuhan, Duta. Bukan tangan manusia semata. Kita butuh yang
tidak mungkin menjadi mungkin.”
Paraduta
tertunduk, karena kata-kata itu membawa berat metafisika yang tak mudah ditulis
dalam proposal donor. Ia tahu bahwa banyak pejabat akan berpikir itu tak
relevan, tetapi bagi warga desa, itu adalah hukum yang mengikat.
Aliansi
tumbuh bukan hanya dari kata-kata, tetapi dari tindakan. Mereka mengadakan
pengumpulan data tradisional: memetakan makam, mengumpulkan cerita leluhur, dan
membuat daftar ritual yang memiliki nilai hukum. Ketika pemerintah hendak
memberikan izin sebuah proyek, Aliansi akan memanggil rapat, lalu melakukan
zikir sederhana agar suara-leluhur terdengar, dan kemudian menyusun nota
keberatan yang menggabungkan bukti administratif dan kisah-kisah adat. Mereka
menulis bukan untuk menolak modernitas, tetapi untuk meminta modernitas agar
mau berdialog.
Salah
satu peristiwa besar datang ketika sebuah perusahaan tambang bermaksud memasang
alat di lereng dekat Kutei Nated, dusun tua di Pinang Belapis. Surat izin cepat
beredar di meja-meja kota, sementara di desa hanya ada kabar. Aliansi bergerak
cepat. Mereka mengumpulkan saksi, orang tua yang pernah menanam pohon di sana,
perempuan yang pernah menyusuri jalan setapak, dan pemuda yang punya foto lama.
Mereka menyiapkan tim hukum yang mengajukan keberatan administratif, namun
sebelum itu, mereka melakukan zikir di bawah Kutei Nated.
Malam
itu, di bawah sinar bulan pucat, dua zap zikir duduk berhadapan. Satu zap
melafazkan syair pujian, zap lain menari dalam diam, kepala mereka menunduk
lalu mengangkat, tangan-tangan membentuk bayangan di tanah. Lagu zikir itu
seperti kain yang menambal retak-revak di perut bumi. Anak-anak menonton dari
tepian, dan beberapa tetua menangis. Ada pidato kecil setelah zikir, suara Cik
Nanang gemetar: “Kami meminta agar orang-orang di kota tahu, tanah ini bukan
hanya lapisan mineral. Di dalamnya ada doa.”
Keberatan
itu tak serta-merta menangkis izin. Namun, notanya menjadi bahan diskusi di
dewan kota, pejabat membaca petisi lalu menatap peta. Para teknokrat yang biasa
memutuskan dengan angka, kini harus membaca daftar tumpukan batu nisan, tengok,
dan zikir. Perubahan itu kecil, tapi perubahan kecil kerap menjadi pintu bagi
pengakuan yang lebih besar.
Dalam
perjalanan Aliansi, ada momen yang penuh konflik batin. Seorang kepala desa di
Pinang Belapis, yang secara formal adalah penjaga Kutei Nated menurut garis
administrasi, tergoda iming-iming proyek. Ia dipanggil oleh perusahaan, dijamu,
diberi janji besar. Di desa, kabar itu sampai. Ketegangan muncul. Ada yang
menganjurkan protes keras; ada yang meminta dialog. Paraduta menengahi. Ia
memanggil Cik Nanang.
“Kita
butuh kata-kata yang tak memancing amarah,” ujar Paraduta. “Kepala desa itu
juga bagian dari kita. Ia tidak hanya pegawai. Ia kita beri mandat. Kita harus
menjelaskan haknya, tapi kita tak boleh meniadakan hormat.”
Cik
Nanang menatap lama. “Kita harus bicara dengannya dengan bahasa yang ia
hormati,” ia berkata akhirnya. “Ajak ia untuk zikir bersama. Panggil ibu-ibu
untuk memasak. Di meja makan, orang akan lebih jujur. Kita bukan menuntut; kita
mengundang. Kadang undangan lebih keras daripada ancaman.”
Pagi itu
mereka mengunjungi kepala desa. Di bale, di atas tikar yang dihamparkan, mereka
berbagi nasi dengan ikan asap. Cik Nanang memulai zikir kecil; kepala desa
menunduk, kemudian tersenyum getir. Percakapan yang dimulai dari makanan dan
zikir menjadi tempat untuk menukar kata: janji, rasa takut, dan harapan untuk
desa. Kepala desa akhirnya menunda keputusan sambil meminta waktu.
Dialog
itu mengajarkan sesuatu pada Paraduta: kekuatan budaya bukan hanya dalam ritual
spektakuler, tetapi juga dalam makanan sederhana, undangan, dan kesabaran.
Aliansi
tidak melulu soal menolak. Mereka membangun program ekonomi lokal: pelatihan
pembuatan permen kayu manis, pemasaran kain tenun Bik Lela, dan kebun kolektif
yang memadukan padi, kopi, dan rotan sebuah agroforestry yang menjadi simbol
rekonsiliasi antara kebutuhan ekonomi dan kehormatan tanah. Program itu diberi
nama Kutei Berkelanjutan, menghormati pohon besar dan filosofi
penjagaannya.
Perempuan
memegang peran besar. Kebanyakan program dikomandoi oleh perempuan: mereka yang
mengatur pasar, menyimpan buku, dan memimpin kelompok tabungan. Paraduta selalu
menegaskan: “Jika perempuan kuat, komunitas bertahan.” Ibu-ibu di Aliansi
mengorganisir pertemuan pasar mingguan di mana hasil kebun kolektif dijual
dengan harga layak, dan keuntungan dipakai untuk pendidikan dan pengobatan.
Di salah
satu pasar itu, Bik Lela berdiri memamerkan kain barunya. Seorang pejabat
provinsi datang meninjau. Ia terkesan, bukan karena produk itu mewah, tetapi
karena cerita di baliknya: kain yang menenun kisah leluhur, dihiasi benang yang
dibuat dari serat pohon yang diambil dengan ritus. Pejabat itu menandatangani
janji untuk mendukung program kecil itu. Janji-janji kecil seperti itu tidak
menyamai pengakuan hukum, tetapi memberi napas pada upaya berkelanjutan.
Setahun
kemudian, Aliansi menjadi rujukan. Mereka bukan hanya menuntut, tetapi juga
merancang alternatif yang nyata. Paraduta sering diundang ke kota untuk menjadi
pembicara, orang tua dan anak muda menonton, menulis, dan membandingkan. Di
meja seminar, Paraduta berbicara tentang pentingnya menyatukan data teknis dan
data kultural. Ia menampilkan peta di satu sisi peta administratif, di sisi
lain peta memori yang berisi nama-nama sungai, makam, dan titik zikir.
Dalam
satu pertemuan besar, seorang akademisi menanyakan: “Bagaimana kalian
menggabungkan zikir dan litigasi? Bukankah itu dua dunia yang sulit disatukan?”
Paraduta
tersenyum, mengingat malam di bawah Kutei Nated. “Zikir memberi kita kesadaran
moral. Hukum memberi kita kapasitas formal. Tanpa zikir, kita jadi mekanis. Tanpa
hukum, kita jadi mistik yang tidak dipahami negara. Aliansi adalah tempat kedua
hal itu bertemu: suara doa yang juga belajar bahasa administrasi.”
Di
ruangan itu, Cik Nanang berdiri, wajahnya memerah oleh kelelahan, namun matanya
bersinar. Ia menambahkan, “Kita tidak mengajarkan negara untuk zikir, tetapi
kita meminta negara mendengarkan zikir. Itu saja. Kalau negara mau
mendengarkan, dunia bisa lebih adil.”
Pada
musim panen, ketika udara harum oleh padi dan kayu manis, Aliansi mengadakan
upacara besar: Pesta Bawa Pulang Tanah. Mereka menandai batas-batas
lahan yang diakui secara adat, menempatkan batu penanda, dan menulis nama
keluarga pada papan kayu. Di bawah Kutei Nated, zikir besar dilakukan: dua zap
lagi duduk berhadapan, satu melafazkan puji-pujian, satu lagi menari sambil
duduk. Ada tarian Saman yang sunyi, namun mengguncang. Zikir itu seperti hujan
lembut yang menumbuhkan kembali akar.
Kepala
desa hadir, serta perwakilan pemerintah yang telah belajar cara membaca peta
memori. Mereka menandatangani surat kecil bukan surat besar yang datang dari
istana, tetapi surat permintaan pengakuan. Tanda tangan itu bukan pengakuan
sempurna, namun itu adalah titik awal tanda negara menoleh ke arah suara desa.
Anak-anak
mengetuk gong kecil sebagai tanda syukur. Bik Lela mengurai kain panjang,
meletakkan kain itu di bawah pohon besar, sebagai simbol bahwa kain ini dibuat
dari benang yang diikat oleh doa. Paraduta merasa ada air panas di mata. Ia
melihat wajah-wajah yang dulu takut kini menari, lambang-lambang takut beralih
menjadi tanda perayaan.
Namun
perjalanan itu tak lepas dari renungan. Suatu malam Paraduta duduk sendiri di
tepi sungai, mendengar aliran dan memikirkan masa depan. Ia menulis dalam buku:
“Aliansi bukan tujuan. Ia adalah cara hidup yang mesti diperbaharui setiap
hari. Kita menang hari ini, tetapi kita harus waspada agar kemenangan jadi
tidak hanya upacara.”
Saat itu
Cik Nanang datang, duduk di sampingnya, lalu membuka mulut seperti biasanya:
“Duta, ingat ketika aku bicara tentang tangan Tuhan? Dia yang tak terlihat itu
bekerja dengan cara yang tak kita pahami. Kita menata di dunia; Dia menata di
baliknya. Kita hanya tugas menyusun batu, menenun kain, dan menyanyikan zikir.
Jangan kau pernah lupa: kita bukan penguasa, kita penjaga.”
Paraduta
menatap saksi langit, lalu angkat bicara: “Tapi bagaimana kalau penjaga pun
tergoda? Bagaimana kalau kepala desa yang kita percaya memilih jalan mudah?”
Cik
Nanang mengangkat bahu. “Itu bukan soal tidak tergoda. Itu soal siapa yang
mengajari dia menimbang, siapa yang menyodorkan nasi. Kita harus mengajari
kepala desa kembali menimbang antara uang dan doa. Kita harus mengundang, bukan
memaksa.”
Waktu
berjalan, dan Aliansi bertumbuh merajut jaringan. Mereka membentuk hubungan
dengan desa lain, membuat pertemuan antar-komunitas, berbagi pengalaman. Ada
saat di mana Aliansi membantu menyelesaikan konflik tanah di desa tetangga bukan
sekadar membawa pengacara, tetapi juga mengadakan zikir bersama sebagai
penyejuk. Di lain waktu, Aliansi memberi ruang bagi pemuda untuk belajar peta
dan GPS, agar pengetahuan tradisional tak hilang di tengah arus digital.
Satu
peristiwa menyentuh: seorang anak muda, yang dulu lari ke kota, kembali ke desa
setelah melihat saudara-saudaranya kehilangan tanah. Ia berdiri di depan Aliansi
dan berkata dengan nada putus asa: “Saya dulu berpikir kota itu jawaban. Tapi
kota membuat aku lupa bagaimana menatap akar. Di kota, saya tidak tahu nama
pohon yang menimang dari halaman. Di sini saya pulang karena tanah
memanggilku.”
Tangis
pecah di ruangan. Itu bukan tangis kelemahan, melainkan tangis yang mengakui
kembali asal. Aliansi menjadi rumah bagi yang pulang.
Seiring
berjalannya waktu, Aliansi mendapat beberapa kemenangan penting: beberapa
tempat yang semula akan digarap proyek besar berhasil ditunda; beberapa tradisi
yang hampir hilang berhasil didokumentasikan; dan beberapa keluarga yang
terdesak memperoleh kompensasi serta lahan alternatif yang diatur bersama
komunitas. Namun lebih dari itu, yang paling penting adalah: suara desa kini
punya ruang tempat berunding dengan negara.
Kadang
kemenangan itu datang lewat pengakuan formal; kadang lewat doa di bawah pohon
besar. Keduanya sama penting. Paraduta selalu mengingatkan: jangan meremehkan
doa; jangan pula menolak surat. Keduanya menambal kehidupan.
Di suatu
sore yang tenang, Paraduta dan Cik Nanang duduk di gubuk kecil. Mereka minum
kopi pahit, lalu mulai bernyanyi bukan lagu populer, bukan puisi resmi,
melainkan lagu-lagu kecil desa. Cik Nanang menepuk-neyupkan batu akik di saku,
lalu menatap ke arah Kutei Nated.
“Kau
tahu,” katanya tiba-tiba, “ketika aku masih kecil, Muning Raden pernah bilang:
‘Tanah berbicara bila kita mau menurunkan telinga.’ Kita menurunkan telinga
dengan zikir dan bekerja, bukan dengan menjadikan tanah sebagai angka di buku.
Kita harus pastikan generasi berikutnya juga menurunkan telinga ini.”
Paraduta
menutup mata. “Kita menurunkan telinga, lalu menaruh nama pada peta, agar tidak
ada yang lupa,” katanya.
Pada
akhirnya cerita Aliansi bukan tentang pahlawan, melainkan tentang kebersamaan.
Ada malam-malam ketika mereka merasa lelah, terguncang oleh tawaran uang yang
tebal; ada hari-hari ketika pertemuan hanya dihadiri beberapa orang; ada pula
momen-momen kemenangan yang sunyi: seorang ibu yang berhasil mendaftarkan tanah
pekarangan untuk cucunya, anak-anak yang menulis nama mereka di peta komunitas,
atau seorang pemuda yang menyampaikan pidato sambil meneteskan air mata.
Dialog-dialog
di dalam Aliansi bukan hanya soal retorika; mereka adalah cara hidup. “Kita
tidak meminta banyak,” kata Bik Lela suatu hari. “Kita hanya mau tetap punya
tempat untuk menanam doa.” Dan doa itu, dalam tutur Cik Nanang, bukan sekadar
lafaz. Ia adalah tindakan: memanggil yang tak terlihat agar menjadi tampak.
Cerita
ini tidak berakhir dengan kemenangan permanen. Aliansi tetap berjalan, seperti
sungai yang tidak pernah sama. Di hari-hari mendatang, Aliansi akan menghadapi
tantangan baru, perubahan iklim, tekanan modal, urbanisasi, namun akar zikir
dan peta memori akan tetap menancap kuat. Paraduta tahu: pekerjaan mereka
adalah menulis ulang sejarah setiap hari, menjaga agar kisah lama tak menjadi
abu.
Pada
suatu malam terakhir musim panen yang panjang, Aliansi berkumpul lagi di bawah
Kutei Nated. Bulan penuh seperti mangkuk perak, dan suara zikir memenuhi udara.
Dua zap duduk berhadapan, satu melafazkan syair, satu menari sunyi, tubuhnya
bergerak seperti batang padi. Lagu-lagu lama diputar kembali: zikir yang bukan
hanya memohon, tetapi juga mengucapkan syukur.
Paraduta
berdiri, menatap ke pohon, lalu menutup mata. Ia merasakan getaran di bawah
kakinya, bukan hanya tanah, melainkan sebuah sejarah yang bergulir. Di
sekelilingnya, Cik Nanang mengangkat suaranya, bukan untuk mengetuai, melainkan
untuk meneguhkan: “Bumi ini kita jaga bukan karena kita punya hak, tetapi
karena kita punya tanggung jawab.”
Aliansi
Masyarakat Adat bukan sekadar nama di dokumen. Ia adalah perjanjian antara
manusia dan tanah perjanjian yang diawali dengan zikir dan ditandatangani oleh
kerja. Di Kutei Nated, perjanjian itu tak pernah ditulis hanya pada kertas; ia
ditulis pada akar, pada benang tenun, pada makna yang digenggam oleh telinga
yang selalu mau mendengar.
—
Cerita
ini di ilhami oleh perjalanan Paraduta, bersama Cik Nanang dalam
mengkonsolidasi dan mendirikan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bengkulu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar