Menanam Keberanian untuk Memeluk Luka - Erwin Basrin

Breaking

Recent Posts

 photo Untitled-1_1.jpg

Selasa, 11 November 2025

Menanam Keberanian untuk Memeluk Luka




Matahari sore membiaskan garis-garis emas di dinding kampus yang tua, dinding yang pernah menelan langkah para pemikir dan mengembalikan suara mereka dalam bentuk keputusan, protes, dan kadang-kadang, pengejaran mimpi. Di antara asrama dan ruang kuliah, ada taman kecil yang sering dipakai sebagai tempat diskusi informal. Di sanalah Paraduta menunggu, duduk di bangku yang berderit lembut, memegang amplop kertas yang masih berbau tinta kampus, esai Anumtiko tentang “Legal empowerment is not only about defending rights. It’s about defending dignity, the dignity of being part of this earth”.


Suasana kampus tahun ini berbeda, ada poster aksi menempel di pohon-pohon, ada pamflet tentang seminar lingkungan di papan pengumuman, dan ada kelompok mahasiswa yang lewat sambil berdiskusi, menyuarakan jargon-jargon yang menggelegar keadilan, akses, perubahan. Di antara semua itu, ada ketenangan yang aneh ketika Anumtiko datang, berjalan ringan namun penuh tujuan. Ia tidak lagi bocah yang menggambar ombak di tepi Pantai. Ia mahasiswa yang memakai jaket organisasi, tangannya membawa tumpukan kertas hasil rapat, rencana aksi, dan daftar penggalangan dana.


Ketika mereka bertemu, terjadi canggung yang cepat luntur. Mereka saling memandang, lalu tertawa kecil, lalu duduk bersebelahan di bangku merah yang catnya mengelupas. Ada sesuatu tentang tubuh anaknya yang membuat Paraduta terkejut. Bagaimana garis bahu itu mirip dengan miliknya, bagaimana nada bicara itu meniru, namun juga memodifikasi, seperti gelombang yang memantul kembali.


“Apa kabar rapat tadi?” tanya Paraduta membuka percakapan, suaranya hangat namun minatnya tak ingin sekadar basa-basi.


Anumtiko menghembus napas. “Panitia rapat sampai larut, ada perdebatan tentang strategi. Beberapa kawan ingin blokir rektorat, beberapa lagi minta dialog dulu. Aku… sedang mencoba menjembatani.” Ia tersenyum samar, cermin dari kebimbangan yang sering ia saksikan di muka aktivis muda. Energi besar, pengalaman sedikit, dan determinasi yang terkadang menuntut jalan cepat.


Paraduta menatap wajah anaknya. “Apa yang kau rasakan ketika mereka berteriak?” tanyanya perlahan, bukan untuk menguji, melainkan untuk membuka ruang pengakuan.


“Kebebasan,” jawab Anumtiko seketika, matanya menyala. “Tapi juga takut, takut tertelan aksinya sendiri. Aku tak ingin kita berjuang lalu melahirkan luka baru. Aku membaca tulisanmu tentang kakus Tuan, tentang È Loppeh, tentang bagaimana perjuangan kadang mesti berhenti sejenak supaya tak menjadi obsesi yang menghancurkan.” Ia menunduk, lalu menambahkan, “Bapak tahu, Pak, teman-teman di kampus kadang lupa bahwa yang kita perjuangkan adalah manusia, bukan skema kemenangan.”


Paraduta mengangguk. Ia memikirkan tumpukan dokumen, peta partisipatif, bait-bait doa di balai adat. Ia pernah muda seperti itu, percaya akan manifestasi, yakin tiap orasi harus memberangus ketidakadilan. Namun pengalaman mengajarkannya sesuatu yang lain bahwa orasi yang tidak diampuni oleh cinta sering kembali menjadi alat penghukuman. “Apa yang kau tawarkan sebagai jembatan, Nak?” tanyanya, suaranya lembut seperti gelombang yang tidak ingin membuat siapa pun terjatuh.


Anumtiko menatap jauh, menggenggam kertas-kertasnya seolah menahan sesuatu yang ingin lepas. “Aku mencoba menawarkan kata ‘sabar’ dan ‘bekal’ sekaligus. Sabar bukan artinya pasif; sabar adalah strategi panjang. Bekal berarti; pengetahuan logistik, data, hukum, dan narasi yang tak bisa disangkal. Kita akan turun, tapi kita juga akan membawa bukti. Kita menuntut perubahan, namun kita tidak ingin menjadi pendendam yang mengobrak-abrik kehidupan orang yang tak salah secara personal.” Ia tersenyum lelah. “Itu yang kukatakan saat rapat, aktivisme tanpa kapasitas itu romantisisme yang berbahaya.”


Kata-kata itu terangkai seperti benih kering yang tiba-tiba berkecambah. Paraduta ingat kata-kata lamanya sendiri. Ia ingat waktu ia mengusung massa di jalanan, saat ia masih berapi-api dan memandang dunia sebagai singgasana yang mesti dirubuhkan. Ia juga mengingat malam-malam gelap, ketika orang-orang yang semula bernyanyi di sampingnya pergi karena takut. “Kau sedang menulis gagasan yang sulit,” katanya. “Kau ingin gabungkan hati dan strategi. Itu bukan pekerjaan mudah, tapi itu diperlukan.”


Mereka berdiam sejenak, menonton sekawanan burung yang mengitari pohon tua. Angin menolak panas senja, menyapu dedaunan dan membawa dingin yang nyaman. Seorang dosen lewat, menoleh pada mereka lalu memberi salam kecil, menandakan ruang ini adalah bagian dari komunitas yang lebih besar, sebuah jaringan waktu yang menampung dialog.


“Apakah kau takut menjadi seperti aku?” tanya Anumtiko tiba-tiba, suaranya jatuh ke nada yang lebih pribadi. “Takut kau menjadi legenda yang aku ingin capai, tapi dengan cara yang menyilaukan.”


Paraduta tertawa kecil, bukan cemooh, melainkan pengakuan. “Tentu aku takut. Aku masih takut. Tapi aku lebih takut kalau kau menjadi aku tanpa bertanya; kenapa aku melakukan itu? Aktivisme bukan soal menjadi pahlawan, itu hal yang anak muda kerap lupa. Aktivisme adalah soal melahirkan komunikasi baru antara mereka yang tak diberi ruang dan sistem yang melupakan. Itu memerlukan keberanian, bukan teater keberanian.”


Anumtiko memandangnya, lalu bertanya lagi, “Jadi bagaimana kita menakar keberanian itu? Dengan jumlah massa? Dengan viral? Dengan keputusan kebijakan yang kita hasilkan?”


Paraduta menutup matanya sebentar, merasakan kata-kata seperti batu yang harus dipindah satu per satu agar bangunan tetap stabil. “Keberanian yang aku cari tidak selalu menjadi headline. Ia kadang adalah orang tua di Kakus Tuan yang menahan tangis tapi tetap bangun pagi menanam padi; kadang adalah perempuan È Loppeh yang menolak menjual haknya karena itu adalah doa leluhur; kadang ia bahkan adalah mahasiswa yang memilih menulis laporan matang daripada bergegas menutup pintu dialog. Keberanian itu kalau kau lihat dari dekat, ia malu-malu, ia tak butuh kamera. Ia membutuhkan ketekunan.”


Suatu kelompok mahasiswa lewat, bersorak dengan yel-yel. Anumtiko ikut tersenyum kecil, lalu menatap halaman kampus luas di hadapan mereka. “Kadang aku iri pada mereka yang tak pernah merasa ragu,” katanya. “Mereka berani karena tak tahu betapa kompleksnya dunia. Aku berani, tapi aku kadang terlalu tahu, sehingga tak mengambil langkah.”


Paraduta mengambil amplop yang tadi dibawanya, membuka lagi lembaran esai Anumtiko, dan membaca kembali bagian-bagian yang membuat dadanya hangat. Di antara baris-baris itu, ada kalimat yang sederhana namun membunuh segala kebanggaan. Bahwa pahlawan sejati bukan identitas besar, melainkan kesediaan untuk menampung perbedaan. “Kau menulis itu dengan jujur,” kata Paraduta. “Jujur adalah modal utama aktivis yang berakar pada kasih. Tanpa itu, semua strategi hanyalah kostum.”


Anumtiko tertawa patah. “Pak, kadang aku bertanya pada diri sendiri; apakah yang kita lakukan ini dibaca oleh orang miskin di desa? Apakah mereka butuh jurnal akademik atau hanya rumah yang tak digusur?” Suaranya mudah pecah antara amarah dan empati. Ia menaruh tangan di dada, seolah mencoba menenangkan denyutnya sendiri. “Aku ingin mengubah dunia, tapi aku juga ingin memastikan dunia tidak memecah kita sebagai keluarga.”


Paraduta mengangguk. Ia merasa kenangan-kenangan lama datang Kembali, pertemuan di balai desa, derap kaki pemuda di jalan, tawa kecil nenek saat menampung padi. Semua itu bukan barang koleksi, tapi bahan bakar gerakannya. Ia menatap Anumtiko dalam dan berkata, “Itu tugas kita, menghubungkan dua hal yang kelihatan bertolak belakang. Kita harus pandai menulis peta dan menyusun doa. Kita harus bisa mengorganisir dan juga memberi ruang bagi tangis. Aktivisme yang berakar pada kasih bukan hanya slogan; ia adalah praktik harian: membuat keputusan yang menjaga martabat manusia dihadapan trauma, bukan memanfaatkannya.”


Mata anaknya berkaca-kaca. Ia mengambil napas panjang, lalu berkata, “Ayah, aku ingin minta tolong. Ajari aku tentang seni menunggu. Ajari aku tentang menahan amarah sampai menjadi bahan yang bisa kita olah, bukan darah yang menular. Ajari aku bagaimana menulis surat ke pemerintah yang tidak membuat mereka memandang kita sebagai musuh.”


Paraduta merasa suaranya tercekat, sesuatu di dada bergerak. Ia meraih tangan anaknya, menggenggamnya erat, lalu berkata, “Aku akan ajarkan. Tapi kau juga harus mengajarkanku sesuatu: bagaimana menjadi muda sehingga semangat tidak pernah membeku jadi sinisme. Ajarkan aku untuk tetap gugup dengan dunia ini; ajarkan aku untuk tetap percaya.”


Mereka berdua tertawa sebentar, tertawa yang bukan karena humor, melainkan karena pengakuan: dua generasi saling melengkapi seperti dua sisi jaring. Di saat itu, kampus menjadi panggung kecil bagi transformasi, bukan antara pemimpin dan pengikut, melainkan antara dua manusia yang sama-sama berjuang untuk menjaga cara mereka menjadi manusia.


Percakapan mereka beralih ke teknis. Mengenai riset hukum yang perlu dikumpulkan; tentang surat pengaduan yang harus dibuat; tentang jaringan LSM yang bisa diajak koalisi. Anumtiko menunjukkan daftar nama yang ia rangkum, perangkat komunikasi yang disiapkan, dan beberapa rencana aksi yang sudah matang. “Kau lihat?” kata Paraduta, bangga. “Kau sudah menyiapkan bekal. Sekarang tambahkan satu hal, waktu untuk mendengar.”


Malam semakin rapat di kampus. Lampu-lampu jalan menebar lingkaran kuning. Mereka berjalan perlahan menuju cafe kecil yang masih buka, tempat aktivis-academic sering bercampur membuat rencana. Di depan pintu, Anumtiko menoleh. “Bapak,” katanya ragu, “apakah kau pernah menyesal memilih jalur ini? Menjadi pegiat, menjadi pembuat gaduh?” Pertanyaan ini bukan retoris; ia menunggu jawaban yang manusiawi.


Paraduta menatap langit, menimbang kata-kata, lalu berkata dengan lembut: “Aku pernah merasa marah lebih sering daripada terharu, Nak. Aku pernah melewatkan ulang tahun anakku karena rapat yang tak kunjung usai. Aku pernah mempertaruhkan hubungan. Tapi aku tidak menyesal karena aku tahu, meski demikian sulit ini adalah jalan yang membentuk siapa aku. Namun kalau kau bertanya tentang penyesalan satu-satunya, mungkin aku menyesal kalau sempat lupa untuk pulang. Pulang untuk menjadi ayah, bukan hanya untuk menceritakan kisah pahlawan.”


Anumtiko menunduk, menyerap, lalu meletakkan kedua tangan di pundak ayahnya. “Kalau begitu, pulanglah lebih sering, Pak. Biarkan dirimu pulih di rumah.” Ia tersenyum, dan ada tekad di balik senyum itu, bukan untuk menuntut, melainkan sebagai undangan untuk menjaga diri sendiri.


Percakapan itu berakhir bukan dengan resolusi magis, melainkan dengan serangkaian keputusan kecil. Mereka akan membuat tim riset yang satu bagian fokus pada advokasi, satu bagian fokus pada pendampingan komunitas, dan satu bagian lagi akan mengurusi pendidikan publik agar narasi tak terbang tinggi menjadi retorika. Mereka sepakat pada satu prinsip sederhana: “Kita turun, tapi kita juga membekali.”


Di hari-hari berikutnya, inisiatif itu berubah menjadi gerakan yang konsisten, seminar di ruang fakultas, pertemuan lapangan di desa, pembuatan dokumen advokasi, dan yang paling penting pertemuan rutin keluarga yang membuat mereka sadar bahwa aktivisme yang baik lahir dari relasi yang sehat. Anak-anak mahasiswa belajar bercakap dengan petani tua, mahasiswa hukum belajar menginterview tetua adat dengan penuh hormat, dan generasi tua belajar memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan cerita mereka tanpa disalahtafsir.


Waktu berlalu. Di suatu sore ketika musim hujan mulai menyeret awan, Paraduta menerima pesan singkat dari Anumtiko; foto tumpukan dokumen, kertas yang siap dikirim ke kantor pemerintahan, dan catatan kecil: “Kita kirim esok pagi. Doakan.” Paraduta memandang foto itu, lalu membalas singkat: “Kapan kau makan siang? Jangan lupa pulang.” Sebuah pesan sederhana yang mungkin tampak kecil, namun menjadi pengingat paling kuat. Bahwa semua revolusi harus berjalan dengan perut yang penuh dan hati yang tidak kosong.


Beberapa bulan kemudian, ketika suara aksi di jalan menumbuhkan gema di beberapa kantor, ada kabar kecil tapi penting: sebuah kebijakan lokal dibuka untuk peninjauan kembali, panel konsultasi masyarakat akhirnya digelar, dan ada satu pertemuan di mana suara petani duduk di kursi yang semula kosong. Tidak semua berubah dalam sehari, tentu, tapi itu adalah bukti bahwa aktivisme yang berakar pada kasih bisa membuka celah-celah di tembok yang paling keras sekalipun.


Di tengah semua itu, Paraduta melihat anaknya berkembang. Ia bukan lagi replikator dari mimpi-mimpi ayahnya, melainkan pembawa mimpi baru yang menahan warisan lama tanpa mengulang kesalahan yang sama. Kadang mereka beradu pendapat soal prioritas, tentang kapan harus turun, tentang retorika, tapi selamanya ada tempat untuk mendengarkan. Di setiap perdebatan yang memanas, ada panaah lembut yang menyejukkan: kebiasaan menanyakan, “Apakah langkah ini menyembuhkan atau melukai?” Sebuah pertanyaan sederhana yang menjadi filter moral yang mereka bagi.


Pada akhirnya, yang paling membuat Paraduta bahagia bukan headline di koran, bukan keputusan pengadilan, melainkan momen-momen kecil. Ketika seorang nenek petani di Kakus Tuan tersenyum karena anaknya kini mempunyai tanah; ketika seorang perempuan nelayan di È Loppeh mengirim foto penyu yang kembali bertelur; ketika mahasiswa di kampus menyelenggarakan kelas publik tentang hak ulayat yang dipenuhi peserta dari berbagai usia. Semua itu adalah potret perjuangan yang tidak glamor, namun hakikatnya jauh lebih sulit ditaklukkan.


Di suatu malam yang lembut, ketika ranting pohon berbisik, Paraduta menulis di buku kecilnya, sebuah catatan yang ia rencanakan akan diwariskan ke anaknya:

“Aktivisme yang berakar pada kasih bukanlah kelemahan; ia adalah praktik memegang dua hal sekaligus: keberanian bertindak dan kebijaksanaan menahan. Ia menuntut kita menyiapkan strategi dan, lebih dari itu, menyiapkan hati. Bila kau menanam gagasan tanpa menanam empati, ia akan melonjak menjadi mesin yang menghancurkan. Bila kau menanam empati tanpa gagasan, ia akan menjadi perasaan yang mudah dipatahkan. Keduanya harus berakar.”


Di beranda kampus, di bawah cahaya temaram, Paraduta dan Anumtiko memandang kampus yang mereka cintai bukan sebagai medan perang, tetapi sebagai ladang kerja yang harus dirawat. Mereka tahu perjuangan ini akan dilanjutkan oleh banyak orang, oleh generasi yang mungkin membawa nama-nama lain, tetapi mereka pun tahu: akar akan terus tumbuh kalau ditopang oleh kasih yang tak berhenti mendidik.


Malam menutup pelan. Mereka pulang bersama, langkah mereka sinkron, bukan karena mereka selalu sepakat, melainkan karena mereka memilih tetap berjalan di jalan yang sama. Di dalam saku Paraduta masih ada lembaran esai itu, tertulis tangan anaknya sebuah cermin sederhana yang mengingatkannya bahwa menjadi pahlawan sejati sering dimulai dari keberanian untuk mendengarkan, dan berlanjut pada kesiapan memeluk luka, bukan menambahnya.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar