Paraduta menemukan Raden Putih pada suatu petang
ketika kelabu masih enggan runtuh sepenuhnya. Ia sedang duduk di beranda sebuah
rumah tua yang menghadap persawahan. Kentongan kecilnya tergantung di pinggang
seperti kalung yang tak pernah lepas. Dari jauh, seorang lelaki datang berjalan
pelan, langkahnya seperti menghitung tanah satu demi satu. Tubuhnya tegap,
meski tidak tinggi, rambutnya disisir rapi ke belakang, putih seperti kapas
padi yang menua. Mata lelaki itu dalam dan tenang, seperti sumur yang tahu
bagaimana menyimpan hujan. Wajahnya berkilah antara lembut dan keras. Orang
kampung yang lewat menunduk ketika ia melewati, tapi bukan karena takut melainkan
hormat alami yang tumbuh begitu saja di udara, asal usulnya tak perlu
dijelaskan.
“Raden Putih,” bisik seorang pemuda yang
membersihkan serambi. Nama itu jatuh lembut, seperti sesuatu yang kembali
ditemukan setelah lama hilang.
Raden Putih dari Sebakas, tokoh karismatik dari
Tujuh Kepuyangan, pendekar senyap yang kata-katanya membuat anak sukunya
mendengarkan layaknya musim menunggu hujan. Mereka yang mendengar sedikit
ucapnya merasa tubuhnya terikat pada tanya lama, tentang hak, tentang tanah,
tentang nama yang diwariskan dari nenek moyang. Kedatangan Raden Putih ke
kampung Paraduta bukanlah peristiwa kecil. Ia seperti batu yang dijatuhkan di
kolam lama, riaknya mengundang banyak telinga untuk terjaga.
Paraduta mengenalnya dari cerita-cerita tua bukan
hanya legenda, melainkan dokumen hidup yang disimpan pada kulit-kulit memori
orang tua. Raden Putih adalah nama yang selalu muncul ketika meja-meja
perundingan gagal: “Biarkan Raden Putih bicara,” kata mereka. Ia datang membawa
sesuatu yang lain dari orator biasa, bisikan sulur ketenangan dan beratnya
janji yang tak berisik. Ketika mereka berdua duduk di teras, di bawah permainan
kelambu malam, Paraduta merasakan ada sesuatu yang besar hendak dibuka.
“Dut,” sapanya akhirnya, memanggil dengan nama yang
membuat Paraduta menegap jantung. “Aku datang membawa surat lama.” Ia tidak
membuka kopernya segera. Ia seperti orang yang sedang menimbang kata. “Tentang
Dusun Silam.”
Dusun Silam, nama itu seperti alun yang tak habis
di bibir para tetua. Tanah keramat Tujuh Kepuyangan, dikurung antara dua sungai
dan dibentengi gunung, tempat ritual-ritual lama dilakoni agar hujan tetap
setia datang. Di sana, orang-orang tahu bagaimana menabur doa di sela-sela
barisan padi, bagaimana memanggil kembali jenang dan bayi. Tetapi selama
beberapa dekade, Dusun Silam seolah dicabut dari peta hak mereka. Negara,
dengan sertifikatnya yang dingin, mengklaim sebagian wilayah sebagai kawasan
yang harus “diatur”. Nama-nama modern menginjak nama-nama lama; peta baru
ditorehkan dengan tinta pemerintah, lalu tumpah. Desa kehilangan hak, ritual
kehilangan ruang, dan orang-orang yang pernah tertawa di bawah daun waru
menjadi bisu.
Raden Putih berkata pelan seperti bercerita kepada
rumput: “Ada surat dari nenek moyang yang disimpan di Sebakas. Surat itu
memanggil kami untuk pulang. Mereka bilang: ‘Jangan biarkan benteng-lada kami
menjadi kosong. Ada yang kehilangan nama.’ Aku datang menawar agar kita
berjalan bersama.”
Paraduta menatapnya. Hatinya terbuka seperti ladang
yang menerima benih. “Mengapa kau datang kemari, ke kampung kecil ini? Mengapa
tidak langsung ke pusat, ke kementerian?”
Raden Putih tersenyum samar. “Kerajaan yang hilang
tidak datang lewat meja. Ia harus dicari dengan kaki, dengan cerita, dengan
orang yang berani menengok ke akar. Aku tahu engkau, Dut. Kau bukan pemimpin
yang suka pamer suara. Kau pemimpin yang membuat suara lain layak diberitakan.
Aku tak butuh orasi, aku butuh orang yang mau mengangkat tulang kata-kata yang
hampir punah.”
Penggalan itu, sederhana, menjadi alasan yang
menawan. Paraduta merasakan panggilan yang sama yang dulu membuatnya memukul
kentongan di sanggar; panggilan yang kerap datang ketika kampung bernafas
tersengal karena negara yang rapi dan menderu. Ia menatap mata Raden Putih dan
melihat bayang-bayang sebuah perjalanan jauh melewati sungai-sungai kecil, menembus
jembatan bambu, mendaki jalur yang biasa dilalui srigala. “Dua sungai, pagar
gunung, lima jam berjalan kaki,” gumamnya, seolah menghitung durasi pertemuan
yang harus ia lakukan dengan takdir.
Mereka memutuskan: esoknya, sebelum subuh, mereka
berangkat.
Perjalanan ke Dusun Silam adalah pelajaran tentang
waktu. Jalan setapak yang menuju ke sana bukanlah jalur aspal yang mengundang
motor, ia adalah urat-urat tanah yang dimakan akar. Lima jam berjalan bukan
hitungan yang ringan, itu adalah cara
tanah membaca kesungguhan. Di awal langkah, desa-desa menyapa dengan suara yang
akrab: gongok ayam, tawa anak-anak, bau kopi dari tungku yang belum padam.
Bukit-bukit kecil terhampar seperti halaman-halaman buku, dan di sana-sini ada
tanda: batu bertulis, kayu yang diukir, bekas pancang yang dulu menandai batas
tanah. Setiap tanda itu adalah kata yang menunggu penceritaan ulang.
Raden Putih berjalan dengan langkah yang pelan
namun pasti, seakan sudah hafal ritme jejak. Di sampingnya, Paraduta membawa
ransel berisi peta, beberapa salinan petisi, dan sebuah buku catatan yang penuh
coretan. Di belakang mereka, beberapa pemuda dari organisasi Paraduta ikut
serta wajah-wajah yang tadinya bercakap dengan gagah di balai desa sekarang
tampak terpesona oleh gerak bumi. Ada yang membawa air, ada yang membawa bekal.
Mereka berbicara sedikit, kadang berjalan dalam keheningan yang berat. Ada doa
yang tak perlu diujarkan, ada pengamatan yang tidak memerlukan kata.
Jalan menyusur hutan bambu. Di sana, angin menabuh
lagu pada batang-batang. Pohon-pohon memberi naungan, tetapi juga menyimpan
suara burung yang tak dikenal. Ketika melewati anak sungai pertama, mereka
berhenti sebentar. Airnya jernih, melampias halus di atas batu. Raden Putih menunduk,
menciumnya seperti orang menyehatkan kerinduan. “Di sinilah nenek moyang
menabur sumpah. Jika tanah itu diambil, sungai akan menutup jalan,” katanya
entah pada siapa. Kata-katanya membawa rasa iba dan marah yang tumpang tindih. Mereka
semua mendengarkan seperti sedang menerima pantun yang harus dijawab.
Mendekati siang, mereka sampai pada tepi sungai
kedua. Sungai-sungai ini berkelindan bagai dua tangan yang saling merangkul
Dusun Silam: nama sungai pertama, Sungai Liran, bernyanyi riang; sungai kedua, Sungai
Lembat, bernada lebih dalam. Di antara keduanya, tanah Dusun Silam terhimpun
seperti taman tertutup. Di kejauhan, pagar gunung berdiri tegap: ridgeline yang
menahan angin, dan menanti doa. Peta yang mereka pegang tak memberi tahu
segalanya. Ada bagian yang hanya bisa dipahami oleh batu, oleh akar, oleh orang
yang tahu bahasa sungai.
Ketika akhirnya kaki mereka menapaki tanah Dusun
Silam, suasana berubah menjadi hening yang anggun. Tak ada yang berteriak
menyambut mereka; yang terjadi adalah serangkaian gestur: seorang wanita tua
menaruh panci di atas tungku, seorang bocah menggulung benih, beberapa lelaki
menyapu halaman. Nenek-nenek menoleh, lalu menaruh kain pada kepala tanda
hormat sederhana. Raden Putih menundukkan kepala, memberikan salam. Orang-orang
menjawab seperti mereka sudah mengenal lelaki itu sejak lama, meski mungkin tak
pernah bertemu. Ada keyakinan yang tidak perlu ditanyai, ketika Raden Putih
datang, membawa nama, tanah akan bicara.
Dusun Silam adalah sebuah arena kecil yang memadatkan
sejarah. Rumah-rumahnya rendah, beratap rumbia yang sudah dimakan usia;
pekarangan dipenuhi tanaman obat, kembang, dan rumpun padi yang tak terlalu
lebar namun penuh tumpuan. Di bawah pondasi ada nisan kecil yang ditandai
dengan ukiran tanda-tanda leluhur yang sinis namun lembut. Anak-anak bermain di
antara rumpun serai, menendang bola yang terbuat dari daun. Di tengah desa, ada
lapangan kecil, dahulu tempat pertemuan kekuatan tujuh kepuyangan. Di sanalah
nanti mereka akan berkumpul, berbicara tentang apa yang akan ia lakukan.
Raden Putih duduk di atas batu tua di depan balai
desa dan mengeluarkan surat tua dari dalam pakaiannya. Surat itu dibungkus kain
hitam, bau kemenyan mengingatkan pada upacara lama. Ia membuka pembungkus
perlahan, membiarkan orang-orang desa mengatur napas. Di antara keriput surat
itu tercantum nama-nama yang hanya dikenal dalam bisik-bisik: para leluhur yang
menanam benih, yang memberi batas, yang memanggil sungai. Di sana tercantum
pula tanda-tanda perjanjian bahwa tanah ini adalah tanah Tujuh Kepuyangan,
diberikan sebagai amanat untuk anak cucu mereka, dan tidak boleh diambil
kecuali dengan kesepakatan seluruh suku.
Orang-orang desa melihat surat itu seperti melihat
wajah yang hilang dan lama dirindukan. Beberapa orang menitikkan air mata.
Paraduta merasakan bahunya sedikit bergetar. Ia tahu, surat itu bukan sekadar
kertas; ia adalah bukti berjalin antara manusia dan waktu.
“Kenapa surat ini tidak dipegang oleh pihak resmi?”
tanya Paraduta. “Mengapa ia baru muncul sekarang?”
Raden Putih menutup mata sejenak. “Karena waktu
memilih siapa yang akan membacanya lagi. Ada masa ketika surat itu dipaksa
masuk ke gudang, lalu beberapa nama dihapus dari daftar. Ada masa ketika negara
bilang ‘ini kawasan kami untuk dikelola.’ Kita diam, bukan karena kita lupa,
tapi karena kita tersingkir. Kini nenek moyang memanggil. Mereka meminta kita
pulang namanya.”
Kemudian Raden Putih mengangkat kepala dan menatap
Paraduta seperti orang yang menanyakan saksi di depan altar. “Kau mau
bersamaku, Dut?”
Paraduta menelan. Ia menatap wajah-wajah yang
mengerubung di sana, mereka tidak meminta retorika. Mereka hanya memerlukan
seseorang yang tidak akan menjual mereka pada kata ‘perubahan’ yang bermakna
tunai. “Aku akan jalan,” jawabnya. Suaranya sederhana, tetapi tegas.
Misi mengembalikan martabat Dusun Silam bukan tugas
yang siap-saji. Mereka harus memetakan bukti, meminjam arsip di kota, memanggil
saksi, dan yang paling sulit: membuat negara melihat bahwa tanah yang diklaim
sebagai lahan pengelolaan itu pernah menjadi jantung masyarakat. Di malam-malam
pertama di Dusun Silam, Paraduta dan Raden Putih berjalan bersama anak cucu
tua, menanyakan siapa yang pernah menanam pohon banyan itu, siapa yang pernah
menuliskan nama di batu yang retak. Cerita-cerita itu tidak selalu sejalur
dengan dokumen. Mereka adalah benang kecil yang, jika dirangkai, bisa menjadi
kain besar.
Raden Putih bercerita tentang Tujuh Kepuyangan,
tentang garis-garis adat yang membatasi tanah, tentang upacara yang hanya boleh
dilaksanakan oleh anak keturunan tertentu. Ia berbicara seperti orang yang
menuturkan doa, bukan kata politik. Anak-anak sukunya mendengarkan seolah
menunggu kunci. Mereka percaya pada ketegasan yang tidak berteriak.
“Ada nama yang tidak boleh dilupakan,” katanya.
“Kita tidak meminta dunia untuk mengubah peta secara membabi buta. Kita meminta
dunia untuk mengingat. Ingatan itu sudah menjadi hukum sejak nenek moyang.”
Kendala yang mereka hadapi adalah mesin modern berupa
sertifikat tanah, peta digital, perusahaan yang menaruh alat berat pada pinggiran.
Dalam rapat di kantor kecamatan, polisi dan pejabat datang dengan wajah
diplomatik, menawarkan “solusi” yang selalu berbunyi manis: kompensasi,
relokasi, pembangunan infrastruktur. Tapi di Dusun Silam, relokasi berarti
memisahkan ritual, memecah garis keluarga, menukar mata air dengan jalan raya.
“Bagaimana menjamin bahwa anak cucu akan tetap
punya tempat menabur doa?” tanya Raden Putih pada pertemuan itu. Pejabat itu
memandang seperti benda asing. “Perizinan adalah urusan administratif,”
jawabnya. Kata administratif itu bagai pisau yang tak peduli akan akar.
Paraduta menulis kronik pertemuan dengan rapi. Ia
menyiapkan petisi, mengumpulkan tanda tangan, dan yang paling penting mengajak
akademisi untuk melakukan verifikasi sejarah. Mereka membawa sejarawan lokal,
antropolog, dan peneliti peta lama. Tugas-tugas itu seperti merangkai jaring
yang semakin hari semakin padat. Di antara upaya legal itu, Raden Putih dan
para tetua tetap menjaga tradisi, menanam kembali pohon, makan bersama,
bermandikan padi di musim panen, dan pada malam tertentu melakukan malam pengingat,
upacara kecil yang memanggil nenek moyang untuk menyertai langkah.
Di sebuah malam yang sunyi, ketika matahari batal
menunjukkan wajahnya di balik kabut, mereka duduk bersama menatap peta lama.
Peta itu kuno, bergambar tangan, dengan garis-garis yang sedikit pudar. Di
sana, Dusun Silam terlihat seperti pulau kecil yang dilingkupi dua gelungan
sungai. Tujuh titik di peta itu adalah kuburan kecil, masing-masing menandai
leluhur dari Tujuh Kepuyangan. “Inilah bukti,” kata Raden Putih. “Bukan hanya kata,
tapi ruang.”
Upaya hukum mulai berbuah. Warga Dusun Silam, yang
kini bersatu seperti ikat padi, berhasil membuat pengajuan keberatan atas
keklaiman perusahaan. Media lokal mulai datang; frekuensi perhatian publik
naik. Di sisi lain, tekanan ekonomi meningkat, perusahaan melobi pejabat
setempat, menawarkan paket-paket yang menggoda beberapa keluarga miskin. “Ambil
uang itu, nanti bisa hidup lebih baik,” bisik seorang broker. Keberadaan uang
dihadapkan pada argumen moral. Bertahan atau menerima.
Di tengah badai itu, Paraduta dan Raden Putih
bekerja dengan strategi ganda. Pengadilan sebagai arena formal, ritual sebagai
arena moral. Mereka sadar bahwa hukum modern sering berjalan lambat, dan
ketahanan masyarakat diuji oleh kebutuhan harian. Raden Putih, dengan suaranya
yang seolah tanpa beban, mengundang warga untuk bicara tentang harga yang tak
ternilai. Nama pohon, langgam lagu, dan anak cucu yang akan menabur kelak.
“Kalau kita menyerah,” bisiknya, “kita menyerah bukan pada tanah, kita menyerah
pada ingatan.”
Paraduta mengagumi cara Raden Putih memegang
keseimbangan. Seorang pemimpin adat yang tidak taktis, namun berakar.
Kharismanya bukan sekadar retorika, ia terlihat di cara perempuan tua
mengedipkan mata pada perintahnya, pada cara anak sukunya membelai batu nisan
ketika ia lewat. Ketika sebuah pertemuan besar diadakan di balai kecamatan, dan
pejabat-pejabat mendatangi dengan dokumen tebal, Raden Putih berdiri tegak di
barisan warga, tanpa berteriak, tetapi menaruh damai yang menantang.
Konfrontasi terjadi saat perusahaan membawa tim
teknis dan pengamanan ke dekat batas Dusun Silam. Suatu pagi, alat berat muncul
seperti binatang baja yang tak tahu hormat. Warga berkumpul, menaruh tubuh
mereka di antara mesin dan batas tanah. Beberapa pemuda berteriak, beberapa
ibu-ibu memohon, namun hati warga mayoritas keras seperti batu. Paraduta
memimpin barisan, menata strategi sementara Raden Putih berdiri di belakang
dengan mata tertutup, tangannya dilipat pada kain hitam sebagai lambang
berkabung jika perlu. Ia tidak menggerutu, ia tidak memerintahkan, kehadirannya
saja sudah membuat nyali orang lain lebih tebal.
Ketika polisi mencoba memaksa membuka jalan, Raden
Putih melangkah maju. Ia menatap komandan polisi, lalu menunjuk ke peta kuno
yang dipegang Paraduta. “Ini bukan sekadar sebidang tanah,” katanya. “Ini rumah
doa, rumah ingatan. Jika kalian ingin bukti, lihatlah alur sungai, lihatlah
kuburan yang ditandai tujuh. Jika kalian ingin aturan, tanyalah pada nenek
moyang kami.” Ucapannya tenang tetapi mengandung bahaya. Ia tidak berdebat
dengan hukum administratif, ia berdebat dengan akal nurani. Komandan terdiam
sejenak, lalu memberi isyarat. Situasi mereda, bukan karena pihak negara
berubah hati, tetapi karena malu dan publisitas. Kamera-kamera lokal sudah ada
di beberapa sudut, dan warga mendokumentasikan setiap gerak.
Di tengah peristiwa itu, Raden Putih jatuh sakit.
Bukan karena pertempuran, melainkan karena beban lama yang tiba-tiba menekan.
Paraduta menemukannya di pondok kecilnya, berbaring dengan napas pelan. “Sudah
lama aku menunggu,” katanya sesak. “Tuhan memberi aku usia untuk menuntun ini.
Kalau aku tidak menyelesaikannya, kalian harus teruskan.” Paraduta menggenggam
tangan Raden Putih seperti anak yang menahan tangisan. Kata-kata itu
menguatkannya. Perjuangan bukan hanya soal sekarang, tetapi soal kontinuitas.
Akhirnya, beberapa langkah hukum berpihak kepada
Dusun Silam. Pengadilan administratif mengeluarkan keputusan penghitungan lebih
lanjut; ada pembekuan operasional sementara. Kemenangan itu tidak sempurna
bukan kemenangan yang mengangkat semua masalah tetapi ia adalah tanda bahwa
ingatan bisa ditegakkan di meja hukum. Di Dusun Silam, pesta kecil diadakan;
anak-anak menari, ibu-ibu menanak nasi, dan tetua membacakan doa. Di sana
Paraduta melihat Raden Putih tersenyum tipis, matanya redup seperti lilin yang
enggan padam.
Namun, kemenangan yang dihasilkan menyeret
rencana-rencana baru. Perusahaan menggulirkan penawaran yang lebih canggih,
pejabat baru datang dengan program-program “pemberdayaan” yang tampak baik
tetapi berisiko merubah struktur adat. Ada proses “negosiasi halus” yang
menuntut keteguhan. Raden Putih yang lembut namun tegas, mulai merasakan
tekanan. Ia tahu, menjaga martabat berarti menolak tawaran yang menyelipkan
ujung pedang di balik manisnya janji.
Pada akhirnya, Dusun Silam mempertahankan sebagian
besar tanah inti yang paling keramat. Tujuh kuburan leluhur, dua sungai yang
memeluk, dan sebagian ladang paling berharga. Sejumlah area yang dianggap “tidak
produktif” disepakati untuk menjadi ruang publik yang dikelola bersama, dengan
perjanjian bahwa perubahan besar harus disetujui oleh majelis adat. Dalam rapat
besar yang diselenggarakan di lapangan, Raden Putih berdiri dan mengangkat
tangan kecil untuk memimpin penutupan. Ia memanggil Paraduta, lalu berkata:
“Kau melihat, Dut? Tanah ini berpagar bukan oleh manusia semata, melainkan oleh
ingatan. Terima kasih telah berjalan jauh.”
Paraduta, yang kerap menulis nama-nama di buku
kecilnya, menambahkan huruf lain pada catatannya. Bukan hanya soal legal,
tetapi soal kehormatan yang dipegang bersama. Ia memandang Raden Putih dan
mengetahui, dengan kepastian aneh yang menenangkan, bahwa perjuangan itu tidak
akan pernah selesai, namun ada tugas yang mulia, menjaga agar ingatan tetap
hidup, memberi ruang pada anak cucu untuk menuntun nama lama ke generasi baru.
Di malam penutup itu, ketika bintang-bintang
menatap seperti mata seribu, Raden Putih duduk di pinggir sungai dan memandang
air yang berurai. Ia lalu membisikkan sesuatu ke Paraduta, yang duduk tak jauh
darinya. “Kalau boleh aku titip satu hal,” katanya pelan. “Jika suatu hari aku
pergi lebih dulu, kamu yang akan menjadi pengikat nama. Jangan biarkan surat
itu terlipat lagi.”
Paraduta menunduk, menyentuh tangan lelaki itu
dengan penuh hormat. “Aku janji.”
Kata-kata itu bukan sumpah seremonial. Di Dusun
Silam, janji adalah kunci yang menahan sejarah agar tidak tercerabut. Ia tidak
dipandang remeh; ia diangkat sebagai batu penjuru bagi generasi yang datang
nanti.
Beberapa bulan kemudian, ketika musim panen mulai
rapi seperti barisan anak yang sudah belajar menghitung, Dusun Silam menjadi
tempat yang hidup kembali. Anak-anak menuntun kambing di sekitar kuburan tua,
orang-orang menenun kisah lama pada kain yang dipakai untuk menutup beras.
Salam-salam lama kembali bergema di lorong-lorong, dan peta lama dijadikan
bahan ajar di sekolah desa. Raden Putih, walau usianya mulai terlihat di
ujung-ujung kulitnya, masih berjalan di antara mereka, sering duduk di batu tua
dan mendengar anak-anak membaca nama-nama. Ia sering terlihat memegang surat
tua itu, membawanya seperti seseorang membawa api kecil; inilah yang tak pernah
dimatikan.
Paraduta tahu, perjalanan itu lebih dari kemenangan
hukum. Ia belajar sesuatu yang tak biasa bahwa memperjuangkan tanah bukan
menuntut kemenangan spektakuler, tetapi mengajarkan manusia kembali bagaimana
menata hari. Ketika orang tidak lagi takut kehilangan nama, ia menjadi pandai
memberi nama pada hal-hal baru, pada sekolah, kolam, dan ruang publik yang
dirawat bersama. Paraduta menulis di buku catatannya: “Perlawanan besar sering
lahir dari doa-doa kecil yang tak pernah putus.”
Raden Putih perlahan mengundurkan diri dari
pertemuan yang menguras tenaga, menggantinya dengan majelis yang melibatkan
pemuda. Ia menaruh harap pada anak-anak yang kini sederhana namun tegar. Ia
sering menjenguk desa-desa lain, mengajak mereka belajar bagaimana merawat
batas, dan bicara mengenai hak-hak yang tidak dapat ditawar. Suatu sore, saat
matahari telah menipiskan sinarnya, Paraduta menemukan Raden Putih duduk
sendiri, menulis di batu: sesuatu yang tidak bisa dibaca kecuali oleh mereka
yang bisa membaca tanda.
“Apa yang kau tulis?” tanya Paraduta.
Raden Putih menoleh, tersenyum. “Daftar nama yang
harus kau ingat. Bukan hanya nama orang, tapi nama pohon, nama sungai, dan
nama-nama yang harus kau titip pada generasi. Jika kamu lupa, kau akan
kehilangan cara bicara pada tanah.”
Paraduta mengangguk. Ia mengerti bahwa tugasnya
kini lebih berat: bukan hanya menulis peristiwa di buku catatan, tetapi
menularkan cara mengingat. Ia kembali meneruskan pekerjaannya membangun
jaringan, menulis kronik, mengajar pemuda. Namun ia membawa sebuah mantra baru:
“Jangan hanya menuntut dokumen; tuntut ingatan.”
Cerita Dusun Silam tidak berakhir rapi seperti buku
yang ditutup. Ia adalah jenis kisah yang terus terjalin, ada bab-bab yang
tercoret, ada bab-bab yang disempurnakan oleh tangan-tangan generasi baru. Di
sana, Raden Putih duduk seperti paman tua yang memelototi cucu-cucunya agar
tidak lupa berdoa sebelum menanam padi. Di sana, Paraduta terus memukul
kentongan kecilnya ketika ada kabar yang harus dibawa. Tanah itu tetap
bernyanyi, namun nadanya kini lebih kaya karena selain hangatnya padi, ada juga
suara hukum, suara anak muda, dan suara dari orang-orang yang tidak rela nama
nenek moyangnya menjadi sekadar nama di peta.
Dan ketika suatu malam Paraduta menulis surat
panjang untuk dirinya sendiri, ia menutupnya dengan kalimat yang ia harap tidak
akan pernah hilang: “Kepada yang akan datang: Jangan pernah anggap tanah
sebagai barang yang bisa dibeli, ia adalah memori yang harus dijaga. Jika kita
lupa menjaga memori, kita bukan pemilik, tetapi sekadar pelintas.”
Raden Putih menatap langit yang kelabu itu, lalu
berkata: “Biarkan memori menjadi undang-undang yang tak kalah kuat dari tinta
di kantor.” Dan di Dusun Silam, di bawah pagar gunung dan di tengah pelukan dua
sungai, para keturunan Tujuh Kepuyangan mengangguk, memegang surat tua itu, dan
memulai halaman baru dalam cerita mereka sebuah narasi tentang martabat yang
kembali, tentang nama yang tak dijual, dan tentang tanah yang pada akhirnya,
pulang.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar