Dusun Silam dan Tanah yang Pulang - Erwin Basrin

Breaking

Recent Posts

 photo Untitled-1_1.jpg

Kamis, 06 November 2025

Dusun Silam dan Tanah yang Pulang

 


Paraduta menemukan Raden Putih pada suatu petang ketika kelabu masih enggan runtuh sepenuhnya. Ia sedang duduk di beranda sebuah rumah tua yang menghadap persawahan. Kentongan kecilnya tergantung di pinggang seperti kalung yang tak pernah lepas. Dari jauh, seorang lelaki datang berjalan pelan, langkahnya seperti menghitung tanah satu demi satu. Tubuhnya tegap, meski tidak tinggi, rambutnya disisir rapi ke belakang, putih seperti kapas padi yang menua. Mata lelaki itu dalam dan tenang, seperti sumur yang tahu bagaimana menyimpan hujan. Wajahnya berkilah antara lembut dan keras. Orang kampung yang lewat menunduk ketika ia melewati, tapi bukan karena takut melainkan hormat alami yang tumbuh begitu saja di udara, asal usulnya tak perlu dijelaskan.

“Raden Putih,” bisik seorang pemuda yang membersihkan serambi. Nama itu jatuh lembut, seperti sesuatu yang kembali ditemukan setelah lama hilang.

Raden Putih dari Sebakas, tokoh karismatik dari Tujuh Kepuyangan, pendekar senyap yang kata-katanya membuat anak sukunya mendengarkan layaknya musim menunggu hujan. Mereka yang mendengar sedikit ucapnya merasa tubuhnya terikat pada tanya lama, tentang hak, tentang tanah, tentang nama yang diwariskan dari nenek moyang. Kedatangan Raden Putih ke kampung Paraduta bukanlah peristiwa kecil. Ia seperti batu yang dijatuhkan di kolam lama, riaknya mengundang banyak telinga untuk terjaga.

Paraduta mengenalnya dari cerita-cerita tua bukan hanya legenda, melainkan dokumen hidup yang disimpan pada kulit-kulit memori orang tua. Raden Putih adalah nama yang selalu muncul ketika meja-meja perundingan gagal: “Biarkan Raden Putih bicara,” kata mereka. Ia datang membawa sesuatu yang lain dari orator biasa, bisikan sulur ketenangan dan beratnya janji yang tak berisik. Ketika mereka berdua duduk di teras, di bawah permainan kelambu malam, Paraduta merasakan ada sesuatu yang besar hendak dibuka.

“Dut,” sapanya akhirnya, memanggil dengan nama yang membuat Paraduta menegap jantung. “Aku datang membawa surat lama.” Ia tidak membuka kopernya segera. Ia seperti orang yang sedang menimbang kata. “Tentang Dusun Silam.”

Dusun Silam, nama itu seperti alun yang tak habis di bibir para tetua. Tanah keramat Tujuh Kepuyangan, dikurung antara dua sungai dan dibentengi gunung, tempat ritual-ritual lama dilakoni agar hujan tetap setia datang. Di sana, orang-orang tahu bagaimana menabur doa di sela-sela barisan padi, bagaimana memanggil kembali jenang dan bayi. Tetapi selama beberapa dekade, Dusun Silam seolah dicabut dari peta hak mereka. Negara, dengan sertifikatnya yang dingin, mengklaim sebagian wilayah sebagai kawasan yang harus “diatur”. Nama-nama modern menginjak nama-nama lama; peta baru ditorehkan dengan tinta pemerintah, lalu tumpah. Desa kehilangan hak, ritual kehilangan ruang, dan orang-orang yang pernah tertawa di bawah daun waru menjadi bisu.

Raden Putih berkata pelan seperti bercerita kepada rumput: “Ada surat dari nenek moyang yang disimpan di Sebakas. Surat itu memanggil kami untuk pulang. Mereka bilang: ‘Jangan biarkan benteng-lada kami menjadi kosong. Ada yang kehilangan nama.’ Aku datang menawar agar kita berjalan bersama.”

Paraduta menatapnya. Hatinya terbuka seperti ladang yang menerima benih. “Mengapa kau datang kemari, ke kampung kecil ini? Mengapa tidak langsung ke pusat, ke kementerian?”

Raden Putih tersenyum samar. “Kerajaan yang hilang tidak datang lewat meja. Ia harus dicari dengan kaki, dengan cerita, dengan orang yang berani menengok ke akar. Aku tahu engkau, Dut. Kau bukan pemimpin yang suka pamer suara. Kau pemimpin yang membuat suara lain layak diberitakan. Aku tak butuh orasi, aku butuh orang yang mau mengangkat tulang kata-kata yang hampir punah.”

Penggalan itu, sederhana, menjadi alasan yang menawan. Paraduta merasakan panggilan yang sama yang dulu membuatnya memukul kentongan di sanggar; panggilan yang kerap datang ketika kampung bernafas tersengal karena negara yang rapi dan menderu. Ia menatap mata Raden Putih dan melihat bayang-bayang sebuah perjalanan jauh melewati sungai-sungai kecil, menembus jembatan bambu, mendaki jalur yang biasa dilalui srigala. “Dua sungai, pagar gunung, lima jam berjalan kaki,” gumamnya, seolah menghitung durasi pertemuan yang harus ia lakukan dengan takdir.

Mereka memutuskan: esoknya, sebelum subuh, mereka berangkat.

Perjalanan ke Dusun Silam adalah pelajaran tentang waktu. Jalan setapak yang menuju ke sana bukanlah jalur aspal yang mengundang motor, ia adalah urat-urat tanah yang dimakan akar. Lima jam berjalan bukan hitungan yang ringan,  itu adalah cara tanah membaca kesungguhan. Di awal langkah, desa-desa menyapa dengan suara yang akrab: gongok ayam, tawa anak-anak, bau kopi dari tungku yang belum padam. Bukit-bukit kecil terhampar seperti halaman-halaman buku, dan di sana-sini ada tanda: batu bertulis, kayu yang diukir, bekas pancang yang dulu menandai batas tanah. Setiap tanda itu adalah kata yang menunggu penceritaan ulang.

Raden Putih berjalan dengan langkah yang pelan namun pasti, seakan sudah hafal ritme jejak. Di sampingnya, Paraduta membawa ransel berisi peta, beberapa salinan petisi, dan sebuah buku catatan yang penuh coretan. Di belakang mereka, beberapa pemuda dari organisasi Paraduta ikut serta wajah-wajah yang tadinya bercakap dengan gagah di balai desa sekarang tampak terpesona oleh gerak bumi. Ada yang membawa air, ada yang membawa bekal. Mereka berbicara sedikit, kadang berjalan dalam keheningan yang berat. Ada doa yang tak perlu diujarkan, ada pengamatan yang tidak memerlukan kata.

Jalan menyusur hutan bambu. Di sana, angin menabuh lagu pada batang-batang. Pohon-pohon memberi naungan, tetapi juga menyimpan suara burung yang tak dikenal. Ketika melewati anak sungai pertama, mereka berhenti sebentar. Airnya jernih, melampias halus di atas batu. Raden Putih menunduk, menciumnya seperti orang menyehatkan kerinduan. “Di sinilah nenek moyang menabur sumpah. Jika tanah itu diambil, sungai akan menutup jalan,” katanya entah pada siapa. Kata-katanya membawa rasa iba dan marah yang tumpang tindih. Mereka semua mendengarkan seperti sedang menerima pantun yang harus dijawab.

Mendekati siang, mereka sampai pada tepi sungai kedua. Sungai-sungai ini berkelindan bagai dua tangan yang saling merangkul Dusun Silam: nama sungai pertama, Sungai Liran, bernyanyi riang; sungai kedua, Sungai Lembat, bernada lebih dalam. Di antara keduanya, tanah Dusun Silam terhimpun seperti taman tertutup. Di kejauhan, pagar gunung berdiri tegap: ridgeline yang menahan angin, dan menanti doa. Peta yang mereka pegang tak memberi tahu segalanya. Ada bagian yang hanya bisa dipahami oleh batu, oleh akar, oleh orang yang tahu bahasa sungai.

Ketika akhirnya kaki mereka menapaki tanah Dusun Silam, suasana berubah menjadi hening yang anggun. Tak ada yang berteriak menyambut mereka; yang terjadi adalah serangkaian gestur: seorang wanita tua menaruh panci di atas tungku, seorang bocah menggulung benih, beberapa lelaki menyapu halaman. Nenek-nenek menoleh, lalu menaruh kain pada kepala tanda hormat sederhana. Raden Putih menundukkan kepala, memberikan salam. Orang-orang menjawab seperti mereka sudah mengenal lelaki itu sejak lama, meski mungkin tak pernah bertemu. Ada keyakinan yang tidak perlu ditanyai, ketika Raden Putih datang, membawa nama, tanah akan bicara.

Dusun Silam adalah sebuah arena kecil yang memadatkan sejarah. Rumah-rumahnya rendah, beratap rumbia yang sudah dimakan usia; pekarangan dipenuhi tanaman obat, kembang, dan rumpun padi yang tak terlalu lebar namun penuh tumpuan. Di bawah pondasi ada nisan kecil yang ditandai dengan ukiran tanda-tanda leluhur yang sinis namun lembut. Anak-anak bermain di antara rumpun serai, menendang bola yang terbuat dari daun. Di tengah desa, ada lapangan kecil, dahulu tempat pertemuan kekuatan tujuh kepuyangan. Di sanalah nanti mereka akan berkumpul, berbicara tentang apa yang akan ia lakukan.

Raden Putih duduk di atas batu tua di depan balai desa dan mengeluarkan surat tua dari dalam pakaiannya. Surat itu dibungkus kain hitam, bau kemenyan mengingatkan pada upacara lama. Ia membuka pembungkus perlahan, membiarkan orang-orang desa mengatur napas. Di antara keriput surat itu tercantum nama-nama yang hanya dikenal dalam bisik-bisik: para leluhur yang menanam benih, yang memberi batas, yang memanggil sungai. Di sana tercantum pula tanda-tanda perjanjian bahwa tanah ini adalah tanah Tujuh Kepuyangan, diberikan sebagai amanat untuk anak cucu mereka, dan tidak boleh diambil kecuali dengan kesepakatan seluruh suku.

Orang-orang desa melihat surat itu seperti melihat wajah yang hilang dan lama dirindukan. Beberapa orang menitikkan air mata. Paraduta merasakan bahunya sedikit bergetar. Ia tahu, surat itu bukan sekadar kertas; ia adalah bukti berjalin antara manusia dan waktu.

“Kenapa surat ini tidak dipegang oleh pihak resmi?” tanya Paraduta. “Mengapa ia baru muncul sekarang?”

Raden Putih menutup mata sejenak. “Karena waktu memilih siapa yang akan membacanya lagi. Ada masa ketika surat itu dipaksa masuk ke gudang, lalu beberapa nama dihapus dari daftar. Ada masa ketika negara bilang ‘ini kawasan kami untuk dikelola.’ Kita diam, bukan karena kita lupa, tapi karena kita tersingkir. Kini nenek moyang memanggil. Mereka meminta kita pulang namanya.”

Kemudian Raden Putih mengangkat kepala dan menatap Paraduta seperti orang yang menanyakan saksi di depan altar. “Kau mau bersamaku, Dut?”

Paraduta menelan. Ia menatap wajah-wajah yang mengerubung di sana, mereka tidak meminta retorika. Mereka hanya memerlukan seseorang yang tidak akan menjual mereka pada kata ‘perubahan’ yang bermakna tunai. “Aku akan jalan,” jawabnya. Suaranya sederhana, tetapi tegas.

Misi mengembalikan martabat Dusun Silam bukan tugas yang siap-saji. Mereka harus memetakan bukti, meminjam arsip di kota, memanggil saksi, dan yang paling sulit: membuat negara melihat bahwa tanah yang diklaim sebagai lahan pengelolaan itu pernah menjadi jantung masyarakat. Di malam-malam pertama di Dusun Silam, Paraduta dan Raden Putih berjalan bersama anak cucu tua, menanyakan siapa yang pernah menanam pohon banyan itu, siapa yang pernah menuliskan nama di batu yang retak. Cerita-cerita itu tidak selalu sejalur dengan dokumen. Mereka adalah benang kecil yang, jika dirangkai, bisa menjadi kain besar.

Raden Putih bercerita tentang Tujuh Kepuyangan, tentang garis-garis adat yang membatasi tanah, tentang upacara yang hanya boleh dilaksanakan oleh anak keturunan tertentu. Ia berbicara seperti orang yang menuturkan doa, bukan kata politik. Anak-anak sukunya mendengarkan seolah menunggu kunci. Mereka percaya pada ketegasan yang tidak berteriak.

“Ada nama yang tidak boleh dilupakan,” katanya. “Kita tidak meminta dunia untuk mengubah peta secara membabi buta. Kita meminta dunia untuk mengingat. Ingatan itu sudah menjadi hukum sejak nenek moyang.”

Kendala yang mereka hadapi adalah mesin modern berupa sertifikat tanah, peta digital, perusahaan yang menaruh alat berat pada pinggiran. Dalam rapat di kantor kecamatan, polisi dan pejabat datang dengan wajah diplomatik, menawarkan “solusi” yang selalu berbunyi manis: kompensasi, relokasi, pembangunan infrastruktur. Tapi di Dusun Silam, relokasi berarti memisahkan ritual, memecah garis keluarga, menukar mata air dengan jalan raya.

“Bagaimana menjamin bahwa anak cucu akan tetap punya tempat menabur doa?” tanya Raden Putih pada pertemuan itu. Pejabat itu memandang seperti benda asing. “Perizinan adalah urusan administratif,” jawabnya. Kata administratif itu bagai pisau yang tak peduli akan akar.

Paraduta menulis kronik pertemuan dengan rapi. Ia menyiapkan petisi, mengumpulkan tanda tangan, dan yang paling penting mengajak akademisi untuk melakukan verifikasi sejarah. Mereka membawa sejarawan lokal, antropolog, dan peneliti peta lama. Tugas-tugas itu seperti merangkai jaring yang semakin hari semakin padat. Di antara upaya legal itu, Raden Putih dan para tetua tetap menjaga tradisi, menanam kembali pohon, makan bersama, bermandikan padi di musim panen, dan pada malam tertentu melakukan malam pengingat, upacara kecil yang memanggil nenek moyang untuk menyertai langkah.

Di sebuah malam yang sunyi, ketika matahari batal menunjukkan wajahnya di balik kabut, mereka duduk bersama menatap peta lama. Peta itu kuno, bergambar tangan, dengan garis-garis yang sedikit pudar. Di sana, Dusun Silam terlihat seperti pulau kecil yang dilingkupi dua gelungan sungai. Tujuh titik di peta itu adalah kuburan kecil, masing-masing menandai leluhur dari Tujuh Kepuyangan. “Inilah bukti,” kata Raden Putih. “Bukan hanya kata, tapi ruang.”

Upaya hukum mulai berbuah. Warga Dusun Silam, yang kini bersatu seperti ikat padi, berhasil membuat pengajuan keberatan atas keklaiman perusahaan. Media lokal mulai datang; frekuensi perhatian publik naik. Di sisi lain, tekanan ekonomi meningkat, perusahaan melobi pejabat setempat, menawarkan paket-paket yang menggoda beberapa keluarga miskin. “Ambil uang itu, nanti bisa hidup lebih baik,” bisik seorang broker. Keberadaan uang dihadapkan pada argumen moral. Bertahan atau menerima.

Di tengah badai itu, Paraduta dan Raden Putih bekerja dengan strategi ganda. Pengadilan sebagai arena formal, ritual sebagai arena moral. Mereka sadar bahwa hukum modern sering berjalan lambat, dan ketahanan masyarakat diuji oleh kebutuhan harian. Raden Putih, dengan suaranya yang seolah tanpa beban, mengundang warga untuk bicara tentang harga yang tak ternilai. Nama pohon, langgam lagu, dan anak cucu yang akan menabur kelak. “Kalau kita menyerah,” bisiknya, “kita menyerah bukan pada tanah, kita menyerah pada ingatan.”

Paraduta mengagumi cara Raden Putih memegang keseimbangan. Seorang pemimpin adat yang tidak taktis, namun berakar. Kharismanya bukan sekadar retorika, ia terlihat di cara perempuan tua mengedipkan mata pada perintahnya, pada cara anak sukunya membelai batu nisan ketika ia lewat. Ketika sebuah pertemuan besar diadakan di balai kecamatan, dan pejabat-pejabat mendatangi dengan dokumen tebal, Raden Putih berdiri tegak di barisan warga, tanpa berteriak, tetapi menaruh damai yang menantang.

Konfrontasi terjadi saat perusahaan membawa tim teknis dan pengamanan ke dekat batas Dusun Silam. Suatu pagi, alat berat muncul seperti binatang baja yang tak tahu hormat. Warga berkumpul, menaruh tubuh mereka di antara mesin dan batas tanah. Beberapa pemuda berteriak, beberapa ibu-ibu memohon, namun hati warga mayoritas keras seperti batu. Paraduta memimpin barisan, menata strategi sementara Raden Putih berdiri di belakang dengan mata tertutup, tangannya dilipat pada kain hitam sebagai lambang berkabung jika perlu. Ia tidak menggerutu, ia tidak memerintahkan, kehadirannya saja sudah membuat nyali orang lain lebih tebal.

Ketika polisi mencoba memaksa membuka jalan, Raden Putih melangkah maju. Ia menatap komandan polisi, lalu menunjuk ke peta kuno yang dipegang Paraduta. “Ini bukan sekadar sebidang tanah,” katanya. “Ini rumah doa, rumah ingatan. Jika kalian ingin bukti, lihatlah alur sungai, lihatlah kuburan yang ditandai tujuh. Jika kalian ingin aturan, tanyalah pada nenek moyang kami.” Ucapannya tenang tetapi mengandung bahaya. Ia tidak berdebat dengan hukum administratif, ia berdebat dengan akal nurani. Komandan terdiam sejenak, lalu memberi isyarat. Situasi mereda, bukan karena pihak negara berubah hati, tetapi karena malu dan publisitas. Kamera-kamera lokal sudah ada di beberapa sudut, dan warga mendokumentasikan setiap gerak.

Di tengah peristiwa itu, Raden Putih jatuh sakit. Bukan karena pertempuran, melainkan karena beban lama yang tiba-tiba menekan. Paraduta menemukannya di pondok kecilnya, berbaring dengan napas pelan. “Sudah lama aku menunggu,” katanya sesak. “Tuhan memberi aku usia untuk menuntun ini. Kalau aku tidak menyelesaikannya, kalian harus teruskan.” Paraduta menggenggam tangan Raden Putih seperti anak yang menahan tangisan. Kata-kata itu menguatkannya. Perjuangan bukan hanya soal sekarang, tetapi soal kontinuitas.

Akhirnya, beberapa langkah hukum berpihak kepada Dusun Silam. Pengadilan administratif mengeluarkan keputusan penghitungan lebih lanjut; ada pembekuan operasional sementara. Kemenangan itu tidak sempurna bukan kemenangan yang mengangkat semua masalah tetapi ia adalah tanda bahwa ingatan bisa ditegakkan di meja hukum. Di Dusun Silam, pesta kecil diadakan; anak-anak menari, ibu-ibu menanak nasi, dan tetua membacakan doa. Di sana Paraduta melihat Raden Putih tersenyum tipis, matanya redup seperti lilin yang enggan padam.

Namun, kemenangan yang dihasilkan menyeret rencana-rencana baru. Perusahaan menggulirkan penawaran yang lebih canggih, pejabat baru datang dengan program-program “pemberdayaan” yang tampak baik tetapi berisiko merubah struktur adat. Ada proses “negosiasi halus” yang menuntut keteguhan. Raden Putih yang lembut namun tegas, mulai merasakan tekanan. Ia tahu, menjaga martabat berarti menolak tawaran yang menyelipkan ujung pedang di balik manisnya janji.

Pada akhirnya, Dusun Silam mempertahankan sebagian besar tanah inti yang paling keramat. Tujuh kuburan leluhur, dua sungai yang memeluk, dan sebagian ladang paling berharga. Sejumlah area yang dianggap “tidak produktif” disepakati untuk menjadi ruang publik yang dikelola bersama, dengan perjanjian bahwa perubahan besar harus disetujui oleh majelis adat. Dalam rapat besar yang diselenggarakan di lapangan, Raden Putih berdiri dan mengangkat tangan kecil untuk memimpin penutupan. Ia memanggil Paraduta, lalu berkata: “Kau melihat, Dut? Tanah ini berpagar bukan oleh manusia semata, melainkan oleh ingatan. Terima kasih telah berjalan jauh.”

Paraduta, yang kerap menulis nama-nama di buku kecilnya, menambahkan huruf lain pada catatannya. Bukan hanya soal legal, tetapi soal kehormatan yang dipegang bersama. Ia memandang Raden Putih dan mengetahui, dengan kepastian aneh yang menenangkan, bahwa perjuangan itu tidak akan pernah selesai, namun ada tugas yang mulia, menjaga agar ingatan tetap hidup, memberi ruang pada anak cucu untuk menuntun nama lama ke generasi baru.

Di malam penutup itu, ketika bintang-bintang menatap seperti mata seribu, Raden Putih duduk di pinggir sungai dan memandang air yang berurai. Ia lalu membisikkan sesuatu ke Paraduta, yang duduk tak jauh darinya. “Kalau boleh aku titip satu hal,” katanya pelan. “Jika suatu hari aku pergi lebih dulu, kamu yang akan menjadi pengikat nama. Jangan biarkan surat itu terlipat lagi.”

Paraduta menunduk, menyentuh tangan lelaki itu dengan penuh hormat. “Aku janji.”

Kata-kata itu bukan sumpah seremonial. Di Dusun Silam, janji adalah kunci yang menahan sejarah agar tidak tercerabut. Ia tidak dipandang remeh; ia diangkat sebagai batu penjuru bagi generasi yang datang nanti.

Beberapa bulan kemudian, ketika musim panen mulai rapi seperti barisan anak yang sudah belajar menghitung, Dusun Silam menjadi tempat yang hidup kembali. Anak-anak menuntun kambing di sekitar kuburan tua, orang-orang menenun kisah lama pada kain yang dipakai untuk menutup beras. Salam-salam lama kembali bergema di lorong-lorong, dan peta lama dijadikan bahan ajar di sekolah desa. Raden Putih, walau usianya mulai terlihat di ujung-ujung kulitnya, masih berjalan di antara mereka, sering duduk di batu tua dan mendengar anak-anak membaca nama-nama. Ia sering terlihat memegang surat tua itu, membawanya seperti seseorang membawa api kecil; inilah yang tak pernah dimatikan.

Paraduta tahu, perjalanan itu lebih dari kemenangan hukum. Ia belajar sesuatu yang tak biasa bahwa memperjuangkan tanah bukan menuntut kemenangan spektakuler, tetapi mengajarkan manusia kembali bagaimana menata hari. Ketika orang tidak lagi takut kehilangan nama, ia menjadi pandai memberi nama pada hal-hal baru, pada sekolah, kolam, dan ruang publik yang dirawat bersama. Paraduta menulis di buku catatannya: “Perlawanan besar sering lahir dari doa-doa kecil yang tak pernah putus.”

Raden Putih perlahan mengundurkan diri dari pertemuan yang menguras tenaga, menggantinya dengan majelis yang melibatkan pemuda. Ia menaruh harap pada anak-anak yang kini sederhana namun tegar. Ia sering menjenguk desa-desa lain, mengajak mereka belajar bagaimana merawat batas, dan bicara mengenai hak-hak yang tidak dapat ditawar. Suatu sore, saat matahari telah menipiskan sinarnya, Paraduta menemukan Raden Putih duduk sendiri, menulis di batu: sesuatu yang tidak bisa dibaca kecuali oleh mereka yang bisa membaca tanda.

“Apa yang kau tulis?” tanya Paraduta.

Raden Putih menoleh, tersenyum. “Daftar nama yang harus kau ingat. Bukan hanya nama orang, tapi nama pohon, nama sungai, dan nama-nama yang harus kau titip pada generasi. Jika kamu lupa, kau akan kehilangan cara bicara pada tanah.”

Paraduta mengangguk. Ia mengerti bahwa tugasnya kini lebih berat: bukan hanya menulis peristiwa di buku catatan, tetapi menularkan cara mengingat. Ia kembali meneruskan pekerjaannya membangun jaringan, menulis kronik, mengajar pemuda. Namun ia membawa sebuah mantra baru: “Jangan hanya menuntut dokumen; tuntut ingatan.”

Cerita Dusun Silam tidak berakhir rapi seperti buku yang ditutup. Ia adalah jenis kisah yang terus terjalin, ada bab-bab yang tercoret, ada bab-bab yang disempurnakan oleh tangan-tangan generasi baru. Di sana, Raden Putih duduk seperti paman tua yang memelototi cucu-cucunya agar tidak lupa berdoa sebelum menanam padi. Di sana, Paraduta terus memukul kentongan kecilnya ketika ada kabar yang harus dibawa. Tanah itu tetap bernyanyi, namun nadanya kini lebih kaya karena selain hangatnya padi, ada juga suara hukum, suara anak muda, dan suara dari orang-orang yang tidak rela nama nenek moyangnya menjadi sekadar nama di peta.

Dan ketika suatu malam Paraduta menulis surat panjang untuk dirinya sendiri, ia menutupnya dengan kalimat yang ia harap tidak akan pernah hilang: “Kepada yang akan datang: Jangan pernah anggap tanah sebagai barang yang bisa dibeli, ia adalah memori yang harus dijaga. Jika kita lupa menjaga memori, kita bukan pemilik, tetapi sekadar pelintas.”

Raden Putih menatap langit yang kelabu itu, lalu berkata: “Biarkan memori menjadi undang-undang yang tak kalah kuat dari tinta di kantor.” Dan di Dusun Silam, di bawah pagar gunung dan di tengah pelukan dua sungai, para keturunan Tujuh Kepuyangan mengangguk, memegang surat tua itu, dan memulai halaman baru dalam cerita mereka sebuah narasi tentang martabat yang kembali, tentang nama yang tak dijual, dan tentang tanah yang pada akhirnya, pulang.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar