Paraduta selalu bangun sebelum
ayam. Di serambi rumah panggung, pelita tinggal bara, angin menyingkap tirai
kain, dan di sana, di tempat malam menyimpan napas terakhirnya ia duduk dengan
buku catatan. Ia menulis satu kalimat kecil, seperti menaruh batu penanda di
tepi jalan: bahwa hari ini ia akan menjadi murid lagi. Murid bagi tanah, bagi
padi, dan bagi dua orang kakak ibunya yang dengan dua jalan berbeda mengajarinya
tentang cara berdiri tegak tanpa melukai.
Yang satu bernama Wak Wahid.
Orangnya kharismatik; suaranya rendah, matanya teduh, tangannya selalu keluar
dari lengan baju persis ketika hendak menenangkan. Ia mengajar agama dengan
jalan tasawuf, jalan yang pelan tapi masuk ke tempat yang tak disangka. Di
surau kecil Setangai Panjang, ia memulai pelajarannya bukan dengan larangan,
melainkan dengan pertanyaan, dan bukan dengan hafalan, melainkan dengan
perasaan.
Yang satu lagi Wak Surbaini.
Pendiam seperti akar; jarang bicara, tapi setiap langkahnya mengingatkan orang
pada pohon yang tahu cara menahan badai. Ia mengajarkan silat kampung. Tidak
untuk berkelahi, katanya, tapi untuk menata raga agar hati tidak jatuh
berantakan. Jurus-jurusnya tidak punya nama yang rumit, tapi setiap gerak
menyimpan salam kepada tanah, udara, dan diri.
Pagi itu, setelah mengetuk
kentongan kecil tiga kali, sekadar mengingatkan dirinya sendiri, bukan
membangunkan siapa pun Paraduta melangkah menuju surau. Kabut tipis memeluk
batang pisang, air di parit mengalir pelan. Di bawah beringin, Wak Wahid
berdiri menghadap timur, menunggu fajar. Ketika Paraduta mendekat, Wak Wahid
menoleh dan tersenyum, senyum yang tidak menunjukkan gigi, tapi memantulkan
ketenangan ke dalam dada orang yang melihatnya.
“Dut,” kata Wak Wahid, “hari ini
kita mulai dari sifat dua puluh. Bukan untuk menghafal angka, tapi untuk
menanam akar.”
Paraduta duduk bersila. Anak-anak
lain menyusul. Ada yang membawa papan tulis kecil, ada yang membawa seikat daun
sirih untuk diserahkan kepada Wak sebagai tanda hormat. Di surau, tikar pandan
mengeluarkan bau yang membuat orang ingin duduk lama. Wak Wahid membuka kitab
tipis yang sampulnya sudah lepas di sudut, lalu menatap murid-muridnya satu per
satu seperti orang menatap wajah sungai sebelum menabung doa.
“Dengarkan,” ujarnya pelan. “Wujud:
Ada. Bukan sekadar ada di kepala kita, tapi ada yang mendahului segala ada. Kau
lihat beringin itu? Ia ada. Tapi ada-Nya tidak bergantung pada beringin,
matahari, atau napasmu. Inilah permulaan. Kita belajar meng-ada tanpa merasa
menjadi pusat semesta.”
Ia diam sejenak, memberi ruang
bagi kalimat untuk menemukan kursinya di telinga. “Qidam: Dahulu; Baqa’: Kekal.
Mukhalafatu lil hawadits: Tidak serupa dengan yang baharu. Qiyamuhu binafsihi:
Berdiri sendiri. Wahdaniyah: Esa.”
Seorang anak mengangkat tangan.
“Wak, apakah adat itu juga ‘ada’ seperti Wujud yang Wak sebut?”
Wak Wahid tersenyum. “Adat adalah
cara kita mengenali Ada dalam bahasa kampung. Adat adalah cermin; Wujud adalah
cahaya. Kalau cermin kotor, cahaya yang masuk pun tampak keruh. Maka bersihkan
cerminnya, itulah adab.”
Ia menutup kitab. “Kita teruskan:
Sifat Ma’ani. Qudrah, Iradah, Ilmu, Hayat, Sama’, Basar, Kalam. Tujuh ini
seperti tujuh mata air yang menghidupi sawah: Kudrah. Kuasa, Iradah, kehendak, Ilmu,
tahu, Hayat, hidup, Sama’ mendengar, Basar, melihat, Kalam, berfirman. Lalu Ma’nawiyyah,
tujuh keadaan yang menunjukkan tujuh tadi tampak pada makhluk: Kaunuhu Qadiran,
Muridan, ‘Aliman, Hayyan, Sami’an, Basiran, Mutakalliman.”
Ia memandang ke luar jendela
surau, ke arah ladang padi yang muda. “Di kampung, kita menamai sesuatu bukan
untuk mengikat, tapi untuk menjaga. Menamai Wujud, Qidam, Baqa’... itu bukan
upaya kita menangkap Tuhan dengan kata-kata. Itu upaya kita mengajari lidah
agar tidak pongah, hati agar tak picik. Seperti orang menamai tarah, garis bukan
untuk membatasi langkah, tapi untuk menuntun.”
Paraduta mencatat pelan di
benaknya: bila adat adalah cermin, tasawuf adalah air yang membersihkannya. Ia
mengingat Wak Salim Senawar yang mengajarinya berjalan di hati jalan; kini Wak
Wahid menyuruhnya berdiri di hati pengakuan: bahwa segala gerak baik bersumber
dari Ada yang mendahului.
“Wak,” tanya Paraduta, “bagaimana
adat dan agama saling menyapa?”
Wak Wahid menghela napas pelan,
seperti menarik aroma kopi dari cangkir yang tak kelihatan. “Agama datang dari
langit; adat tumbuh dari bumi. Keduanya bertemu dalam adab. Kalau adat menyuruh
menunduk pada padi sebelum panen, itu adab pada rezeki. Kalau agama menyuruh
bersyukur, itu adab pada Pemberi. Keduanya saling menerjemahkan. Yang membuat
kacau adalah ketika kita menelan salah satunya mentah-mentah, lalu memaki yang
lain.”
Sore itu, setelah pelajaran
selesai, mereka berdzikir pendek. Nafas masuk, memanjang; nafas keluar,
memulangkan. “Zikrullah bukan menambah Tuhan; ia mengurangi lupa,” kata Wak
Wahid. “Sebutlah, agar kau selamat dari dirimu sendiri.”
Menjelang senja, Paraduta
melangkah ke halaman belakang balai. Di sana Wak Surbaini menunggu: tubuhnya keras,
wajahnya teduh dengan garis ronin yang tak dicari. Ia menaruh sehelai kain di
tanah bukan untuk shalat, tapi untuk langkah.
“Duduk,” kata Wak Surbaini.
Suaranya lemah lembut, tapi semua orang spontan mematuhi.
Ia menunjuk tanah. “Silat kampung
bukan tarian, bukan pula bacok-bacokan. Ini salam. Kau salam pada tanah saat
kaki hinggap, salam pada udara saat tangan berangkat, salam pada sunyi saat
hati takut.”
Paraduta berdiri di hadapannya,
menunggu. Wak Surbaini mengatur kuda-kuda pertama: kuda-kuda anak, lutut
lentur, telapak kaki merasakan dingin tanah. “Jangan kaku,” katanya. “Kaku
menunjukkan kau ingin segera menang. Lentur menunjukkan kau ingin segera
mengerti.”
Ia menuntun langkah. “Langkah
satu, tegur nama tanah: kiri ke depan, kanan menyusul, bahu berat ke belakang. Langkah
dua, beri salam pada angin: tarik tangan kanan ke rusuk, kirim tangan kiri
sekepal; bukan untuk memukul, tapi untuk memberi tahu ‘aku ada’. Langkah tiga, menjaga
diri: siku menutup rusuk, dagu menunduk ringkas.”
Paraduta mengulang pelan.
Keringatnya jatuh di tanah, satu-satu, seperti bibit yang ragu. Wak Surbaini
mengangguk. “Baik. Tapi jangan cepat merasa cukup. Ilmu yang baik selalu merasa
kurang.”
“Wak,” tanya Paraduta kemudian,
“apa yang paling penting dalam silat?”
“Bukan jurus,” jawab Wak
Surbaini. “Batas. Tahu kapan berhenti.”
Ia menatap ke arah surau yang
lampunya mulai menyala. “Kalau orang masuk ke rumahmu tanpa salam, kau tahan di
serambi. Kalau orang masuk dengan salam, kau persilakan duduk. Silat
mengajarimu membedakan serambi dan ruang tamu, batas sopan dan batas bahaya.”
Paraduta mengingat tali rotan
yang dulu mereka ikat di batas ladang. Ia mengerti: Wak Surbaini sedang
menerjemahkan garis ke dalam otot.
Malam turun. Bintang kecil-kecil
bertebaran seperti butir padi yang ditabur di langit. Paraduta pulang dengan
badan pegal yang bahagia. Di serambi, ibunya, Mar’a, menunggu dengan air jahe.
“Pelajaran apa tadi?” tanya ibunya.
“Dua pelajaran yang sama,” jawab
Paraduta.
Ibunya tertawa. “Yang sama?”
“Ya,” kata Paraduta, “satu lewat
doa, satu lewat langkah.”
Minggu-minggu berjalan seperti
sungai yang yakin pada muaranya. Setiap pagi, Paraduta mengaji bersama Wak
Wahid: ia menelusuri sifat dua puluh, tidak sebagai angka tapi sebagai akhlak. Qudrah
diterjemahkannya menjadi tidak menyakiti yang lemah; Iradah menjelma menjadi
kehendak baik yang memelihara; Ilmu menjadi kebiasaan bertanya; Hayat menjadi
kesadaran bahwa waktu adalah amanah; Sama’ menjadi latihan mendengar sebelum
menilai; Basar menjadi kehati-hatian memandang; Kalam menjadi keberanian
berkata benar dengan cara halus. Lalu tujuh ma’nawiyyah mengajari cara
berjalan: bukan hanya “Allah itu Qadiran,” tapi “jadilah manusia yang berjalan sebagai
hamba yang sadar ditatap.”
Di sore-sore, ia berlatih dengan
Wak Surbaini: jurus Buka Pintu untuk menyambut, Tutup Jendela untuk menjaga, Hening
untuk menahan, Gilip untuk mengelak, Sapu Halaman untuk menyisir gangguan. Ia
belajar bahwa menangkis lebih mulia daripada menghajar, mengunci lebih suci
daripada merobohkan.
Pada suatu petang, setelah
latihan, Wak Surbaini mengajaknya duduk memandang sawah. “Dut,” katanya, “orang
yang belajar silat sering tersesat karena ingin kuat. Padahal yang paling kuat
adalah yang tidak perlu menunjukkan kekuatan. Kau ingat, tanganmu dilatih
supaya tidak mudah terangkat.”
Paraduta menatap telapak
tangannya. Guratan halusnya seperti peta sungai yang tak pernah ia perhatikan.
“Jika ada yang memaksa lewat di batas?”
“Garis itu untuk diingatkan,
bukan untuk membakar,” kata Wak Surbaini. “Kalau ia tetap memaksa, ukur
langkahmu: tiga kali ajak bicara, sekali ajak duduk, kalau perlu baru pegang
pergelangan. Jangan lebih.”
“Kenapa tidak lebih?”
“Karena setelah itu,” Wak
Surbaini menatapnya, “bukan lagi kau yang memegangnya, tapi amarahmu.”
Paraduta mengangguk pelan. Di
dadanya, lembah sunyi meluas seperti sawah yang habis hujan.
Kabar dari kabupaten kembali
datang, membawa bahasa baru yang sudah dicurigai kampung: “pelestarian partisipatif”,
“ekowisata berbasis komunitas”, “insentif karbon”. Orang-orang mulai lelah
mendengar istilah. Ia mendengar Wak Wahid berkata di serambi surau, “Istilah
boleh singgah, tapi jangan jadikan mereka penghuni tetap. Rumah ini dihuni oleh
niat.”
Dalam sebuah pertemuan, pejabat
muda menyodorkan draft kesepakatan: hutan adat menjadi “area lindung”, ladang
menjadi “zona penyangga”, kampung menjadi “pusat edukasi”. Paraduta menatap
garis-garis di peta itu; garis yang dibuat di kota untuk tanah yang dihidupi di
kampung.
“Wak,” bisiknya pada Wak Wahid,
“apakah kita harus menolak?”
Wak Wahid memiringkan kepala.
“Tolak kalau ia mencabut akar. Terima kalau ia menyiram. Bedakan mana air
hujan, mana air tumpahan cat.”
Paraduta tersenyum kecil. Bahasa
Wak Wahid selalu membuatnya mendengar sesuatu lebih jauh dari telinga. Di akhir
pertemuan, para tua-tua tak menandatangani apa pun. Mereka pulang dengan
langkah yang tidak ringan, tapi juga tidak kalah.
Malamnya, Wak Wahid mengajak
Paraduta duduk di pelataran surau. “Dut, mari kita ulang Wahdaniyah,” katanya.
“Allah itu Esa; jalan menuju-Nya banyak. Adat yang benar adalah jalan. Silat
yang benar adalah jalan. Tulisanmu pun bisa jadi jalan kalau kau tidak
menjadikannya tujuan.”
“Dan jika aku tergelincir?”
“Berdiri,” ujar Wak, “dengan adab.”
Suatu hari, seorang pemuda dari
kampung sebelah datang. Matanya merah, napasnya pendek. “Wak,” katanya tergesa
pada Wak Surbaini, “orang-orang dari proyek memaksa masuk hutan kami. Mereka
tertawa ketika kami pasang tali rotan.”
Wak Surbaini berdiri. “Jangan
bawa senjata,” katanya pada pemuda itu. “Bawa orang tua dan anak-anak.”
Pemuda itu terkejut. “Anak-anak?”
“Ya,” kata Wak Surbaini. “Kita
tidak akan berkelahi. Kita akan menghadirkan kampung. Mereka harus melihat
bahwa yang mereka singkirkan bukan pohon, tapi masa depan.”
Mereka pun berangkat. Lima orang
tua, sepuluh ibu-ibu, enam anak, dan tiga pemuda. Paraduta ikut. Di batas
hutan, mereka berdiri berbaris: tidak teriak, tidak memaki. Anak-anak duduk di
depan sambil menulis nama daun di papan kecil. Ibu-ibu menumbuk padi di serambi
hutan; suaranya menyapu udara seperti doa. Orang tua duduk membacakan riwayat
pohon dengan suara yang lambat bukan untuk meyakinkan, tetapi untuk mengingatkan.
Orang-orang proyek bingung. “Apa
ini?” tanya seorang mandor. “Aksi teater?”
Wak Surbaini menjawab tenang,
“Ini adat.”
Mandor tertawa sinis, melangkah
maju. “Minggir!”
Seketika tangan Wak Surbaini
terangkat, bukan menghantam, tapi menghadang angin. Pergelangan mandor
disentuh, diarahkan turun, bukan dibanting, hanya diletakkan kembali di
tempatnya. Patok di tangan mandor itu jatuh tanpa suara. Mandor memerah;
matanya berkaca.
“Pulanglah,” kata Wak Surbaini
pelan. “Jangan tinggalkan anakmu untuk melihat kau diusir oleh doa.”
Mandor itu terdiam lama, kemudian
mundur. Rombongan bubar. Hutan tidak diretas hari itu. Tidak ada pahlawan,
hanya kehadiran yang utuh.
Malamnya, di surau, Wak Wahid
berkata, “Itulah Qudrah yang benar: kuasa menahan diri. Iradah yang benar:
kehendak menyelamatkan. Ilmu yang benar: tahu kapan berhenti.”
Paraduta menulis kalimat itu di
bukunya, dan untuk pertama kalinya ia merasa bahwa sifat dua puluh bukan
sekadar pelajaran; ia adalah jurus hidup.
Musim berganti. Angin membawa bau
durian dari hulu. Orang-orang kampung membuat kenduri kecil untuk menandai
panen padi lokal yang mulai kembali penuh. Di halaman surau, Paraduta
membacakan “Kitab Hati Jalan” yang ia susun dari pelajaran Wak Wahid, Wak
Surbaini, dan tanah kampung. Halamannya bukan dari kertas mahal, tapi dari lembar-lembar
pengalaman: cara memanggil semangat padi, adab menebang bambu, doa sebelum
menabur benih, jurus menolak amarah, dan sifat-sifat yang harus dihidupkan di
tubuh.
Ia menutup bacaan dengan kalimat:
“Kita berjalan dengan dua kaki: adat dan agama. Kalau satu pincang, perjalanan
menjadi tersengal. Maka saling topanglah.”
Orang-orang mengangguk. Beberapa
ibu-ibu menahan air mata yang tidak sedih, tidak gembira, air mata yang keluar
ketika seseorang melihat rumahnya berdiri kokoh di dalam dirinya sendiri.
Setelah kenduri, Wak Wahid
memanggil Paraduta ke serambi. “Dut,” katanya, “aku ingin mengembalikan sesuatu
yang dulu diberikan padamu.”
Wak mengangkat sehelai kain putih
yang dulu Salim Senawar letakkan di bahu Paraduta kini diserahkan kembali
melalui jalan agama. Wak menaruhnya pelan di bahu Paraduta, lalu berbisik, “Cerdikk
bilang pandai bukan gelar; ia adalah cara bersetia.”
Paraduta menunduk. “Wak,”
suaranya pelan, “aku masih sering takut.”
“Bagus,” jawab Wak. “Takut
menandakan kau tahu ada yang lebih besar dari dirimu. Jangan hilangkan takut;
letakkan ia di tempat yang benar. Di sujud.”
Menjelang malam, Paraduta ke
halaman belakang di mana Wak Surbaini menunggu, membawa sepasang tongkat pendek
dari rotan. “Hadiah,” katanya, “untuk melatih jarak.”
Paraduta menerimanya. “Apa
bedanya tangan kosong dengan tongkat, Wak?”
“Tongkat membuatmu ingat bahwa
manusia punya jangkauan,” jawabnya. “Dengan tongkat, kau bisa menyakiti dari
jauh karena itu tongkat adalah amal yang mudah tergelincir. Latihlah, agar kau semakin
enggan menggunakannya.”
Mereka berlatih sampai bintang
naik tinggi. Keringat menetes, nafas teratur, tanah menerima setiap injak tanpa
komplain. Di akhir, Wak Surbaini berkata, “Ada jurus terakhir yang harus kau
pelajari, tapi hanya diajarkan kepada yang tak ingin memamerkannya.”
“Jurus apa, Wak?”
“Jurus memaafkan.” Paraduta
menutup mata sesaat. Jurus itu terasa paling berat, paling sunyi, paling
berurat pada hal yang tidak bisa diberi nama. Ia mengangguk. “Aku belajar,
Wak.”
Hari-hari berikutnya, Paraduta
mengajar anak-anak di Sekolah Hati Jalan: ia menyulam pelajaran Wak Wahid dalam
doa pagi, mengenalkan Wujud sebagai “Ada yang menyayangi sebelum kita sempat
berterima kasih,” mengenalkan Qudrah sebagai “kuasa menahan lidah ketika kata
hendak menyakiti,” memperagakan Basar dengan menatap padi sambil menyebut satu
kebaikannya. Di sore hari, ia menyulam gerak Wak Surbaini dalam permainan langkah
satu untuk menyapa, langkah dua untuk mengelak, langkah tiga untuk menutup
pintu angin.
“Kenapa kita belajar dua-duanya?”
tanya seorang anak.
“Supaya kagummu tidak menjelma kekerasan,”
jawab Paraduta. “Orang yang terlalu kagum pada satu hal, mudah menghina hal
lain. Agama tanpa adat bisa menjadi palu; adat tanpa agama bisa menjadi kabut.
Keduanya harus saling bercermin.”
Anak itu mengangguk, lalu menulis
di papan kecil: “Cermin-cermin kecil di mata kami.” Paraduta menahan senyum; ia
merasa kata-kata itu lebih indah daripada yang bisa ia ajarkan.
Suatu malam, kabar datang dari
kota: undang-undang baru tentang hutan adat disahkan. Orang-orang bersorak,
lalu bingung. Apakah ini kemenangan? Wak Wahid hanya berkata, “Kemenangan
paling bahagia adalah kesempatan untuk lebih bertanggung jawab.”
Paraduta menulis kabar yang tidak
membuat mabuk. “Kita diakui; sekarang mari mengakui,” tulisnya di papan surau.
“Mengakui bahwa tanah bukan milik kita, tapi amanah. Mengakui bahwa menolak
juga sebuah ilmu. Mengakui bahwa orang yang berbeda kalimatnya tidak selalu
berbeda tujuannya.”
Ia menatap beringin. Di
daun-daunnya, angin menulis puisi yang hanya bisa dibaca dengan telinga.
Musim kemarau tiba. Parit
menyusut, langit biru kering, suara serangga seperti jarum jam yang terlalu
jujur. Di ladang, padi menunduk; di surau, zikir memanjang, orang-orang
memanggil hujan dengan adab yang tidak menyalahkan.
Wak Wahid mengajak murid-muridnya
keluar, menggelar tikar di tanah yang retak halus. “Kita belajar Baqa’ di
padang kering,” katanya. “Yang kekal tidak bergantung pada musim.”
Anak-anak bertanya, “Apakah Allah
marah, Wak?”
“Allah tidak gampang marah,”
jawabnya. “Kitalah yang cepat menyangka. Hujan akan datang ketika bumi telah
membuat tempat untuk menampungnya.” Lalu ia menatap Paraduta. “Begitu pula
ilmu.”
Paraduta terdiam. Ia mengerti:
tugasnya bukan memaksa hujan turun, tapi membuat tempat. Malam itu, ia menulis: “Sekolah Hati Jalan
membuka tempat di dada. Jika kelak hujan ilmu datang, ia tidak tumpah.”
Pada suatu subuh yang lembut,
seseorang mengetuk kentongan di surau, bukan tiga kali seperti biasa, melainkan
dua kali, jeda, sekali. Itu tanda duka. Wak Surbaini memanggil Paraduta. “Ikut,
Dut,” katanya pelan.
Mereka berjalan menuju rumah
paling ujung. Seorang lelaki tua, bekas pekerja proyek, menghembuskan napas
terakhir. Ia dulu pernah memaki mereka, pernah memaksa masuk hutan dengan patok
di tangan. Sekarang, di pembaringan, wajahnya biasa saja seperti batu di sungai
yang akhirnya menemukan posisi.
Keluarganya gelisah; sebagian
takut orang kampung menyimpan sakit hati. Paraduta menatap Wak Surbaini. Wak
mengangguk.
Paraduta melangkah ke tengah
rumah. “Kami datang bukan untuk menagih masa lalu,” katanya pelan, “kami datang
untuk mengantar.” Wak Wahid memimpin doa: suaranya rendah, seperti baru bangun
dari mimpi yang tenang. Setelah semua usai, seorang anak lelaki almarhum
memegang tangan Paraduta. “Maafkan ayah saya.”
Paraduta menggeleng. “Bukan aku
yang memaafkan. Kampung yang memaafkan.” Ia menatap Wak Surbaini. Wak
mengangguk lagi. Jurus terakhir, pikir Paraduta, diam-diam telah berjalan
mendahului lidah.
Di luar, angin berubah haluan.
Sore itu, awan datang dari barat, tebal, berat. Hujan pertama jatuh seperti
kabar gembira yang sudah lama ditahan. Anak-anak berlarian di halaman,
orang-orang tertawa. Di serambi, Wak Wahid berbisik, “Inilah Basar: melihat
rahmat yang turun setelah orang menahan amarah.” Paraduta menengadah; hujan
menyentuh kelopak mata, mengajarinya menangis tanpa rasa kalah.
Bertahun-tahun kelak, orang
mungkin akan menceritakan Setangai Panjang sebagai kampung yang menolak padam.
Mereka akan menyebut nama-nama: Wak Gapur, Wak Salim, Wak Wahid, Wak Surbaini,
dan seorang anak yang bergelar ceridik bilang pandai. Mereka akan menulis
artikel, menempelkan label “komunitas ketahanan,” mengundang ke seminar. Itu
semua baik, pikir Paraduta, asalkan kampung tetap menjadi kampung, bukan
panggung.
Di malam paling jernih bulan itu,
Paraduta duduk sendiri di Batu Janji. Ia membuka buku catatan, yang kini tidak
lagi rapuh, tapi tetap sederhana. Ia menulis satu halaman terakhir untuk malam
itu: “Hari ini, aku diajari dua guru yang tidak saling berjarak: yang satu
membersihkan cermin, yang satu menguatkan bingkainya. Tasawuf merapikan dalam,
silat merapikan luar. Keduanya menjadikan manusia rumah bagi jalan yang benar.”
Ia memukul kentongan kecil. Tong…
tong… tong. Suara itu melewati padi, menyeberang parit, mengetuk halus di
dinding surau, lalu masuk ke telinga malam. Ia tersenyum pada gelap, pada hujan
yang baru selesai, pada bintang yang kembali, pada bumi yang berbaring seperti
ibu yang tenteram.
“Jangan menjadi cahaya,” suara
lama itu datang lagi—suara Wak Salim yang kini menetap di riwayat. “Jadilah
kaca.”
Paraduta menunduk. “Wak,” katanya
pelan ke udara, “kaca kami kutautkan pada tarah, kutopang dengan adab, kupoles
dengan doa. Kalau retak, kami sambung dengan maaf. Selama padi masih menunduk,
kami tidak akan lupa cara berdiri.”
Di kejauhan, dari halaman surau,
terdengar anak-anak Sekolah Hati Jalan menyanyikan shalawat dengan irama alu.
Setiap bait berhenti di gerak langkah satu: tegur nama tanah. Lalu langkah dua:
salam pada angin. Lalu langkah tiga: jaga diri. Suara itu naik seperti kabut
yang ingin pulang ke langit.
Paraduta menutup buku,
menyelipkannya di balik kain putih di bahu. Ia melangkah turun dari Batu Janji
dengan hati yang tidak ringan, tapi benar. Jalan di depannya tidak lurus, namun
bertarah. Dan ia tahu: selama ia mengingat sifat-sifat yang tumbuh menjadi
akhlak, serta jurus-jurus yang membentuk adab, ia takkan tersesat. Karena di
Setangai Panjang, agama dan adat tidak dipertentangkan. Mereka saling menyuapi,
saling menegur, saling menutup pintu ketika angin malam datang membawa dingin.
Dan di tengah semuanya itu, seorang murid yang terus mengaku murid, menjaga
satu pekerjaan kecil: membuat kabar layak dibawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar