Sifat Dua Puluh dan Langkah Tiga - Erwin Basrin

Breaking

Recent Posts

 photo Untitled-1_1.jpg

Sabtu, 01 November 2025

Sifat Dua Puluh dan Langkah Tiga

 


Paraduta selalu bangun sebelum ayam. Di serambi rumah panggung, pelita tinggal bara, angin menyingkap tirai kain, dan di sana, di tempat malam menyimpan napas terakhirnya ia duduk dengan buku catatan. Ia menulis satu kalimat kecil, seperti menaruh batu penanda di tepi jalan: bahwa hari ini ia akan menjadi murid lagi. Murid bagi tanah, bagi padi, dan bagi dua orang kakak ibunya yang dengan dua jalan berbeda mengajarinya tentang cara berdiri tegak tanpa melukai.

 

Yang satu bernama Wak Wahid. Orangnya kharismatik; suaranya rendah, matanya teduh, tangannya selalu keluar dari lengan baju persis ketika hendak menenangkan. Ia mengajar agama dengan jalan tasawuf, jalan yang pelan tapi masuk ke tempat yang tak disangka. Di surau kecil Setangai Panjang, ia memulai pelajarannya bukan dengan larangan, melainkan dengan pertanyaan, dan bukan dengan hafalan, melainkan dengan perasaan.

 

Yang satu lagi Wak Surbaini. Pendiam seperti akar; jarang bicara, tapi setiap langkahnya mengingatkan orang pada pohon yang tahu cara menahan badai. Ia mengajarkan silat kampung. Tidak untuk berkelahi, katanya, tapi untuk menata raga agar hati tidak jatuh berantakan. Jurus-jurusnya tidak punya nama yang rumit, tapi setiap gerak menyimpan salam kepada tanah, udara, dan diri.

 

Pagi itu, setelah mengetuk kentongan kecil tiga kali, sekadar mengingatkan dirinya sendiri, bukan membangunkan siapa pun Paraduta melangkah menuju surau. Kabut tipis memeluk batang pisang, air di parit mengalir pelan. Di bawah beringin, Wak Wahid berdiri menghadap timur, menunggu fajar. Ketika Paraduta mendekat, Wak Wahid menoleh dan tersenyum, senyum yang tidak menunjukkan gigi, tapi memantulkan ketenangan ke dalam dada orang yang melihatnya.

 

“Dut,” kata Wak Wahid, “hari ini kita mulai dari sifat dua puluh. Bukan untuk menghafal angka, tapi untuk menanam akar.”

 

Paraduta duduk bersila. Anak-anak lain menyusul. Ada yang membawa papan tulis kecil, ada yang membawa seikat daun sirih untuk diserahkan kepada Wak sebagai tanda hormat. Di surau, tikar pandan mengeluarkan bau yang membuat orang ingin duduk lama. Wak Wahid membuka kitab tipis yang sampulnya sudah lepas di sudut, lalu menatap murid-muridnya satu per satu seperti orang menatap wajah sungai sebelum menabung doa.

 

“Dengarkan,” ujarnya pelan. “Wujud: Ada. Bukan sekadar ada di kepala kita, tapi ada yang mendahului segala ada. Kau lihat beringin itu? Ia ada. Tapi ada-Nya tidak bergantung pada beringin, matahari, atau napasmu. Inilah permulaan. Kita belajar meng-ada tanpa merasa menjadi pusat semesta.”

 

Ia diam sejenak, memberi ruang bagi kalimat untuk menemukan kursinya di telinga. “Qidam: Dahulu; Baqa’: Kekal. Mukhalafatu lil hawadits: Tidak serupa dengan yang baharu. Qiyamuhu binafsihi: Berdiri sendiri. Wahdaniyah: Esa.”

 

Seorang anak mengangkat tangan. “Wak, apakah adat itu juga ‘ada’ seperti Wujud yang Wak sebut?”

 

Wak Wahid tersenyum. “Adat adalah cara kita mengenali Ada dalam bahasa kampung. Adat adalah cermin; Wujud adalah cahaya. Kalau cermin kotor, cahaya yang masuk pun tampak keruh. Maka bersihkan cerminnya, itulah adab.”

 

Ia menutup kitab. “Kita teruskan: Sifat Ma’ani. Qudrah, Iradah, Ilmu, Hayat, Sama’, Basar, Kalam. Tujuh ini seperti tujuh mata air yang menghidupi sawah: Kudrah. Kuasa, Iradah, kehendak, Ilmu, tahu, Hayat, hidup, Sama’ mendengar, Basar, melihat, Kalam, berfirman. Lalu Ma’nawiyyah, tujuh keadaan yang menunjukkan tujuh tadi tampak pada makhluk: Kaunuhu Qadiran, Muridan, ‘Aliman, Hayyan, Sami’an, Basiran, Mutakalliman.”

 

Ia memandang ke luar jendela surau, ke arah ladang padi yang muda. “Di kampung, kita menamai sesuatu bukan untuk mengikat, tapi untuk menjaga. Menamai Wujud, Qidam, Baqa’... itu bukan upaya kita menangkap Tuhan dengan kata-kata. Itu upaya kita mengajari lidah agar tidak pongah, hati agar tak picik. Seperti orang menamai tarah, garis bukan untuk membatasi langkah, tapi untuk menuntun.”

 

Paraduta mencatat pelan di benaknya: bila adat adalah cermin, tasawuf adalah air yang membersihkannya. Ia mengingat Wak Salim Senawar yang mengajarinya berjalan di hati jalan; kini Wak Wahid menyuruhnya berdiri di hati pengakuan: bahwa segala gerak baik bersumber dari Ada yang mendahului.

 

“Wak,” tanya Paraduta, “bagaimana adat dan agama saling menyapa?”

 

Wak Wahid menghela napas pelan, seperti menarik aroma kopi dari cangkir yang tak kelihatan. “Agama datang dari langit; adat tumbuh dari bumi. Keduanya bertemu dalam adab. Kalau adat menyuruh menunduk pada padi sebelum panen, itu adab pada rezeki. Kalau agama menyuruh bersyukur, itu adab pada Pemberi. Keduanya saling menerjemahkan. Yang membuat kacau adalah ketika kita menelan salah satunya mentah-mentah, lalu memaki yang lain.”

 

Sore itu, setelah pelajaran selesai, mereka berdzikir pendek. Nafas masuk, memanjang; nafas keluar, memulangkan. “Zikrullah bukan menambah Tuhan; ia mengurangi lupa,” kata Wak Wahid. “Sebutlah, agar kau selamat dari dirimu sendiri.”

 

Menjelang senja, Paraduta melangkah ke halaman belakang balai. Di sana Wak Surbaini menunggu: tubuhnya keras, wajahnya teduh dengan garis ronin yang tak dicari. Ia menaruh sehelai kain di tanah bukan untuk shalat, tapi untuk langkah.

 

“Duduk,” kata Wak Surbaini. Suaranya lemah lembut, tapi semua orang spontan mematuhi.

 

Ia menunjuk tanah. “Silat kampung bukan tarian, bukan pula bacok-bacokan. Ini salam. Kau salam pada tanah saat kaki hinggap, salam pada udara saat tangan berangkat, salam pada sunyi saat hati takut.”

 

Paraduta berdiri di hadapannya, menunggu. Wak Surbaini mengatur kuda-kuda pertama: kuda-kuda anak, lutut lentur, telapak kaki merasakan dingin tanah. “Jangan kaku,” katanya. “Kaku menunjukkan kau ingin segera menang. Lentur menunjukkan kau ingin segera mengerti.”

 

Ia menuntun langkah. “Langkah satu, tegur nama tanah: kiri ke depan, kanan menyusul, bahu berat ke belakang. Langkah dua, beri salam pada angin: tarik tangan kanan ke rusuk, kirim tangan kiri sekepal; bukan untuk memukul, tapi untuk memberi tahu ‘aku ada’. Langkah tiga, menjaga diri: siku menutup rusuk, dagu menunduk ringkas.”

 

Paraduta mengulang pelan. Keringatnya jatuh di tanah, satu-satu, seperti bibit yang ragu. Wak Surbaini mengangguk. “Baik. Tapi jangan cepat merasa cukup. Ilmu yang baik selalu merasa kurang.”

 

“Wak,” tanya Paraduta kemudian, “apa yang paling penting dalam silat?”

 

“Bukan jurus,” jawab Wak Surbaini. “Batas. Tahu kapan berhenti.”

 

Ia menatap ke arah surau yang lampunya mulai menyala. “Kalau orang masuk ke rumahmu tanpa salam, kau tahan di serambi. Kalau orang masuk dengan salam, kau persilakan duduk. Silat mengajarimu membedakan serambi dan ruang tamu, batas sopan dan batas bahaya.”

 

Paraduta mengingat tali rotan yang dulu mereka ikat di batas ladang. Ia mengerti: Wak Surbaini sedang menerjemahkan garis ke dalam otot.

 

Malam turun. Bintang kecil-kecil bertebaran seperti butir padi yang ditabur di langit. Paraduta pulang dengan badan pegal yang bahagia. Di serambi, ibunya, Mar’a, menunggu dengan air jahe. “Pelajaran apa tadi?” tanya ibunya.

 

“Dua pelajaran yang sama,” jawab Paraduta.

 

Ibunya tertawa. “Yang sama?”

 

“Ya,” kata Paraduta, “satu lewat doa, satu lewat langkah.”

 

Minggu-minggu berjalan seperti sungai yang yakin pada muaranya. Setiap pagi, Paraduta mengaji bersama Wak Wahid: ia menelusuri sifat dua puluh, tidak sebagai angka tapi sebagai akhlak. Qudrah diterjemahkannya menjadi tidak menyakiti yang lemah; Iradah menjelma menjadi kehendak baik yang memelihara; Ilmu menjadi kebiasaan bertanya; Hayat menjadi kesadaran bahwa waktu adalah amanah; Sama’ menjadi latihan mendengar sebelum menilai; Basar menjadi kehati-hatian memandang; Kalam menjadi keberanian berkata benar dengan cara halus. Lalu tujuh ma’nawiyyah mengajari cara berjalan: bukan hanya “Allah itu Qadiran,” tapi “jadilah manusia yang berjalan sebagai hamba yang sadar ditatap.”

 

Di sore-sore, ia berlatih dengan Wak Surbaini: jurus Buka Pintu untuk menyambut, Tutup Jendela untuk menjaga, Hening untuk menahan, Gilip untuk mengelak, Sapu Halaman untuk menyisir gangguan. Ia belajar bahwa menangkis lebih mulia daripada menghajar, mengunci lebih suci daripada merobohkan.

 

Pada suatu petang, setelah latihan, Wak Surbaini mengajaknya duduk memandang sawah. “Dut,” katanya, “orang yang belajar silat sering tersesat karena ingin kuat. Padahal yang paling kuat adalah yang tidak perlu menunjukkan kekuatan. Kau ingat, tanganmu dilatih supaya tidak mudah terangkat.”

 

Paraduta menatap telapak tangannya. Guratan halusnya seperti peta sungai yang tak pernah ia perhatikan. “Jika ada yang memaksa lewat di batas?”

 

“Garis itu untuk diingatkan, bukan untuk membakar,” kata Wak Surbaini. “Kalau ia tetap memaksa, ukur langkahmu: tiga kali ajak bicara, sekali ajak duduk, kalau perlu baru pegang pergelangan. Jangan lebih.”

 

“Kenapa tidak lebih?”

 

“Karena setelah itu,” Wak Surbaini menatapnya, “bukan lagi kau yang memegangnya, tapi amarahmu.”

 

Paraduta mengangguk pelan. Di dadanya, lembah sunyi meluas seperti sawah yang habis hujan.

 

Kabar dari kabupaten kembali datang, membawa bahasa baru yang sudah dicurigai kampung: “pelestarian partisipatif”, “ekowisata berbasis komunitas”, “insentif karbon”. Orang-orang mulai lelah mendengar istilah. Ia mendengar Wak Wahid berkata di serambi surau, “Istilah boleh singgah, tapi jangan jadikan mereka penghuni tetap. Rumah ini dihuni oleh niat.”

 

Dalam sebuah pertemuan, pejabat muda menyodorkan draft kesepakatan: hutan adat menjadi “area lindung”, ladang menjadi “zona penyangga”, kampung menjadi “pusat edukasi”. Paraduta menatap garis-garis di peta itu; garis yang dibuat di kota untuk tanah yang dihidupi di kampung.

 

“Wak,” bisiknya pada Wak Wahid, “apakah kita harus menolak?”

 

Wak Wahid memiringkan kepala. “Tolak kalau ia mencabut akar. Terima kalau ia menyiram. Bedakan mana air hujan, mana air tumpahan cat.”

 

Paraduta tersenyum kecil. Bahasa Wak Wahid selalu membuatnya mendengar sesuatu lebih jauh dari telinga. Di akhir pertemuan, para tua-tua tak menandatangani apa pun. Mereka pulang dengan langkah yang tidak ringan, tapi juga tidak kalah.

 

Malamnya, Wak Wahid mengajak Paraduta duduk di pelataran surau. “Dut, mari kita ulang Wahdaniyah,” katanya. “Allah itu Esa; jalan menuju-Nya banyak. Adat yang benar adalah jalan. Silat yang benar adalah jalan. Tulisanmu pun bisa jadi jalan kalau kau tidak menjadikannya tujuan.”

 

“Dan jika aku tergelincir?”

 

“Berdiri,” ujar Wak, “dengan adab.”

 

Suatu hari, seorang pemuda dari kampung sebelah datang. Matanya merah, napasnya pendek. “Wak,” katanya tergesa pada Wak Surbaini, “orang-orang dari proyek memaksa masuk hutan kami. Mereka tertawa ketika kami pasang tali rotan.”

 

Wak Surbaini berdiri. “Jangan bawa senjata,” katanya pada pemuda itu. “Bawa orang tua dan anak-anak.”

 

Pemuda itu terkejut. “Anak-anak?”

 

“Ya,” kata Wak Surbaini. “Kita tidak akan berkelahi. Kita akan menghadirkan kampung. Mereka harus melihat bahwa yang mereka singkirkan bukan pohon, tapi masa depan.”

 

Mereka pun berangkat. Lima orang tua, sepuluh ibu-ibu, enam anak, dan tiga pemuda. Paraduta ikut. Di batas hutan, mereka berdiri berbaris: tidak teriak, tidak memaki. Anak-anak duduk di depan sambil menulis nama daun di papan kecil. Ibu-ibu menumbuk padi di serambi hutan; suaranya menyapu udara seperti doa. Orang tua duduk membacakan riwayat pohon dengan suara yang lambat bukan untuk meyakinkan, tetapi untuk mengingatkan.

 

Orang-orang proyek bingung. “Apa ini?” tanya seorang mandor. “Aksi teater?”

 

Wak Surbaini menjawab tenang, “Ini adat.”

 

Mandor tertawa sinis, melangkah maju. “Minggir!”

 

Seketika tangan Wak Surbaini terangkat, bukan menghantam, tapi menghadang angin. Pergelangan mandor disentuh, diarahkan turun, bukan dibanting, hanya diletakkan kembali di tempatnya. Patok di tangan mandor itu jatuh tanpa suara. Mandor memerah; matanya berkaca.

 

“Pulanglah,” kata Wak Surbaini pelan. “Jangan tinggalkan anakmu untuk melihat kau diusir oleh doa.”

 

Mandor itu terdiam lama, kemudian mundur. Rombongan bubar. Hutan tidak diretas hari itu. Tidak ada pahlawan, hanya kehadiran yang utuh.

 

Malamnya, di surau, Wak Wahid berkata, “Itulah Qudrah yang benar: kuasa menahan diri. Iradah yang benar: kehendak menyelamatkan. Ilmu yang benar: tahu kapan berhenti.”

 

Paraduta menulis kalimat itu di bukunya, dan untuk pertama kalinya ia merasa bahwa sifat dua puluh bukan sekadar pelajaran; ia adalah jurus hidup.

 

Musim berganti. Angin membawa bau durian dari hulu. Orang-orang kampung membuat kenduri kecil untuk menandai panen padi lokal yang mulai kembali penuh. Di halaman surau, Paraduta membacakan “Kitab Hati Jalan” yang ia susun dari pelajaran Wak Wahid, Wak Surbaini, dan tanah kampung. Halamannya bukan dari kertas mahal, tapi dari lembar-lembar pengalaman: cara memanggil semangat padi, adab menebang bambu, doa sebelum menabur benih, jurus menolak amarah, dan sifat-sifat yang harus dihidupkan di tubuh.

 

Ia menutup bacaan dengan kalimat: “Kita berjalan dengan dua kaki: adat dan agama. Kalau satu pincang, perjalanan menjadi tersengal. Maka saling topanglah.”

 

Orang-orang mengangguk. Beberapa ibu-ibu menahan air mata yang tidak sedih, tidak gembira, air mata yang keluar ketika seseorang melihat rumahnya berdiri kokoh di dalam dirinya sendiri.

 

Setelah kenduri, Wak Wahid memanggil Paraduta ke serambi. “Dut,” katanya, “aku ingin mengembalikan sesuatu yang dulu diberikan padamu.”

 

Wak mengangkat sehelai kain putih yang dulu Salim Senawar letakkan di bahu Paraduta kini diserahkan kembali melalui jalan agama. Wak menaruhnya pelan di bahu Paraduta, lalu berbisik, “Cerdikk bilang pandai bukan gelar; ia adalah cara bersetia.”

 

Paraduta menunduk. “Wak,” suaranya pelan, “aku masih sering takut.”

 

“Bagus,” jawab Wak. “Takut menandakan kau tahu ada yang lebih besar dari dirimu. Jangan hilangkan takut; letakkan ia di tempat yang benar. Di sujud.”

 

Menjelang malam, Paraduta ke halaman belakang di mana Wak Surbaini menunggu, membawa sepasang tongkat pendek dari rotan. “Hadiah,” katanya, “untuk melatih jarak.”

 

Paraduta menerimanya. “Apa bedanya tangan kosong dengan tongkat, Wak?”

 

“Tongkat membuatmu ingat bahwa manusia punya jangkauan,” jawabnya. “Dengan tongkat, kau bisa menyakiti dari jauh karena itu tongkat adalah amal yang mudah tergelincir. Latihlah, agar kau semakin enggan menggunakannya.”

 

Mereka berlatih sampai bintang naik tinggi. Keringat menetes, nafas teratur, tanah menerima setiap injak tanpa komplain. Di akhir, Wak Surbaini berkata, “Ada jurus terakhir yang harus kau pelajari, tapi hanya diajarkan kepada yang tak ingin memamerkannya.”

 

“Jurus apa, Wak?”

 

“Jurus memaafkan.” Paraduta menutup mata sesaat. Jurus itu terasa paling berat, paling sunyi, paling berurat pada hal yang tidak bisa diberi nama. Ia mengangguk. “Aku belajar, Wak.”

 

Hari-hari berikutnya, Paraduta mengajar anak-anak di Sekolah Hati Jalan: ia menyulam pelajaran Wak Wahid dalam doa pagi, mengenalkan Wujud sebagai “Ada yang menyayangi sebelum kita sempat berterima kasih,” mengenalkan Qudrah sebagai “kuasa menahan lidah ketika kata hendak menyakiti,” memperagakan Basar dengan menatap padi sambil menyebut satu kebaikannya. Di sore hari, ia menyulam gerak Wak Surbaini dalam permainan langkah satu untuk menyapa, langkah dua untuk mengelak, langkah tiga untuk menutup pintu angin.

 

“Kenapa kita belajar dua-duanya?” tanya seorang anak.

 

“Supaya kagummu tidak menjelma kekerasan,” jawab Paraduta. “Orang yang terlalu kagum pada satu hal, mudah menghina hal lain. Agama tanpa adat bisa menjadi palu; adat tanpa agama bisa menjadi kabut. Keduanya harus saling bercermin.”

 

Anak itu mengangguk, lalu menulis di papan kecil: “Cermin-cermin kecil di mata kami.” Paraduta menahan senyum; ia merasa kata-kata itu lebih indah daripada yang bisa ia ajarkan.

 

Suatu malam, kabar datang dari kota: undang-undang baru tentang hutan adat disahkan. Orang-orang bersorak, lalu bingung. Apakah ini kemenangan? Wak Wahid hanya berkata, “Kemenangan paling bahagia adalah kesempatan untuk lebih bertanggung jawab.”

 

Paraduta menulis kabar yang tidak membuat mabuk. “Kita diakui; sekarang mari mengakui,” tulisnya di papan surau. “Mengakui bahwa tanah bukan milik kita, tapi amanah. Mengakui bahwa menolak juga sebuah ilmu. Mengakui bahwa orang yang berbeda kalimatnya tidak selalu berbeda tujuannya.”

 

Ia menatap beringin. Di daun-daunnya, angin menulis puisi yang hanya bisa dibaca dengan telinga.

 

Musim kemarau tiba. Parit menyusut, langit biru kering, suara serangga seperti jarum jam yang terlalu jujur. Di ladang, padi menunduk; di surau, zikir memanjang, orang-orang memanggil hujan dengan adab yang tidak menyalahkan.

 

Wak Wahid mengajak murid-muridnya keluar, menggelar tikar di tanah yang retak halus. “Kita belajar Baqa’ di padang kering,” katanya. “Yang kekal tidak bergantung pada musim.”

 

Anak-anak bertanya, “Apakah Allah marah, Wak?”

 

“Allah tidak gampang marah,” jawabnya. “Kitalah yang cepat menyangka. Hujan akan datang ketika bumi telah membuat tempat untuk menampungnya.” Lalu ia menatap Paraduta. “Begitu pula ilmu.”

 

Paraduta terdiam. Ia mengerti: tugasnya bukan memaksa hujan turun, tapi membuat tempat.  Malam itu, ia menulis: “Sekolah Hati Jalan membuka tempat di dada. Jika kelak hujan ilmu datang, ia tidak tumpah.”

 

Pada suatu subuh yang lembut, seseorang mengetuk kentongan di surau, bukan tiga kali seperti biasa, melainkan dua kali, jeda, sekali. Itu tanda duka. Wak Surbaini memanggil Paraduta. “Ikut, Dut,” katanya pelan.

 

Mereka berjalan menuju rumah paling ujung. Seorang lelaki tua, bekas pekerja proyek, menghembuskan napas terakhir. Ia dulu pernah memaki mereka, pernah memaksa masuk hutan dengan patok di tangan. Sekarang, di pembaringan, wajahnya biasa saja seperti batu di sungai yang akhirnya menemukan posisi.

 

Keluarganya gelisah; sebagian takut orang kampung menyimpan sakit hati. Paraduta menatap Wak Surbaini. Wak mengangguk.

 

Paraduta melangkah ke tengah rumah. “Kami datang bukan untuk menagih masa lalu,” katanya pelan, “kami datang untuk mengantar.” Wak Wahid memimpin doa: suaranya rendah, seperti baru bangun dari mimpi yang tenang. Setelah semua usai, seorang anak lelaki almarhum memegang tangan Paraduta. “Maafkan ayah saya.”

 

Paraduta menggeleng. “Bukan aku yang memaafkan. Kampung yang memaafkan.” Ia menatap Wak Surbaini. Wak mengangguk lagi. Jurus terakhir, pikir Paraduta, diam-diam telah berjalan mendahului lidah.

 

Di luar, angin berubah haluan. Sore itu, awan datang dari barat, tebal, berat. Hujan pertama jatuh seperti kabar gembira yang sudah lama ditahan. Anak-anak berlarian di halaman, orang-orang tertawa. Di serambi, Wak Wahid berbisik, “Inilah Basar: melihat rahmat yang turun setelah orang menahan amarah.” Paraduta menengadah; hujan menyentuh kelopak mata, mengajarinya menangis tanpa rasa kalah.

 

Bertahun-tahun kelak, orang mungkin akan menceritakan Setangai Panjang sebagai kampung yang menolak padam. Mereka akan menyebut nama-nama: Wak Gapur, Wak Salim, Wak Wahid, Wak Surbaini, dan seorang anak yang bergelar ceridik bilang pandai. Mereka akan menulis artikel, menempelkan label “komunitas ketahanan,” mengundang ke seminar. Itu semua baik, pikir Paraduta, asalkan kampung tetap menjadi kampung, bukan panggung.

 

Di malam paling jernih bulan itu, Paraduta duduk sendiri di Batu Janji. Ia membuka buku catatan, yang kini tidak lagi rapuh, tapi tetap sederhana. Ia menulis satu halaman terakhir untuk malam itu: “Hari ini, aku diajari dua guru yang tidak saling berjarak: yang satu membersihkan cermin, yang satu menguatkan bingkainya. Tasawuf merapikan dalam, silat merapikan luar. Keduanya menjadikan manusia rumah bagi jalan yang benar.”

 

Ia memukul kentongan kecil. Tong… tong… tong. Suara itu melewati padi, menyeberang parit, mengetuk halus di dinding surau, lalu masuk ke telinga malam. Ia tersenyum pada gelap, pada hujan yang baru selesai, pada bintang yang kembali, pada bumi yang berbaring seperti ibu yang tenteram.

 

“Jangan menjadi cahaya,” suara lama itu datang lagi—suara Wak Salim yang kini menetap di riwayat. “Jadilah kaca.”

 

Paraduta menunduk. “Wak,” katanya pelan ke udara, “kaca kami kutautkan pada tarah, kutopang dengan adab, kupoles dengan doa. Kalau retak, kami sambung dengan maaf. Selama padi masih menunduk, kami tidak akan lupa cara berdiri.”

 

Di kejauhan, dari halaman surau, terdengar anak-anak Sekolah Hati Jalan menyanyikan shalawat dengan irama alu. Setiap bait berhenti di gerak langkah satu: tegur nama tanah. Lalu langkah dua: salam pada angin. Lalu langkah tiga: jaga diri. Suara itu naik seperti kabut yang ingin pulang ke langit.

 

Paraduta menutup buku, menyelipkannya di balik kain putih di bahu. Ia melangkah turun dari Batu Janji dengan hati yang tidak ringan, tapi benar. Jalan di depannya tidak lurus, namun bertarah. Dan ia tahu: selama ia mengingat sifat-sifat yang tumbuh menjadi akhlak, serta jurus-jurus yang membentuk adab, ia takkan tersesat. Karena di Setangai Panjang, agama dan adat tidak dipertentangkan. Mereka saling menyuapi, saling menegur, saling menutup pintu ketika angin malam datang membawa dingin. Dan di tengah semuanya itu, seorang murid yang terus mengaku murid, menjaga satu pekerjaan kecil: membuat kabar layak dibawa.

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar