Sejak tanah Suku Tengah Kepungut dikembalikan kepada masyarakat, nama Paraduta sering disebut di banyak ruang. Di warung kopi aktivis, di forum petani, di ruang diskusi mahasiswa. Ia dikenal sebagai pembela yang menolak tunduk. Namun bagi dirinya sendiri, kemenangan itu bukan akhir, melainkan awal dari tanggung jawab baru. Menjaga agar hukum tidak kembali jadi alat kekuasaan.
Ia sudah tidak lagi mengurus organisasi masyarakat adat yang dulu ia dirikan. Bukan karena tak cinta, melainkan karena sadar perjuangan butuh bentuk baru, lebih lentur dari birokrasi dan lebih liar dari struktur. Ia ingin membangun sesuatu yang bukan lembaga hukum semata, tapi tempat belajar, berteduh, dan menenun makna bersama.
Dari situlah nama itu datang: “Penenun Langit.”
“Langit itu seperti cita-cita,” katanya pada Rahabilah suatu malam, “tidak bisa digenggam, tapi bisa ditenun supaya kita semua punya naungan.”
Rahabilah tersenyum. “Kau makin puitis sejak menang perkara.”
Paraduta tertawa kecil. “Kemenangan itu berbahaya. Bisa membuat orang lupa betapa mahal harga satu kekalahan.”
Mereka menempati sebuah rumah sewaan di pinggir kota kecil Gading Cempaka. Di ruang tamu berdiri rak buku dari kayu tua, di dinding tergantung peta-peta wilayah adat dan spanduk demonstrasi lama yang sudah pudar. Bunaya, si buronan aktivis yang kini hidup setengah bebas mengurus dokumentasi, sementara Rahabilah menangani pendidikan dan pengorganisasian rakyat.
Namun setelah dua bulan berjalan, Paraduta merasa sesuatu kurang. “Kita butuh darah baru,” katanya. “Seseorang yang bisa bicara keras di jalan, tapi juga bisa berpikir tajam di meja.”
Maka dimulailah perjalanan itu. Paraduta mendatangi banyak diskusi mahasiswa dari fakultas filsafat sampai komunitas ekonomi alternatif. Ia duduk di pojok, mendengarkan, mencatat. Di banyak tempat ia menemukan semangat, tapi juga kelelahan. Idealisme yang sudah dikepung pragmatisme. Sampai suatu sore di kampus Sungai Hitam, dalam sebuah forum kecil bertajuk “Marx di Era Green Economy”, ia mendengar nama itu pertama kali. Radendra.
Radendra berdiri di depan dengan kemeja lusuh dan mata tajam. Suaranya serak tapi penuh daya. Ia bicara tentang tanah, tenaga kerja, dan ketimpangan dengan bahasa yang bukan sekadar teori, tapi nyala.
“Kapitalisme hari ini tidak lagi mencuri tanah,” katanya, “ia mencuri makna tanah itu sendiri. Petani dipaksa menjadi investor, nelayan dijadikan mitra, dan rakyat dijadikan statistik. Itu bukan pembangunan. Itu penjinakan.”
Paraduta tertegun. Ia tak ingat kapan terakhir kali mendengar seorang mahasiswa berbicara dengan kemarahan yang begitu jernih.
Setelah acara, ia menghampiri Radendra. “Kau bicara seperti orang yang pernah kalah perang.”
Radendra menatapnya, tersenyum samar. “Setiap kali membaca laporan proyek pembangunan, saya merasa kalah lagi.”
Mereka berbincang lama di kantin kampus yang hampir tutup. Paraduta bercerita tentang Penenun Langit dan kasus Kepungut. Radendra mendengarkan dengan antusias, matanya menyala.
“Kau butuh orator, aku butuh medan,” katanya akhirnya. “Biar aku ikut. Tapi jangan jadikan aku pegawai.” Paraduta tertawa. “Aku tidak punya gaji untukmu, hanya kopi dan keyakinan.”
“Itu sudah cukup,” jawab Radendra.
Sejak hari itu, rumah Penenun Langit menjadi lebih hidup. Radendra membawa energi yang berisik tapi segar. Di pagi hari ia menulis di mesin tik tua, di sore hari ia melatih warga berorasi. Ia mengajar dengan cara seperti berdemo. Mengguncang tapi menghidupkan.
Bunaya awalnya tak begitu suka. “Anak itu terlalu banyak bicara,” katanya pada Paraduta.
Paraduta hanya tersenyum. “Kau dulu juga begitu.”
“Bedanya,” gerutu Bunaya, “aku dulu bicara karena dikejar, dia bicara karena haus panggung.”
“Tapi kau lihat, kata-katanya bisa membuat orang bergerak.”
Bunaya mengangguk pelan. “Mungkin, memang itu yang kita butuh sekarang. Api di tengah awan.”
Rahabilah kagum pada cara berpikir Radendra. Bacaan-bacaannya melampaui usianya, Marx Gramsci, Fanon, Rosa Luxemburg, sampai kearifan lokal Rejang. Ia tak hanya mengutip, tapi menghubungkan: antara teori dan kehidupan.
“Kau tahu, Paraduta,” katanya suatu malam, “perjuanganmu di Kepungut adalah bentuk praksis dari kontradiksi yang ditulis Marx.”
Paraduta tertawa kecil. “Aku hanya tahu tanah tak boleh dijual.”
“Itu sudah cukup untuk jadi seorang Marxis,” jawabnya serius.
Perjalanan baru dimulai ketika kabar itu datang. Penggusuran di Jurai Tuo Semidang. Sebuah proyek jalan kabupaten akan memotong lahan kebun milik warga. Puluhan keluarga sudah menerima surat pengosongan.
“Sejarah berulang, hanya alamat yang berbeda,” kata Bunaya lirih.
Paraduta memutuskan turun bersama tim. Mereka tiba malam hari, disambut warga dengan wajah letih. Di bawah cahaya lampu minyak, seorang ibu menangis. “Mereka bilang untuk pembangunan, tapi kami tak pernah diajak bicara.”
Besoknya, alat berat datang diiringi polisi bersenjata. Warga menghadang dengan tubuh. Paraduta berdiri di depan barisan, suara megafon di tangannya bergetar. “Ini tanah rakyat! Pembangunan tanpa rakyat adalah kekerasan!”
Benturan tak bisa dihindari. Polisi mendorong, warga menolak, beberapa jatuh. Rahabilah diseret, Bunaya menahan aparat, Radendra berteriak dari atas mobil pick-up: “Kalian bukan menjaga hukum, kalian menjaga ketakutan!”
Suara itu menggema, tapi sebentar kemudian sirene meraung, gas air mata menyebar. Paraduta mencoba menenangkan warga, namun belasan orang ditangkap termasuk tiga bapak dan dua aktivis muda dari kampus.
Malam itu, posko sunyi. Asap dupa yang biasa dibakar Pak Rozak di Kepungut kini digantikan bau keringat dan luka.
“Kita gagal lagi,” kata Rahabilah pelan.
“Tidak,” jawab Radendra tegas. “Kita hanya belum selesai.”
Keesokan paginya, mereka mengorganisir aksi di depan kantor kepolisian. Paraduta memimpin barisan, sementara Bunaya dan Rahabilah menyiapkan spanduk bertuliskan “Hukum Bukan Alat Penggusuran”. Radendra berdiri di atas truk bak terbuka, mengangkat megafon.
“Apa arti negara,” serunya, “kalau keadilan hanya berlaku bagi mereka yang punya izin? Apa arti pembangunan kalau petani dipenjara karena mempertahankan sawahnya?”
Suara itu tajam dan bergema. Wartawan mulai berdatangan. Polisi berjaga dengan wajah kaku. Paraduta melangkah ke depan membawa surat permintaan penangguhan penahanan.
“Kami hanya ingin warga pulang,” katanya tenang kepada komandan.
“Tunggu proses,” jawab sang komandan dingin.
“Proses yang mana? Proses menunggu mereka kehilangan rumah?”
Ketegangan menebal. Tapi tak ada bentrokan hari itu, hanya adu pandang yang panjang dan melelahkan.
Sore hari, mereka duduk di pinggir trotoar. Radendra menatap kosong ke arah langit jingga. “Aku bisa bicara sepanjang hari,” katanya lirih, “tapi kata-kata tak bisa membuka borgol.”
Paraduta menepuk bahunya. “Kata-kata adalah awal dari segalanya. Tanpa kata, kita tak punya alasan untuk bertahan.”
Hari-hari berikutnya penuh kegelisahan. Para tahanan belum dibebaskan. Bantuan hukum berjalan lambat. Beberapa relawan mulai ragu, sebagian mahasiswa mundur. Tapi Radendra tetap menulis setiap malam. Di koran alternatif, di selebaran, di dinding posko. Ia menulis dengan api.
“Militansi bukan tentang menang atau kalah,” katanya kepada Rahabilah. “Militansi adalah tentang siapa yang masih menulis ketika semua orang berhenti bicara.”
Paraduta sering melihatnya duduk di beranda, menatap jauh ke jalan yang sepi. Dalam diam, ia tahu anak muda itu sedang berperang dengan dirinya sendiri antara idealisme dan kenyataan.
Suatu malam, mereka berbicara panjang.
“Kau tahu,” kata Radendra, “setiap kali melihat orang dipukul karena tanahnya, aku merasa ada bagian dari diriku yang juga hancur.”
Paraduta menatapnya. “Itu artinya kau manusia.”
Radendra tersenyum getir. “Atau terlalu manusia untuk dunia yang sekejam ini.”
Dua minggu kemudian, kabar datang. beberapa warga Jurai Tuo dibebaskan bersyarat. Bukan kemenangan, tapi tanda bahwa perjuangan mereka mengguncang.
Paraduta menatap berita itu di koran lokal. “Mereka tak bisa menahan rakyat selamanya.”
“Benar,” sahut Bunaya, “karena rakyat tak bisa ditahan di ruang yang tak mereka percayai.”
Penenun Langit tumbuh dalam kekalahan-kekalahan semacam itu. Mereka tidak punya kantor besar, hanya keyakinan kecil yang keras kepala. Di setiap kasus baru, mereka menulis ulang makna hukum, bahwa keadilan bukan hasil sidang, melainkan hasil keberanian.
Rahabilah mulai mengajar kelompok ibu-ibu membaca kontrak tanah. Bunaya membuat arsip visual perjuangan. Radendra menulis pamflet yang tersebar di kampus dan desa-desa. Dan Paraduta, di sela lelahnya, mulai menulis buku tentang perjalanan mereka Hukum yang Tumbuh dari Tanah.
Suatu malam, ketika hujan turun deras, seseorang mengetuk pintu posko. Seorang lelaki tua dengan payung patah berdiri di luar. “Saya dari Jurai Tuo,” katanya pelan. “Saya hanya ingin bilang terima kasih. Walau belum bebas sepenuhnya, kami tahu sekarang bahwa kami tidak sendirian.”
Paraduta mengajaknya masuk. Lelaki itu membuka bungkusan kecil berisi biji kopi. “Tanam ini di halaman kalian. Biar tumbuh kenangan bahwa perjuangan tidak mati.”
Setelah lelaki itu pergi, Paraduta menatap biji kopi itu lama. “Lihat,” katanya pada Rahabilah, “inilah kemenangan yang sebenarnya. Rakyat percaya bahwa suara mereka masih didengar.”
Pada suatu sore, Paraduta duduk sendirian di halaman. Hujan reda, dan langit memantulkan warna ungu yang dalam. Ia teringat Pak Rozak di Kepungut, lelaki tua yang meninggal setelah tanahnya kembali hijau. “Apakah setiap kemenangan memang butuh kematian?” pikirnya.
Ia menatap tanah, membisikkan doa yang sama yang pernah diajarkan Rozak:
“Bumi ini tidak butuh pembela, hanya butuh manusia yang mau mendengarnya.”
Langit tampak lebih rendah malam itu, seperti bisa dijangkau oleh tangan. Mungkin memang begitulah cara kerja semesta. Setiap perlawanan adalah upaya menenun ulang langit agar tidak terlalu jauh dari bumi.
Waktu berjalan, dan Penenun Langit tumbuh menjadi jejaring kecil di banyak tempat. Dari desa nelayan di pesisir hingga hutan di hulu. Mereka tidak pernah punya banyak uang, tapi punya kepercayaan rakyat yang tak ternilai.
Paraduta tahu perjuangan mereka masih panjang. Hukum masih berat sebelah, tanah masih dijual murah, dan negara masih menamai ketidakadilan sebagai pembangunan. Namun ia juga tahu, ada sesuatu yang berubah. Rakyat kini mulai menulis ulang kisahnya sendiri.
Suatu malam, di posko kecil mereka, Radendra duduk menulis di bawah cahaya lampu minyak. Di sampul bukunya tertulis: “Hukum dan Rakyat di Tepi Revolusi.”
Ia menatap Paraduta dan berkata, “Kita ini seperti penenun, Duta. Kita tidak bisa menjahit seluruh langit, tapi kita bisa menambal robek-robeknya.”
Paraduta tersenyum. “Dan semoga, sebelum langit benar-benar lepas, ada generasi yang melanjutkan jahitan ini.”
Beberapa bulan kemudian, di halaman posko, tumbuh pohon kopi dari biji yang dibawa lelaki tua itu. Setiap pagi, Rahabilah menyiraminya.
“Lihat,” katanya pada Bunaya, “ia tumbuh di antara batu. Seperti kita.”
Paraduta berdiri di samping mereka, menatap langit. Di kejauhan, suara azan bercampur dengan nyanyian jangkrik. “Langit itu bukan sesuatu yang jauh di atas,” katanya pelan, “ia adalah pantulan dari apa yang kita perjuangkan di bawah.”
Mereka terdiam. Di dada mereka, masih ada luka, tapi juga keyakinan bahwa setiap kekalahan adalah benih dari kemenangan berikutnya, dan setiap perjuangan adalah doa yang tak pernah benar-benar padam.
Paraduta menatap pohon kecil itu sekali lagi, lalu berkata “Kalau suatu hari aku tiada, teruslah menenun langit. Karena selama rakyat masih percaya, hukum akan selalu punya tempat tumbuh.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar