Tanah di Ujung Doa - Erwin Basrin

Breaking

Recent Posts

 photo Untitled-1_1.jpg

Selasa, 28 Oktober 2025

Tanah di Ujung Doa

 




“Setiap tanah menyimpan doa, tapi tidak semua doa sempat terucap sebelum dupa padam. Di Kepungut, kami belajar bahwa hukum bisa tumbuh dari lumpur sawah, dan keadilan bisa hidup di tubuh yang berkeringat. Kami hanya ingin tanah tempat kami dilahirkan tidak dijual atas nama kemajuan. Kami hanya ingin negeri ini mengingat, bahwa sebelum ada negara, ada doa para leluhur yang menjaga bumi dengan sabar.”


Pagi itu, kabut tipis turun dari bukit seperti tirai halus yang hendak menutupi luka di bumi. Di bawahnya, tanah Suku Tengah Kepungut tergeletak dalam diam, barisan pohon durian yang digusur, pondok-pondok kayu yang tinggal arang, dan papan bertuliskan “Tanah untuk Pembangunan Kabupaten” yang tertancap seperti pisau di dada.


Paraduta berdiri di sana, memandangi bekas tanah basah yang baru saja dilalui alat berat. Sepatu botnya kotor oleh lumpur, tetapi lebih berat dari lumpur adalah perasaan di dadanya. Ia datang bukan untuk menjadi pahlawan. Ia datang karena tanah ini telah memanggilnya.


Sudah tiga minggu ia berada di Kepungut. Tidur di rumah warga, makan dengan nasi jagung, mendengar keluh pelan para ibu yang kehilangan kebun, dan menyimak kisah para lelaki yang kini tak lagi punya ladang untuk diwariskan. Mereka menyebutnya Tanah Nenek Moyang tanah yang memberi makan, menyusui, dan melahirkan sejarah mereka sendiri.


“Pembangunan apa kalau yang dibangun justru kesedihan?” tanya Paraduta waktu itu kepada seorang pejabat kabupaten. Tetapi jawaban yang ia terima hanya senyum dingin dan surat panggilan dari kepolisian.


Di hari kedua ia berada di Kepungut, datanglah Bunaya, seorang lelaki berambut gondrong, dengan mata tajam seperti elang. Ia datang malam-malam ke rumah tempat Paraduta menginap, dengan langkah hati-hati seperti orang yang lama hidup dalam pelarian.


“Aku dengar kau mencari kawan, bukan sekadar bantuan hukum,” katanya perlahan sambil menyalakan rokok linting.


Paraduta menatapnya. “Dan aku dengar kau buronan yang dianggap makar.”


Bunaya tersenyum tipis. “Makar, katanya, karena aku menulis bahwa keadilan tak bisa dilahirkan dari meja rapat.”


Mereka tertawa kecil, sebuah tawa yang lebih seperti persekongkolan diam. Malam itu mereka berbicara Panjang. Tentang hutan yang dijual, tentang janji yang dikhianati, tentang keyakinan bahwa rakyat hanya kalah bila berhenti percaya pada kebenaran.


Beberapa hari kemudian, datanglah Rahabilah, anak muda berumur sembilan belas tahun, mahasiswa yang baru saja kehilangan orientasi hidupnya setelah kampusnya melarang diskusi agraria. Ia berkata ingin belajar menjadi aktivis.


“Belajar dari siapa?” tanya Paraduta.


“Dari rakyat,” jawabnya mantap.


Sejak hari itu mereka bertiga menjadi satu pasukan kecil. Paraduta sang pembela, Bunaya sang pelarian, dan Rahabilah sang pembelajar. Di antara mereka, keheningan sering lebih kuat daripada pidato. Mereka berjalan dari satu dusun ke dusun lain, mengumpulkan cerita, mendata lahan, dan menulis laporan panjang yang suatu hari kelak menjadi bukti pengadilan.


Tokoh tertua di Kepungut adalah Pak Abdul Rozak, seorang lelaki berusia tujuh puluh tahun yang dikenal sakti, bijak, dan tegas. Katanya, ia bisa membaca tanda-tanda alam, tahu kapan musim hujan akan datang, kapan tanah akan subur, bahkan kapan seekor ayam akan bertelur.


Rumahnya berdiri di tepi kebun kopi yang kini tinggal separuh. Di dindingnya tergantung selembar foto lama. Ia muda, memakai ikat kepala, berdiri di depan ladang dengan senyum kecil.


“Dulu, tanah ini luas sampai mata tak sanggup menghitung,” katanya kepada Paraduta suatu sore. “Sekarang, tinggal separuh. Besok entah tinggal berapa.”


Paraduta menunduk. “Kami sedang menyiapkan gugatan, Pak. Tapi prosesnya panjang.”


“Anakku,” kata Rozak pelan, “hukum memang panjang, tapi kesabaran rakyat lebih panjang lagi. Kau bantu kami dengan pena, kami bantu kau dengan doa.”


Sejak itu, setiap malam, setelah rapat selesai, Rozak selalu duduk di serambi, menyalakan dupa, dan berdoa pelan dalam bahasa yang hanya ia mengerti. Bunaya pernah bilang, “Kalau doa Pak Rozak berhenti, tanah ini ikut berhenti bernafas.”


Di posko perjuangan yang mereka dirikan di rumah kayu bekas gudang, ada dua orang lain yang tak kalah penting. Pak Harsa, mantan preman pasar yang kini menjadi penjaga keamanan warga. Tubuhnya kekar, bekas tato di lengannya samar, tapi matanya sering basah setiap kali bercerita.


“Aku dulu yang bantu satpam-satpam itu waktu pertama kali mereka datang,” katanya kepada Rahabilah. “Kupikir, mereka datang untuk bangun sekolah atau jalan. Aku yang justru mengawal buldoser masuk. Waktu itu aku belum tahu kalau yang mereka ratakan adalah kubur bapakku sendiri.”


Setiap kali ia mengingat itu, air matanya jatuh tanpa ia bisa tahan. “Kalau aku bisa menebusnya, aku mau jadi penjaga tanah ini sampai mati.”


Yang satu lagi, Henliroza, lelaki paruh baya berwajah tenang, dikenal sebagai orang paling dermawan di Kepungut. Ia menjual rumahnya di kota, menggadaikan tanah warisan istrinya, dan memindahkan seluruh uangnya ke rekening perjuangan. “Rumah bisa dibangun lagi,” katanya, “tapi tanah ini kalau hilang, kemanusiaan juga hilang.”


Henliroza menjadi penyambung antara warga dan dunia luar. Ia mengundang jurnalis, mengurus surat, menyiapkan transportasi. Namun ia menolak disebut pahlawan. “Aku hanya sedang membayar hutang kepada tanah yang membuatku manusia.”


Suatu pagi, datang surat peringatan kedua dari pemerintah kabupaten. Mereka menuduh warga Kepungut “menghambat pembangunan dan melakukan pendudukan ilegal terhadap aset negara.” Paraduta membaca surat itu berkali-kali. Kata-kata “pembangunan” dan “ilegal” terasa seperti dua ujung pisau yang sama tajamnya.


Bunaya menatap surat itu sambil tertawa getir. “Lihat? Bahasa kekuasaan selalu tampak sah, bahkan ketika menindas.”


Rahabilah mengepalkan tangan. “Kita harus melawan dengan bahasa yang lebih kuat.”


Paraduta mengangguk. “Bahasa kebenaran.”


Mereka menyiapkan konferensi pers. Di bawah tenda biru di tengah lapangan, ratusan warga berkumpul. Di depan mereka, Pak Abdul Rozak berdiri dengan tongkatnya.


“Anak-anakku,” katanya lantang, “kita tidak sedang melawan pembangunan, kita sedang mempertahankan kehidupan. Kalau tanah ini hilang, jangan salahkan anak cucu kita yang kelak hanya bisa melihat sawah di gambar buku sekolah!”


Suara tepuk tangan menggema. Paraduta menatap wajah-wajah itu. Ibu-ibu, anak-anak, pemuda yang menggenggam bambu. Di wajah mereka, ketakutan dan harapan bercampur jadi satu.


Proses hukum berjalan lambat seperti arus sungai di musim kemarau. Setiap pekan Paraduta dan Rahabilah menempuh perjalanan ke ibukota kabupaten, membawa berkas, mendengarkan saksi, menulis ulang laporan. Di luar ruang sidang, warga sering menunggu berjam-jam dengan membawa nasi bungkus dan doa.


“Kenapa keadilan harus menunggu?” tanya Rahabilah suatu kali.


Paraduta menjawab pelan, “Karena keadilan harus dilahirkan, bukan dijatuhkan.”


Di luar, Bunaya menyebarkan pamflet, berbicara dengan wartawan, dan menulis di media alternatif. “Kalau mereka bisa mengguncang bumi dengan buldoser,” katanya, “kita guncang hati mereka dengan kata.”


Malam-malam mereka panjang. Henliroza menyiapkan kopi, Pak Harsa berjaga di luar rumah. Kadang bunyi rantai truk terdengar dari jauh, suara alat berat yang menunggu perintah baru. Tapi doa Rozak selalu menghalau ketakutan itu. “Selama langit masih punya bintang,” katanya, “kita belum kalah.”


Pada pagi yang basah oleh hujan, datang kabar yang membuat desa berguncang. Gugatan masyarakat Kepungut dikabulkan. Pengadilan memutuskan bahwa penggusuran tidak sah, dan proyek kabupaten harus dibatalkan. Surat keputusan turun seminggu kemudian dan lahan dikembalikan kepada masyarakat.


Tangis pecah di setiap sudut desa. Ibu-ibu memukul lesung, anak-anak berlari di jalan, dan para lelaki menyalakan api di lapangan sebagai tanda syukur. Paraduta berdiri di tengah kerumunan, tubuhnya gemetar antara lega dan tak percaya. Ia menatap Bunaya yang tersenyum lebar. “Kau lihat,” katanya, “sejarah memang milik yang melawan.”


Henliroza menangis. “Rumahku boleh tergadai, tapi tanah ini kembali,” ujarnya sambil memeluk Pak Harsa yang juga menangis tersedu.


Rahabilah menatap warga dengan mata berkaca. “Aku tahu sekarang, belajar jadi aktivis bukan soal bicara keras, tapi soal berjalan bersama.” Malam itu, di tengah pesta kecil dengan nasi bungkus dan kopi pahit, Pak Rozak menatap bintang dan berkata, “Akhirnya doa kita didengar.”


Musim panen pertama setelah kemenangan tiba. Lahan-lahan yang dulu hancur kini hijau kembali. Padi tumbuh tinggi, pohon durian berbunga, dan kebun kopi mulai berbuah. Di tanah lapang, anak-anak bermain bola, sementara ibu-ibu menjemur biji kakao di terpal biru.


Paraduta kembali ke Kepungut membawa kabar baik. Pemerintah provinsi akan menjadikan desa mereka sebagai model “pengelolaan tanah berbasis komunitas.” Warga bersorak. Namun di balik kebahagiaan itu, waktu menyiapkan satu kejutan terakhir.


Pagi itu, jam sepuluh, Paraduta menelpon Pak Rozal. Mereka berbincang ringan tentang rencana pertemuan dengan mahasiswa hukum. “Kalau nanti mereka datang, katakan pada mereka, hukum itu seperti air sungai,” kata Rozak dari seberang, “kalau tersumbat di hulu, biarkan rakyat menggali salurannya sendiri.” Paraduta tertawa, dan berjanji akan segera ke Kepungut minggu depan.


Dua jam kemudian, jam dua belas siang, kabar itu datang seperti petir. Pak Rozak meninggal dunia. Ia ditemukan duduk di kursi serambi, dengan dupa masih menyala di tangannya. Wajahnya tenang, seolah sedang tidur setelah menuntaskan tugas panjang.


Ketika Paraduta tiba di desa sore harinya, seluruh warga berkumpul. Bunaya menunduk, Rahabilah menangis diam-diam. Di depan rumah, bendera putih berkibar di bawah langit kelabu.


“Dia pergi di saat tanahnya kembali hijau,” kata Henliroza pelan.


“Dan mungkin,” tambah Harsa dengan suara serak, “itulah bentuk kemenangan paling sejati.”


Malam itu, usai pemakaman, Paraduta duduk di tanah yang baru ditaburi bunga kamboja. Ia menatap bulan yang memantul di daun-daun kopi basah.


“Pak,” bisiknya, “kau sudah menulis hukummu sendiri. Dari bumi, untuk bumi.”


Di sekelilingnya, bunyi jangkrik bersahut-sahutan seperti nyanyian pelan. Rahabilah duduk di sampingnya, sementara Bunaya menatap jauh ke hutan. “Perjuangan belum selesai,” kata Bunaya lirih. “Masih banyak Kepungut lain di negeri ini.” Paraduta mengangguk. “Tapi setidaknya, malam ini kita tahu bumi bisa menang, bila manusia tidak menyerah.”


Dari kejauhan, angin membawa aroma tanah basah, bau kehidupan yang baru saja lahir kembali. Paraduta menunduk, menggenggam segenggam tanah, dan menaruhnya di dada.


“Untukmu, Pak Rozak,” katanya pelan. “Untuk semua yang percaya, bahwa hukum sejati adalah hukum yang tumbuh dari tangan rakyat.” Di langit, bulan naik perlahan. Dan di bawahnya, Kepungut berdiri lagi bukan hanya sebagai desa, tapi sebagai saksi bahwa sejarah bisa ditulis ulang oleh mereka yang tak berhenti mencintai tanah.


Catatan Penulis

Cerita ini terinspirasi oleh perjuangan nyata masyarakat adat Suku Tengah Kepungut di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu. Sebuah perjuangan panjang yang tidak hanya melawan penggusuran, tetapi juga melawan pelupaan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar