Paraduta dan Barisan yang Tak Padam - Erwin Basrin

Breaking

Recent Posts

 photo Untitled-1_1.jpg

Minggu, 26 Oktober 2025

Paraduta dan Barisan yang Tak Padam

 


 

Pagi yang meminta hujan turun dengan sopan. Begitulah kampung pertama menyapa Paraduta ketika ia memutuskan berhenti kuliah. Keputusan itu bukan ledakan; ia lahir pelan, seperti lumut yang merayap di batu, mengeras dan tak bisa dikupas lagi. Di kamar kos yang lembab, ia menatap selembar kertas yang mestinya diisi rencana studi. Di ujung kertas, ia menulis satu kalimat: “Jika ilmu tak sanggup menyelamatkan rumah, biarlah tubuh yang bekerja.” Setelah itu, ia mengepak buku-bukunya, memeluk lama foto ibunya, Mar’a lalu pergi.

 

Ia pulang ke hutan bukan hutan yang biru di brosur, melainkan hutan yang menghitam oleh arang masak dan asap ladang, hutan dengan jejak kaki manusia, burung, dan babi, yang mengingatkan bahwa rimba bukan sekadar pohon, melainkan biografi. Di hutan itu, ia mencari alamat pertama dari daftar dua puluh lima kesatuan masyarakat adat yang perlu disapa, dijahit, dan disatukan dalam satu kain besar. Organisasi yang belum punya nama, hanya memiliki tekad.

 

Hari-hari pertama dihabiskan Paraduta di atas motor tua, mengarit jalan tanah, menyebrangi sungai yang malas, menunggu perahu yang selamanya terlambat. Ia membawa surat pengantar seadanya, satu gulung peta yang sudah terlipat ratusan kali, dan tenunan kecil milik almarhum neneknya, Saluna diikatkan di leher. “Bila kau tersesat,” kata nenek dulu, “sentuh kain ini. Ia akan mengingatkanmu bahwa rumah adalah apa yang kau lindungi, bukan yang kau tinggali.”

 

Konsolidasi, kata orang kota, terdengar seperti rapat berpendingin ruangan. Di sini, konsolidasi berarti duduk berjam-jam di bale-bale, meminum kopi pahit, mendengarkan cerita yang berputar-putar seperti sungai, membiarkan orang tua menabung jeda, dan anak kecil menyisipkan tertawa. Paraduta belajar mendengar sampai habis, hingga kata-kata tak lagi ingin berbunyi. Dari situlah ia membangun kalimat pertama organisasi: setiap hutan punya jantung; sentuhlah dengan bahasa mereka.

 

Ia mencatat nama kampung demi kampung, menandai peta dengan pensil yang tumpul: Melayu Koto, Karang Bak, Lubuk Jaya, Teluk Pematang, Ujung Rimba, Tanah Lima, Tanjung Terdana, Suku Tengah Kepungut… Dua puluh lima titik membentuk rasi bintang yang tak ada di langit manapun hanya terlihat dari mata orang yang pulang.

 

Di tiap titik, selalu ada tokoh yang menyala seperti tunggul nyaris padam yang dihembus pelan. Paraduta datang bukan untuk menyalakan mereka; api sudah ada. Ia hanya menangkupkan dua telapak tangan agar nyala tak dipadamkan angin.

 

Di kampung yang dijaga bukit tidur dan sungai yang bertutur dalam batu-batu hijau, Paraduta bertemu Salipir. Lelaki berambut putih itu menyambutnya di pelataran, memegang sebilah parang yang lebih serupa tongkat; bukan untuk menakut-nakuti, melainkan karena tangan tua selalu butuh pegangan.

 

“Kau anak dari kota,” kata Salipir, “apa yang kaucari di sini?”

 

“Rumah,” jawab Paraduta.

 

Salipir tersenyum, wajahnya berkerut seperti peta tua. Ia menunjuk bukit, lalu sungai. “Mereka datang dengan peta yang lebih licin dari air hujan. Katanya, kami harus ‘melestarikan’ hutan ini. Tapi di peta mereka, tak ada nama kami, tak ada ladang, tak ada denda-denda adat, tak ada kubur. Bagaimana kami dilestarikan jika kami dihapus?”

 

Paraduta mendengar rencana: kawasan konservasi yang ditarik garis tanpa bertanya. Hutan dijadikan museum; manusia diminta menjadi pengunjung di tanah sendiri. Salipir menolak bukan karena benci pada satwa, melainkan karena ia tahu: hutan yang diam tanpa manusia adalah hutan yang mati perlahan. “Kami bisa menjaga,” katanya, “selama kamu mengizinkan kami hidup.”

 

Malam itu, di bale besar, Paraduta memfasilitasi musyawarah. Ia bukan juru pidato, ia juru tenang. Ia melukis di tanah dengan ranting: zonasi hutan adat, ladang, rimba, hutan larangan dan bagaimana mereka bisa bersuara di rapat-rapat pemerintah. Besoknya, mereka bersama-sama mengetuk kantor kabupaten. Paraduta mendudukkan Salipir sebagai juru bicara; ia sendiri duduk sedikit ke belakang, menjadi punggung yang menahan angin. Di wajah Salipir, ia melihat hutan menegakkan dada.

 

Di tempat lain, tanah merah bergulung seperti lidah luka. Ekskavator mengerang, mengunyah akar. Di ujung kampung, tinggal beberapa sisa pohon durian yang berdiri seperti tiang doa. Di sinilah Paraduta bertemu Pak Sidik: lelaki pendek dengan tatapan yang dingin namun jernih.

 

“Mereka bilang perkebunan besar membawa sejahtera,” kata Pak Sidik. “Kami melihatnya membawa lubang.”

 

Paraduta ikut rapat kampung yang riuh; pro-kontra berkelebat seperti kelelawar sore. Ada yang berharap gaji, ada yang takut kehilangan kampung. Pak Sidik berdiri pelan, suaranya tidak meledak, “Saya sudah bekerja sebagai mandor tiga musim. Kesejahteraan itu seperti janji pacar masa muda: selalu besok.”

 

Mereka menyusun argumen, bukan makian. Paraduta mengajarkan cara menulis kronologi, menghitung upah vs biaya, memotret bukti. Mereka bertemu bupati, menolak izin, dan ketika izin tetap keluar, mereka ajukan keberatan administratif, mereka gelar selawat di pintu kamp, mereka menanam bibit di jalan ekskavator. Bukan untuk menantang, kata Pak Sidik, tapi untuk mengingatkan bahwa tanah ini sudah punya nama sebelum korporasi punya akta.

 

Pada musim lain, pemerintah datang dengan proyek yang berpakaian bagus: relokasi demi keselamatan. Mereka bilang kampung di bantaran harus pindah, demi jalur hijau dan banjir yang makin giat. Pak Abdul Rozal, pimpinan suku yang terbiasa bicara pendek dan tepat, menatap peta penataan ruang seperti menatap anak kecil yang nakal.

 

“Kami tidak anti-keselamatan,” katanya kepada Paraduta, “kami anti ketika keselamatan menendang kami keluar dari rumah leluhur.”

 

Paraduta memfasilitasi audit partisipatif: mereka mengukur sendiri elevasi banjir, menandai sumur air, memotret batu-batu petanda kubur. Mereka hadir dengan data, bukan emosi semata. Dalam sidang dengar pendapat, Pak Abdul berdiri: “Kami bersedia menanam kembali pohon di sempadan, menata ulang rumah, tapi jangan usir kami ke atas bukit yang bukan kampung kami.” Paraduta menatapnya, bangga tanpa perlu berkata.

 

Namanya Ahidin, kulit sawo matang dan mata menyala. Ia tak bisa membaca, tapi memori kepalanya setajam parang baru diasah. Di musyawarah, Ahidin sering diam. Sekali bicara, ia menunjuk akar masalah seperti orang yang sudah lama mengintainya.

 

“Buta huruf bukan buta hati,” katanya pelan kepada Paraduta saat mereka duduk di beranda rumah panggung. “Kalau aku tak bisa membaca kertas, aku membaca hutan.”

 

Paraduta mengajarinya menulis nama sendiri A-H-I-D-I-N di atas tanah dengan ranting. Ahidin tertawa, seperti anak kecil yang menemukan bintang baru. “Aku akan belajar tanda tangan,” katanya, “agar kalau mereka minta tanda tangan, aku beri tanda tanganku sendiri, bukan sidik jari yang bisa digandakan.”

 

Dalam aksi kolaborasi, Ahidin menjadi pemimpin patroli hutan adat. Ia hapal semua jalan tikus pembalak haram, ia tahu suara mesin dari jarak dua bukit. “Hutan mengelluh,” katanya, “kau dengar?” Paraduta mengangguk; ia belajar bahwa pengetahuan bukan selalu yang dibaca, sering yang dihidupi.

 

Di pulau kecil yang dilamar badai setiap akhir tahun, ada Cik Nanang: lelaki berumur yang tutur katanya membuat air laut berhenti sejenak. Ia tidak protes, ia tidak berteriak; ia menimbang.

 

“Paraduta,” katanya sambil menatap cakrawala, “perjuangan itu perahu. Kita perlu mendayung, ya. Tapi kita juga perlu tahu kapan menunggu angin.”

 

Cik Nanang mengajarkan seni jeda: tidak semua pintu harus ditendang; beberapa cukup diketuk setelah tuan rumah bangun. Ia mengajari struktur organisasi adat: siapa menegur siapa, kapan pertemuan dibuka dengan pantun, kapan ditutup dengan doa, kapan perempuan bicara duluan. “Kau anak kota,” katanya, “jangan lupa hutan punya etika. Orang yang tak menghormati etika hutan, hilang di rimba keputusan.”

 

Paraduta menyusun panduan organisasi: bukan AD/ART kaku, melainkan sulam-sulam aturan adat yang disepakati lintas komunitas, bagaimana mengambil keputusan kolektif, bagaimana menyelesaikan sengketa, bagaimana menyambungkan pantang dengan tahan. Kertas itu, ketika difotokopi, baunya seperti daun tua basah: tradisi yang bersekutu dengan hari ini.

 

Tepat setahun kemudian, dua puluh lima kesatuan masyarakat adat berkumpul di sebuah lembah yang dibukakan langit. Tenda-tenda berdiri seperti jamur setelah hujan. Perempuan menumbuk padi, laki-laki memotong kelapa, anak-anak berlarian meminjam suara burung. Di panggung dari papan pinus, para tetua duduk berbaris, kepala mereka ditaburi abu daun.

 

Musyawarah berlangsung tiga hari. Di hari ketiga, ketika matahari sudah tenang, Salipir berdiri. “Kita butuh nakhoda,” katanya. “Bukan raja. Bukan orang yang paling pandai bicara. Orang yang paling sanggup mendengar.”

 

Nama Paraduta disebut. Ia menunduk, darahnya dingin. “Saya bukan orang terbaik,” katanya. “Saya hanya tahu caranya duduk lama.”
“Justru itu,” sahut Pak Sidik. “Kau akan memimpin empat tahun, dan kami akan memandumu. Bila kau lupa jalan, Cik Nanang akan menegur. Bila kau lelah, Ahidin akan tertawa. Bila kau ragu, Pak Abdul Rozak akan membawamu melihat kubur leluhur. Bila kau terlalu tergesa, Salipir akan menggelar tikar.”

 

Mereka mengalungkan kain tenun di lehernya. Paraduta menutup mata sejenak. Dalam gelap, ia melihat wajah ibunya, Mar’a, tersenyum. “Pimpinlah seperti orang menimba air: pelan, penuh, dibawa untuk banyak mulut.”

 

Paraduta keliling lagi, kali ini bukan sebagai tamu, melainkan sebagai orang yang dimintai kabar. Ia membangun sekretariat kecil di kota kabupaten, ruang yang selalu bau kopi, papan tulis penuh garis, dan peta yang berkilau oleh jarum pin.

 

Ia memulai kelas-kelas literasi: bukan membaca buku hukum dulu, melainkan membaca tanah. Mereka mengarsipkan cerita, kapan pohon pertama ditanam, di mana batu larangan ditancapkan, bagaimana generasi terdahulu menghadapi kemarau. Dokumen itu tidak ditaruh di laci. Ia dipamerkan di dinding, agar siapa pun yang masuk bisa membaca kampung mereka sendiri.

 

Organisasi melahirkan tim paralegal adat. Paraduta menggandeng jaringan advokat muda. Mereka membuat template surat keberatan, panduan konsultasi publik yang sejati, format perjanjian yang melindungi hak adat. Mereka menolak konsultasi palsu: sosialisasi bukan persetujuan. Paraduta mengajarkan FPIC dengan bahasa rimba: “Jangan memetik buah tanpa ketuk dahan.”

 

Di desa-desa, mereka membangun pos jaga hutan. Bukan pos militer, melainkan bale tempat mencatat orang keluar-masuk, tempat berdoa sebelum ronda, tempat menanam bibit setelah patroli. “Melawan bukan hanya menolak,” kata Paraduta, “melawan juga merawat.”

 

Paraduta mulai membawa para tetua adat ke kota: bertemu bupati, DPRD, dinas kehutanan. Ia menolak menjadi satu-satunya juru bicara. Ia tahu, pemimpin yang memonopoli bicara akan memonopoli kesalahan. Salipir bicara tentang konservasi yang memanusiakan; Pak Sidik tentang kebun yang tak memakan desa; Pak Abdul Rozal tentang jalur hijau yang memeluk kampung, bukan menendangnya; Ahidin tentang patroli hutan. Cik Nanang duduk di belakang, mengangguk lambat tanda bahwa angin sedang bersahabat.

 

Organisasi mulai besar. Dan di tubuh yang membesar, kadang tumbuh luka dari dalam. Namanya Dispison, kawan lama dari musim rapat kampus. Ia cerdas, ucapannya gesit, memikat jurnalis dengan kalimat tajam. Paraduta senang ketika Dispison bergabung; ia pikir, organisasi butuh suara muda yang lincah.

 

Pada mulanya, Dispison bekerja baik: mengatur konferensi pers, merapikan media sosial, menyiapkan materi. Tapi pelan-pelan, ia seperti menata panggung untuk dirinya sendiri. Ia mulai menandatangani surat tanpa mandat, mengatur pertemuan dengan investor “hijau” yang berjanji menanam sejuta pohon di tanah adat, dengan syarat tanah itu dialihkan sebagai konsesi konservasi swasta. Paraduta curiga, tapi ia memilih mengingatkan diam-diam.

 

“Son,” kata Paraduta suatu malam, “kita tidak menjual nama rakyat untuk menanam pohon. Pohon mereka tumbuh sendiri. Yang kita perlukan adalah hak, bukan proyek.”
“Kau terlalu ideologis,” jawab Dispison, separuh mengejek. “Dunia butuh angka. Media butuh headline. Donor butuh target.”

 

Paraduta diam. Ia ingat sabda Cik Nanang: “Jangan membantah angin dengan berteriak; ikat saja perahu lebih kuat.” Ia memperkuat mekanisme: seluruh surat keluar harus melewati sidang kecil; setiap kemitraan harus disetujui dewan adat.

 

Dispison tak suka. Ia memutar jalan lain. Menghasut beberapa pemuda, menjanjikan uang transport, meminjam nama organisasi untuk menggalang dana. Ujungnya pecah di sebuah kampung, ia menandatangani MoU pendanaan proyek “perhutanan cepat saji”, menyisihkan para tetua. Ketika para tetua protes, ia menuduh mereka feodal, menghalangi kemajuan. Media yang selama ini ia urus memblow-up narasi itu. Organisasi terlihat pecah di mata umum.

 

Paraduta menahan marah seperti menahan banjir dengan karung pasir. Ia mengundang musyawarah besar. Dua puluh lima kesatuan adat hadir. Mereka duduk mengelilingi api kecil. Sengaja, agar bicara tak bisa terlalu cepat. Dispison datang, membawa beberapa pemuda, wajahnya kaku.

 

“Saudaraku,” Paraduta membuka, “kita tidak sedang berperkara tentang siapa paling benar. Kita sedang memastikan anak cucu masih punya tempat pulang.”
“Dan anak cucu butuh uang sekolah,” sahut Dispison. “Bukan pantun.”

 

Salipir, yang sedari tadi diam, berdiri. “Kami bukan anti uang,” katanya. “Kami anti dijadikan latar belakang foto keberhasilan orang kota. Jika uang datang dengan menghapus nama leluhur, itu bukan rezeki, itu sergapan.”

 

Pak Sidik menambahkan: “Kemajuan tanpa adat itu seperti rumah tanpa pondasi, mungkin berdiri cepat, tapi ambruk waktu gempa pertama.”

 

Ahidin mengangkat tangan, tertawa pahit. “Aku tak bisa baca seragam investor. Tapi aku bisa baca cara jalan mereka yang selalu lurus menabrak tanaman orang.”

 

Cik Nanang menutup dengan doa yang bukan doa, melainkan peribahasa: “Lebah membuat madu, bukan untuk dirinya sendiri; tapi ia tak pernah meminta bunga menanggalkan kelopak. Siapa pun yang memanen madu harus tahu caranya menahan sengat.” Semua mengangguk.

 

Dispison mengeras. “Kalian kolot,” katanya, lalu pergi, meninggalkan ruangan bersama beberapa pemuda yang matanya lelah. Di luar, malam jatuh seperti kelambu robek.

 

Esoknya, rumor berjejal. Dispison mendirikan organisasi tandingan, membawa jargon yang lebih manis. Ia menuding Paraduta “anti pembangunan”, “anti investasi hijau”. Beberapa media memuat tanpa verifikasi. Sebagian pejabat tersenyum; perpecahan adalah kabar paling mudah dibiayai.

 

Paraduta menahan pasukannya. Ia mengarang sebuah kalimat yang berputar-putar di grup pesan: “Kita tidak melawan saudara kita dengan suara lebih lantang. Kita melawan dengan konsistensi. Tanam pohonmu. Jaga rimba laranganmu. Dokumentasikan pelanggaran. Jawab media dengan data, bukan dendam.”

 

Dua bulan, organisasi tertatih. Donatur ragu. Para tetua gelisah. Pada sebuah malam berat, Paraduta mengunjungi makam leluhur di tepi kampung. Angin turun, bau tanah basah menyusup. Ia duduk, menutup mata: Ibu, kalau aku salah jalan, tolong tarik baju anakmu ini.

Keesokan paginya, kabar baik datang dengan cara sederhana, di salah satu kampung yang dipegang Dispison, investor “hijau” ternyata mengundang pembalak liar sebagai subkontraktor. Foto-foto beredar: kayu-kayu besar jatuh di “zona restorasi”. Warga marah, menolak, dan mencari rumah yang dapat dipercaya. Mereka kembali ke bale organisasi. Paraduta tidak mengumbar “kan-kanku”. Ia menyeduh kopi, membuka pintu. “Rumah ini tak pernah menutup siapa pun,” katanya. “Kita benahi sama-sama.”

 

Perlahan, retak menjadi pelajaran. Organisasi memperketat akuntabilitas, memperluas partisipasi perempuan dan pemuda, membangun koperasi pangan agar perlawanan punya dapur. Paraduta menamai lembaga mereka “Penenun Langit” agar tidak lupa. Langit luas bukan untuk dijual, melainkan untuk ditenun maknanya.

 

Empat tahun berlalu. Organisasi mengadakan pertemuan akbar, bukan untuk menjunjung Paraduta, melainkan untuk menimbang kembali nakhoda. Mereka bertemu di lapangan yang dibingkai bukit; bulan naik seperti piring susu, dingin tapi mengenyangkan mata.

 

Di panggung, dokumentasi empat tahun diputar. Peta hutan adat yang disahkan, peraturan desa yang lahir, anak-anak perempuan yang menjadi pemandu musyawarah, pos jaga yang berdiri, konflik yang reda, kasus yang menunggu putusan. Di layar, juga muncul kegagalan: dua desa yang kalah di pengadilan, satu mata air yang pupus di musim kemarau pertama, beberapa pemuda yang pergi merantau dan tak kembali.

 

“Kita tidak berjanji menang,” kata Paraduta ketika tiba gilirannya bicara. “Kita berjanji tetap bersama, kalah dan menang dibagi rata.”

 

Salipir berjalan pelan, memegang tongkatnya, menatap langit yang cerah. “Empat tahun kau memimpin,” katanya. “Kau tidak menambah pohon besar, tapi menumbuhkan jamur di bawahnya,  jamur yang menyuburkan tanah. Itu lebih penting.”

 

Pak Sidik mengangguk. “Kau tidak menawarkan spektakel, Duta. Kau menawarkan cara hidup. Kami berterima kasih.”

 

Pak Abdul Rozal menatap peta penataan ruang yang kini menggambar jalur hijau memeluk kampung, bukan mengusirnya. “Kau mengajari kami menatap pejabat dengan mata sendiri. Itu ilmu yang tak dijual di toko.”

 

Ahidin maju dengan sepatu yang masih kaku, hadiah dari koperasi. Ia menandatangani Berita Acara Musyawarah dengan tulisan tangan yang kini tegas. “Aku sekarang bisa baca nama-nama cucuku,” katanya, tertawa. “Dulu orang kota menulis namaku, sekarang aku menulis namaku sendiri.”

 

Cik Nanang menutup dengan pantun:
Kalau hujan jatuh di ujung daun
Jangan disapu biar meresap ke akar
Kita ini hanya tukang jaga di kebun leluhur
Bukan pemilik maka jangan sombong, jangan gentar.

 

Musyawarah memutuskan: Paraduta diminta bertahan satu periode lagi, tetapi ia menolak dengan senyum. “Perahu harus belajar nakhoda lain,” katanya. “Aku akan duduk di buritan, menjaga api kopi, menepuk punggung yang goyah.”

 

Mereka memilih kepemimpinan kolektif: lima orang dari lima wilayah adat. Paraduta menjadi penasehat lapangan, jabatan yang tidak punya gaji, tidak punya juru bicara, hanya punya kewajiban hadir ketika ditelpon malam hari.

 

Sebelum pertemuan bubar, Paraduta menulis surat pada Dispison bukan memanggil pulang, melainkan memanggil pulih.

 

Pison,
Aku tahu kita berjalan dengan kompas yang sama dulu, meski sekarang jarumnya patah pulaunya berbeda. Jika suatu hari kau lelah dengan panggung yang terlalu terang, datanglah. Di bale kami, kursi paling belakang tidak pernah penuh. Kau boleh duduk diam, atau tertawa kecil, atau sekadar memandang peta.
Kau dihianati oleh keyakinanmu sendiri, bahwa kemenangan harus tampak di kamera. Padahal kemenangan lebih sering bersembunyi di dapur, di kebun, di mata anak yang menatap gurunya.
Aku tidak suci. Aku hanya belajar. Kau pun begitu.
Salam, Duta.

 

Ia tidak pernah menerima balasan. Tetapi suatu kali, dari seorang kawan, ia dengar Dispison pindah kota, bekerja sebagai konsultan proyek. Paraduta menahan getir seperti menahan garam pada luka. Di antara saudara, pengkhianatan adalah musim yang tidak menyenangkan, tapi tetap bagian dari tahun.

 

Malam terakhir pertemuan, hujan datang seperti janji lama yang ditepati. Orang-orang menari di tanah becek, tertawa, menyanyikan lagu-lagu yang lebih tua dari umur mereka. Paraduta berdiri di pinggir, memegang kain tenun Saluna di leher, kain yang makin pudar, tetapi tak ingin dilepas.

 

Netravati, perempuan yang selalu berjalan di sisinya dalam cerita-cerita lain datang terlambat, menenteng termos kopi. “Kau terlihat tua,” katanya bercanda.
“Aku belajar menua,” jawab Paraduta, “karena gerakan perlu orang yang bersedia jadi pepohonan.”

 

Netravati menatapnya, mata yang disapu lampu minyak terlihat hangat. “Kau masih memimpin meski dari belakang.”
“Kita semua memimpin,” balas Paraduta. “Hanya tempat duduknya yang berganti.”

 

Anak-anak berlarian, menghujani mereka dengan tawa. Di ujung lapangan, Salipir merebahkan punggung di bangku kayu, menatap hujan yang turun seperti benang panjang. Pak Sidik membuka payung, tetapi membiarkan bahunya basah. Pak Abdul Rozal mengangkat tangan, seolah menyapa petir yang jauh. Ahidin memeluk buku catatannya yang kini penuh huruf. Cik Nanang, seperti biasa, tersenyum, ia tahu kapan semua ini harus disimpan dalam diam.

Paraduta menutup mata sejenak. Ia mendengar hutan bernafas, sungai menggumam, tanah menegakkan aroma. Ia ingat Mar’a, ibunya, dan berkata dalam hati: Bu, aku sudah pulang ke rumah yang belum selesai. Dan mungkin memang tak perlu selesai, selama ada orang yang mau memperbaikinya setiap pagi.

 

Ia membuka mata, menatap hujan, dan tertawa kecil. Perjuangan, pikirnya, bukan drama yang selesai dalam tiga babak. Ia lebih mirip musim, datang dan pergi, tetapi selalu kembali. Dalam musim itu, orang-orang bisa saja berganti: ada yang tinggal, ada yang menyeberang, ada yang mengkhianat. Namun ada satu yang tetap. Tekad yang dipelihara oleh senyum. Senyum ibu, senyum kawan, senyum anak-anak yang berlari di tanah becek. Dan selama senyum itu menyala, hutan akan punya jantung dan gerakan akan punya rumah.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar