Pagi yang meminta hujan turun
dengan sopan. Begitulah kampung pertama menyapa Paraduta ketika ia memutuskan
berhenti kuliah. Keputusan itu bukan ledakan; ia lahir pelan, seperti lumut
yang merayap di batu, mengeras dan tak bisa dikupas lagi. Di kamar kos yang
lembab, ia menatap selembar kertas yang mestinya diisi rencana studi. Di ujung
kertas, ia menulis satu kalimat: “Jika ilmu tak sanggup menyelamatkan rumah,
biarlah tubuh yang bekerja.” Setelah itu, ia mengepak buku-bukunya, memeluk
lama foto ibunya, Mar’a lalu pergi.
Ia pulang ke hutan bukan hutan
yang biru di brosur, melainkan hutan yang menghitam oleh arang masak dan asap
ladang, hutan dengan jejak kaki manusia, burung, dan babi, yang mengingatkan
bahwa rimba bukan sekadar pohon, melainkan biografi. Di hutan itu, ia mencari
alamat pertama dari daftar dua puluh lima kesatuan masyarakat adat yang perlu
disapa, dijahit, dan disatukan dalam satu kain besar. Organisasi yang belum
punya nama, hanya memiliki tekad.
Hari-hari pertama dihabiskan
Paraduta di atas motor tua, mengarit jalan tanah, menyebrangi sungai yang
malas, menunggu perahu yang selamanya terlambat. Ia membawa surat pengantar
seadanya, satu gulung peta yang sudah terlipat ratusan kali, dan tenunan kecil
milik almarhum neneknya, Saluna diikatkan di leher. “Bila kau tersesat,” kata
nenek dulu, “sentuh kain ini. Ia akan mengingatkanmu bahwa rumah adalah apa
yang kau lindungi, bukan yang kau tinggali.”
Konsolidasi, kata orang kota,
terdengar seperti rapat berpendingin ruangan. Di sini, konsolidasi berarti
duduk berjam-jam di bale-bale, meminum kopi pahit, mendengarkan cerita yang
berputar-putar seperti sungai, membiarkan orang tua menabung jeda, dan anak
kecil menyisipkan tertawa. Paraduta belajar mendengar sampai habis, hingga kata-kata
tak lagi ingin berbunyi. Dari situlah ia membangun kalimat pertama organisasi: setiap
hutan punya jantung; sentuhlah dengan bahasa mereka.
Ia mencatat nama kampung demi
kampung, menandai peta dengan pensil yang tumpul: Melayu Koto, Karang Bak,
Lubuk Jaya, Teluk Pematang, Ujung Rimba, Tanah Lima, Tanjung Terdana, Suku Tengah
Kepungut… Dua puluh lima titik membentuk rasi bintang yang tak ada di langit
manapun hanya terlihat dari mata orang yang pulang.
Di tiap titik, selalu ada tokoh
yang menyala seperti tunggul nyaris padam yang dihembus pelan. Paraduta datang
bukan untuk menyalakan mereka; api sudah ada. Ia hanya menangkupkan dua telapak
tangan agar nyala tak dipadamkan angin.
Di kampung yang dijaga bukit
tidur dan sungai yang bertutur dalam batu-batu hijau, Paraduta bertemu Salipir.
Lelaki berambut putih itu menyambutnya di pelataran, memegang sebilah parang
yang lebih serupa tongkat; bukan untuk menakut-nakuti, melainkan karena tangan
tua selalu butuh pegangan.
“Kau anak dari kota,” kata
Salipir, “apa yang kaucari di sini?”
“Rumah,” jawab Paraduta.
Salipir tersenyum, wajahnya
berkerut seperti peta tua. Ia menunjuk bukit, lalu sungai. “Mereka datang
dengan peta yang lebih licin dari air hujan. Katanya, kami harus ‘melestarikan’
hutan ini. Tapi di peta mereka, tak ada nama kami, tak ada ladang, tak ada
denda-denda adat, tak ada kubur. Bagaimana kami dilestarikan jika kami
dihapus?”
Paraduta mendengar rencana:
kawasan konservasi yang ditarik garis tanpa bertanya. Hutan dijadikan museum;
manusia diminta menjadi pengunjung di tanah sendiri. Salipir menolak bukan
karena benci pada satwa, melainkan karena ia tahu: hutan yang diam tanpa
manusia adalah hutan yang mati perlahan. “Kami bisa menjaga,” katanya, “selama
kamu mengizinkan kami hidup.”
Malam itu, di bale besar,
Paraduta memfasilitasi musyawarah. Ia bukan juru pidato, ia juru tenang. Ia
melukis di tanah dengan ranting: zonasi hutan adat, ladang, rimba, hutan
larangan dan bagaimana mereka bisa bersuara di rapat-rapat pemerintah.
Besoknya, mereka bersama-sama mengetuk kantor kabupaten. Paraduta mendudukkan
Salipir sebagai juru bicara; ia sendiri duduk sedikit ke belakang, menjadi
punggung yang menahan angin. Di wajah Salipir, ia melihat hutan menegakkan
dada.
Di tempat lain, tanah merah
bergulung seperti lidah luka. Ekskavator mengerang, mengunyah akar. Di ujung
kampung, tinggal beberapa sisa pohon durian yang berdiri seperti tiang doa. Di
sinilah Paraduta bertemu Pak Sidik: lelaki pendek dengan tatapan yang dingin
namun jernih.
“Mereka bilang perkebunan besar
membawa sejahtera,” kata Pak Sidik. “Kami melihatnya membawa lubang.”
Paraduta ikut rapat kampung yang
riuh; pro-kontra berkelebat seperti kelelawar sore. Ada yang berharap gaji, ada
yang takut kehilangan kampung. Pak Sidik berdiri pelan, suaranya tidak meledak,
“Saya sudah bekerja sebagai mandor tiga musim. Kesejahteraan itu seperti janji
pacar masa muda: selalu besok.”
Mereka menyusun argumen, bukan
makian. Paraduta mengajarkan cara menulis kronologi, menghitung upah vs biaya,
memotret bukti. Mereka bertemu bupati, menolak izin, dan ketika izin tetap
keluar, mereka ajukan keberatan administratif, mereka gelar selawat di pintu
kamp, mereka menanam bibit di jalan ekskavator. Bukan untuk menantang, kata Pak
Sidik, tapi untuk mengingatkan bahwa tanah ini sudah punya nama sebelum
korporasi punya akta.
Pada musim lain, pemerintah
datang dengan proyek yang berpakaian bagus: relokasi demi keselamatan.
Mereka bilang kampung di bantaran harus pindah, demi jalur hijau dan banjir
yang makin giat. Pak Abdul Rozal, pimpinan suku yang terbiasa bicara pendek dan
tepat, menatap peta penataan ruang seperti menatap anak kecil yang nakal.
“Kami tidak anti-keselamatan,”
katanya kepada Paraduta, “kami anti ketika keselamatan menendang kami keluar
dari rumah leluhur.”
Paraduta memfasilitasi audit
partisipatif: mereka mengukur sendiri elevasi banjir, menandai sumur air,
memotret batu-batu petanda kubur. Mereka hadir dengan data, bukan emosi semata.
Dalam sidang dengar pendapat, Pak Abdul berdiri: “Kami bersedia menanam kembali
pohon di sempadan, menata ulang rumah, tapi jangan usir kami ke atas bukit yang
bukan kampung kami.” Paraduta menatapnya, bangga tanpa perlu berkata.
Namanya Ahidin, kulit sawo matang
dan mata menyala. Ia tak bisa membaca, tapi memori kepalanya setajam parang
baru diasah. Di musyawarah, Ahidin sering diam. Sekali bicara, ia menunjuk akar
masalah seperti orang yang sudah lama mengintainya.
“Buta huruf bukan buta hati,”
katanya pelan kepada Paraduta saat mereka duduk di beranda rumah panggung.
“Kalau aku tak bisa membaca kertas, aku membaca hutan.”
Paraduta mengajarinya menulis
nama sendiri A-H-I-D-I-N di atas tanah dengan ranting. Ahidin tertawa, seperti
anak kecil yang menemukan bintang baru. “Aku akan belajar tanda tangan,”
katanya, “agar kalau mereka minta tanda tangan, aku beri tanda tanganku
sendiri, bukan sidik jari yang bisa digandakan.”
Dalam aksi kolaborasi, Ahidin
menjadi pemimpin patroli hutan adat. Ia hapal semua jalan tikus pembalak haram,
ia tahu suara mesin dari jarak dua bukit. “Hutan mengelluh,” katanya, “kau
dengar?” Paraduta mengangguk; ia belajar bahwa pengetahuan bukan selalu yang
dibaca, sering yang dihidupi.
Di pulau kecil yang dilamar badai
setiap akhir tahun, ada Cik Nanang: lelaki berumur yang tutur katanya membuat
air laut berhenti sejenak. Ia tidak protes, ia tidak berteriak; ia menimbang.
“Paraduta,” katanya sambil
menatap cakrawala, “perjuangan itu perahu. Kita perlu mendayung, ya. Tapi kita
juga perlu tahu kapan menunggu angin.”
Cik Nanang mengajarkan seni jeda:
tidak semua pintu harus ditendang; beberapa cukup diketuk setelah tuan rumah
bangun. Ia mengajari struktur organisasi adat: siapa menegur siapa, kapan
pertemuan dibuka dengan pantun, kapan ditutup dengan doa, kapan perempuan
bicara duluan. “Kau anak kota,” katanya, “jangan lupa hutan punya etika. Orang
yang tak menghormati etika hutan, hilang di rimba keputusan.”
Paraduta menyusun panduan
organisasi: bukan AD/ART kaku, melainkan sulam-sulam aturan adat yang
disepakati lintas komunitas, bagaimana mengambil keputusan kolektif, bagaimana
menyelesaikan sengketa, bagaimana menyambungkan pantang dengan tahan. Kertas
itu, ketika difotokopi, baunya seperti daun tua basah: tradisi yang bersekutu
dengan hari ini.
Tepat setahun kemudian, dua puluh
lima kesatuan masyarakat adat berkumpul di sebuah lembah yang dibukakan langit.
Tenda-tenda berdiri seperti jamur setelah hujan. Perempuan menumbuk padi,
laki-laki memotong kelapa, anak-anak berlarian meminjam suara burung. Di
panggung dari papan pinus, para tetua duduk berbaris, kepala mereka ditaburi
abu daun.
Musyawarah berlangsung tiga hari.
Di hari ketiga, ketika matahari sudah tenang, Salipir berdiri. “Kita butuh
nakhoda,” katanya. “Bukan raja. Bukan orang yang paling pandai bicara. Orang
yang paling sanggup mendengar.”
Nama Paraduta disebut. Ia
menunduk, darahnya dingin. “Saya bukan orang terbaik,” katanya. “Saya hanya
tahu caranya duduk lama.”
“Justru itu,” sahut Pak Sidik. “Kau akan memimpin empat tahun, dan kami akan
memandumu. Bila kau lupa jalan, Cik Nanang akan menegur. Bila kau lelah, Ahidin
akan tertawa. Bila kau ragu, Pak Abdul Rozak akan membawamu melihat kubur
leluhur. Bila kau terlalu tergesa, Salipir akan menggelar tikar.”
Mereka mengalungkan kain tenun di
lehernya. Paraduta menutup mata sejenak. Dalam gelap, ia melihat wajah ibunya,
Mar’a, tersenyum. “Pimpinlah seperti orang menimba air: pelan, penuh, dibawa
untuk banyak mulut.”
Paraduta keliling lagi, kali ini
bukan sebagai tamu, melainkan sebagai orang yang dimintai kabar. Ia membangun
sekretariat kecil di kota kabupaten, ruang yang selalu bau kopi, papan tulis
penuh garis, dan peta yang berkilau oleh jarum pin.
Ia memulai kelas-kelas literasi:
bukan membaca buku hukum dulu, melainkan membaca tanah. Mereka mengarsipkan
cerita, kapan pohon pertama ditanam, di mana batu larangan ditancapkan,
bagaimana generasi terdahulu menghadapi kemarau. Dokumen itu tidak ditaruh di
laci. Ia dipamerkan di dinding, agar siapa pun yang masuk bisa membaca kampung
mereka sendiri.
Organisasi melahirkan tim
paralegal adat. Paraduta menggandeng jaringan advokat muda. Mereka membuat
template surat keberatan, panduan konsultasi publik yang sejati, format
perjanjian yang melindungi hak adat. Mereka menolak konsultasi palsu: sosialisasi
bukan persetujuan. Paraduta mengajarkan FPIC dengan bahasa rimba: “Jangan
memetik buah tanpa ketuk dahan.”
Di desa-desa, mereka membangun
pos jaga hutan. Bukan pos militer, melainkan bale tempat mencatat orang
keluar-masuk, tempat berdoa sebelum ronda, tempat menanam bibit setelah
patroli. “Melawan bukan hanya menolak,” kata Paraduta, “melawan juga merawat.”
Paraduta mulai membawa para tetua
adat ke kota: bertemu bupati, DPRD, dinas kehutanan. Ia menolak menjadi
satu-satunya juru bicara. Ia tahu, pemimpin yang memonopoli bicara akan
memonopoli kesalahan. Salipir bicara tentang konservasi yang memanusiakan; Pak
Sidik tentang kebun yang tak memakan desa; Pak Abdul Rozal tentang jalur hijau
yang memeluk kampung, bukan menendangnya; Ahidin tentang patroli hutan. Cik
Nanang duduk di belakang, mengangguk lambat tanda bahwa angin sedang
bersahabat.
Organisasi mulai besar. Dan di
tubuh yang membesar, kadang tumbuh luka dari dalam. Namanya Dispison, kawan
lama dari musim rapat kampus. Ia cerdas, ucapannya gesit, memikat jurnalis
dengan kalimat tajam. Paraduta senang ketika Dispison bergabung; ia pikir, organisasi
butuh suara muda yang lincah.
Pada mulanya, Dispison bekerja
baik: mengatur konferensi pers, merapikan media sosial, menyiapkan materi. Tapi
pelan-pelan, ia seperti menata panggung untuk dirinya sendiri. Ia mulai
menandatangani surat tanpa mandat, mengatur pertemuan dengan investor “hijau”
yang berjanji menanam sejuta pohon di tanah adat, dengan syarat tanah itu
dialihkan sebagai konsesi konservasi swasta. Paraduta curiga, tapi ia memilih
mengingatkan diam-diam.
“Son,” kata Paraduta suatu malam,
“kita tidak menjual nama rakyat untuk menanam pohon. Pohon mereka tumbuh
sendiri. Yang kita perlukan adalah hak, bukan proyek.”
“Kau terlalu ideologis,” jawab Dispison, separuh mengejek. “Dunia butuh angka.
Media butuh headline. Donor butuh target.”
Paraduta diam. Ia ingat sabda Cik
Nanang: “Jangan membantah angin dengan berteriak; ikat saja perahu lebih
kuat.” Ia memperkuat mekanisme: seluruh surat keluar harus melewati sidang
kecil; setiap kemitraan harus disetujui dewan adat.
Dispison tak suka. Ia memutar jalan
lain. Menghasut beberapa pemuda, menjanjikan uang transport, meminjam nama
organisasi untuk menggalang dana. Ujungnya pecah di sebuah kampung, ia
menandatangani MoU pendanaan proyek “perhutanan cepat saji”, menyisihkan para
tetua. Ketika para tetua protes, ia menuduh mereka feodal, menghalangi
kemajuan. Media yang selama ini ia urus memblow-up narasi itu. Organisasi
terlihat pecah di mata umum.
Paraduta menahan marah seperti
menahan banjir dengan karung pasir. Ia mengundang musyawarah besar. Dua puluh
lima kesatuan adat hadir. Mereka duduk mengelilingi api kecil. Sengaja, agar
bicara tak bisa terlalu cepat. Dispison datang, membawa beberapa pemuda,
wajahnya kaku.
“Saudaraku,” Paraduta membuka,
“kita tidak sedang berperkara tentang siapa paling benar. Kita sedang
memastikan anak cucu masih punya tempat pulang.”
“Dan anak cucu butuh uang sekolah,” sahut Dispison. “Bukan pantun.”
Salipir, yang sedari tadi diam,
berdiri. “Kami bukan anti uang,” katanya. “Kami anti dijadikan latar belakang
foto keberhasilan orang kota. Jika uang datang dengan menghapus nama leluhur,
itu bukan rezeki, itu sergapan.”
Pak Sidik menambahkan: “Kemajuan
tanpa adat itu seperti rumah tanpa pondasi, mungkin berdiri cepat, tapi ambruk
waktu gempa pertama.”
Ahidin mengangkat tangan, tertawa
pahit. “Aku tak bisa baca seragam investor. Tapi aku bisa baca cara jalan
mereka yang selalu lurus menabrak tanaman orang.”
Cik Nanang menutup dengan doa
yang bukan doa, melainkan peribahasa: “Lebah membuat madu, bukan untuk dirinya
sendiri; tapi ia tak pernah meminta bunga menanggalkan kelopak. Siapa pun yang
memanen madu harus tahu caranya menahan sengat.” Semua mengangguk.
Dispison mengeras. “Kalian
kolot,” katanya, lalu pergi, meninggalkan ruangan bersama beberapa pemuda yang
matanya lelah. Di luar, malam jatuh seperti kelambu robek.
Esoknya, rumor berjejal. Dispison
mendirikan organisasi tandingan, membawa jargon yang lebih manis. Ia menuding
Paraduta “anti pembangunan”, “anti investasi hijau”. Beberapa media memuat
tanpa verifikasi. Sebagian pejabat tersenyum; perpecahan adalah kabar paling
mudah dibiayai.
Paraduta menahan pasukannya. Ia
mengarang sebuah kalimat yang berputar-putar di grup pesan: “Kita tidak
melawan saudara kita dengan suara lebih lantang. Kita melawan dengan konsistensi.
Tanam pohonmu. Jaga rimba laranganmu. Dokumentasikan pelanggaran. Jawab media
dengan data, bukan dendam.”
Dua bulan, organisasi tertatih.
Donatur ragu. Para tetua gelisah. Pada sebuah malam berat, Paraduta mengunjungi
makam leluhur di tepi kampung. Angin turun, bau tanah basah menyusup. Ia duduk,
menutup mata: Ibu, kalau aku salah jalan, tolong tarik baju anakmu ini.
Keesokan paginya, kabar baik
datang dengan cara sederhana, di salah satu kampung yang dipegang Dispison,
investor “hijau” ternyata mengundang pembalak liar sebagai subkontraktor.
Foto-foto beredar: kayu-kayu besar jatuh di “zona restorasi”. Warga marah,
menolak, dan mencari rumah yang dapat dipercaya. Mereka kembali ke bale
organisasi. Paraduta tidak mengumbar “kan-kanku”. Ia menyeduh kopi, membuka
pintu. “Rumah ini tak pernah menutup siapa pun,” katanya. “Kita benahi
sama-sama.”
Perlahan, retak menjadi
pelajaran. Organisasi memperketat akuntabilitas, memperluas partisipasi
perempuan dan pemuda, membangun koperasi pangan agar perlawanan punya dapur.
Paraduta menamai lembaga mereka “Penenun Langit” agar tidak lupa. Langit
luas bukan untuk dijual, melainkan untuk ditenun maknanya.
Empat tahun berlalu. Organisasi
mengadakan pertemuan akbar, bukan untuk menjunjung Paraduta, melainkan untuk
menimbang kembali nakhoda. Mereka bertemu di lapangan yang dibingkai bukit;
bulan naik seperti piring susu, dingin tapi mengenyangkan mata.
Di panggung, dokumentasi empat
tahun diputar. Peta hutan adat yang disahkan, peraturan desa yang lahir,
anak-anak perempuan yang menjadi pemandu musyawarah, pos jaga yang berdiri,
konflik yang reda, kasus yang menunggu putusan. Di layar, juga muncul
kegagalan: dua desa yang kalah di pengadilan, satu mata air yang pupus di musim
kemarau pertama, beberapa pemuda yang pergi merantau dan tak kembali.
“Kita tidak berjanji menang,”
kata Paraduta ketika tiba gilirannya bicara. “Kita berjanji tetap bersama,
kalah dan menang dibagi rata.”
Salipir berjalan pelan, memegang
tongkatnya, menatap langit yang cerah. “Empat tahun kau memimpin,” katanya.
“Kau tidak menambah pohon besar, tapi menumbuhkan jamur di bawahnya, jamur yang menyuburkan tanah. Itu lebih
penting.”
Pak Sidik mengangguk. “Kau tidak
menawarkan spektakel, Duta. Kau menawarkan cara hidup. Kami berterima kasih.”
Pak Abdul Rozal menatap peta
penataan ruang yang kini menggambar jalur hijau memeluk kampung, bukan
mengusirnya. “Kau mengajari kami menatap pejabat dengan mata sendiri. Itu ilmu
yang tak dijual di toko.”
Ahidin maju dengan sepatu yang
masih kaku, hadiah dari koperasi. Ia menandatangani Berita Acara Musyawarah
dengan tulisan tangan yang kini tegas. “Aku sekarang bisa baca nama-nama
cucuku,” katanya, tertawa. “Dulu orang kota menulis namaku, sekarang aku
menulis namaku sendiri.”
Cik Nanang menutup dengan pantun:
Kalau hujan jatuh di ujung daun
Jangan disapu biar meresap ke akar
Kita ini hanya tukang jaga di kebun leluhur
Bukan pemilik maka jangan sombong, jangan gentar.
Musyawarah memutuskan: Paraduta
diminta bertahan satu periode lagi, tetapi ia menolak dengan senyum. “Perahu
harus belajar nakhoda lain,” katanya. “Aku akan duduk di buritan, menjaga api
kopi, menepuk punggung yang goyah.”
Mereka memilih kepemimpinan kolektif:
lima orang dari lima wilayah adat. Paraduta menjadi penasehat lapangan, jabatan
yang tidak punya gaji, tidak punya juru bicara, hanya punya kewajiban hadir
ketika ditelpon malam hari.
Sebelum pertemuan bubar, Paraduta
menulis surat pada Dispison bukan memanggil pulang, melainkan memanggil pulih.
Pison,
Aku tahu kita berjalan dengan kompas yang sama dulu, meski sekarang jarumnya
patah pulaunya berbeda. Jika suatu hari kau lelah dengan panggung yang terlalu
terang, datanglah. Di bale kami, kursi paling belakang tidak pernah penuh. Kau
boleh duduk diam, atau tertawa kecil, atau sekadar memandang peta.
Kau dihianati oleh keyakinanmu sendiri, bahwa kemenangan harus tampak di
kamera. Padahal kemenangan lebih sering bersembunyi di dapur, di kebun, di mata
anak yang menatap gurunya.
Aku tidak suci. Aku hanya belajar. Kau pun begitu.
Salam, Duta.
Ia tidak pernah menerima balasan.
Tetapi suatu kali, dari seorang kawan, ia dengar Dispison pindah kota, bekerja
sebagai konsultan proyek. Paraduta menahan getir seperti menahan garam pada
luka. Di antara saudara, pengkhianatan adalah musim yang tidak menyenangkan,
tapi tetap bagian dari tahun.
Malam terakhir pertemuan, hujan
datang seperti janji lama yang ditepati. Orang-orang menari di tanah becek,
tertawa, menyanyikan lagu-lagu yang lebih tua dari umur mereka. Paraduta
berdiri di pinggir, memegang kain tenun Saluna di leher, kain yang makin pudar,
tetapi tak ingin dilepas.
Netravati, perempuan
yang selalu berjalan di sisinya dalam cerita-cerita lain datang terlambat,
menenteng termos kopi. “Kau terlihat tua,” katanya bercanda.
“Aku belajar menua,” jawab Paraduta, “karena gerakan perlu orang yang bersedia
jadi pepohonan.”
Netravati menatapnya, mata yang disapu
lampu minyak terlihat hangat. “Kau masih memimpin meski dari belakang.”
“Kita semua memimpin,” balas Paraduta. “Hanya tempat duduknya yang berganti.”
Anak-anak berlarian, menghujani
mereka dengan tawa. Di ujung lapangan, Salipir merebahkan punggung di bangku
kayu, menatap hujan yang turun seperti benang panjang. Pak Sidik membuka
payung, tetapi membiarkan bahunya basah. Pak Abdul Rozal mengangkat tangan,
seolah menyapa petir yang jauh. Ahidin memeluk buku catatannya yang kini penuh
huruf. Cik Nanang, seperti biasa, tersenyum, ia tahu kapan semua ini harus
disimpan dalam diam.
Paraduta
menutup mata sejenak. Ia mendengar hutan bernafas, sungai menggumam, tanah
menegakkan aroma. Ia ingat Mar’a, ibunya, dan berkata dalam hati: Bu, aku
sudah pulang ke rumah yang belum selesai. Dan mungkin memang tak perlu selesai,
selama ada orang yang mau memperbaikinya setiap pagi.
Ia
membuka mata, menatap hujan, dan tertawa kecil. Perjuangan, pikirnya, bukan
drama yang selesai dalam tiga babak. Ia lebih mirip musim, datang dan pergi,
tetapi selalu kembali. Dalam musim itu, orang-orang bisa saja berganti: ada
yang tinggal, ada yang menyeberang, ada yang mengkhianat. Namun ada satu yang
tetap. Tekad yang dipelihara oleh senyum. Senyum ibu, senyum kawan, senyum
anak-anak yang berlari di tanah becek. Dan selama senyum itu menyala, hutan
akan punya jantung dan gerakan akan punya rumah.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar