Hujan jatuh seperti suara rahasia di pagi itu, membasuh daun-daun kopi yang tertinggal di ladang. Di atas bukit, kabut menggulung pelan, seakan menutup wajah-wajah yang baru saja ditangkap semalam. Empat puluh orang petani dibawa ke markas kepolisian kabupaten setelah aksi penolakan terhadap penggusuran lahan untuk proyek konservasi milik perusahaan perkebunan besar yang datang membawa izin dari pusat.
Di antara mereka ada Malika, pria
parubaya berusia empat puluh tahun, kulitnya gelap terbakar matahari, matanya
tajam seperti mata elang yang menatap dari jauh tanah yang direnggutnya. Di
tangan kasarnya masih tertinggal lumpur kebun, bau tanah basah yang baginya
lebih suci daripada surat izin yang dibawa para pejabat.
“Aku tak pernah punya tanah yang
besar,” katanya suatu kali kepada wartawan yang datang. “Hanya sebidang kecil
yang diwariskan dari bapak. Tapi tanah kecil itu, kalau diambil, kami ini
tinggal tubuh tanpa akar.”
Dan tubuh tanpa akar itulah yang kini
berderet di balik jeruji besi.
Berita penangkapan itu menyebar
seperti nyala api yang diterpa angin basah. Di kota, seorang lelaki bernama
Paraduta menatap layar ponselnya dengan wajah dingin. Ia sedang duduk di ruang
kantor sempit yang disewa lembaganya, tumpukan berkas kasus, foto-foto satelit,
dan surat panggilan kepolisian bertebaran di meja kayu.
Ia menatap satu foto wajah Malika,
diambil saat aksi protes di depan gerbang perkebunan. Di belakangnya terlihat
spanduk kain putih bertuliskan: “Tanah Kami, Hidup Kami.”
Paraduta menarik napas panjang. Ia
tahu medan itu lembah di utara yang pernah ia datangi setahun lalu, ketika
konflik baru meletus. Perusahaan datang membawa dokumen izin konsesi atas nama
konservasi karbon. Pemerintah memuji proyek itu sebagai “green investment”,
padahal di lapangan, kebun warga dibakar, kuburan nenek moyang dibuldozer.
Kini, empat puluh petani ditangkap
dengan tuduhan “menghalangi kegiatan pemerintah”.
Ia tahu tuduhan itu palsu. Tapi dalam negara yang sibuk menanam modal, kebenaran
adalah sejenis gulma yang harus dicabut.
Di luar ruang tahanan, di antara
kerumunan orang yang menunggu kabar, berdiri seorang perempuan muda Netravati. Ia baru saja tiba dari kota, rambutnya masih basah oleh hujan
perjalanan. Ia aktivis dari jaringan perempuan tani, dan sekaligus kawan lama
Paraduta. Mereka pernah berdiri di satu panggung diskusi lima tahun lalu,
membahas “hukum agraria dan keadilan sosial”.
Kini, teori-teori itu menjelma wajah
yang menggigil di depan jeruji. Netravati memegang daftar nama empat puluh
orang itu, menandai satu per satu, memastikan tak ada yang hilang. Di
tangannya, ia genggam juga selembar surat dari keluarga Malika, tulisan tangan
sederhana dengan tinta yang hampir luntur:
“Tolong sampaikan pada Paraduta, kami
percaya padanya.”
Ia menatap pos polisi yang dijaga
ketat, lalu menatap ke arah bukit tempat asap kebun terbakar masih menggantung.
Dalam hatinya, ia tahu perjuangan ini bukan sekadar soal tanah. Ini soal
kemanusiaan yang dikikis perlahan atas nama “pembangunan hijau”.
Malam itu, Paraduta tiba di kabupaten.
Mobil tua yang ia kendarai berhenti di depan rumah tumpangan Netravati. Hujan telah reda, tapi jalan-jalan masih berlumpur. Mereka duduk berdua
di ruang tamu kecil dengan lampu minyak yang berkelip.
“Empat puluh orang. Termasuk Malika.
Mereka ditahan tanpa surat perintah sah,” kata Netravati lirih.
Paraduta mengangguk. “Seperti biasa.
Mereka selalu menuduh ‘provokasi’. Tapi kita tahu, yang mereka takutkan bukan
provokasi, yang mereka takutkan adalah kesadaran.”
Ia membuka map cokelat berisi salinan
dokumen perusahaan: izin usaha perkebunan, surat pelepasan kawasan hutan, dan
perjanjian kerja sama dengan lembaga konservasi internasional.
“Ini semua sah di atas kertas,” katanya pelan, “tapi tidak di atas tanah. Tidak
di atas hati orang-orang yang tinggal di situ.”
Netravati menatap wajahnya yang lelah, garis-garis usia di sekitar matanya semakin
dalam. Paraduta bukan lagi mahasiswa yang dulu ia kenal. Ia kini tampak seperti
seseorang yang memikul terlalu banyak cerita pahit.
“Kalau kita bawa ini ke pengadilan?”
tanya Netravati.
Paraduta tertawa pendek. “Kita akan diadili oleh hukum yang mereka tulis
sendiri.”
Hening sesaat. Di luar, suara jangkrik
dan gemericik air parit terdengar bersahut-sahutan.
“Kalau begitu,” kata Netravati, “kita lawan di jalan.” Paraduta menatapnya lama. Ada sesuatu di mata
perempuan itu. Keberanian yang lembut tapi tak kenal gentar. Ia teringat
ibunya, Mar’a, yang dulu berkata, “Perlawanan yang paling kuat adalah cinta
yang menolak tunduk.”
Hari-hari berikutnya, kampung itu
menjadi arena ketegangan. Paraduta dan Netravati mengorganisir keluarga para tahanan,
wartawan, dan lembaga hak asasi manusia. Mereka menulis siaran pers, mengirim
surat ke gubernur, dan menggalang tanda tangan petisi.
Di sisi lain, aparat terus berjaga di
lapangan, mengamankan alat berat yang mulai menggusur. Di televisi, pemerintah
menyebut proyek itu sebagai bagian dari national green economy plan. Tak
ada yang menyebut nama Malika, atau empat puluh petani lainnya.
Sementara itu, di dalam tahanan,
Malika mencoba menguatkan teman-temannya. “Jangan takut,” katanya, “tanah kita
sedang bicara lewat kita. Kalau kita diam, siapa lagi?”
Mereka tidur beralaskan tikar, makan
dari nasi dingin, tapi setiap malam Malika memimpin doa dan nyanyian. Ia tahu,
kekuatan mereka ada pada kesabaran. Dalam hatinya ia sering teringat anak
perempuannya yang dititipkan di rumah saudara dan yang pasti sedang berjuang di luar.
Suatu pagi, berita kecil di surat
kabar lokal memuat pernyataan pejabat daerah: “Kasus penahanan empat puluh
petani bukan kriminalisasi, melainkan penegakan hukum.”
Paraduta membaca berita itu dengan
wajah dingin. Ia tahu permainan sedang dimulai. Maka ia menyiapkan langkah
hukum menggugat ke Pengadilan Negeri, mengirim surat ke Komnas HAM, dan memohon
habeas corpus agar tahanan segera diperiksa secara terbuka.
Namun di luar ruang sidang, ia tahu
yang sedang ia hadapi bukan sekadar perkara pidana, melainkan sistem yang lebih
besar sistem yang percaya bahwa keadilan bisa disusun seperti pasal-pasal,
padahal di bawahnya mengalir darah dan air mata.
Malam itu, ia menulis surat kepada Netravati: “Aku mulai percaya bahwa hukum bukan untuk menegakkan keadilan, tapi
untuk mengukur jarak antara kekuasaan dan rakyat. Dan tugas kita adalah
menjembatani jarak itu, meski dengan luka.”
Netravati membaca surat itu di bawah cahaya lilin. Ia menangis tanpa suara. Lalu
ia menulis balasan: “Jembatan itu sudah mulai tumbuh di hati orang-orang. Kau
tinggal memastikan ia tak rubuh.”
Hari kedua belas penahanan. Di luar
tahanan, massa mulai berdatangan dari berbagai desa. Netravati berdiri di atas truk bak terbuka, memegang pengeras suara. “Tanah adalah
hidup! Jangan bunuh hidup kami!” teriaknya.
Orang-orang menyalakan lilin, menaruh
bunga di depan pagar kantor polisi. Di antara mereka ada anak-anak dan orang
tua, semua membawa foto Malika dan kawan-kawan.
Paraduta melangkah ke depan, membawa
map berisi keputusan pengadilan: Permohonan penangguhan penahanan dikabulkan.
Ia menyerahkan salinan surat itu ke
petugas jaga, dengan suara tenang tapi tegas. “Lepaskan mereka. Hukum telah
bicara.”
Petugas menatapnya ragu, lalu
memanggil atasannya. Beberapa menit kemudian, satu per satu pintu sel terbuka.
Malika keluar dengan langkah perlahan, wajahnya pucat tapi matanya bersinar.
“Paraduta,” katanya pelan, “kami tidak
kalah, kan?”
Paraduta tersenyum samar. “Belum. Tapi hari ini, kita menang sedikit.”
Massa bersorak. Netravati berlari memeluk Malika, air matanya jatuh tanpa kata.
Beberapa bulan kemudian, perusahaan
menghentikan sementara proyeknya karena tekanan publik. Tapi Paraduta tahu,
kemenangan itu sementara. Kekuasaan tak pernah benar-benar pergi; ia hanya
berganti bentuk.
Ia menulis dalam catatan harian: “Perlawanan
tidak berakhir di pengadilan, tapi di hati orang yang menolak lupa.”
Malika kembali ke ladangnya. Ia
menanam kembali benih kopi di tanah yang sebagian telah retak. “Tanah ini tahu
siapa pemiliknya,” katanya. “Kita hanya menunggu ia sembuh.”
Netravati tinggal di kampung lebih lama. Ia membantu mendirikan sekolah rakyat
untuk anak-anak petani, mengajar membaca, menulis, dan hak asasi manusia.
Kadang, saat sore tiba, ia dan Paraduta duduk di tepi sawah, menatap langit
jingga yang perlahan menua.
“Apakah ini akhir dari perjuangan
kita?” tanya Netravati.
Paraduta tersenyum. “Perjuangan tak punya akhir. Ia hanya berganti wajah.”
Beberapa tahun kemudian, ketika
nama-nama para petani sudah jarang disebut di berita, sebuah buku kecil
diterbitkan oleh organisasi rakyat. Judulnya: Tanah yang Bicara. Di
halaman pertama tertulis: Didedikasikan untuk Malika dan empat puluh petani
yang pernah dipenjara karena mencintai tanahnya dan untuk mereka yang
membebaskan, tanpa nama, tanpa pamrih.
Paraduta membaca buku itu di kamar
sewa kecilnya di kota. Ia sudah beruban, tapi matanya masih menyala. Di
sampingnya, Netravati sedang tidur lelap, kelelahan setelah
perjalanan panjang dari desa.
Ia menutup buku itu perlahan, lalu
menatap jendela yang terbuka. Di luar sana, hujan kembali turun. Ia teringat
wajah Malika, dan tanah basah tempat mereka pernah berdiri bersama.
Paraduta tahu, perlawanan bukanlah
soal kemenangan atau kekalahan tetapi tentang menolak mati sebelum keadilan
hidup.
Ia berbisik pelan ke udara: “Kami tak
akan diam. Karena kami telah belajar bahwa keadilan tumbuh dari tanah, bukan
dari kantor kekuasaan.”
Dan di bawah hujan yang menembus
malam,
suara tanah menjawabnya dengan keheningan yang panjang
keheningan yang tidak tunduk,
dan tidak mati.
Catatan Penulis
Cerita ini terinspirasi oleh kisah-kisah nyata perjuangan agraria di
Malin Deman di mana hukum, cinta, dan keberanian sering bertemu di satu garis:
tanah.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar