Negeri di Tubuh Paraduta - Erwin Basrin

Breaking

Recent Posts

 photo Untitled-1_1.jpg

Jumat, 24 Oktober 2025

Negeri di Tubuh Paraduta

 

 


 

Dia pulang sore, saat cerobong pabrik menggulung langit menjadi tabir perak yang pekat. Paraduta menuruni anak tangga rumah kontrakan dengan tangan yang masih menempel bau oli dan asap; di telapak, bekas kerja seharian seperti peta berkerut. Ia baru menamatkan SMA, pulang dengan ijazah yang masih rapi di tas kain hitamnya, sebuah surat kecil yang menjanjikan masa depan ringan, namun dunia menuntutnya menimbang bata, bukan nama. Kawasan industri itu menjulurkan gigi besinya; derap mesin jadi nyanyian pagi, siang dan malam yang tak pernah selesai. Ia bekerja sebagai buruh pabrik, pegangan hidup yang tak memberi banyak ruang untuk angan.


Di pabrik, Paraduta menemukan sesama yang wajahnya tak jauh berbeda: kulit kusam, mata penuh lelah, bercampur tawa yang diselipkan seperti obat. Mereka mengikat kata-kata dan jam kerja dalam ritual baru: datang, bekerja, pulang, ulang. Namun di balik rutinitas, ada kegelisahan yang tak bisa dibayar upah-upah yang kerap telat, pesangon yang tak jelas, keselamatan kerja yang seperti kata-kata kosong di papan pengumuman. Paraduta, dengan kebiasaan membaca buku-buku tebal di malam hari, membawa pulang pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu. Kenapa upah tetap saja kecil? Untuk siapa debu dan getaran tangan ini menumpuk? Mengapa suara mereka tak pernah menjadi penentu di ruang keputusan?

 

Ia mulai berbicara, perlahan, di sela istirahat. Di ruang makan karyawan, di belakang gudang, di pojok yang sepi; ia menaruh kata-kata seperti menanam kecambah: tentang hak, tentang serikat yang bisa jadi suara. Teman-temannya mendengarkan. Awalnya karena kasihan, lalu karena berharap. Paraduta tidak membawa retorika yang retak, ia membawa pengalaman: cerita dari rumah tentang ibu yang menabung untuk satu mangkuk beras ekstra, tentang bapak yang merogoh saku keras demi membeli obat. Ia berbicara tentang upah yang menumpuk hutang, tentang anak yang tak bisa sekolah karena pabrik menutup mata. Dan sedikit demi sedikit, mereka menyusun rencana, cara menuntut hak, cara menuntut keselamatan, cara meminta agar tubuh-tubuh mereka tak dijadikan mesin yang dipaksa.

 

Organisasi itu tidak lahir sebagai seragam, melainkan sebagai simpul-simpul kecil yang bergerak tanpa sorak. Mereka berkumpul di kandang belakang rumah pekerja, di emperan warung kecil yang belum tutup, di bangku taman yang jarang diterangi lampu. Paraduta menjadi penengah dan penggerak; suaranya sederhana, namun penuh keberanian yang tak menunjukkan dirinya kebal terhadap takut. Mereka menulis tuntutan, menandatangani petisi, bersepakat pada aksi mogok jika tak ada perubahan. Hal-hal kecil itu menggeliat menjadi ancaman bagi manajemen. Di koridor-koridor pabrik, kepala pengawas mulai menoleh lebih sering; di ruang rapat atas, ada daftar nama yang disiapkan sebagai contoh.

 

Suatu pagi basah, ketika kabut masih menggantung di antara cerobong, sepasukan orang yang berpakaian seperti preman atau bukan preman, tetapi aparat yang memakai jilbab pemaksaan masuk ke barak para buruh. Mereka menyebut operasi penertiban, operasi anti-premanisme, dan memanggil satu per satu nama. Paraduta ditarik dari antara teman-temannya. Ia dituduh mengobarkan kekacauan, menghasut mogok yang merugikan negara dan perusahaan. Kata-kata hukum itu seperti pistol yang dipasangkan pada dahi. Mereka membawanya ke markas yang dingin, ruang yang bau kopi pahit dan karet berpadu. Malam itu, dinding mendengar jeritan yang tak pernah diizinkan mendapat kata.

 

Penyiksaan itu bukan hanya ilmu untuk merobek fisik tetapi juga untuk melengkungkan hati. Mereka menanyakan nama-nama, alamat, siapa yang memberi uang; mereka berdiri di atas kebenaran dengan tongkat yang melesak. Paraduta menahan sakit, menahan kata yang ingin menyelamatkan teman-teman lain. Ia membayangkan ibunya, Mar’a, yang sejak kecil menenun harap di rumah bambu mereka. Apa yang akan ia katakan bila tahu anaknya kini dipukul karena menentang ketidakadilan? Di suatu sudut kamar, ia berbisik pada dirinya sendiri agar tetap pada gagasan bahwa rasa takut tak boleh jadi alasan untuk menyerah. Di luar sel, kota berjalan; mesin pabrik tetap kerja, dan debu menumpuk di alis-alis bangunan.

 

Di kampung ibu Mar’a pulang dari sawah dengan keranjang yang ringkih, mengetahui kabar bahwa anaknya ditangkap. Tangannya yang sering mengaduk nasi mendadak gemetar, dan suara-suara tetangga yang biasanya menenangkan kini menjadi lumut yang menempel di dinding hatinya. Ia pergi ke markas, namun ditolak; diberi tahu agar menunggu kepastian administrasi.

 

Demikianlah ibu menunggu: menunggu berita, menunggu warkat, menunggu pintu yang membuka untuk memberi tahu kebenaran. Ia menangis dalam sunyi, menadah rahasia kepada langit. Birendra, bapaknya lelaki yang selama ini bekerja serabutan, menebang kayu saat musim, menambal perahu di musim lain, mendengar dengan telinga yang lalu menua. Matanya menghadap tanah; ia tahu sekali bahwa harga tanah mereka tidak begitu besar, tetapi nilai kehormatan lebih dari itu. Birendra merogoh pada kandang yang ada di rumah emas kecilnya bukan emas, melainkan sebidang tanah yang diwarisi turun-temurun. Ia menjualnya.

 

Pagi itu, Birendra kembali dengan uang yang kini dingin di tangannya. Ia berdiri di depan rumah kontrakan kecil itu dan memeluk Paraduta yang pulang dalam kebingungan karena dibebaskan tanpa penjelasan yang wajar. “Kembalilah sekolah,” katanya, suaranya meremang seperti kayu tua. Birendra tak memberi banyak kata; ia hanya menunjuk uang, menunjuk pada rumah yang kosong setelah tanah terjual, dan menaruh harap di mata yang lelah. Mar’a mengelus rambut anaknya seperti menyapu sisa debu, dan di bibirnya ada doa yang panjang namun tak berbunyi.

 

Paraduta menangis untuk pertama kali yang ia sadar, bukan karena sakit, melainkan karena malu, malu atas tubuh yang dipukuli, malu atas orang tua yang harus menjual tanah untuk menebus keberanian anaknya. Namun di balik malu itu tumbuh tekad. Ia menerima tawaran bapaknya: melanjutkan pendidikan tinggi ke kota di pulau yang sama, meninggalkan asap pabrik, masuk ke ruang-ruang akademik yang ia lihat sebagai lahan baru untuk menanam harapan. “Pergi,” kata Birendra. “Belajarlah agar ketika kau kembali, tidak ada lagi luka seperti ini di rumah kita.”

 

Kota kampus itu berbeda; ia seperti pulau di pulau, benteng pengetahuan yang mengundang ribuan jiwa. Di sana, Paraduta bertemu dengan buku-buku yang mengusik: sejarah tentang kaum pekerja, risalah-risalah tentang revolusi yang tak melulu berdarah, tulisan tentang hak dan kewajiban manusia. Ia belajar bukan hanya dari dosen tetapi dari para tetangga kos, dari lapau kopi yang menjadi forum setiap malam. Di kelas, ia berjuang memahami teori; di luar kelas, ia terus memegang pena untuk menulis pengalaman yang nyeri. Mahasiswa yang lain mengelilinginya; mereka menyukai caranya berbicara, tulus namun menggunci.

 

Keterlibatan Paraduta dalam dunia aktivisme bermula dengan hal-hal kecil: berdiskusi tentang upah, menulis pamflet, mengorganisir diskusi yang menjejakkan kata pada kenyataan. Namun kota itu adalah sarang yang penuh arus, dan arus membawa serta gelombang yang memicu kecemasan. Rezim yang berkuasa yang selama ini menempatkan topeng norma di atas wajah-wajah yang lapar mulai goyah oleh suara-suara yang menuntut keadilan. Paraduta, yang dulu jadi buruh, kini berbicara di mimbar, di depan mahasiswa, di depan petani yang datang dari bukit. Kata-katanya keras namun lembut, seperti tanah liat yang dibentuk untuk jadi patung perlawanan.

 

Gerak aktivisme itu menumbuhkan jaringan; ia bertemu Netravati dalam salah satu rapat yang penuh asap rokok dan ide-ide. Netravati bukan sekadar wajah. Ia adalah tumbuhan hidup: mata yang mendengarkan, tangan yang menenun pidato menjadi doa. Ia mahasiswa jurusan dari kampus dengan terpaut umur beda dan yang juga membawa luka keluarga yang tak bersuara; ia mencintai Paraduta dengan cara yang tak bergegas, membutuhkan waktu untuk menumbuhkan kepercayaan. Mereka duduk berdua di taman kampus, dikantor pembela rakyat, berbicara tentang masa depan yang ia bayangkan: dunia tanpa upah yang menjerat, desa yang tak lagi mengemis karena tanahnya diambil, nelayan yang kembali punya laut. Cinta mereka tumbuh di antara ranting-ranting perdebatan; ia bukan bunga seremonial, melainkan akar yang menuntut hujan.

 

Waktu kemudian membawa badai. Rezim menahankan para pemimpin, menutup kampus, menyulut tangis keluarga yang tak habis. Paraduta dipanggil berkali-kali oleh aparat dengan dalih keamanan; ia dibuntuti, diancam, namun ia tak mundur. Mereka menyerahkan dokumen elektronik yang menudingnya sebagai provokator asing, menyebut nama-nama anggota organisasi dengan nada hapus. Namun aksi tak bisa dibunuh hanya dengan kata-kata. Demonstrasi melonjak, massa berkumpul, dan suara rakyat menggema di jalan. Ketika kekuasaan terguncang, mereka yang paling lama bertarung bukan mau merayakan kemenangan; mereka masih menata luka, petani yang kehilangan ladang, buruh yang tak menerima kompensasi, masyarakat adat yang tanahnya diukur ulang oleh pemodal.

 

Rezim jatuh akhirnya seperti pohon yang tumbang, namun jatuhnya itu membuka tanah yang harus diolah kembali. Paraduta, yang semula berniat menyelesaikan studi demi mendapatkan gelar, menemukan dirinya tertarik terus untuk berada di lapangan. Ia tidak menyelesaikan kuliah. Ia memilih untuk tetap berada di antara tenda-tenda demonstran, di antara rapat desa, di kantor-kantor LSM kecil yang luka namun gigih. Ia memfokuskan diri pada pembelaan kaum lemah: mengorganisir koperasi petani, membantu mendata klaim lahan masyarakat adat, memberi pendampingan hukum bagi buruh yang dipecat sejak aksi. Ia menjadi pohon yang akarnya merambah, tak lagi sekadar mahasiswa yang bermimpi, tetapi pelaku yang tak bisa mundur.

 

Netravati menemaninya. Cinta mereka mendapat bentuknya dalam kerja, bukan hanya kata-kata. Di sawah yang mereka bantu pulihkan, ia memetik padi bersama perempuan desa, mengajari anak-anak membaca poster tentang hak. Di ruang-ruang pertemuan, Netravati menerjemahkan jargon hukum menjadi bahasa yang gampang dimengerti. Mereka merajut sebab dan akibat, meletakkan strategi, bukan hanya untuk menumbangkan rezim, tetapi untuk menata kembali tatanan sosial yang hancur. Dalam perdebatan panjang itu, kadang mereka bertengkar; cinta mereka diuji oleh lelah dan kecewa. Namun ketika fajar datang, mereka selalu kembali berpegangan tangan, menyadari bahwa perjuangan ini menuntut terus wujud cinta yang tak egois.

 

Perjalanan hidup Paraduta bukanlah garis lurus yang mulus. Ia menyaksikan teman yang dibuang, mendengar ibu yang kehilangan semangat, menerima tatapan warga yang bertanya: “Kapan kau berhenti?” Ia tak menjawab dengan kata-kata manis; ia menjawab dengan kerja: mendirikan pos pendidikan di kampung, memfasilitasi proses mediasi antara petani dan perusahaan, menuliskan laporan yang membuat pejabat tak bisa mengalihkan pandangan. Ia terus belajar dari kegagalan, dari luka yang dinding-dindingnya penuh bekas.

 

Pada suatu sore, ketika matahari menyapu lembah dengan warna oranye pudar, Paraduta berdiri di teras rumah yang dulu ditinggalkan. Sebuah rumah kecil yang nama pemiliknya kini berganti, namun langit yang sama tetap membentang. Ia menatap jauh ke barisan pabrik yang jaraknya masih teramat dekat. Ia teringat pertama kali menaruh tangan di mesin, bau oli yang sekarang menjadi bau sejarah. Di sampingnya, Netravati memegang tangannya, dan di belakang mereka ada sejumlah anak muda yang sedang menulis nama-nama di papan daftar anggota koperasi. Di kampung, Mar’a menenun seperti biasa, menaruh doa di sela-sela benang. Birendra menatap dari kejauhan, bangga sekaligus takut pada dunia yang anaknya pilih.

 

Kisah Paraduta mengajarkan bahwa keberanian tak selalu menang lantas pulang. Ia mengajarkan pula bahwa pendidikan tidak mesti berakhir dengan gelar untuk menjadi sarana perubahan. Pendidikan, baginya, adalah proses yang merentang antara menombak kebodohan dan menanam pengetahuan, antara menggugat yang salah dan merajut harapan. Dalam namanya sendiri, Paraduta membawa makna: duta untuk para muka yang tanpa wajah, wakil yang tak mencari pangkat tapi ingin menegakkan harga. Dan di antara derap mesin yang tak pernah padam, di antara buku yang sering terbuka di meja kayu, keberadaannya adalah catatan yang tak henti menulis: tentang manusia yang dipukuli namun belajar memaafkan luka demi menghadirkan masa depan yang layak.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar