Tenunan Sunyi di Pangkuan Waktu - Erwin Basrin

Breaking

Recent Posts

 photo Untitled-1_1.jpg

Kamis, 23 Oktober 2025

Tenunan Sunyi di Pangkuan Waktu

 


Paraduta lahir pada pagi yang kabutnya masih menggantung lemah di sela-sela daun bambu. Tangannya kecil, kulitnya pucat seperti kertas lontar yang lama tersimpan. Ia tidak menangis keras seperti bayi lain; ibunya, yang menutup kedua matanya sebelum sempat menengok dunia, selalu berkata: “Anak ini memilih lirih untuk bermain dengan napas.” Kata-kata itu kemudian menjadi doa, dan doa itu kemudian melekat pada cara Paraduta menghirup hidup.

 

Kampung tua tempat ia dilahirkan, sebuah dusun yang letaknya nyaris hilang di peta, berdiri di tepian sungai yang sedingin cermin. Di sini, kehidupan mengalir lamban, bahkan penderitaan pun berbicara pelan. Ketika penyakit datang, ia seperti tetesan dingin yang menumpuk di ubun-ubun pagi, menunggu untuk membuat tubuh anak itu lebih ringan dari sebelumnya. Paraduta sering demam, sering batuk, sering kehilangan nafsu makan. Orang-orang kampung menuding awan buruk, atau menabur ramuan keras, tapi tidak ada yang berhasil menjauhkan kelemahan itu.

 

Di tengah semua itu, ada Saluna. Neneknya yang memeluknya seolah memeluk dunia yang retak. Saluna bukan wanita muda; wajahnya berlipat-lipat seperti daun kapok yang kering, matanya cekung namun berkilau. Di pangkuannya, Paraduta belajar meraba dunia: dari lekuk telapak tangan nenek yang berasa kapur, dari bau kunyit saat Saluna menyiapkan jamu, dari suara gumamnya saat menganyam tikar. “Jangan takut, Duta,” kata Saluna suatu sore ketika hujan menumpahkan ritme yang serupa di atap rumah. “Dunia ini, meski kejam, punya ritme baik. Kita tinggal belajar mengikutinya.”

 

Sejak kecil, Paraduta mengerti bahwa hidup bukan hanya tentang mengumpulkan napas, melainkan tentang mengetahui ia bernapas untuk apa. Saluna, yang pernah remaja berlari ke sawah dengan rambut yang dilempar ke belakang, mengisinya dengan cerita: tentang kampung yang dulu penuh padi, tentang sungai yang dulu bebas, tentang perempuan-perempuan yang bergandengan tangan. Cerita itu bukan dongeng: cerita itu adalah peta, peta yang menuntun Paraduta mengenang nama-nama yang terlupakan.

 

Pada usia sepuluh tahun, Paraduta mulai menyusun pertanyaan-pertanyaan. Ia bertanya, mengapa beberapa rumah tampak lebih takzim kepada hujan daripada rumah lain? Mengapa banku uang di pasar selalu menyuruh yang lapar menunggu? Mengapa para petani menanam dengan tangan keriput namun pulang membawa kantong-kantong kosong? Saluna menjawab perlahan, seperti memberi obat manis: “Semua ada sebabnya, Nak. Kita tidak hanya hidup di bawah langit, kita hidup juga di bawah aturan yang dibuat orang lain.” Jawaban itu menimbulkan bibit penasaran yang tumbuh menjadi cermin di dalam benaknya.

 

Ketika Paraduta berumur empat belas tahun, sebuah surat dari sebuah sekolah menengah di kota membuat keluarganya gempar. Surat itu menulis tentang beasiswa yang diberikan kepada beberapa anak desa yang berprestasi. Di saat yang sama, ayahnya yang buruh tani jatuh sakit keras dan harus dirawat di tempat jauh yang memakan segala tabungan. Pilihan terbesit: menunggu atau pergi. Saluna menatap cucunya dengan mata yang lebih tajam dari biasanya. “Pergilah, Duta. Dunia menunggu, biarkan cucu nenek menjemput dunia itu.” Air mata tidak ada artinya bagi Saluna; ia membungkus kata-kata dengan tegas.

 

Perpisahan itu lembut. Para tetangga berkumpul di jalan setapak, menyanyikan doa dalam bisik. Paraduta membawa sebuah tas sederhana, beberapa lembar buku tua, dan bercak-bercak gigitan penyakit yang tak sepenuhnya hilang. Saat ia melangkah menuju kereta, Saluna meletakkan sehelai kain tenun di bahunya. “Ini,” katanya, “adalah tenunan dari tangan perempuan desa. Ketika kau jauh dan tersesat, sentuhlah tenunan ini, dengarkan desahnya, dan ingat rumah.” Paraduta memeluk kain itu erat-erat. Di kereta, ia menatap lapisan-lapisan sawah yang mengecil seperti kertas yang dilipat-lipat. Ia merasa takut, tapi ada sebuah gema: suatu panggilan yang tidak lagi hanya untuk dirinya sendiri.

 

Kota itu lumayan besar, berasap, dan riuh, menerimanya dengan cara yang tidak romantis. Gedung-gedung tinggi berdiri seperti peluru waktu menembus langit, menimbulkan bayangan panjang pada anak-anak desa yang baru tiba. Di sekolah, ia belajar membaca peta politik: sejarah bangsa, hukum, dan kata-kata besar yang sebelumnya hanya terdengar seperti mantra. Kemerdekaan, kesejahteraan, hak. Guru-gurunya, meski tidak berlebihan cinta, menaruh kagum pada anak desa yang rajin ini. Paraduta menyerap pelajaran seperti tanah menyerap air hujan; setiap kenyataan baru meresap ke dalam retakat hati yang lama.

 

Tetapi di kota pula, ia menyaksikan wajah lain dari kehidupan, wajah yang tidak tertulis dalam buku. Pada suatu sore, ketika pulang dari perpustakaan, ia melihat sebuah kelompok buruh membawa spanduk, berteriak menuntut upah yang lebih manusiawi. Polisi datang seperti bayangan kebijakan yang tak ramah. Paraduta menonton, merasakan sakit yang tidak berasal dari demam. Di sudut-sudut kota, manusia-manusia kecil menahan mandi rintik hujan demi pekerjaan yang keras dan upah yang tipis. Di pasar, para penjual menawarkan hasil petani dengan suara pedas, sementara harga yang mereka terima tak sebanding dengan keringat mereka. Sebuah realitas baru menimpa di kepalanya. Realitas yang tidak ada pada buku pelajaran: ketidakadilan itu nyata, tidak hanya teori.

 

Di tahun-tahun berikutnya, penyakitnya kadang datang kembali, tapi bukan untuk melumpuhkan: kini, ia memakainya seperti sebuah tambahkan pelajaran. Paraduta belajar membaca luka: di wajah pekerja, di tangan petani, di bisu-perkenalan, ia mencari benang yang menyambung penderitaan mereka. Ia berteman dengan pemuda-pemuda buruh, bergabung dalam diskusi tentang hak-hak pekerja, menulis esai yang bernyali tentang harga yang adil, dan memimpin kampanye kecil untuk menuntut bantuan kesehatan bagi keluarga buruh pabrik. Namanya mulai bersinar, bukan karena ia haus ketenaran, melainkan karena semangatnya untuk menautkan kata-kata dengan tindakan.

 

Selama kuliah, Paraduta menjadikan kampus sebagai ladang. Ia menggerakkan organisasi mahasiswa untuk mendukung petani dari kampung halaman. Ia mengorganisir penggalangan dana, membawa mahasiswa ke ladang bukan untuk fotografi eksotis, tetapi untuk merasakan tanah, memungut padi, dan mendengar. Di sela-sela seminar, ia selalu menyelipkan cerita tentang Saluna, tentang tenunan yang menggantung di lehernya, tentang anak-anak yang batuk di senja hari. Cerita itu selalu mengubah cara orang lain melihat. Ada sesuatu yang memikat tentang narasi sederhana yang menolak menjadi sederhana.

 

Ketika ia menulis, ia tidak hanya menulis untuk publikasi; ia menulis untuk memproklamasikan kebenaran. Esai-esainya di koran kampus menantang politisi lokal yang main-main dengan izin lahan; kritik-kritiknya menggerakkan suara-suara kecil yang sering teredam. Ia menjadi mediator antara dunia akademik dan realitas rakyat. Kekuatan paling nyata dalam dirinya bukanlah retorika yang mempesona, melainkan kesabaran menunggu perubahan kecil yang kemudian menumpuk menjadi gelombang.

 

Masa muda yang keras membentuknya menjadi aktivis. Ia sadar betul bahwa perubahan bukanlah kilatan petir, melainkan proses lambat yang memerlukan strategi, jaringan, dan keberanian kecil yang dilakukan berulang. Ia juga tahu bahwa menjadi pembela kaum lemah menuntut kompromi antara idealisme dan realpolitik: tidak semua hal bisa dimenangkan di pengadilan, namun setiap kemenangan kecil di desa atau pabrik adalah batu loncatan. Ia belajar untuk merayakan tawaran-tawaran kecil: sebuah kompensasi yang adil di sebuah sawah yang kembali ke tangan petani, sebuah perjanjian upah yang memperbaiki kondisi kerja, atau sebuah program kesehatan yang mendekat pada keluarga-keluarga miskin.

 

Suatu ketika, setelah beberapa tahun merantau dan memperjuangkan banyak hal, Paraduta kembali ke kampung dengan gelombang pengalaman di pundaknya. Saluna telah menua, tetapi matanya masih menyala dengan tersenyum pahit. Di beranda rumah, nenek menunggu seperti dulu, memegang cangkir jamu hangat. “Bagaimana kabarmu, Duta?” sapanya, rendah. Paraduta duduk, dan seolah tak ingin membebani kata-kata, ia meletakkan sebuah map tebal berisi dokumen: surat perjanjian, foto-foto, dan laporan-laporan kecil yang menunjukkan hak-hak petani yang pulih. Saluna menangis, bukan karena kesedihan, tetapi karena haru. “Kau pulang membawa banyak suara,” katanya.

 

Namun kembalinya itu tidak seperti yang terbayangkan di mimpinya semasa kanak-kanak. Ia melihat sawah yang dulu hijau berubah menjadi hamparan tandus yang dipenuhi plat-plat beton; ia melihat sungai yang dulu jernih tertutup pipa-pipa pabrik; ia mendengar anak-anak yang sekarang berbicara tentang pekerjaan sebagai takdir, bukan sebagai pilihan. Rasa kecewa menelan sedikit kegembiraan. Tapi hidup mengajarkannya sesuatu yang tak kalah penting: kegagalan bukan alasan untuk mundur, melainkan alasan untuk memperdalam strategi.

 

Ketika perusahaan besar ingin menggusur satu kampung untuk membuka lahan perkebunan, Paraduta mengorganisir perlawanan. Ia tidak menggunakan kekerasan; ia menggunakan hukum, petisi, dan kerja sama dengan LSM lain. Ia mengumpulkan bukti-bukti; ia mencatat tanda-tanda pelanggaran izin, ia mendokumentasikan proses sidang, ia menerbitkan laporan yang kemudian menjadi bahan tuntutan di pengadilan. Di setiap pertemuan publik, ia selalu membiarkan orang-orang kampung bercerita sendiri dengan suara yang tenang tapi tegas. “Kami ini bukan angka dalam laporan,” ujar salah satu perempuan petani, suaranya bergetar namun nyala matanya tak pudar. “Kami ini manusia yang punya sejarah, punya tempat untuk mati dan bernapas.”

 

Perjuangan itu berat dan panjang. Polisi, pengacara korporasi, dan politik uang datang silih berganti. Ada malam-malam sunyi di mana Paraduta bertanya pada langit, apakah semua yang diupayakan akan berbuah? Tapi ia kemudian mengingat Saluna yang menenun di beranda, jarinya yang bergerak teratur, sabar, tak tergesa. “Kau menenun bukan untuk memacu dunia,” pikirnya, “kau menenun agar dunia mempunyai kain untuk menutupi rasa dingin.” Perjuangan Paraduta mirip dengan menenun itu: ia bukan tentang kemenangan cepat, melainkan tentang kesabaran historis.

 

Keberhasilan kecil datang ketika pengadilan memberikan putusan yang menolak sebagian izin perusahaan. Namun kemenangan itu bukan titik akhir; ia seperti retakan di tembok yang menunjukkan bahwa struktur dominasi bisa goyah. Paraduta kemudian mendorong pemasaran produk lokal, membantu petani menata koperasi, bernegosiasi langsung dengan distributor. Ia mengajari mereka bahwa kemandirian ekonomi adalah jalan panjang menuju kedaulatan. Ia mengingatkan bahwa hak atas tanah bukan hanya untuk generasi sekarang, tetapi untuk anak cucu yang akan memanen padi di masa mendatang.

 

Seiring waktu, namanya semakin dikenal. Ia menjadi figur publik yang sering diundang untuk berbicara, bukan karena ia suka panggung, melainkan karena ia ingin menampung suara yang selama ini tenggelam. Di sebuah seminar internasional, ia berpidato tentang hak-hak masyarakat adat, tentang bagaimana ambiguitas hukum mempermudah perusakan alam, tentang betapa kapitalisme tanpa kontrol menghancurkan keberlanjutan. Di sana pula, ia bertemu dengan aktivis-aktivis dari berbagai negeri yang berjuang melawan ekstraksi yang serupa. Percakapan-percakapan itu memberinya perspektif baru: perjuangan bukan lagi sekadar lokal, melainkan bagian dari gerakan global.

 

Namun menjadi tokoh publik bukan tanpa konsekuensi. Ada ancaman, pencemaran nama, bahkan tawaran untuk melunak dengan janji-jani. Beberapa teman lama memilih mundur karena keluarga mereka terancam. Dalam masa-masa genting itu, Paraduta menemui Saluna di bangku belakang rumah. “Kau tahu, Duta,” kata neneknya, suaranya serak, “di dunia ada banyak badai yang tak bisa kita hentikan. Tapi kita bisa menolak untuk membiarkannya memadamkan cahaya.” Paraduta menggenggam tangan neneknya, dan berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan menjaga cahaya itu sampai akhir hayatnya.

 

Pada suatu sore yang temaram, ia duduk di sisi sungai, memandang air yang mengalir seperti pita reflektif. Di seberang sana, ada anak-anak yang bermain di tepi yang tersisa; tawa mereka berbaur dengan bunyi burung. Paraduta memikirkan perjalanan hidupnya: dari tubuh yang rapuh, dari pangkuan Saluna, dari kereta yang membawanya ke kota, dari perjuangan di pengadilan, hingga berdirinya koperasi kecil yang kini mampu menjual beras organik ke pasar kota. Semua itu terasa seperti nadi yang berdenyut di bawah kulit dunia. Ia menyadari bahwa menjadi aktivis bukan tentang menjadi pahlawan besar, melainkan tentang menumbuhkan jaringan kecil yang mampu menahan badai.

 

Waktu berjalan, dan bisu-bisu kecil yang dulu menahan napas Paraduta berubah menjadi suara yang lantang. Ia bukan lagi anak yang sering sakit-sakitan; ia adalah lelaki yang mengajari masyarakatnya menuntut hak, memperbaiki kebijakan lokal, dan menjaga lingkungan hidup. Saluna telah tiada; neneknya meninggalkan dunia dengan damai, tenunan di lehernya menjadi pusaka yang diwariskan pada cucunya. Pada malam pemakaman nenek, ia berdiri di tengah-tengah kerumunan kecil yang hadir, memegang kain itu erat, dan berjanji pada semua yang hadir: “Perjuangan ini tidak akan berhenti di sini. Ini hanya babak kecil dari cerita panjang kita.”

 

Di pangkuan kampung, di mana ada tawa dan tangis, Paraduta menanam suatu keyakinan: bahwa luka dapat menjadi ajar, bahwa penderitaan dapat menjadi batu pijak, dan bahwa cinta pada tanah adalah medan pemberdayaan. Para petani yang pernah ia bantu kini berdiri lebih tegap; anak-anak yang dulu melihat kerja sebagai takdir kini bermimpi menjadi guru, petani, atau pengacara yang membela hak-hak lain yang terabaikan. Paraduta tak berhenti menulis; setiap pena yang ia gores adalah surat cinta kepada mereka yang tak pernah dia lupakan—kepada Saluna, kepada tanah, kepada sungai yang mengalir lembut.

 

Cerita Paraduta bukan akhir dari cerita kampungnya, melainkan bagian dari nadi yang terus berdenyut. Ia mengerti: perubahan sejati tidak pernah lahir dari seruan semata, tetapi dari kerja yang tak kasat mata, dari tangan yang menenun, dari rapat yang melelahkan, dari sidang yang panjang, dari cangkir jamu yang hangat di pagi hari. Dan tiap kali ia merasakan lelah, ia hanya menatap ke arah sawah, mengeluarkan napas panjang, dan mendengar dalam dirinya suara Saluna yang mengatakan: “Kau menenun dunia, Duta. Teruslah menenun.”

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar