Paraduta lahir pada pagi yang kabutnya masih menggantung
lemah di sela-sela daun bambu. Tangannya kecil, kulitnya pucat seperti kertas
lontar yang lama tersimpan. Ia tidak menangis keras seperti bayi lain; ibunya,
yang menutup kedua matanya sebelum sempat menengok dunia, selalu berkata: “Anak
ini memilih lirih untuk bermain dengan napas.” Kata-kata itu kemudian menjadi
doa, dan doa itu kemudian melekat pada cara Paraduta menghirup hidup.
Kampung tua tempat ia
dilahirkan, sebuah dusun yang letaknya nyaris hilang di peta, berdiri di tepian
sungai yang sedingin cermin. Di sini, kehidupan mengalir lamban, bahkan
penderitaan pun berbicara pelan. Ketika penyakit datang, ia seperti tetesan
dingin yang menumpuk di ubun-ubun pagi, menunggu untuk membuat tubuh anak itu
lebih ringan dari sebelumnya. Paraduta sering demam, sering batuk, sering
kehilangan nafsu makan. Orang-orang kampung menuding awan buruk, atau menabur
ramuan keras, tapi tidak ada yang berhasil menjauhkan kelemahan itu.
Di tengah semua itu, ada
Saluna. Neneknya yang memeluknya seolah memeluk dunia yang retak. Saluna bukan
wanita muda; wajahnya berlipat-lipat seperti daun kapok yang kering, matanya
cekung namun berkilau. Di pangkuannya, Paraduta belajar meraba dunia: dari
lekuk telapak tangan nenek yang berasa kapur, dari bau kunyit saat Saluna
menyiapkan jamu, dari suara gumamnya saat menganyam tikar. “Jangan takut,
Duta,” kata Saluna suatu sore ketika hujan menumpahkan ritme yang serupa di
atap rumah. “Dunia ini, meski kejam, punya ritme baik. Kita tinggal belajar
mengikutinya.”
Sejak kecil, Paraduta
mengerti bahwa hidup bukan hanya tentang mengumpulkan napas, melainkan tentang
mengetahui ia bernapas untuk apa. Saluna, yang pernah remaja berlari ke sawah
dengan rambut yang dilempar ke belakang, mengisinya dengan cerita: tentang
kampung yang dulu penuh padi, tentang sungai yang dulu bebas, tentang
perempuan-perempuan yang bergandengan tangan. Cerita itu bukan dongeng: cerita
itu adalah peta, peta yang menuntun Paraduta mengenang nama-nama yang
terlupakan.
Pada usia sepuluh tahun,
Paraduta mulai menyusun pertanyaan-pertanyaan. Ia bertanya, mengapa beberapa
rumah tampak lebih takzim kepada hujan daripada rumah lain? Mengapa banku uang
di pasar selalu menyuruh yang lapar menunggu? Mengapa para petani menanam
dengan tangan keriput namun pulang membawa kantong-kantong kosong? Saluna
menjawab perlahan, seperti memberi obat manis: “Semua ada sebabnya, Nak. Kita
tidak hanya hidup di bawah langit, kita hidup juga di bawah aturan yang dibuat
orang lain.” Jawaban itu menimbulkan bibit penasaran yang tumbuh menjadi cermin
di dalam benaknya.
Ketika Paraduta berumur
empat belas tahun, sebuah surat dari sebuah sekolah menengah di kota membuat
keluarganya gempar. Surat itu menulis tentang beasiswa yang diberikan kepada
beberapa anak desa yang berprestasi. Di saat yang sama, ayahnya yang buruh tani
jatuh sakit keras dan harus dirawat di tempat jauh yang memakan segala
tabungan. Pilihan terbesit: menunggu atau pergi. Saluna menatap cucunya dengan
mata yang lebih tajam dari biasanya. “Pergilah, Duta. Dunia menunggu, biarkan
cucu nenek menjemput dunia itu.” Air mata tidak ada artinya bagi Saluna; ia
membungkus kata-kata dengan tegas.
Perpisahan itu lembut. Para
tetangga berkumpul di jalan setapak, menyanyikan doa dalam bisik. Paraduta
membawa sebuah tas sederhana, beberapa lembar buku tua, dan bercak-bercak
gigitan penyakit yang tak sepenuhnya hilang. Saat ia melangkah menuju kereta,
Saluna meletakkan sehelai kain tenun di bahunya. “Ini,” katanya, “adalah
tenunan dari tangan perempuan desa. Ketika kau jauh dan tersesat, sentuhlah
tenunan ini, dengarkan desahnya, dan ingat rumah.” Paraduta memeluk kain itu
erat-erat. Di kereta, ia menatap lapisan-lapisan sawah yang mengecil seperti
kertas yang dilipat-lipat. Ia merasa takut, tapi ada sebuah gema: suatu
panggilan yang tidak lagi hanya untuk dirinya sendiri.
Kota itu lumayan besar,
berasap, dan riuh, menerimanya dengan cara yang tidak romantis. Gedung-gedung
tinggi berdiri seperti peluru waktu menembus langit, menimbulkan bayangan
panjang pada anak-anak desa yang baru tiba. Di sekolah, ia belajar membaca peta
politik: sejarah bangsa, hukum, dan kata-kata besar yang sebelumnya hanya
terdengar seperti mantra. Kemerdekaan, kesejahteraan, hak. Guru-gurunya, meski
tidak berlebihan cinta, menaruh kagum pada anak desa yang rajin ini. Paraduta
menyerap pelajaran seperti tanah menyerap air hujan; setiap kenyataan baru
meresap ke dalam retakat hati yang lama.
Tetapi di kota pula, ia
menyaksikan wajah lain dari kehidupan, wajah yang tidak tertulis dalam buku.
Pada suatu sore, ketika pulang dari perpustakaan, ia melihat sebuah kelompok
buruh membawa spanduk, berteriak menuntut upah yang lebih manusiawi. Polisi
datang seperti bayangan kebijakan yang tak ramah. Paraduta menonton, merasakan
sakit yang tidak berasal dari demam. Di sudut-sudut kota, manusia-manusia kecil
menahan mandi rintik hujan demi pekerjaan yang keras dan upah yang tipis. Di
pasar, para penjual menawarkan hasil petani dengan suara pedas, sementara harga
yang mereka terima tak sebanding dengan keringat mereka. Sebuah realitas baru
menimpa di kepalanya. Realitas yang tidak ada pada buku pelajaran:
ketidakadilan itu nyata, tidak hanya teori.
Di tahun-tahun berikutnya,
penyakitnya kadang datang kembali, tapi bukan untuk melumpuhkan: kini, ia
memakainya seperti sebuah tambahkan pelajaran. Paraduta belajar membaca luka:
di wajah pekerja, di tangan petani, di bisu-perkenalan, ia mencari benang yang
menyambung penderitaan mereka. Ia berteman dengan pemuda-pemuda buruh, bergabung
dalam diskusi tentang hak-hak pekerja, menulis esai yang bernyali tentang harga
yang adil, dan memimpin kampanye kecil untuk menuntut bantuan kesehatan bagi
keluarga buruh pabrik. Namanya mulai bersinar, bukan karena ia haus ketenaran,
melainkan karena semangatnya untuk menautkan kata-kata dengan tindakan.
Selama kuliah, Paraduta
menjadikan kampus sebagai ladang. Ia menggerakkan organisasi mahasiswa untuk
mendukung petani dari kampung halaman. Ia mengorganisir penggalangan dana,
membawa mahasiswa ke ladang bukan untuk fotografi eksotis, tetapi untuk
merasakan tanah, memungut padi, dan mendengar. Di sela-sela seminar, ia selalu
menyelipkan cerita tentang Saluna, tentang tenunan yang menggantung di
lehernya, tentang anak-anak yang batuk di senja hari. Cerita itu selalu
mengubah cara orang lain melihat. Ada sesuatu yang memikat tentang narasi
sederhana yang menolak menjadi sederhana.
Ketika ia menulis, ia tidak
hanya menulis untuk publikasi; ia menulis untuk memproklamasikan kebenaran.
Esai-esainya di koran kampus menantang politisi lokal yang main-main dengan
izin lahan; kritik-kritiknya menggerakkan suara-suara kecil yang sering
teredam. Ia menjadi mediator antara dunia akademik dan realitas rakyat.
Kekuatan paling nyata dalam dirinya bukanlah retorika yang mempesona, melainkan
kesabaran menunggu perubahan kecil yang kemudian menumpuk menjadi gelombang.
Masa muda yang keras
membentuknya menjadi aktivis. Ia sadar betul bahwa perubahan bukanlah kilatan
petir, melainkan proses lambat yang memerlukan strategi, jaringan, dan
keberanian kecil yang dilakukan berulang. Ia juga tahu bahwa menjadi pembela
kaum lemah menuntut kompromi antara idealisme dan realpolitik: tidak semua hal
bisa dimenangkan di pengadilan, namun setiap kemenangan kecil di desa atau
pabrik adalah batu loncatan. Ia belajar untuk merayakan tawaran-tawaran kecil:
sebuah kompensasi yang adil di sebuah sawah yang kembali ke tangan petani,
sebuah perjanjian upah yang memperbaiki kondisi kerja, atau sebuah program
kesehatan yang mendekat pada keluarga-keluarga miskin.
Suatu ketika, setelah
beberapa tahun merantau dan memperjuangkan banyak hal, Paraduta kembali ke
kampung dengan gelombang pengalaman di pundaknya. Saluna telah menua, tetapi
matanya masih menyala dengan tersenyum pahit. Di beranda rumah, nenek menunggu
seperti dulu, memegang cangkir jamu hangat. “Bagaimana kabarmu, Duta?” sapanya,
rendah. Paraduta duduk, dan seolah tak ingin membebani kata-kata, ia meletakkan
sebuah map tebal berisi dokumen: surat perjanjian, foto-foto, dan laporan-laporan
kecil yang menunjukkan hak-hak petani yang pulih. Saluna menangis, bukan karena
kesedihan, tetapi karena haru. “Kau pulang membawa banyak suara,” katanya.
Namun kembalinya itu tidak
seperti yang terbayangkan di mimpinya semasa kanak-kanak. Ia melihat sawah yang
dulu hijau berubah menjadi hamparan tandus yang dipenuhi plat-plat beton; ia
melihat sungai yang dulu jernih tertutup pipa-pipa pabrik; ia mendengar
anak-anak yang sekarang berbicara tentang pekerjaan sebagai takdir, bukan
sebagai pilihan. Rasa kecewa menelan sedikit kegembiraan. Tapi hidup
mengajarkannya sesuatu yang tak kalah penting: kegagalan bukan alasan untuk
mundur, melainkan alasan untuk memperdalam strategi.
Ketika perusahaan besar
ingin menggusur satu kampung untuk membuka lahan perkebunan, Paraduta
mengorganisir perlawanan. Ia tidak menggunakan kekerasan; ia menggunakan hukum,
petisi, dan kerja sama dengan LSM lain. Ia mengumpulkan bukti-bukti; ia
mencatat tanda-tanda pelanggaran izin, ia mendokumentasikan proses sidang, ia
menerbitkan laporan yang kemudian menjadi bahan tuntutan di pengadilan. Di
setiap pertemuan publik, ia selalu membiarkan orang-orang kampung bercerita
sendiri dengan suara yang tenang tapi tegas. “Kami ini bukan angka dalam
laporan,” ujar salah satu perempuan petani, suaranya bergetar namun nyala
matanya tak pudar. “Kami ini manusia yang punya sejarah, punya tempat untuk
mati dan bernapas.”
Perjuangan itu berat dan
panjang. Polisi, pengacara korporasi, dan politik uang datang silih berganti.
Ada malam-malam sunyi di mana Paraduta bertanya pada langit, apakah semua yang
diupayakan akan berbuah? Tapi ia kemudian mengingat Saluna yang menenun di
beranda, jarinya yang bergerak teratur, sabar, tak tergesa. “Kau menenun bukan
untuk memacu dunia,” pikirnya, “kau menenun agar dunia mempunyai kain untuk
menutupi rasa dingin.” Perjuangan Paraduta mirip dengan menenun itu: ia bukan
tentang kemenangan cepat, melainkan tentang kesabaran historis.
Keberhasilan kecil datang
ketika pengadilan memberikan putusan yang menolak sebagian izin perusahaan.
Namun kemenangan itu bukan titik akhir; ia seperti retakan di tembok yang
menunjukkan bahwa struktur dominasi bisa goyah. Paraduta kemudian mendorong
pemasaran produk lokal, membantu petani menata koperasi, bernegosiasi langsung
dengan distributor. Ia mengajari mereka bahwa kemandirian ekonomi adalah jalan
panjang menuju kedaulatan. Ia mengingatkan bahwa hak atas tanah bukan hanya
untuk generasi sekarang, tetapi untuk anak cucu yang akan memanen padi di masa
mendatang.
Seiring waktu, namanya
semakin dikenal. Ia menjadi figur publik yang sering diundang untuk berbicara,
bukan karena ia suka panggung, melainkan karena ia ingin menampung suara yang
selama ini tenggelam. Di sebuah seminar internasional, ia berpidato tentang
hak-hak masyarakat adat, tentang bagaimana ambiguitas hukum mempermudah
perusakan alam, tentang betapa kapitalisme tanpa kontrol menghancurkan
keberlanjutan. Di sana pula, ia bertemu dengan aktivis-aktivis dari berbagai
negeri yang berjuang melawan ekstraksi yang serupa. Percakapan-percakapan itu
memberinya perspektif baru: perjuangan bukan lagi sekadar lokal, melainkan
bagian dari gerakan global.
Namun menjadi tokoh
publik bukan tanpa konsekuensi. Ada ancaman, pencemaran nama, bahkan tawaran
untuk melunak dengan janji-jani. Beberapa teman lama memilih mundur karena
keluarga mereka terancam. Dalam masa-masa genting itu, Paraduta menemui Saluna
di bangku belakang rumah. “Kau tahu, Duta,” kata neneknya, suaranya serak, “di
dunia ada banyak badai yang tak bisa kita hentikan. Tapi kita bisa menolak
untuk membiarkannya memadamkan cahaya.” Paraduta menggenggam tangan neneknya,
dan berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan menjaga cahaya itu sampai akhir
hayatnya.
Pada suatu sore yang
temaram, ia duduk di sisi sungai, memandang air yang mengalir seperti pita
reflektif. Di seberang sana, ada anak-anak yang bermain di tepi yang tersisa;
tawa mereka berbaur dengan bunyi burung. Paraduta memikirkan perjalanan
hidupnya: dari tubuh yang rapuh, dari pangkuan Saluna, dari kereta yang
membawanya ke kota, dari perjuangan di pengadilan, hingga berdirinya koperasi
kecil yang kini mampu menjual beras organik ke pasar kota. Semua itu terasa
seperti nadi yang berdenyut di bawah kulit dunia. Ia menyadari bahwa menjadi
aktivis bukan tentang menjadi pahlawan besar, melainkan tentang menumbuhkan
jaringan kecil yang mampu menahan badai.
Waktu berjalan, dan
bisu-bisu kecil yang dulu menahan napas Paraduta berubah menjadi suara yang
lantang. Ia bukan lagi anak yang sering sakit-sakitan; ia adalah lelaki yang
mengajari masyarakatnya menuntut hak, memperbaiki kebijakan lokal, dan menjaga
lingkungan hidup. Saluna telah tiada; neneknya meninggalkan dunia dengan damai,
tenunan di lehernya menjadi pusaka yang diwariskan pada cucunya. Pada malam
pemakaman nenek, ia berdiri di tengah-tengah kerumunan kecil yang hadir,
memegang kain itu erat, dan berjanji pada semua yang hadir: “Perjuangan ini
tidak akan berhenti di sini. Ini hanya babak kecil dari cerita panjang kita.”
Di pangkuan kampung, di
mana ada tawa dan tangis, Paraduta menanam suatu keyakinan: bahwa luka dapat
menjadi ajar, bahwa penderitaan dapat menjadi batu pijak, dan bahwa cinta pada
tanah adalah medan pemberdayaan. Para petani yang pernah ia bantu kini berdiri
lebih tegap; anak-anak yang dulu melihat kerja sebagai takdir kini bermimpi
menjadi guru, petani, atau pengacara yang membela hak-hak lain yang terabaikan.
Paraduta tak berhenti menulis; setiap pena yang ia gores adalah surat cinta
kepada mereka yang tak pernah dia lupakan—kepada Saluna, kepada tanah, kepada
sungai yang mengalir lembut.
Cerita Paraduta bukan akhir dari cerita kampungnya,
melainkan bagian dari nadi yang terus berdenyut. Ia mengerti: perubahan sejati
tidak pernah lahir dari seruan semata, tetapi dari kerja yang tak kasat mata, dari
tangan yang menenun, dari rapat yang melelahkan, dari sidang yang panjang, dari
cangkir jamu yang hangat di pagi hari. Dan tiap kali ia merasakan lelah, ia
hanya menatap ke arah sawah, mengeluarkan napas panjang, dan mendengar dalam
dirinya suara Saluna yang mengatakan: “Kau menenun dunia, Duta. Teruslah
menenun.”

Tidak ada komentar:
Posting Komentar