Pagi itu, udara di Soekarno-Hatta masih lembap oleh sisa hujan malam. Aku dan Bdikar Anumtiko duduk di dekat jendela ruang tunggu, menyaksikan pesawat-pesawat berderet seperti barisan burung besi yang sabar menunggu giliran terbang. Ia menatap ke luar kaca, matanya memantulkan cahaya samar yang baru lahir dari ufuk timur.
“Bangkok dulu, baru Manila, ya, Pak?” tanyanya, seolah ingin memastikan rute
perjalanan yang sudah kuceritakan berulang kali.
Aku mengangguk, menatap wajahnya yang dipenuhi rasa ingin tahu.
Dalam diam, aku sadar. Perjalanan ini bukan sekadar menghadiri konferensi Legal Empowerment Fund (LEF) dan Fund for Global Human Rights. Ia adalah perlintasan: antara dunia ide dan dunia batin, antara peran sebagai pegiat dan sebagai ayah.
Di tas kecilku terselip undangan resmi. Kertas berkop lembaga internasional dengan logo LEF biru laut dan tanda tangan elektronik. Tapi di hati, aku membawa sesuatu yang lebih tak kasat mata, rasa tanggung jawab untuk membawa suara Akar Global Inisiatif, dan diam-diam, rasa syukur bahwa aku bisa memperkenalkan dunia ini kepada Bdikar. Dunia yang ia warisi, dengan segala luka dan harapannya.
Ketika pesawat mengudara, awan-awan tebal seperti gunung kapuk bergulung di bawah sayap. Dari ketinggian, dunia tampak damai tapi aku tahu, di bawah sana, tanah-tanah masih digugat, sungai-sungai masih dibendung, dan suara-suara masih ditenggelamkan oleh hukum yang tak berpihak.
Hari itu, aku memilih untuk percaya bahwa perjalanan ini adalah langkah kecil
menuju keadilan yang lebih luas.
Begitu roda pesawat menyentuh landasan bandara Ninoy Aquino, udara hangat langsung menyergap. Manila menyambut dengan caranya yang khas. Hiruk-pikuk, lembap, dan bersahabat. Dari jendela mobil yang menjemput kami, kulihat papan iklan berwarna mencolok berbaris di sepanjang jalan, wajah-wajah selebritas, kampanye publik, dan sesekali, poster dengan pesan sosial.
The Heritage Hotel Manila berdiri megah di sudut Roxas Boulevard. Arsitekturnya klasik, dengan lampu gantung kristal besar yang menggantung di lobi, seolah menyimpan cerita dari masa kolonial dan modernitas yang saling bertaut.
“Ini seperti film lama,” kata Bdikar sambil menarik koper kecilnya.
Aku tersenyum. “Ya, dan kita bagian dari film itu hari ini.”
Malam pertama di Manila, aku
duduk di tepi jendela kamar hotel, memandang jalanan yang tak pernah
benar-benar sepi. Klakson, langkah tergesa, dan cahaya lampu mobil yang berlari
di antara bayangan pepohonan palem. Semua berpadu menjadi semacam orkestra
urban yang asing namun akrab.
Di meja, map berisi agenda konferensi tergeletak terbuka. Aku membaca ulang judul utamanya: “Legal Empowerment for Land and Enviromental Justice.” Kalimat itu terasa seperti gema dari perjalanan panjang Akar Global Inisiatif. Kerja bersama masyarakat akar rumput yang menolak diam, yang belajar hukum agar tak lagi ditaklukkan olehnya.
Tanggal 23 September 2025, aula besar di hotel penuh dengan suara dari berbagai Bahasa. Inggris, Spanyol, Myanmar, Prancis, Thai, Tagalog, dan bahasa-bahasa lain yang tak sempat kukenal. Namun di balik perbedaan itu, ada benang merah yang sama keinginan untuk memberdayakan masyarakat, agar hukum bukan lagi alat kekuasaan, melainkan ruang keadilan.
Di panggung, bendera-bendera kecil dari berbagai negara berdiri sejajar. Aku memperkenalkan diri:
“My name is Erwin Basrin, from Akar Global Inisiatif, Indonesia.” Beberapa kepala menoleh dan tersenyum.
Sesi pertama membahas Community Power in Times of Crisis. Seorang aktivis perempuan dari Philipina bercerita tentang perjuangan komunitasnya melawan penggusuran oleh proyek infrastruktur. Sementara seorang pegiat hukum dari Uganda menambahkan: “Legal empowerment is not only about knowing the law, but about transforming fear into collective power.”
Kalimat itu menancap dalam benakku. Aku teringat wajah-wajah petani di Malin Deman, perempuan-perempuan yang datang jauh-jauh ke kabupaten untuk mengadu soal tanahnya yang dirampas. Mereka mungkin tak pernah membaca konvensi internasional, tapi mereka tahu satu hal. Keadilan tidak boleh berhenti di atas kertas.
Ketika tiba giliranku berbicara, aku bercerita tentang kerja-kerja Akar Global Inisiatif, tentang sekolah paralegal, pendidikan hukum kritis, dan perjuangan masyarakat adat di Bengkulu.
Aku menutup dengan kalimat yang spontan keluar dari dada “Legal empowerment
is not only about defending rights. It’s about defending dignity, the dignity
of being part of this earth.”
Sejenak ruangan hening, lalu terdengar tepuk tangan yang hangat.
Sore setelah sesi pertama, aku diajak Bdikar berjalan-jalan. Kami menyeberangi taman Rizal, lalu menuju National Museum of Anthropology. Udara sore lembut, dan pepohonan tua di sekitar taman menebarkan aroma getah yang menenangkan.
Di dalam museum, langkah kami bergema di lantai marmer. Koleksi artefak, perhiasan kuno, dan patung kayu dari berbagai suku di Filipina berdiri dengan hening yang sakral. Bdikar berhenti di depan diorama yang menggambarkan rumah-rumah adat Mindanao.
“Pak, ini mirip rumah di Bengkulu, ya?” katanya pelan.
Aku mengangguk, merasakan sesuatu yang hangat di dada. “Ya, mungkin karena akar kita di tanah yang sama, tanah yang pernah dijajah, tapi tak pernah benar-benar kalah.”
Kami melangkah lebih dalam, melewati ruang yang memajang patung Bathala, dewa tertinggi dalam mitologi Tagalog.
“Bathala itu seperti Tuhan, ya?” tanya Bdikar.
“Ya, tapi juga seperti alam,” jawabku. “Mereka percaya, manusia, pohon, dan
bumi adalah satu kesatuan. Tidak ada yang lebih tinggi dari yang lain.”
Ia terdiam, lalu menatapku lama.
“Mungkin itu juga artinya keadilan, ya, Pak?”
Aku menatap matanya dan tersenyum. “Mungkin, Nak. Mungkin begitu.”
Malam itu, aku menulis kalimat itu di buku catatan kecilku:“Keadilan adalah ketika manusia berhenti menempatkan dirinya di atas yang lain.”
Hari kedua konferensi berjalan intens. Sesi demi sesi mengurai tema besar: perlindungan pembela HAM, strategi hukum berbasis komunitas, hingga kebijakan internasional yang sering kali menjauh dari realitas rakyat. Tapi di sela-sela itu, aku menyadari bahwa pertemuan lintas bangsa ini lebih dari sekadar berbagi strategi. Ia adalah ruang penyembuhan kolektif.
Seorang aktivis muda dari Myanmar menangis saat menceritakan sahabatnya yang dipenjara karena membela petani. Seorang perempuan dari Vietnam berbicara lirih tentang hidup di bawah bayangan tembok. Dan di tengah semua cerita itu, aku merasa kecil, tapi juga bagian dari sesuatu yang lebih besar.
Sore harinya, kami menyempatkan diri ke Intramuros, kota tua yang menjadi saksi panjang kolonialisme Spanyol. Jalan-jalannya berbatu, temboknya tebal dan berlumut, sementara gereja tua berdiri seperti penjaga waktu.
Katedral Manila menjulang di depan, dengan lonceng besar yang sesekali berdentang. Di tangga depannya, Bdikar duduk diam, menatap burung-burung yang beterbangan di langit sore. Dibangun oleh Ordo St. Augustinus dan selesai pada tahun 1607, menjadikannya gereja tertua dengan gaya arsitektur Barok, menampilkan altar hias, mimbar, dan fresko trompe l'oeil. Dan, merupakan satu-satunya bangunan di Intramuros yang selamat dari Pertempuran Manila pada akhir Perang Dunia II.
“Tempat ini seperti lama sekali, ya, Pak,” katanya.
Aku duduk di sampingnya. “Ya, ini tempat yang pernah jadi simbol kekuasaan. Tapi lihatlah kini orang-orang datang bukan untuk tunduk, tapi untuk belajar dari masa lalu.”
Kami berjalan melewati lorong-lorong batu. Aku membayangkan masa ketika kota ini menjadi pusat kolonial, ketika hukum hanya milik mereka yang berkuasa. Tapi kini, di abad ke-21, aku berada di kota yang sama, berbicara tentang legal empowerment tentang hukum yang membebaskan, bukan menindas.
Ironi sejarah itu terasa puitis. Seakan perjalanan ini menutup satu lingkaran waktu. Dari tanah jajahan ke panggung global, dari rakyat yang dibungkam ke rakyat yang bersuara.
Hari terakhir konferensi tiba dengan suasana hangat. Kami duduk berkelompok dalam sesi refleksi. Di dinding, terpampang tulisan besar: “Justice is a collective act.”
Aku berbicara singkat tentang pentingnya membangun solidaritas antarwilayah, bagaimana perjuangan masyarakat adat di Bengkulu tak jauh berbeda dari perjuangan komunitas nelayan di Filipina atau petani di Uganda.
Salah satu fasilitator bertanya, “What
do you take home from this gathering?”
Aku menjawab pelan, tapi mantap: “I take home the realization that justice has a heartbeat and that heartbeat is community.”
Setelah sesi berakhir, para peserta saling bersalaman dan sebagaian berpelukan. Seseorang memberiku tulisan “Power belongs to the people.” Aku menyelipkannya di tas, sebagai pengingat bahwa perjalanan keadilan tak pernah selesai.
Malam itu, di kamar hotel, Bdikar sudah tertidur lebih dulu. Aku duduk di tepi ranjang, memandangi wajahnya yang damai. Di luar, Manila masih bergemuruh. Kupikirkan perjalanan ini bukan hanya secara geografis, tapi juga batiniah. Dari ruang-ruang desa di Bengkulu hingga aula internasional di Manila, dari suara paralegal lokal hingga percakapan global.
Semua tampak berbeda, tapi esensinya satu: keadilan lahir dari keberanian untuk mendengar dan menyatu. Aku mematikan lampu, dan sebelum tertidur, aku sempat menulis satu kalimat terakhir di buku catatanku:“Kita datang bukan untuk menjadi besar, tapi untuk menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dan itulah keadilan.”
Pesawat pulang lepas landas saat fajar mulai merekah di ufuk Manila. Dari jendela, kota itu tampak seperti mozaik cahaya, indah, penuh cerita, dan tak sempurna.
Bdikar menatap keluar jendela, matanya masih setengah mengantuk.
“Kalau aku selesai kuliah nanti, aku mau pergi lagi, Pak,” katanya.
“Pergi ke mana?” tanyaku sambil tersenyum.
“Ke tempat orang-orang yang ingin dunia jadi lebih adil.”
Aku terdiam. Di antara suara
mesin pesawat, kalimat itu menembus jauh ke dalam diriku.
Mungkin itulah inti dari perjalanan ini bukan sekadar menghadiri konferensi,
bukan sekadar menjadi narasumber, tapi membiarkan dunia menanamkan benih baru
di hati seorang anak.
Di ketinggian 35.000 kaki, aku memejamkan mata. Di kepalaku bergema potongan percakapan, tawa, dan pelukan selama tiga hari yang padat di Manila. Tapi di atas segalanya, aku membawa pulang sesuatu yang lebih dari kenangan: keyakinan bahwa perjuangan keadilan, sekecil apa pun, adalah bagian dari denyut kehidupan yang lebih luas, denyut yang menghubungkan manusia, alam, dan masa depan.
Ketika pesawat menembus awan dan
perlahan menuju Jakarta, aku tahu perjalanan ini belum selesai. Ia baru saja
dimulai, di dalam diri kami berdua.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar