Berpikir adalah Jalan untuk Berpengetahuan - Erwin Basrin

Breaking

Recent Posts

 photo Untitled-1_1.jpg

Sabtu, 09 Februari 2019

Berpikir adalah Jalan untuk Berpengetahuan




Apa sebenarnya berpikir itu? Bagaimana mungkin bahwa berpikir membantu kita dalam mengetahui sesuatu? Bagaimana pengetahuan itu terbentuk dan membentuk dari proses berpikir? Sederet pertanyaan ini yang ditanyakan Bdikar ketika pagi menjelang setelah adiknya saya antar ke Sekolah. Full day membuat sekolahnya diliburkan pada hari Sabtu. Pertanyaan-pertanyaan ini tidak selayaknya ditanyakan oleh anak kelas 2 SMP, anak yang sebagain waktunya dihabiskan dengan berselancar di gadget. Tetapi dengan bersemangat saya harus menjelaskan padanya disela-sela kopi dan asap rokok yang mulai menyulut. Saya harus mengasah dan mengadvokasi kemampuan kognitifnya.


Pertama, saya menjawab. Apakah sebenarnya berpikir? Secara umum maka tiap perkembangan dalam ide, konsep, dan sebagainya dapat disebut berpikir. Umpamanya, jika seseorang bertanya, “apa yang sedang anda pikirkan?” mungkin kamu akan menjawab, “Saya sedang memikirkan sekolah saya,” hal ini berarti bahwa bayangan kenangan dan sebagainya hadir dan ikut-mengikuti dalam kesadaran kamu. Karena itu definisi yang paling umum dari berpikir adalah perkembangan ide dan konsep. Pertanyaan kedua. Sayapun menjelaskan pelan-pelan. Seseorang, kata saya. Mungkin berpikir bahwa objek yang ingin kita ketahui sebenarnya sudah ada, sudah tertentu, given, jadi disini tidak diperlukan adanya pemikiran, yang harus dilakukan adalah sekedar membuka mata kita atau memusatkan perhatian kita terhadap objek tersebut.

Kalau ternyata objek yang ingin kita ketahui itu belum tertertentu atau non-given maka kelihatannya berpikir tidak akan pernah mendekatkan kita kepadanya.  Namun semuanya itu ternyata tidak benar. Dalam kedua hal diatas, kalau kamu. Kata saya. Mau menyimak pengalaman, berpikir ternyata memerankan peranan yang sangat membantu bahkan sangat menentukan.

Nah, sekarang mari kita lihat contoh yang pertama. Dimana objek yang ingin kita ketahu sudah tertentu, sudah given. Yang harus disadari adalah bahwa objek tersebut tak pernah sederhana. Biasanya objek itu sangat rumit. Mungkin mempunyai beratus-ratus segi, aspek, karateristik dan sebagainya. Pikiran kita tidak mungkin mencakup semuanya dalam suatu ketika. Dalam rangka untuk mengenal benar-benar objek semacam itu, kamu harus dengan rajin memperhatikan semua seginya, membanding-bandingkan apa yang telah dilihat, dan selalu melihat serta menganalisa objek tersebut dari berbagai pendirian yang berbeda. Kesemuanya ini adalah berpikir.

Contoh sederhananya begini. Kata saya. Coba lihat bintik merah yang ada dimata saya. Sambil saya bukakan mata dan mendekatkan kepadanya. Apa yang kamu lihat di mata saya? Tanya saya. “bintik merah”. Tapi tidakah sesederhana itu. Faktanya, bintik merah itu mempunyai latar belakang, dimensi, dan dimensipun tidak cukup bukankah mempunyai bentuk umpamanya bulat atau persegi. Dan kita pun menemukan paling tidak tujuh unsur; latar belakang, warna, dimensi, bentuk, keunikan, itensitas dan akhirnya si pembawa. Dan semua itu baru permulaan. Contoh ini adalah masalah yang sangat sederhana bahkan kelihatannya remeh. Dalam menghadapi objek mental seperti ini maka “bakat” seseorang dapat membayangkan betapa kerumitan yang terdapat dalam kasus ini, dan betapa besar usaha yang harus dilakukan dalam berpikir untuk mendekatkan kita pada permasalahan sampai tingkat dan tahap tertentu.

Sampai disini. Kata saya. Saya ingin menandaskan sesuatu yang penting. Seperti yang saya katakan tadi, hanya terdapat dua kemungkinan dalam hubungan dengan objek yang ingin di ketahui. Apakah kedua objek itu telah ditetapkan atau belum, apabila objek itu telah ditetapkan, maka yang harus kita lakukan hanyalah melihatnya dan mengambarkannya. Jika hal itu belum ditetapkan, maka kita tidak punya pilihan lain kecuali menemukan sesuatu hal tentang objek tersebut yakni dengan jalan menalar. Tak ada jalan ketiga ke arah pengetahuan. Wajar bila seseorang dapat mempercayai sesuatu namun kepercayaan bukanlah pengetahuan. Kita dapat mengetahui dengan jalan mengamati atau menalar.

Bagaimana cara bernalar dilakukan? Bdikar mengejar dengan pertanyaan. Penalaran harus memenuhi dua persyaratan. Pertama, harus adanya premis tertentu berupa pernyataan yang sebenarnya telah diketahui atau dapat diterima. Kedua, harus mempunyai cara dalam melakukan penarikan kesimpuan. Contohnya, Jelas saya. Dalam rangka mendeduksikan bahwa “jalan adalah basah” maka harus mempunyai dua premis seperti “jika hari hujan maka jalan basah” dan “sekarang sedang hujan”. Disamping itu, harus memahami aturan yang di dalam logika di kenal dengan modus ponendo ponens. Yang secara umum artinya, bahwa jika terdapat kalimat yang memenuhi persyaratan tertentu, kalimat yang dimulai dengan “jika” dan antesedenya, maka konsekwensinya dapat diterima. Logika formalnya begini “Jika yang pertama, maka yang kedua tetapi yang pertama oleh sebab itu yang kedua”.

Ini penting! Dan harus dipelajari secara seksama. Semua aturan yang pasti pada dasarnya merupakan perubahan dari modus ponendo ponens. Dalam hal ini orang akan menarik kesimpuan dari anteseden kepada konsekuen, yakni dari yang pertama ke yang kedua. Ini aturan yang tak mungkin salah. Tetapi dalam peraturan yang tak pasti kita bisa melakukan sebaliknya. “yang pertama maka yang kedua” melainkan “ yang kedua maka oleh sebab itu yang pertama” bahwa dengan cara itu kita mungkin melakukan kesalahan yang dapat dilihat dalam pengambilan keputusan. Bdikar memegang hidungnya sambil garut-garut kepala. Begini, kata lanjut saya. “jika saya Pangeran Diponegoro maka saya laki-laki, maka oleh sebab itu saya adalah Pangeran Diponegoro” disini kedua premis adalah benar, namun kesimpulannya salah. Karena saya bukan Pangeran Diponegoro.  

Sampai disini saya berhenti menjelaskan falsafah kepada Bdikar. Ini pagi terberat bagi Bdikar, ruang kelas belajarnya di pindahkan dari sekolahnya ke meja dapur di rumah sederhana kami. Saya tahu diskusi falsafah mengandung kemewahan sekaligus memusingkan bagi milenial yang bertumbuh dalam tumbuh android. Tepi hanya falsafahlah yang bisa memperingatkan kita kepada kegilaan, yang didasarkan pada pemikiran yang salah, yang sering menancam kita dengan dalil kekuasaan keilmuan. “Salah satu fungsi falsafah yang terpenting adalah mempertahankan pemikiran yang benar terhadap fantasi dan omong kosong”. Segelas kopipun habis. Bdikar meloncat dan mengambil sepedanya. Dia pergi ke arah belakang rumah kami, ke arah kebun sawit yang biasanya tempat sapi dan kerbau di gembalakan. Sepertinya dia mau membuktikan bahwa kerbau dan sapi itu mempunyai banyak latar belakang, warna, dimensi, bentuk, dan keunikan, itensitas tidak seperti yang sering dia lihat di dalam gadgetnya. Sapi dan kerbau yang seragam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar