Apa sebenarnya berpikir itu? Bagaimana mungkin bahwa
berpikir membantu kita dalam mengetahui sesuatu? Bagaimana pengetahuan itu
terbentuk dan membentuk dari proses berpikir? Sederet pertanyaan ini yang
ditanyakan Bdikar ketika pagi menjelang setelah adiknya saya antar ke Sekolah. Full
day membuat sekolahnya diliburkan pada hari Sabtu. Pertanyaan-pertanyaan ini
tidak selayaknya ditanyakan oleh anak kelas 2 SMP, anak yang sebagain waktunya
dihabiskan dengan berselancar di gadget. Tetapi dengan bersemangat saya harus
menjelaskan padanya disela-sela kopi dan asap rokok yang mulai menyulut. Saya harus
mengasah dan mengadvokasi kemampuan kognitifnya.
Pertama, saya menjawab. Apakah sebenarnya berpikir? Secara umum
maka tiap perkembangan dalam ide, konsep, dan sebagainya dapat disebut
berpikir. Umpamanya, jika seseorang bertanya, “apa yang sedang anda pikirkan?”
mungkin kamu akan menjawab, “Saya sedang memikirkan sekolah saya,” hal ini
berarti bahwa bayangan kenangan dan sebagainya hadir dan ikut-mengikuti dalam
kesadaran kamu. Karena itu definisi yang paling umum dari berpikir adalah
perkembangan ide dan konsep. Pertanyaan kedua. Sayapun menjelaskan pelan-pelan.
Seseorang, kata saya. Mungkin berpikir bahwa objek yang ingin kita ketahui
sebenarnya sudah ada, sudah tertentu, given,
jadi disini tidak diperlukan adanya pemikiran, yang harus dilakukan adalah
sekedar membuka mata kita atau memusatkan perhatian kita terhadap objek
tersebut.
Kalau ternyata objek yang ingin kita ketahui itu belum
tertertentu atau non-given maka
kelihatannya berpikir tidak akan pernah mendekatkan kita kepadanya. Namun semuanya itu ternyata tidak benar. Dalam
kedua hal diatas, kalau kamu. Kata saya. Mau menyimak pengalaman, berpikir
ternyata memerankan peranan yang sangat membantu bahkan sangat menentukan.
Nah, sekarang mari kita lihat contoh yang pertama. Dimana objek
yang ingin kita ketahu sudah tertentu, sudah given. Yang harus disadari adalah bahwa objek tersebut tak pernah
sederhana. Biasanya objek itu sangat rumit. Mungkin mempunyai beratus-ratus
segi, aspek, karateristik dan sebagainya. Pikiran kita tidak mungkin mencakup
semuanya dalam suatu ketika. Dalam rangka untuk mengenal benar-benar objek
semacam itu, kamu harus dengan rajin memperhatikan semua seginya,
membanding-bandingkan apa yang telah dilihat, dan selalu melihat serta
menganalisa objek tersebut dari berbagai pendirian yang berbeda. Kesemuanya ini
adalah berpikir.
Contoh sederhananya begini. Kata saya. Coba lihat bintik merah
yang ada dimata saya. Sambil saya bukakan mata dan mendekatkan kepadanya. Apa yang
kamu lihat di mata saya? Tanya saya. “bintik merah”. Tapi tidakah sesederhana
itu. Faktanya, bintik merah itu mempunyai latar belakang, dimensi, dan dimensipun
tidak cukup bukankah mempunyai bentuk umpamanya bulat atau persegi. Dan kita pun
menemukan paling tidak tujuh unsur; latar belakang, warna, dimensi, bentuk,
keunikan, itensitas dan akhirnya si pembawa. Dan semua itu baru permulaan. Contoh
ini adalah masalah yang sangat sederhana bahkan kelihatannya remeh. Dalam menghadapi
objek mental seperti ini maka “bakat” seseorang dapat membayangkan betapa
kerumitan yang terdapat dalam kasus ini, dan betapa besar usaha yang harus
dilakukan dalam berpikir untuk mendekatkan kita pada permasalahan sampai tingkat
dan tahap tertentu.
Sampai disini. Kata saya. Saya ingin menandaskan sesuatu
yang penting. Seperti yang saya katakan tadi, hanya terdapat dua kemungkinan
dalam hubungan dengan objek yang ingin di ketahui. Apakah kedua objek itu telah
ditetapkan atau belum, apabila objek itu telah ditetapkan, maka yang harus kita
lakukan hanyalah melihatnya dan mengambarkannya. Jika hal itu belum ditetapkan,
maka kita tidak punya pilihan lain kecuali menemukan sesuatu hal tentang objek
tersebut yakni dengan jalan menalar. Tak ada jalan ketiga ke arah pengetahuan. Wajar
bila seseorang dapat mempercayai sesuatu namun kepercayaan bukanlah
pengetahuan. Kita dapat mengetahui dengan jalan mengamati atau menalar.
Bagaimana cara bernalar dilakukan? Bdikar mengejar dengan pertanyaan.
Penalaran harus memenuhi dua persyaratan. Pertama, harus adanya premis tertentu
berupa pernyataan yang sebenarnya telah diketahui atau dapat diterima. Kedua,
harus mempunyai cara dalam melakukan penarikan kesimpuan. Contohnya, Jelas saya.
Dalam rangka mendeduksikan bahwa “jalan adalah basah” maka harus mempunyai dua
premis seperti “jika hari hujan maka jalan basah” dan “sekarang sedang hujan”. Disamping
itu, harus memahami aturan yang di dalam logika di kenal dengan modus ponendo ponens. Yang secara umum
artinya, bahwa jika terdapat kalimat yang memenuhi persyaratan tertentu,
kalimat yang dimulai dengan “jika” dan antesedenya, maka konsekwensinya dapat
diterima. Logika formalnya begini “Jika yang pertama, maka yang kedua tetapi
yang pertama oleh sebab itu yang kedua”.
Ini penting! Dan harus dipelajari secara seksama. Semua aturan
yang pasti pada dasarnya merupakan perubahan dari modus ponendo ponens. Dalam hal ini orang akan menarik kesimpuan
dari anteseden kepada konsekuen, yakni dari yang pertama ke yang kedua. Ini aturan
yang tak mungkin salah. Tetapi dalam peraturan yang tak pasti kita bisa
melakukan sebaliknya. “yang pertama maka yang kedua” melainkan “ yang kedua
maka oleh sebab itu yang pertama” bahwa dengan cara itu kita mungkin melakukan
kesalahan yang dapat dilihat dalam pengambilan keputusan. Bdikar memegang
hidungnya sambil garut-garut kepala. Begini, kata lanjut saya. “jika saya Pangeran
Diponegoro maka saya laki-laki, maka oleh sebab itu saya adalah Pangeran
Diponegoro” disini kedua premis adalah benar, namun kesimpulannya salah. Karena
saya bukan Pangeran Diponegoro.
Sampai disini saya berhenti menjelaskan falsafah kepada
Bdikar. Ini pagi terberat bagi Bdikar, ruang kelas belajarnya di pindahkan dari
sekolahnya ke meja dapur di rumah sederhana kami. Saya tahu diskusi falsafah mengandung
kemewahan sekaligus memusingkan bagi milenial yang bertumbuh dalam tumbuh
android. Tepi hanya falsafahlah yang bisa memperingatkan kita kepada kegilaan,
yang didasarkan pada pemikiran yang salah, yang sering menancam kita dengan
dalil kekuasaan keilmuan. “Salah satu fungsi falsafah yang terpenting adalah
mempertahankan pemikiran yang benar terhadap fantasi dan omong kosong”. Segelas
kopipun habis. Bdikar meloncat dan mengambil sepedanya. Dia pergi ke arah
belakang rumah kami, ke arah kebun sawit yang biasanya tempat sapi dan kerbau
di gembalakan. Sepertinya dia mau membuktikan bahwa kerbau dan sapi itu
mempunyai banyak latar belakang, warna, dimensi, bentuk, dan keunikan,
itensitas tidak seperti yang sering dia lihat di dalam gadgetnya. Sapi dan
kerbau yang seragam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar