Tuah Demong Samin - Erwin Basrin

Breaking

Recent Posts

 photo Untitled-1_1.jpg

Kamis, 24 Januari 2019

Tuah Demong Samin


Kutai Topos, Jurukalang


Kutai Blau, adalah sebuah desa terpencil di pingiran hutan mengalir di sisinya sungai yang jernih dan digunakan penduduknya untuk minum, mandi, dan keperluan lainnya. Kutai Blau, yang di melayukan dengan penyebutan Kota Baru. Secara adminsitratif menjadi Desa definitif hasil pemekaran dari desa induknya, Desa Embong Uram. Sadei Embong atau Kutai Embong ini berada di kaki Bukit Segurap yang terbentuk secara alami karena endapan tanah dari gerusan gunung. 

Aliran sungai mengalir dari puncak perbukitan melalui sela-sela bebatuan pegunungan. Meskipun jernih, sungainya mengandung banyak penyakit. Perkampungan yang di lewati sungai ini terbentuk secara alami karena perubahan arus sungai Uram, berpenduduk kurang lebih tujuh ratusan orang. Penduduk membangun dan menepati rumah kayu, rumah-rumah penduduk berjejer, berjarak dan memanjang sepanjang aliran sungai. Memanjang dari Utara ke Selatan.
Sebagai perkampungan yang teguh memegang adat dan percaya pada arwah leluhur serta percaya pada kekuatan adikodrati. Penduduk kampung sejak kecil diajarkan dan di ceritakan tentang roh, tentang sesuatu yang gaib, tentang hantu, arwah leluhur, tentang tempat yang dipercayai mempunyai tuah atau karomah. Mereka menyebutnya keramat. Boleh jadi, memperkenalkan terus menerus kepercayaan terhadap yang gaib-gaib, berlahan tetapi pasti membentuk sistem berpikir warga kampung.
Cerita-cerita gaib lahir dari perkembangan sistem berpikir orang penduduk kampung, cara berpikir dari gerak alam yang hidup disebabkan oleh adanya jiwa yang ada di belakang gejala alam. Karena memang berkaitan dengan pola hidup dan lingkungan. Dan terus menerus di hadirkan dalam sistem kejiwaan dan pengetahuan faktual penduduk kampung.
Berlahan-lahan membuat kepercayaan gaib di terima sebagai bagian yang logis.
Jadilah gaib yang masuk akal.
Penyesuaian dilakukan dengan peleburan sifat asli yang dimiliki dengan sifat lingkungan sekitar. Dan, menggabungkan informasi baru kedalam pengetahuan gaib. Begitulah perkampungan ini. Bukan karena warga kampong tidak logis cara berpikirnya, namun lebih karena mereka tidak mempedulikan keadaan lingkungannya, sebab mereka hidup dalam sebuah pesona.
Pesona ini datang dari sebuah rumah di ujung gang jalan kampung disebelah Utara. Rumah berdinding dan beratap bilah-bilah kayu berwarna hijau. Rumah ini milik Ninik Alinudin. Orang kampung menyematkan sebutan Alim Ulama sekaligus cerdik pandai. Dia hanya tinggal berdua dirumahnya yang bersahaja dan sederhana dengan istrinya.
Dia adalah seorang yang mengundurkan diri setelah sekian lama menjadi imam dari sebuah masjid desa. Umurnya sekitar tujuh pulah enam tahunan. Tidak ada yang tahu pasti umurnya. Jika ditanya berapa umurnya. Dia hanya menjawab, dia lahir ketika sungai meluap dan banjir bandang. Begitulah orang di kampung ini menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan waktu, selalu mengacu pada kejadian-kejadian penting yang pernah terjadi dan dialami oleh warga kampung.
Ninik Alinudin tidaklah tinggi pendidikannya, tetapi bisa membaca dan menulis. Dia punya kemampuan untuk mengarang cerita di luar kepala. Satu bulan bisa dua cerita yang di karangnya. Rumahnyalah yang menjadi pesona di kampung ini. Ninik Alinudin tidak memiliki harta benda. Yang dimilikinya hanya sebatang sapu lidi untuk membersihkan rumahnya.
Dia menghabiskan separuh hidupnya di rumah ini. Dia jarang berkunjung ke warga kampung, kecuali jika ada hal-hal yang sangat penting yang terjadi. Sebab warga kampunglah yang selalu mengunjunginya. Hampir sepanjang hari orang-orang menemani Ninik Alinudin yang selalu duduk bersila di teras rumahnya. Jika dia berkenan, Ninik Alinudin akan menghibur orang itu dengan cerita anekdot dan kisah pengalaman hidupnya. Jika tidak, dia akan berkata dengan orang-orang dengan pandangan masam, “Kamu kira aku ini apa? Jangan salahkan aku jika siang ini aku tidak punya cerita buatmu. Tanpa bermeditasi bagaimana mungkin arwah leluhur akan memberiku cerita? Kamu kira ceritaku itu melayang begitu saja di udara?”
Penduduk kampung sebagian besar adalah penganut Islam yang taat, sebagian mencampurkan ajarag Islam dengan adat istiadat. Tetapi, setiap Jum’at penduduk kampung bersembahyang menuju masjid desa yang dulunya Ninik Alinudin menjadi Imamnya. Pada malam hari jika dia ingin menceritakan sebuah dongeng, dia akan menyalahkan lampu kecil dan menaruhnya di atas meja di teras rumahnya. Penduduk kampung yang pulang dari kebun dan sawah menjelang senja hari akan segera bergegas menunju rumah Ninik Alinudin di ujung gang.
Dia selalu membuka ceritanya dengan sebuah pertanyaan sambil mengangkat jarinya ke depan. Lalu, Dia bertanya “Seribu tahun lampau, sebuah batu terlempar ke arah ini, kamu pikir ada apa di sana? Dulu, kampung ini berdiri setelah Sungai menyapu bersih penduduknya, kemudian orang-orang membangun kembali perkampungan ini. Setelah pembukaan cerita. Dia akan terus bercerita sampai empat jam tanpa berhenti.
Dia bercerita tentang istana para leluhur, tentang musik, tentang perang, tentang menteri-menteri, tentang dayang-dayang. Dia mengambarkan dengan rinci setiap ceritanya, kisah ceritanya seperti sebuah epic. Ceritanya selalu saja sama dengan alur yang dikarang sesukanya. Ketika rembulan telah berlindung di balik pepohonan di hutan. Ninik Alinudin berkata “Kini kawan-kawan, arwah leluhur berkata bahwa kisah hari ini cukup sampai disini.? Dia lalu bangkit pergi, membaringkan diri dan jatuh tertidur sebelum gumaman kerumunan para pendengar berhenti.
Cahaya di sele-sela pepohonan akan terlihat lagi dua atau tiga hari kemudian. Raja-raja dan para pahlawan, hantu, peri dan arwah jelmaan leluhur dan dewa berujud manusia, orang-orang suci dan para pembunuh bermunculan di dalam dunia mereka di bawah naungan pepohonan. Suara Ninik Alinudin bergema dalam sebuah ritme, sinar rembulan yang tamaran melengkapai suasana bernuasa magis. Para penduduk tertawa dan menangis bersama Ninik Alinudin, mereka memuja para pahlawan dan mengutuk para penjahat. Berseru ketika para jagoan menang dalam pertarungan dan memanjatkan syukur pada arwah leluhur untuk akhir yang bahagia. Ninik Alinudin sebuah keajaiban, mengutip kata-kata bijaknya di jadikan coretan di dinding rumah-rumah dan menghidupkannya dalam kedudukan yang tinggi dalam hidup mereka.
Dan hal ini berlangsung bertahun-tahun. Pada suatu ketika, Ninik Alinudin kembali menyalakan lampu di teras rumahnya. Para pendengar berdatangan. Ninik Alinudian mengambil tempat dan mulai bercerita.
“Ketika Raja yang suka tersenyum....” dia berhenti bercerita. Diulanginya membuat permulaan yang baru.
“Ada seorang raja...,” katanya, mengulang, lalu kata-katanya melayang dalam sebuah gumaman.
“Apa yang terjadi padaku?” dia bertanya dengan sedih.
“Arwah leluhur mengapa aku jadi terbata-bata begini? Aku baru saja menyusunnya, aku tidak mengerti apa yang telah terjadi.” Dia membisu dan begitu tampak menyedihkan hingga para pendengar berkata, “Istirahatlah. Mungkin anda letih.”
“Diam!” katanya.
“Aku letih? Tunggu sebentar, aku akan segera bercerita.” Dia lalu diam. Wajah-wajah penuh harap menatap padanya.
“Jangan memandangku!” ledaknya. Seseorang memberinya secawan kopi dan sebungkus rokok. Para pendengar menunggu dengan sabar. Ini adalah sebuah hal baru. Beberapa orang menyatakan simpati. Yang lainnya mulai mengobrol dengan yang lainnya. Mereka yang ada di ujung kerumunan diam-diam pergi. Makin mendekat tengah malam, Ninik Alinudin duduk tertunduk, pikirannya di penuhi pikiran yang berkecamuk. Untuk pertama kalinya dia menyadari dirinya telah menua dan mulai merasa pikun. Dia melihat kedepan semua orang telah pergi kecuali kawannya, Kamedan, si tukang batu. “Kamedan kenapa kamu tidak pergi?”
“Mereka tidak ingin membuatmu letih, jadi mereka pulang.” Kata Kamedan meminta maaf atas yang lainnya dengan nada menghibur.
Dia kembali menyalakan lampu lagi keseokan harinya. Kerumunan kembali berkumpul. Ninik Alinudin telah bermeditasi seharian meminta arwah leluhur tidak mengecewakannya. Dia mulai bercerita dan mendongeng. Ternyata dia mampu bercerita selama satu jam tanpa berhenti. Dia merasa amat senang, sehingga dia menyelingi ceritanya dengan kalimat. “Oh, kawan, arwah leluhur selalu berbaik hati pada kita. Aku tadinya begitu tahu...” lalu dia melanjutkan ceritanya. Beberapa menit kemudian dia merasa kehabisan cerita. Dia berjuang keras.
“Dan kemudian... kemudian.... apa yang terjadi?” dia berguman. Dia berhenti hampir setengah jam. Para pendengarpun bangkit tanpa suara dan pulang ke rumah masing-masing.
Dua hari kemudian dia menyalakan lampu, melanjutkan ceritanya dan lagi-lagi hanya bertahan beberapa menit. Para pendengar bubar. Banyak orang-orang mulai tidak peduli lagi dengan lampu yang menyala diteras rumah Ninik Alinudin. Ninik Alinudin sadar bahwa tak ada gunanya dia berjuang. Dia mengakhiri ceritanya sebelum benar-benar selesai. Dia tahu apa yang terjadi. Dirinya terlalu dihantui perasaan takut gagal. Aku akan lebih bahagia jika mati beberapa tahun silam, batinnya. Leluhur, mengapa kalian biarkan aku menjadi tolol begini? Dia mengurung diri, mengurangi makan dan menghabiskan nyaris sepanjang harinya dengan duduk mematung bermeditasi.
Ketika rembulan kembali mengintip dari celah pepohonan, Ninik Alinudin menyalakan lampu. Para penduduk melihatnya ketika mereka pulang menjelang senja hari, namun hanya segelintir yang datang pada malam harinya.
“Mana yang lain?” Tanya Ninik Alinudin.
“Mari kita tunggu” dia menunggu. Rembulan telah muncul. Segelintir hadirin menunggu dengan sabar. Lalu Ninik Alinudin berkata. “Aku tidak akan bercerita, tidak juga besok kalau seluruh penduduk desa tidak datang kemari. Aku bersungguh-sungguh ini kisah yang dasyat, semua orang harus mendengarkannya.”
Keesok harinya dia keliling desa berteriak meminta orang-orang berkumpul. Malam hari penduduk kembali berkumpul, duduk, diam dan hening. Ninik Alinudin memulai ceritanya, “Adalah Leluhur yang memberikan anugerah, dan dialah yang mengabilnya kembali. Ninik Alinudin hanyalah perantara. Dia berbicara apabila leluhur mempunyai sesuatu yang harus di ceritakan. Dia membisu jika tidak ada yang perlu dikatakan. Akan tetapi apalah artinya sekuntum melati jika telah kehilangan keharumannya? Buat apa sebuah lampu jika minyaknya telah habis?  Inilah kata-kata terakhirku di dunia ini, dan inilah kisah terbesarku.? Dia bangkit dan masuk kedalam rumahnya. Para pendengar tidak sepenuhnya mengerti apa yang dimaksud. Sebagian dari mereka tetap duduk di sana hingga lelah.
Malam besoknya Ninik Alinudin duduk dengan mata terpejam di teras depan lampu yang menyala redup tanda kehabisan minyak. “Tidakkah anda akan menceritakan sebuah kisah kepada kami?” tanya mereka. Ninik Alinudin membuka mata dan menatap mereka, lalu mengelengkan kepala dan mengempalkan tangganya. Dia memberi tanda dengan bahasa tubuhnya bahwa dia telah mengucapkan kata terakhir sebagai pendogeng. Ninik Alinudin ingin manjadi pejuang. Ingin menjadi bagian yang nantinya akan di cerikan oleh pendongeng.
Saya mendengar sayup kabar tentang Ninik Alinudin yang pendongeng jadi pejuang. Setelah lima jam perjalanan, saya sudah berdiri di depan gang sempit menuju rumah Ninik Alinudin. Tidaklah sulit untuk menemukan rumahnya, orang-orang tahu dengannya. Orang-orang di kampungnya tahu Ninik Alinudin keturunan asli dari keluarga Dalman. Salah seorang pendiri kampung yang selalu di tunggu-tunggu cerita dongengnya.
Sampai di teras rumah yang lebar. Tidak ada lagi lampu yang sering dia nyalakan. Setelah sepatu saya buka, ada aura yang sangat kuat. Serasa ada lengan semu menepuk pundakku, seperti sesuatu yang mau memberi tahu jumlah orang-orang kalah semakin membengkak saja dari hari ke hari. Dan jumlah itu semakin tidak terkirahkan lagi ketika kita mengetahui bahwa orang-orang yang mengalahpun, bahwa orang-orang yang memperoleh kemenangan atas orang lainpun sesungguhnya adalah orang-orang kalah.
Saya duduk bersila di atas tikar di ruang tamu rumahnya. Ninik Alinudin keluar dari balik tirai yang menutupi pintu kamarnya. Tubuhnya kecil, tetapi lincah dengan mengunakan peci berenda berwarna kuning, baju batik dan sarung berwarna hitam. Kami duduk berhadap-hadapan. Saya jelaskan saya datang dari ibu kota propinsi, dan beberapa kali mendengar cerita tantang Ninik Alinudin.
“Sang pendongeng yang jadi pejuang,” kata saya disambut senyum ramah dari Ninik Alinudin. Saya merasakan aura wibawa yang dipancarkan oleh wajah dan tatapannya.
“Kalau ikan gabus lapar, anaknyalah yang akan dimakan, beda gabus, beda pula ikan Mujahir. Kalau ada ancaman anaknya dimasukan ke dalam mulutnya dan setelah kondisi aman barulah anaknya dikeluarkan,” Katanya. Kali ini tidak seperti sedang mendongeng, nada suara dan pilihan kata-katanya seperti orang yang sedang membangkitkan kemarahan.
Dia menganalogikan Negara dengan ikan gabus dan ikan mujahir, untuk menjelaskan masalah yang sedang di alami oleh warga kampungnya. hak masyarakat adat. katanya “Negara seperti ikan gabus”. Lalu dia menjelaskan kondisi yang dialaminya maupun yang menimpa warga lain di kampungnya. Kondisi orang-orang kalah dan dikalahkan semakin membengkak saja dari hari ke hari
“Leluhur kami hidup disini dengan sistem adat pegong pakei” Sambung Ninik Alinudin yang pada masa mudanya pernah menjadi juru tulis Pesirah, pimpinan Marga Suku IX.
“Kutai Blau bagian dari Dusun Embong Uram didirikan pada zaman Rajo Lilo dan menurut silsilahnya Rajo Lilo merupakan anak keturunan Ki Karang Nio keturunan dari Bikau Sepanjang Jiwo dan Ajai Begelan Mato” Ninik Alinudin mulai membuka obrolan kami setelah kami duduk di lantai yang hanya dilapisi tikar anyaman berwarna merah dan bercorak kotak-kotak di ruang tamu rumahnya.
“Dusun Embong Uram pertama kali dipimpin oleh H. Abdullah” Dusun yang dimaksud oleh Ninik Alinudin adalah Dusun modern, menurutnya H. Abdulah menjadi pimpinan Dusun ketika zaman Kolonial Belanda. Dan saat ini, jika dihitung maka Kepala Desa yang sekarang di jabat oleh Naharudin adalah pimpinan yang ke delapan. Dusun Embong Uram berasal dari kata Embong dan Uram.
“Embong artinya dikelilingi atau Genlung dalam bahasa Rejang, dan Uram itu aslinya U’em atau Curam,” Penjelesan Ninik Alinudin tidak seperti mendongeng. Saya mulai merasakan semangat yang kuat dalam setiap kata-kata yang dipiihnya.
Benat saja perkampungannya dikelilingi oleh aliran Sungai Uram atau U’em. Alirannya bening dan berarus deras mengalir tidak jauh dari kediaman Ninik Alinudin. Suara jeram arus menarung batu-batu yang mencuat angkuh memicu hatiku seakan terbuka untuk memahami sebuah makna. Makna perjalanan hidup Ninik Alinudin. Rahasia sungai adalah rahasia perjalanan hidupnya. Arus dan sungai akan tetap berada seperti dahulu, senantiasa disana, arusnya seperti merindukan sesuatu dalam perjalanannya, namun justru dalam kerinduannya itu ia menjadi selalu baru. Ninik Alinudin setia mendengar gemericik aliran sungai, aliran kedamaian ketika musim kemarau dan aliran kemarahan ketika musim penghujan.
Sebelah Utara dan Timur kampungnya menjulang pepohonan meyelangkupi bukit-bukit cadas.  Satu persatu mereka sebut hutan Reges, Tebo Pudau, Segurap dan Tebing Panjang. “Untuk sampai ke puncak gunung atau Tebo pada tempat tertentu sering dengkul kita ketemu dengan dagu, karena curamnya lereng-lereng pegunungan” Kata Ninik Alinudin.
“Di Hulu Air Palik,” dia terdiam untuk beberapa lama. Hulu Air baginya merupan lokasi yang di sakralkan dari sanalah sumber mata air mengalir. Sama di mata airnya, sama di muaranya, airnya tetap sama meski ia mengarugi air terjun, terjepit di sela-sela bukit dan pengunungan. Ia sama dalam amarahnya ketika mengamuk menjadi air bah. Sama seperti dalam keramahannya ketika bernyanyi menjadi sungai kecil.
“Di sanalah leluhur kami menghilang secara gaib”
“Demong Samin.” Suaranya gemetaran menyebut nama leluhurnya. Saya mulai merinding.
“Pahamkah kau sekarang dengan arti masa lalu dan masa depanmu. Kau tetap sama” dia membuka ceritanya dengan sebuah pertanyaan sambil mengangkat jarinya ke depan. Saya mengelus kepala bagian belakang lalu turun ke leher, merinding dan bulu roma mulai tegak mendengar intonasi yang sangat kuat yang keluar dari mulutnya.
“Tapi hendaklah kesamaamu selalu membuahkan kerinduan. Supaya hidupmu selalu baru. Kerinduan itulah yang membuatmu tak pernah muda, tak pernah tua,”
“Itulah hakekat waktu dan dalam waktu itulah hidupmu berada.” Dia mulai bijak seperti Ninik Alinudin yang pendongeng dan aku menikmati kata-katanya dan sengaja biarkan dia sendiri yang menjawab pertanyaannya.
Kata-katanya tentang waktu dan hidup mengingatkanku pada mimpi tahun lalu. Mimpi ketika aku berada di suatu tempat yang tidak mengenal kata-kata siang dan malam. Dalam mimpiku aku merasa mengengam bulan dan matahari. Gelap dan terang sekaligus. Tapi tiba-tiba mencuat sebuah cahaya, mengulung menjadi awan yang berarak gemerlap-gemerlap di iringi suara musik pada bidadari. Entah dari mana asalnya. Mimpi orang-orang kalah.
Aku ceritakan dengannya tentang mimpiku.
“Waktu yang meyediakan ruang kebahagian dan penderitaan sekaligus,” Jawabnya.
“Jangan terkejut, cahaya. Seperti dalam mimpimu itu adalah penunjuk dalam hatimu.” Di bersemangat.
“Maka jangan ikuti aku” Dia seperti meratapi hatinya yang mengalir kelemahan berupa penderitaan dan kesengsaraan.
“Ikuti hatimu.”
“Kebijaksanaan terembunyi di dalam hatimu, sama seperti malam yang bersayap terang. Seperti kehidupan bersayapkan kematian.” Suatu kali dia hilang harapan. Dan duduk dengan mata terpejam di teras depan lampu yang menyala redup tanda kehabisan minyakketika itulah dia memberi tanda dengan bahasa tubuhnya bahwa dia telah mengucapkan kata terakhir sebagai pendogeng
 “Kini buatlah hatimu menjadi keindahan,” Katanya menghibur.
“Karena keindahan itulah milik rahasiamu. Keindahan itu tak dapat kau pelajari lebih daripada kebenaran”
“Keindahan yang bagaimana?” Tanya saya.
“Keindahan itu adalah keseimbangan, keseimbangan antara kebahagian dan penderitaan, antara kegembiraan dan kedukaan. Antara harapan dan kenyataan,” kata-kata ini biasa dia sampaikan kepada penduduk yang berkerumunan di teras rumahnya. Mereka mengutip kata-kata bijaknya yang di jadikan coretan di dinding dan menghidupkannya dalam kedudukan yang tinggi dalam hidup mereka
“Dan justru dalam keseimbangan itulah kebahagian dan penderitaan lenyap, harapan dan kenyataan menghilang.”  Kata-katanya membujuk.
“Keindahan yang dibalut dengan cinta.” Jawab saya pura-pura mengerti.
“Seperti air sungai yang bisa hilang kesegarannya bila tiba di muara, tetapi cinta mereka hidup dari pagi sampai malam”
“Lihat dan dengarlah!” Kata saya mulai mengikuti alur berpikirnya.
“Maski telah berganti, tidak ada lagi Mesin kincir untuk menumbuk padi, tak ada lagi para gadis dan ibu-ibu mencuci beras dalam baki. Tetapi keindahan sungai ini sangup membuat dunia kembali kepada masa mudanya yang tak bercela.”
“Iya.”
“Karena cinta menuntun arusnya melewati jalan sempit, cinta juga menjerumuskan mereka ke dalam juruang-jurang dalam, tetapi cinta juga mengangkat mereka ke puncak gunung. Dan cinta juga menyeret mereka masuk ke dalam pondok yang hampir rubuh jika dilihat dari luar,”
“Begitulah,”
“Dalam cinta kebahagian dan penderitaan itu bersatu, lebur menjadi kehidupan,” Kata Ninik Alinudin.
Kami sama terdiam. Perbincangan pada perjumpaan pertama ini membuat saya mulai tahu. Ninik Alinudin percaya leluhurlah yang memberikan anugerah sekaligus mengabilnya kembali. Ninik Alinudin hanyalah perantara. Dia berbicara apabila leluhur mempunyai sesuatu yang harus di ceritakan. Dia membisu jika tidak ada yang perlu dikatakan. Akan tetapi apalah artinya sekuntum melati jika telah kehilangan keharumannya? Buat apa sebuah lampu jika minyaknya telah habis? 
“Inilah kata-kata terakhirku dan inilah kisah terbesarku.?” Katanya seperti kehilangan harapan. Istrinya keluar dari pintu dari dapur. Wajah teduh yang menyimpan kedamaian terpancar dari garis-garis wajah yang keriput dan rambut yang beruban tertutup selendang.
Aroma kopi dan goreng ubi dari tampan alumanium bercorak garis-garis putih dan hijau yang mulai berkarat. Suara riak sungai dan hembusan angin dari bukit-bukit cadas, wajah bijak Ninik Alunudin dan garis-garis wajah ibu istrinya memicu ingatan masa lalu saya sebagai orang kampung.
Saya seperti memasuki realitas sejarah.
Realitas yang berubah.
Konsepsi kita terhadap sejarah haruslah bermula dan berdasar pada realita yang utuh. Seperti setiap makluk hidup adalah dirinya sendiri namun juga sesuatu yang lain dari dirinya. Seperti gerak alam yang hidup karena adanya jiwa yang ada di belakang gejala alam. Memahami sejarah kita tidak boleh memisahkan objek dan subjek, mengisolasi gerak dalam diam, memutuskan rangkaian sebab dan akibat, sejauh mana kita melihat realitas, sejauh itu pula konsepsi kita terbangun, ini substansi dari cerita singkat saya dengan Ninik Alinudin.
Gerimis mulai turun, gemuruh sungai dari dekat rumahnya menambah gemuruh di dalam dada.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar