![]() |
Kutai Topos, Jurukalang |
Kutai
Blau, adalah sebuah desa terpencil di pingiran hutan mengalir di sisinya sungai
yang jernih dan digunakan penduduknya untuk minum, mandi, dan keperluan
lainnya. Kutai Blau, yang di melayukan dengan penyebutan Kota Baru. Secara
adminsitratif menjadi Desa definitif hasil pemekaran dari desa induknya, Desa Embong
Uram. Sadei Embong atau Kutai Embong ini berada di kaki Bukit Segurap yang terbentuk
secara alami karena endapan tanah dari gerusan gunung.
Aliran
sungai mengalir dari puncak perbukitan melalui sela-sela bebatuan pegunungan. Meskipun
jernih, sungainya mengandung banyak penyakit. Perkampungan yang di lewati
sungai ini terbentuk secara alami karena perubahan arus sungai Uram, berpenduduk
kurang lebih tujuh ratusan orang. Penduduk membangun dan menepati rumah kayu,
rumah-rumah penduduk berjejer, berjarak dan memanjang sepanjang aliran sungai.
Memanjang dari Utara ke Selatan.
Sebagai
perkampungan yang teguh memegang adat dan percaya pada arwah leluhur serta
percaya pada kekuatan adikodrati. Penduduk kampung sejak kecil diajarkan dan di
ceritakan tentang roh, tentang sesuatu yang gaib, tentang hantu, arwah leluhur,
tentang tempat yang dipercayai mempunyai tuah
atau karomah. Mereka menyebutnya
keramat. Boleh jadi, memperkenalkan
terus menerus kepercayaan terhadap yang gaib-gaib, berlahan tetapi pasti membentuk
sistem berpikir warga kampung.
Cerita-cerita gaib lahir dari
perkembangan sistem berpikir orang penduduk kampung, cara berpikir dari gerak
alam yang hidup disebabkan oleh adanya jiwa yang ada di belakang gejala alam.
Karena memang berkaitan dengan pola hidup dan lingkungan. Dan terus menerus di
hadirkan dalam sistem kejiwaan dan pengetahuan faktual penduduk kampung.
Berlahan-lahan membuat kepercayaan gaib
di terima sebagai bagian yang logis.
Jadilah gaib yang masuk akal.
Penyesuaian dilakukan dengan peleburan
sifat asli yang dimiliki dengan sifat lingkungan sekitar. Dan, menggabungkan informasi baru
kedalam pengetahuan gaib. Begitulah perkampungan ini. Bukan karena warga kampong
tidak logis cara berpikirnya, namun lebih karena mereka tidak mempedulikan
keadaan lingkungannya, sebab mereka hidup dalam sebuah pesona.
Pesona
ini datang dari sebuah rumah di ujung gang jalan kampung disebelah Utara. Rumah
berdinding dan beratap bilah-bilah kayu berwarna hijau. Rumah ini milik Ninik
Alinudin. Orang kampung menyematkan sebutan Alim Ulama sekaligus cerdik pandai.
Dia hanya tinggal berdua dirumahnya yang bersahaja dan sederhana dengan
istrinya.
Dia
adalah seorang yang mengundurkan diri setelah sekian lama menjadi imam dari
sebuah masjid desa. Umurnya sekitar tujuh pulah enam tahunan. Tidak ada yang
tahu pasti umurnya. Jika ditanya berapa umurnya. Dia hanya menjawab, dia lahir
ketika sungai meluap dan banjir bandang. Begitulah orang di kampung ini
menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan waktu, selalu mengacu pada
kejadian-kejadian penting yang pernah terjadi dan dialami oleh warga kampung.
Ninik
Alinudin tidaklah tinggi pendidikannya, tetapi bisa membaca dan menulis. Dia
punya kemampuan untuk mengarang cerita di luar kepala. Satu bulan bisa dua
cerita yang di karangnya. Rumahnyalah yang menjadi pesona di kampung ini. Ninik
Alinudin tidak memiliki harta benda. Yang dimilikinya hanya sebatang sapu lidi
untuk membersihkan rumahnya.
Dia
menghabiskan separuh hidupnya di rumah ini. Dia jarang berkunjung ke warga
kampung, kecuali jika ada hal-hal yang sangat penting yang terjadi. Sebab warga
kampunglah yang selalu mengunjunginya. Hampir sepanjang hari orang-orang
menemani Ninik Alinudin yang selalu duduk bersila di teras rumahnya. Jika dia
berkenan, Ninik Alinudin akan menghibur orang itu dengan cerita anekdot dan
kisah pengalaman hidupnya. Jika tidak, dia akan berkata dengan orang-orang
dengan pandangan masam, “Kamu kira aku ini apa? Jangan salahkan aku jika siang
ini aku tidak punya cerita buatmu. Tanpa bermeditasi bagaimana mungkin arwah
leluhur akan memberiku cerita? Kamu kira ceritaku itu melayang begitu saja di
udara?”
Penduduk
kampung sebagian besar adalah penganut Islam yang taat, sebagian mencampurkan
ajarag Islam dengan adat istiadat. Tetapi, setiap Jum’at penduduk kampung
bersembahyang menuju masjid desa yang dulunya Ninik Alinudin menjadi Imamnya. Pada
malam hari jika dia ingin menceritakan sebuah dongeng, dia akan menyalahkan
lampu kecil dan menaruhnya di atas meja di teras rumahnya. Penduduk kampung
yang pulang dari kebun dan sawah menjelang senja hari akan segera bergegas
menunju rumah Ninik Alinudin di ujung gang.
Dia
selalu membuka ceritanya dengan sebuah pertanyaan sambil mengangkat jarinya ke
depan. Lalu, Dia bertanya “Seribu tahun lampau, sebuah batu terlempar ke arah
ini, kamu pikir ada apa di sana? Dulu, kampung ini berdiri setelah Sungai
menyapu bersih penduduknya, kemudian orang-orang membangun kembali perkampungan
ini. Setelah pembukaan cerita. Dia akan terus bercerita sampai empat jam tanpa
berhenti.
Dia
bercerita tentang istana para leluhur, tentang musik, tentang perang, tentang
menteri-menteri, tentang dayang-dayang. Dia mengambarkan dengan rinci setiap
ceritanya, kisah ceritanya seperti sebuah epic. Ceritanya selalu saja sama
dengan alur yang dikarang sesukanya. Ketika rembulan telah berlindung di balik
pepohonan di hutan. Ninik Alinudin berkata “Kini kawan-kawan, arwah leluhur
berkata bahwa kisah hari ini cukup sampai disini.? Dia lalu bangkit pergi,
membaringkan diri dan jatuh tertidur sebelum gumaman kerumunan para pendengar
berhenti.
Cahaya
di sele-sela pepohonan akan terlihat lagi dua atau tiga hari kemudian.
Raja-raja dan para pahlawan, hantu, peri dan arwah jelmaan leluhur dan dewa
berujud manusia, orang-orang suci dan para pembunuh bermunculan di dalam dunia
mereka di bawah naungan pepohonan. Suara Ninik Alinudin bergema dalam sebuah
ritme, sinar rembulan yang tamaran melengkapai suasana bernuasa magis. Para
penduduk tertawa dan menangis bersama Ninik Alinudin, mereka memuja para pahlawan
dan mengutuk para penjahat. Berseru ketika para jagoan menang dalam pertarungan
dan memanjatkan syukur pada arwah leluhur untuk akhir yang bahagia. Ninik
Alinudin sebuah keajaiban, mengutip kata-kata bijaknya di jadikan coretan di
dinding rumah-rumah dan menghidupkannya dalam kedudukan yang tinggi dalam hidup
mereka.
Dan
hal ini berlangsung bertahun-tahun. Pada suatu ketika, Ninik Alinudin kembali
menyalakan lampu di teras rumahnya. Para pendengar berdatangan. Ninik Alinudian
mengambil tempat dan mulai bercerita.
“Ketika
Raja yang suka tersenyum....” dia berhenti bercerita. Diulanginya membuat
permulaan yang baru.
“Ada
seorang raja...,” katanya, mengulang, lalu kata-katanya melayang dalam sebuah
gumaman.
“Apa
yang terjadi padaku?” dia bertanya dengan sedih.
“Arwah
leluhur mengapa aku jadi terbata-bata begini? Aku baru saja menyusunnya, aku
tidak mengerti apa yang telah terjadi.” Dia membisu dan begitu tampak
menyedihkan hingga para pendengar berkata, “Istirahatlah. Mungkin anda letih.”
“Diam!”
katanya.
“Aku
letih? Tunggu sebentar, aku akan segera bercerita.” Dia lalu diam. Wajah-wajah
penuh harap menatap padanya.
“Jangan
memandangku!” ledaknya. Seseorang memberinya secawan kopi dan sebungkus rokok.
Para pendengar menunggu dengan sabar. Ini adalah sebuah hal baru. Beberapa
orang menyatakan simpati. Yang lainnya mulai mengobrol dengan yang lainnya.
Mereka yang ada di ujung kerumunan diam-diam pergi. Makin mendekat tengah
malam, Ninik Alinudin duduk tertunduk, pikirannya di penuhi pikiran yang
berkecamuk. Untuk pertama kalinya dia menyadari dirinya telah menua dan mulai
merasa pikun. Dia melihat kedepan semua orang telah pergi kecuali kawannya, Kamedan,
si tukang batu. “Kamedan kenapa kamu tidak pergi?”
“Mereka
tidak ingin membuatmu letih, jadi mereka pulang.” Kata Kamedan meminta maaf
atas yang lainnya dengan nada menghibur.
Dia
kembali menyalakan lampu lagi keseokan harinya. Kerumunan kembali berkumpul. Ninik
Alinudin telah bermeditasi seharian meminta arwah leluhur tidak
mengecewakannya. Dia mulai bercerita dan mendongeng. Ternyata dia mampu
bercerita selama satu jam tanpa berhenti. Dia merasa amat senang, sehingga dia
menyelingi ceritanya dengan kalimat. “Oh, kawan, arwah leluhur selalu berbaik
hati pada kita. Aku tadinya begitu tahu...” lalu dia melanjutkan ceritanya.
Beberapa menit kemudian dia merasa kehabisan cerita. Dia berjuang keras.
“Dan
kemudian... kemudian.... apa yang terjadi?” dia berguman. Dia berhenti hampir
setengah jam. Para pendengarpun bangkit tanpa suara dan pulang ke rumah
masing-masing.
Dua
hari kemudian dia menyalakan lampu, melanjutkan ceritanya dan lagi-lagi hanya
bertahan beberapa menit. Para pendengar bubar. Banyak orang-orang mulai tidak
peduli lagi dengan lampu yang menyala diteras rumah Ninik Alinudin. Ninik
Alinudin sadar bahwa tak ada gunanya dia berjuang. Dia mengakhiri ceritanya
sebelum benar-benar selesai. Dia tahu apa yang terjadi. Dirinya terlalu
dihantui perasaan takut gagal. Aku akan lebih bahagia jika mati beberapa tahun
silam, batinnya. Leluhur, mengapa kalian biarkan aku menjadi tolol begini? Dia
mengurung diri, mengurangi makan dan menghabiskan nyaris sepanjang harinya
dengan duduk mematung bermeditasi.
Ketika
rembulan kembali mengintip dari celah pepohonan, Ninik Alinudin menyalakan
lampu. Para penduduk melihatnya ketika mereka pulang menjelang senja hari,
namun hanya segelintir yang datang pada malam harinya.
“Mana
yang lain?” Tanya Ninik Alinudin.
“Mari
kita tunggu” dia menunggu. Rembulan telah muncul. Segelintir hadirin menunggu
dengan sabar. Lalu Ninik Alinudin berkata. “Aku tidak akan bercerita, tidak
juga besok kalau seluruh penduduk desa tidak datang kemari. Aku
bersungguh-sungguh ini kisah yang dasyat, semua orang harus mendengarkannya.”
Keesok
harinya dia keliling desa berteriak meminta orang-orang berkumpul. Malam hari
penduduk kembali berkumpul, duduk, diam dan hening. Ninik Alinudin memulai
ceritanya, “Adalah Leluhur yang memberikan anugerah, dan dialah yang
mengabilnya kembali. Ninik Alinudin hanyalah perantara. Dia berbicara apabila
leluhur mempunyai sesuatu yang harus di ceritakan. Dia membisu jika tidak ada
yang perlu dikatakan. Akan tetapi apalah artinya sekuntum melati jika telah
kehilangan keharumannya? Buat apa sebuah lampu jika minyaknya telah habis? Inilah kata-kata terakhirku di dunia ini, dan
inilah kisah terbesarku.? Dia bangkit dan masuk kedalam rumahnya. Para
pendengar tidak sepenuhnya mengerti apa yang dimaksud. Sebagian dari mereka
tetap duduk di sana hingga lelah.
Malam
besoknya Ninik Alinudin duduk dengan mata terpejam di teras depan lampu yang
menyala redup tanda kehabisan minyak. “Tidakkah anda akan menceritakan sebuah
kisah kepada kami?” tanya mereka. Ninik Alinudin membuka mata dan menatap
mereka, lalu mengelengkan kepala dan mengempalkan tangganya. Dia memberi tanda
dengan bahasa tubuhnya bahwa dia telah mengucapkan kata terakhir sebagai
pendogeng. Ninik Alinudin ingin manjadi pejuang. Ingin menjadi bagian yang
nantinya akan di cerikan oleh pendongeng.
Saya
mendengar sayup kabar tentang Ninik Alinudin yang pendongeng jadi pejuang.
Setelah lima jam perjalanan, saya sudah berdiri di depan gang sempit menuju
rumah Ninik Alinudin. Tidaklah sulit untuk menemukan rumahnya, orang-orang tahu
dengannya. Orang-orang di kampungnya tahu Ninik Alinudin keturunan asli dari
keluarga Dalman. Salah seorang pendiri kampung yang selalu di tunggu-tunggu
cerita dongengnya.
Sampai
di teras rumah yang lebar. Tidak ada lagi lampu yang sering dia nyalakan. Setelah
sepatu saya buka, ada aura yang sangat kuat. Serasa ada lengan semu menepuk pundakku, seperti sesuatu yang mau memberi tahu
jumlah orang-orang kalah semakin membengkak saja dari hari ke hari. Dan jumlah
itu semakin tidak terkirahkan lagi ketika kita mengetahui bahwa orang-orang
yang mengalahpun, bahwa orang-orang yang memperoleh kemenangan atas orang
lainpun sesungguhnya adalah orang-orang kalah.
Saya
duduk bersila di atas tikar di ruang tamu rumahnya. Ninik Alinudin keluar dari
balik tirai yang menutupi pintu kamarnya. Tubuhnya kecil, tetapi lincah dengan mengunakan
peci berenda berwarna kuning, baju batik dan sarung berwarna hitam. Kami duduk
berhadap-hadapan. Saya jelaskan saya datang dari ibu kota propinsi, dan
beberapa kali mendengar cerita tantang Ninik Alinudin.
“Sang
pendongeng yang jadi pejuang,” kata saya disambut senyum ramah dari Ninik
Alinudin. Saya merasakan aura wibawa yang dipancarkan oleh wajah dan
tatapannya.
“Kalau ikan gabus lapar, anaknyalah
yang akan dimakan, beda gabus, beda pula ikan Mujahir. Kalau ada ancaman
anaknya dimasukan ke dalam mulutnya dan setelah kondisi aman barulah anaknya
dikeluarkan,” Katanya. Kali ini tidak seperti sedang mendongeng, nada suara dan
pilihan kata-katanya seperti orang yang sedang membangkitkan kemarahan.
Dia menganalogikan Negara dengan
ikan gabus dan ikan mujahir, untuk menjelaskan masalah yang sedang di alami
oleh warga kampungnya. hak masyarakat adat. katanya “Negara seperti ikan
gabus”. Lalu dia menjelaskan kondisi yang dialaminya maupun yang menimpa warga
lain di kampungnya. Kondisi orang-orang kalah dan dikalahkan semakin
membengkak saja dari hari ke hari
“Leluhur kami hidup disini dengan
sistem adat pegong pakei” Sambung Ninik Alinudin yang pada masa mudanya pernah
menjadi juru tulis Pesirah, pimpinan Marga Suku IX.
“Kutai Blau bagian dari Dusun Embong
Uram didirikan pada zaman Rajo Lilo dan menurut silsilahnya Rajo Lilo merupakan
anak keturunan Ki Karang Nio keturunan dari Bikau Sepanjang Jiwo dan Ajai
Begelan Mato” Ninik Alinudin mulai membuka obrolan kami setelah kami duduk di
lantai yang hanya dilapisi tikar anyaman berwarna merah dan bercorak
kotak-kotak di ruang tamu rumahnya.
“Dusun Embong Uram pertama kali
dipimpin oleh H. Abdullah” Dusun yang dimaksud oleh Ninik Alinudin adalah Dusun
modern, menurutnya H. Abdulah menjadi pimpinan Dusun ketika zaman Kolonial
Belanda. Dan saat ini, jika dihitung maka Kepala Desa yang sekarang di jabat
oleh Naharudin adalah pimpinan yang ke delapan. Dusun Embong Uram berasal dari
kata Embong dan Uram.
“Embong artinya dikelilingi
atau Genlung dalam bahasa Rejang, dan Uram itu aslinya U’em
atau Curam,” Penjelesan Ninik Alinudin tidak seperti mendongeng. Saya mulai
merasakan semangat yang kuat dalam setiap kata-kata yang dipiihnya.
Benat saja perkampungannya
dikelilingi oleh aliran Sungai Uram atau U’em. Alirannya
bening dan berarus deras mengalir tidak jauh dari kediaman Ninik Alinudin.
Suara jeram arus menarung batu-batu yang mencuat angkuh memicu hatiku seakan
terbuka untuk memahami sebuah makna. Makna perjalanan hidup Ninik Alinudin. Rahasia
sungai adalah rahasia perjalanan hidupnya. Arus dan sungai akan tetap berada
seperti dahulu, senantiasa disana, arusnya seperti merindukan sesuatu dalam
perjalanannya, namun justru dalam kerinduannya itu ia menjadi selalu baru. Ninik
Alinudin setia mendengar gemericik aliran sungai, aliran kedamaian ketika musim
kemarau dan aliran kemarahan ketika musim penghujan.
Sebelah Utara dan Timur kampungnya menjulang
pepohonan meyelangkupi bukit-bukit cadas. Satu persatu mereka sebut hutan Reges, Tebo
Pudau, Segurap dan Tebing Panjang. “Untuk sampai ke puncak gunung atau Tebo
pada tempat tertentu sering dengkul kita ketemu dengan dagu, karena curamnya
lereng-lereng pegunungan” Kata Ninik Alinudin.
“Di Hulu Air Palik,” dia terdiam
untuk beberapa lama. Hulu Air baginya merupan lokasi yang di sakralkan dari
sanalah sumber mata air mengalir. Sama di mata
airnya, sama di muaranya, airnya tetap sama meski ia mengarugi air terjun,
terjepit di sela-sela bukit dan pengunungan. Ia sama dalam amarahnya ketika
mengamuk menjadi air bah. Sama seperti dalam keramahannya ketika bernyanyi
menjadi sungai kecil.
“Di sanalah leluhur kami menghilang
secara gaib”
“Demong Samin.” Suaranya gemetaran
menyebut nama leluhurnya. Saya mulai merinding.
“Pahamkah kau sekarang
dengan arti masa lalu dan masa depanmu. Kau tetap sama” dia
membuka ceritanya dengan sebuah pertanyaan sambil mengangkat jarinya ke depan.
Saya mengelus kepala bagian belakang lalu turun ke leher, merinding dan bulu
roma mulai tegak mendengar intonasi yang sangat kuat yang keluar dari mulutnya.
“Tapi hendaklah
kesamaamu selalu membuahkan kerinduan. Supaya hidupmu selalu baru. Kerinduan
itulah yang membuatmu tak pernah muda, tak pernah tua,”
“Itulah hakekat
waktu dan dalam waktu itulah hidupmu berada.” Dia mulai bijak seperti Ninik
Alinudin yang pendongeng dan aku menikmati kata-katanya dan sengaja biarkan dia
sendiri yang menjawab pertanyaannya.
Kata-katanya
tentang waktu dan hidup mengingatkanku pada mimpi tahun lalu. Mimpi ketika aku
berada di suatu tempat yang tidak mengenal kata-kata siang dan malam. Dalam
mimpiku aku merasa mengengam bulan dan matahari. Gelap dan terang sekaligus.
Tapi tiba-tiba mencuat sebuah cahaya, mengulung menjadi awan yang berarak
gemerlap-gemerlap di iringi suara musik pada bidadari. Entah dari mana asalnya.
Mimpi orang-orang
kalah.
Aku ceritakan
dengannya tentang mimpiku.
“Waktu yang
meyediakan ruang kebahagian dan penderitaan sekaligus,” Jawabnya.
“Jangan
terkejut, cahaya. Seperti dalam mimpimu itu adalah penunjuk dalam hatimu.” Di
bersemangat.
“Maka jangan
ikuti aku” Dia seperti meratapi hatinya yang mengalir kelemahan berupa
penderitaan dan kesengsaraan.
“Ikuti hatimu.”
“Kebijaksanaan
terembunyi di dalam hatimu, sama seperti malam yang bersayap terang. Seperti kehidupan
bersayapkan kematian.” Suatu kali dia hilang harapan. Dan duduk
dengan mata terpejam di teras depan lampu yang menyala redup tanda kehabisan minyakketika
itulah dia memberi tanda dengan bahasa tubuhnya bahwa dia telah mengucapkan
kata terakhir sebagai pendogeng
“Kini buatlah
hatimu menjadi keindahan,” Katanya menghibur.
“Karena keindahan
itulah milik rahasiamu. Keindahan itu tak dapat kau pelajari lebih daripada
kebenaran”
“Keindahan yang
bagaimana?” Tanya saya.
“Keindahan itu
adalah keseimbangan, keseimbangan antara kebahagian dan penderitaan, antara
kegembiraan dan kedukaan. Antara harapan dan kenyataan,” kata-kata ini biasa dia
sampaikan kepada penduduk yang berkerumunan di teras rumahnya. Mereka mengutip
kata-kata bijaknya yang di jadikan coretan di dinding dan menghidupkannya dalam
kedudukan yang tinggi dalam hidup mereka
“Dan justru
dalam keseimbangan itulah kebahagian dan penderitaan lenyap, harapan dan
kenyataan menghilang.” Kata-katanya membujuk.
“Keindahan yang
dibalut dengan cinta.” Jawab saya pura-pura mengerti.
“Seperti air
sungai yang bisa hilang kesegarannya bila tiba di muara, tetapi cinta mereka
hidup dari pagi sampai malam”
“Lihat dan
dengarlah!” Kata saya mulai mengikuti alur berpikirnya.
“Maski telah
berganti, tidak ada lagi Mesin kincir untuk menumbuk padi, tak ada lagi para
gadis dan ibu-ibu mencuci beras dalam baki. Tetapi keindahan sungai ini sangup
membuat dunia kembali kepada masa mudanya yang tak bercela.”
“Iya.”
“Karena cinta
menuntun arusnya melewati jalan sempit, cinta juga menjerumuskan mereka ke
dalam juruang-jurang dalam, tetapi cinta juga mengangkat mereka ke puncak
gunung. Dan cinta juga menyeret mereka masuk ke dalam pondok yang hampir rubuh
jika dilihat dari luar,”
“Begitulah,”
“Dalam cinta
kebahagian dan penderitaan itu bersatu, lebur menjadi kehidupan,” Kata Ninik
Alinudin.
Kami sama
terdiam. Perbincangan pada perjumpaan pertama ini membuat saya mulai tahu.
Ninik Alinudin percaya leluhurlah yang memberikan anugerah sekaligus
mengabilnya kembali. Ninik Alinudin hanyalah perantara. Dia berbicara apabila
leluhur mempunyai sesuatu yang harus di ceritakan. Dia membisu jika tidak ada
yang perlu dikatakan. Akan tetapi apalah artinya sekuntum melati jika telah
kehilangan keharumannya? Buat apa sebuah lampu jika minyaknya telah habis?
“Inilah
kata-kata terakhirku dan inilah kisah terbesarku.?” Katanya seperti kehilangan
harapan. Istrinya keluar dari pintu dari dapur. Wajah teduh yang menyimpan
kedamaian terpancar dari garis-garis wajah yang keriput dan rambut yang beruban
tertutup selendang.
Aroma kopi dan
goreng ubi dari tampan alumanium bercorak garis-garis putih dan hijau yang
mulai berkarat. Suara riak sungai dan hembusan angin dari bukit-bukit cadas,
wajah bijak Ninik Alunudin dan garis-garis wajah ibu istrinya memicu ingatan
masa lalu saya sebagai orang kampung.
Saya
seperti memasuki realitas sejarah.
Realitas
yang berubah.
Konsepsi
kita terhadap sejarah haruslah bermula dan berdasar pada realita yang utuh. Seperti
setiap makluk hidup adalah dirinya sendiri namun juga sesuatu yang lain dari
dirinya. Seperti gerak alam
yang hidup karena adanya jiwa yang ada di belakang gejala alam. Memahami
sejarah kita tidak boleh memisahkan objek dan subjek, mengisolasi gerak dalam
diam, memutuskan rangkaian sebab dan akibat, sejauh mana kita melihat realitas,
sejauh itu pula konsepsi kita terbangun, ini substansi dari cerita singkat saya
dengan Ninik Alinudin.
Gerimis
mulai turun, gemuruh sungai dari dekat rumahnya menambah gemuruh di dalam dada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar