Bukan Dialog Imanjinatif - Erwin Basrin

Breaking

Recent Posts

 photo Untitled-1_1.jpg

Jumat, 04 Januari 2019

Bukan Dialog Imanjinatif





Dengan menghabiskan 3 hari liburan di kampung kelahiranku, pagi ini kami pulang menuju Kota Bengkulu, kota tempat harapan digantungkan. Bdikar, anak tertuaku yang baru kelas 2 SMP duduk disampingku bertugas seperti co-pilot mobil navigation. Dalam perjalanan kali ini dia seperti pemandu yang baik, dia ajukan pertanyaan sekaligus penjelasan yang membuat mata tetap melek. Jadilah ocehannya penganti lagu-lagu slow rock kesukaanku yang sering menemani perjalanan kami.

“Banyak sekali bedera partai?” tanya dia. Sayapun tersenyum, pertanyaannya seperti menyindir saya yang saat ini jadi Calon Legislator dari Partai Oposisi. Kenapa harus lewat jalur Partai untuk jadi Wakil? Tanya dia. Bukankah bisa dipilih langsung individu-individu?. Saya diam. Diapun diam, karena ada truk yang memuncratkan awan hitan dari knalpot. Begitu saya melewati truk tiba-tiba Bdikar berdeklamasi. “Apa gunanya punya ilmu tinggi kalau hanya untuk mengibuli, apa gunanya banyak baca buku kalau mulut kau bungkam melulu…”

“Itu puisi Wiji Thukul?” Potong Saya. Dia mengangguk. Begitu saya tanya dari mana dia tahu puisi ini. Langsung saya dia nyerocos menjelaskan. Dia sudah 3 kali menonton film Istirahatlah Kata-Kata. Hapal dia beberapa puisi Wiji Thukul. “dari Di Tanah Negeri Ini Milikmu Cuma Tanah Dan Air, Apa Guna, Peringatan, sampai pada puisi Sajak Suara” Saya Hapal katanya. Diapun tahu Sang Pemilik Puisi hilang menjelang kejatuhan Rezim Soeharto, dia tahu berapa orang mahasiswa Trisakti yang meninggal, agenda reformasi, penjarahan massal, Tapol PRD dan salah seorang diantara Tapol yang dia hapal namanya adalah Ken Ndaru, yang baru-baru ini berkesempatan berkunjung ke kediaman kami. Dia mulai mengidolakan teman akrab saya ini.

“Waktu itu Soeharto sedang di Mesir” Katanya seperti memaksa menjelaskan, pada hal dia tahu saya ikut turun kejalan waktu itu.

“Dengan memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI” itu Pidato Soeharto di depan media di tangal 21 Mei 1998 katanya sambil membenarkan letak kakinya.

“Iya, iya..” Jawab saya sambil focus mengendalikan mobil. Dalam hati saya senang ada anak zaman yang peduli dengan Negerinya. Begitu turun perbatasan antara Kabupaten Kepahiang dengan Bengkulu Tengah, Dia seperti guru sejarah menjelaskan begaimana rezim Orde Baru mengendalikan system politik, monopoli ekonomi yang memicu ketidakadilan.

Jika Anda bergetar dengan geram setiap melihat ketidakadilan, maka Anda adalah kawan saya.” Itu Kata Che Guevara Pak, katanya dan langsung saya pijak gas menjelang jalan menikung ke kiri.

“Che itu Dokter apa tantara?”

“Dokter yang memimpin sepasukan orang yang geram melihat ketidakadilan” Jawab saya. Dia tersenyum.

“Dia berteman baik dengan Fidel Castro pejuang revolusi dan politikus Kuba yang berhaluan komunis dan berteman dengan Soekarno” Jelas saya.

“Ohh..” katanya sambil megajukan pertanyaan, kenapa Komunis selalu bersebarangan dengan Kapitalisme. Saya diam tidak menjawab, saya berusaha focus pada tikungan tajam jalan menurun. Saya tahu dia waktu kelas 3 SMP suka membaca buku komik Marxisme untuk Pemula, jadi tidak perlu saya jelaskan.

Melihat saya tidak merespon, ngerocosnya meloncat pada Sang Fuhrer, Hitler. “Kenapa Hitler banyak membunuh Yahudi,?” Tanyanya. Begitu saja mau menjawab dia langsung potong seperti kebiasaanya untuk mendapatkan jawaban utuh dan detai.

“Sepanjang Perang Dunia II, pada 1939-1945, Nazi dan sekutunya bertanggung jawab atas kematian setidaknya 11 juta orang, termasuk enam juta orang Yahudi.”

“Pembunuhan massal yang dilakukan oleh Nazi dikenal sebagai Holocaust.” Potong saya.

“Kenapa Hitler ini begitu kejam?” Tanyanya.

“Begini,” Jawab saya.

“Setelah Perang Dunia I berakhir, Hitler kembali ke Munich dan meneruskan kerjanya di militer Jerman.”

“Sebagai petugas yang jenius, dia memantau aktivitas Partai Buruh Jerman  dan mengadopsi banyak paham anti-Yahudi, nasionalis, dan anti-Marxisme. September 1919, Hitler bergabung dengan DAP, mengubah namanya menjadi Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei (NSDAP), atau lebih sering disingkat dengan Nazi.”

“Dia segera menjadi terkenal karena pidatonya melawan Perjanjian Versailles, politisi saingannya, Marxisme dan Yahudi. Pada 1921, Hitler terpilih sebagai ketua partai Nazi.”

“Ohh..” katanya. Saya tahu dia mau mengajukan pertanyaan. Karena di depan ada WC Umum, saya parkirkan mobil pas di depan pintu WC. Begitu keluar WC saya lihat dia sudah pindah ke bangku belakang, adiknya yang baru kelas 3 SD mengantikan posisi co-pilot mobil navigation. Saya menjadi tenang bisa lebih focus mengendalikan mobil dan cerita kami menuju Kota Bengkulu pasti lebih ringan. Biasanya tentang Alan Walker, tentang Marshmellow, tentang Mobil Legends. Begitu saya putar music, eh.. muncul suara Alan Walker. Faded-pun menjadi teman pertama perjalanan kami.

You were the shadow to my light
Did you feel us
Another start
You fade away
Afraid our aim is out of sight
Wanna see us
Alive

Ternyata anak Kelas 3 SD hapal pula lirik lagunya Alan Walker. Saya senyum-senyum saja menikmati alunan lirik yang keluar dari sound system dan yang keluar dari mulut mungil anakku yang minggu lagu baru saja selesai di sunatan.











Tidak ada komentar:

Posting Komentar