Gemuruh suara knalpot motor membawa baki-baki durian
melintas depan rumah Pak yanto seperti memecah arus Beliti mengamuk pagi ini,
banjir mengamuk karena hujan deras tadi malam. Kami, yang sebagian besar bersama
petani pengarap kawasan-kawasan hutan lereng dan pucak-puncak Balai Rejang.
Petani yang nyaman dengan tanaman kopi, durian dan aren. Petani yang bertahun-tahun
ketakutan atas refresif Negara, petani perambah. Demikian disematkan streotif
pada mereka sejak bertahun-tahun lalu.
Berkumpulah kami pagi ini di kediaman Bapak Yanto. Serorang
petani yang sesungguhnya bukanlah pengarap kawasan hutan. Kepedualiannyalah
yang sejak enam tahun lalu mencari jalan keluar melepaskan streotif perambah
yang disematkan kepada petani tetangga dan keluarganya. Rumah sederhananya terletak
di ujung gang sempit yang difungsikan sebagai pintu gerbang menuju hutan Balai
Rejang. Rumah sederhananya dijadikan sebagai “markas” perjuangan. Rumah rakyat,
katanya.
Rumah rakyat ini berada di Desa Karang Pinang, desa yang masyarakatnya
berbahasa Lembak dialek Marga Beliti. Desa yang dulunya adalah perkampungan ini
dibangun oleh Muneng Bau. Leluhurnya yang hidup ratusan tahun lalu. Yang,
menurut legendanya mejelma menjadi harimau kumbang, harimau hitam. Istrinya konon
menjelma menjadi naga. Suami istri inilah yang dipercayai secara gaib menjaga
perkampungan, dan menjaga keselamatan anak keturunannya. Kekuatan gaib yang
ditempelkan pada Muneng Bau konon didapatinya dari pertapaan yang panjang di
petilasan Mandi Angin. Puncak dari kekuatan magis di wilayah Lembak.
Secara sosiologis tidak ada kekacauan di Karang Pinang,
kalaupun ada kekacauan ada adat peninggalan Muneng Bauk yang mendamaikan. Jika
kita berjalan di sepanjang jalan desa, rumah-murah tua yang terkesan tidak
terurus berjejer rapi karena penghuninya berada di kebun-kebun di Kawasan Hutan
Balai Rejang. Maka segera kita tahu ada persoalan ekonomi yang menimpa anak
keturunan Muning Bauk. Muneng Bauk meninggalkan lahan yang subur lagi luas
sebagai alat produksi untuk menghidupi anak keturunannya. Lahan-lahan vulkanik
yang subur ini di jadikan sebagai hutan Retes, hutan Lindung atau Hutan Negara
tanpa pengetahuan dan persetujuan dari mereka. Mereka tidak lagi berdaulat
mengelola hutan, sebagain yang nekat karena kebutuhan ekonomi keluarga
dilebelkan sebagai perambah yang harus segera meninggalkan lahan-lahan
peninggalan Muneng Bauk.
Lahan peninggalan Muneng Bauk adalah tumpuan harapan anak
cucunya, harapan yang menghidupkan untuk masa yang panjang. Negara hadir dengan
seperangkat aturan membatasi ruang hidup. Negara hadir, secara sayup-sayup
didengar untuk kelestarian aliran Beliti, untuk kestabilatan dan keseimbangan
kawasan. “Kami harus mencari celah untuk kelestarian dan kebutuhan masa depan
kami” Kata Bapak Yanto di kediamannya yang sederhana ketika aparatus Negara
berkunjung ke kediamannya. Ada lima orang tamu yang datang, terdengar ada
sayup-sayup harapan memulihkan hak atas kawasan peninggalan Muning Bauk. Para
tamu ini berbahasa Indonesia yang baik dengan penampilan bersih dan rapi, salah
seorang yang muda umurnya terkesan ponggah. Sayapun senyum-senyum pasti dia
tidak dan belum tahu betapa kerasnya jalan hidup keturunan Moneng Bauk.
Perhutanan Sosial dan Hutan Kemasyarakatan demikian istilah
yang sering di ucapkan oleh tamu Bapak Yanto. Sayapun yang duduk meringkuk
dekat pintu bersama teman-teman petani pengarap meyimak secara seksama.
Pelan-pelan saya perhatikan sinar yang tersorot dari mata para petanipun
berbinar. Perhutanan Sosial dan Hutan Kemasyarakatan adalah perbendaharan kata
dan istilah baru bagi mereka yang berbahasa Lembak tetapi mengandung harap masa
depan yang ceriah. Merekapun kemudian diskusi. Diskusi yang tidak panjang
argumennya karena memang membicarakan tentang hal yang teknis bukan konseptual.
Mereka suka langsung berbicara pada pokok apa yang di bahas.
Misalnya ketika sampai pada pembasahan individu mereka langsung menyebut
nama-nama dan jenis-jenis tanaman yang di tanam petani. Pun, begitu ketika
membicarakan tentang lokasi lahan masing-masing. “Itulah gunanya kami verifikasi”
Kata sang tamu yang berbadan agak gemuk berkacamata untuk mengurangi perdebatan
yang memicu emosi. Atau, dia mulai binggung dengan komunikasi yang satu
berbahasa Indonesia, yang satunya berbahasa Lembak.
Para tamu mulai nyaman tetapi agak takut untuk sedikit
menyematkan argument dalam komunikasi mereka. Berlahan saya perhatikan ketika
menjelaskan hal-hal tertentu seperti mengurui dengan Bahasa yang membujuk. Dan,
prosesnya semakin membaik dan konstruktif, ada kejujuran dalam Bahasa
komunikasi. Mereka seperti dimandikan oleh angin. Dan saya merasakan ada aura
kedatangan Moneng Bauk yang bercerita tentang istana para leluhur, tentang musik, tentang perang, tentang
menteri-menteri, tentang dayang-dayang. yang mengambarkan dengan rinci setiap
ceritanya, kisah ceritanya seperti sebuah epic. Ceritanya selalu saja sama
dengan alur yang dikarang sesukanya. Ketika mentari mulai redup, sinarnya berlindung
di balik pepohonan di hutan. Muning Bauk berkata “Kini kawan-kawan, arwah
leluhur berkata bahwa kisah hari ini cukup sampai disini.? Dia lalu bangkit
pergi, membaringkan diri dan jatuh tertidur sebelum gumaman kerumunan para
pendengar berhenti.
Salam kenal dari Tanah Grogot Kab Paser kaltim, saya fasilitator program kehutanan sosial di KPHP
BalasHapusSalam kenal juga bos, dan salam PS kami di Bengkulu
Hapus