Tulisan ini tidak ada tendensius apapun dengan konstenstasi
politik yang saat ini sedang berlangsung. Dan, tidak ada hubungan apapun dengan
Debat Pilpres putaran III yang dilaksanakan tadi malam, meskipun isu-isu
tentang Globalisasi, teknologi menguat dalam Debat. Dilan, Digital yang
melayani yang sempat disebut beberapa kali, yang merupakan perangkat teknologi globalisasi
media dalam proses percepatan pelayanan urusan-urusan public di Birokrasi. Pertanyaan
yang mengelitik dari Kandidat 02, jika terjadi percepatan pelayanan melalui
Dilan. Untuk apa dan siapa yang akan mendapatkan keuntungan dari percepatan
tersebut? Tulisan ini hanya mencerminkan kegelisahan saya terhadap sifat yang
mendua atau global paradoks dalam muatan revolusi teknologi sebagai alat
pendukung utama dari serbuan Globalisasi.
Kini, kata-kata globalisasi di bidang teknologi informasi
mejadi seperti sebuah ‘matra’, kata yang begitu sering dielukan oleh para
ekonom dan politisi dengan berbagai pariannya, internet, marketplace,
cybercrime, unicorn, decacorn, hectocorn dalam istilah startup dan industri 4.0.
istilah-istilah ini seolah-olah berkah dari langit yang menjanjikan tanah
impian masa depan yang menantang dan penuh harapan. Bagi pecinta ideologi pasar
bebas dan pemuja neoliberalisasi tidak ada kata yang diyakini lebih sakti dari
pada kata globalisasi teknologi. Kata-kata ini diangap jelmaan dewa penyelamat
sekaligus jembatan penghubung di tengah ketimpangan kehidupan yang dalam antara
apa yang disebut sebagai dunia Barat-Utara yang serba maju dan dunia
Timur-Selatan yang serba terlebalakang.
Dengan berbagai penemuan di bidang komunikasi dan informasi,
dan kemudian mengalami arus globalisasi yang main luas cakupannya, dalam
penetrasinya, dan instan kecepatannya. Revolusi di bidang teknologi informasi
dan telekomunikasipun menjebabkan distanisasi ruang-waktu yang kemudian
merobohkan batas-batas ruang dan waktu konvensional. Fenomena ini merestukturisasi
cara hidup umat manusia secara mendalam, nyaris pada setiap aspek kehidupan. Sapuannyapun
merembes jauh kedalam dunia ketiga, yang makin menunjukan kekuatan kapitalisme.
Dominasi Barat kian menguat, dalam berbagai hal dan cara jauh lebih kuat dari
sebelumnya tidak hanya dalam bidang ekonomi, tetapi juga dalam bidang budaya. Budaya
global yang sebagaian besar dikontruksi di Barat merembes lewat berbagai cara,
terutama lewat globalisasi media, perdagangan dan ekonomi.
Meminjam istilah Marshall McLuhan, di dalam teater global
ini seolah-olah semua orang bisa menjadi pemain di dalam drama kehidupan global
yang telah membuat dunia menciut, jarak mengkerut, dan ruang dan waktu lenyap. Pertanyaannya
siapakah yang menjadi pemain utama di balik teater global ini? Kontestan Pilpres
dari oposisi dalam debat tadi malam secara terbuka menyatakan Kapitalisme
sebagai pemain utamanya. Jawaban ini mungkin saja lahir dari kenyataan bahwa revolusi
teknologi media seperti wajah Janus. Dewa bermuka dua dalam mitologi Romawi. Di
satu sisi, ia menjanjikan keterbukaan dan arus demokrasi yang mendunia. Tetapi disisi
lain, ia juga meyimpan kutukan berupa ketergantungan yang begitu kuat tidak
hanya dari segi isi (content), tetapi
juga dari segi peyediaan perangkat keras dan lunak teknologi komunikasi dan
informasi.
Maka, tak usah heran kalau kemudian proses globalisai media
dianggap tak lebih dari sebentuk pengukuhan imperialism atau kolonialisme baru
oleh negara maju ke negara miskin. Kemiskinan negara diperparah oleh timbunan
utangpun telah berakumulasi dengan kemiskinan informasi. Dalam kontek inilah,
misalnya kita mesti memahami hempasan krisis ekonomi yang terjadi. Sekali lagi tulisan
ini tidak berpretensi dalam dukung mendukung kandidat yang akan memimpin negeri
ini. Karena, bagi saya bahwa revolusi teknologi dalam mendukung globalisasi
tidak menunjukan diri sebagai sebuah system distribusi yang lengkap dan adil. Kecepatan
difusi teknologi, misalnya amat bergantung pada pengetahuan, keadaan ekonomi,
pemerintahan, dan karakter budaya pada waktu dan tempat tertentu.
Pengalaman penulis dengan budaya-budaya local yang kuatpun
mulai tergerus arus revolusi teknologi. Ia telah mempengaruhi gambaran
peristiwa kehidupan sehingga menjadi sebentuk kepingan-kepingan, penggalan-penggalan
yang tidak beraturan, yang berserakan atau kehidupan yang terfragmentasi. Komunikasi
berlangsung dalam momen-momen kesetikaan, kesegeraan, kesementaraan dan
kesekejapan. Komunikasi yang berangsung begitu cepat, sehingga tidak ada ruang
dan waktu untuk diam sejenak, untuk merenung, berefleksi atau berkotemplasi.
Bayangkan dengan bantuan remote-control
atau hanya dengan touchscreen kita
bisa berpindah dari satu momen ke momen lain, dari saluran ke saluran lain,
dari tontonan ke tontonan lain, dari yang sakral ke yang profan, dari yang suci
ke yang jorok, sesuka dan semaunya kita. Dalam teknologi video-klip kita
meilhat fragmen tontonan yang tidak saling berkaitan, ada sugesti bunyi, rayuan
sensualitas figure, permainan cahaya yang saling tidak ada korelasi. Pun, dalam
iklan dan berita. Fragmentasi kehidupan itu begitu jelas terlihat. Baru beberapa
detik kita menyaksikan air mata, tiba-tiba kita telah disuguhi berita banjir
atau kabar kegenitan artis atau komentar politikus. Baru saja kita menonton
kuis bagaimana menjadi kaya dalam sekejap, tiba-tiba bila kita alihkan remote-control TV kita bisa berjumpa
berita busung lapar bersebelahan dengan iklan property perumahan elite kelas
menengah atas.
Tercemarnya ruang untuk merenung ini telah menjadi sinyal
bagi the end of silence, sejakala
kesunyian. Pada saat ruang kesunyian itu benar-benar sedang terancam maka
ancaman yang terbesar dan serius justru tengah berlangsung karene benteng
terakhir tempat manusia berimajinasi dan menghayati kehidupan justru tengah
diaduk-aduk. akhirnya kita masuk dan larut dalam dunia huru-hara, chaos nilai. Di dalamnya tidak mungkin
lagi akan kita reguk tetesan hikmah dan kelesatan spiritualitas.
Tidak ada lagi kreteria hiburan baik-buruk, pantas-tidak
pantas, mencerahkan-memiskinkan imajinasi, kekerasan-kelembutan, pornografi-kesopanan,
kebanalan-kedalaman atau materialisme-spirutualisme. Karena kita telah jatuh ke
dalam apatisme yang dalam. Dengan menyadari bahaya-bahaya yang ditimbulkan oleh
teknologi informai, bagi masyarakat, merupakan langkah pertama untuk mencegah
disalahgunakannya teknologi tersebut. Kendati demikian harus diakui pula bahwa
teknologi informasi juga memiliki potensi untuk memecahkan banyak problem kemasyarakatan
di abad milenial ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar