Pemilu di Bawah Bayang-Bayang - Erwin Basrin

Breaking

Recent Posts

 photo Untitled-1_1.jpg

Rabu, 01 Mei 2019

Pemilu di Bawah Bayang-Bayang





Duduk di atas kursi rotan yang mulai rapuh di teras rumah kayu peninggalan suaminya, Nenek Masyah sibuk menjahit selendang yang akan dipakainya pagi ini. Matanya masih awas dan tangan keriputnya masih cekatan memainkan jarum yang di tusukkan ke selembar kerudung berwarna abu-abu dan mulai pudar warnanya. Meski umurnya mendekati 98 tahun, gerakan kedua tangganya masih lincah.


Novis, cucu yang tinggal bersama Nenek Masyah masuk kamar dengan tergesa-gesa. Ia mengenakan kostum khas anak muda yang siap ngedate. Celana jean, kaos oblong dengan tas selempang terkait di pundaknya. Ia tengah mencari sesuatu, Novis mengobrak-abrik laci dan lemari kecil milik neneknya. Penasaran dengan tingkah Novis, Nenek Masyah menegurnya.

“Nyari apa kamu Vis?” tanya Nenek Masyah sambil membenarkan letak tembakau ramuan sirih kesukaannya yang menyumpal di dalam bibir bagian atas.

Sama sekali tak menghiraukan Neneknya, Novis meneruskan pencarian barang yang di carinya. Kesal dengan sikap cucunya, Nenek Masyah berdiri mendekati Novis dan kembali bertanya.

“Hoi.. Novis! Kamu nyari apa!?” bentaknya kesal.

“Minyak wangi Nek,” ketus Novis sambil tetap mengoreh laci.

Nenek Masyah membuka lemari besar di samping ranjang besi miliknya untuk mencari minyak wangi. Nenek Masyah memberikan minyak wangi kepada Novis. Tanpa basa-basi, Novis langsung berdiri di depan cermin oval berbingkai papan berhias lukisan bunga yang mulai kabur warna merahnya. Novis menyemprotkan minyak wangi yang sudah hampir habis ke kaosnya, lalu merapikan tatanan rambutnya. Selesai dandan, Novis membalikan badan kearah Neneknya. Ia mengacungkan tangan kanan sambil mengesek-gesek jempol dan ibu jarinya. Ia meminta uang jajan kepada Neneknya, uang jajan yang dia titip hasil dari upah angkut kopi tetangganya.

Sambul cemberut, Nenek Masyah menatap wajah cucu kesayangannya yang telah ditinggal ibunya beberapa bulan lau, lantas membuka lemari dan mengabil uang yang tinggal tersisa 50 ribu dari bawah tumpukan pakaian. Uang tersebut terdiri dari pecahan 10 dan 20 ribuan. Tanpa sepatah kata, dia langsung memberikannya pada Novis. Novis menunjukan ekspresi kecewa dengan 30 ribu yang diterimanya.

Cepat-cepat Novis keluar dari kamar meninggalkan Neneknya. Mata Nenek Masyah tiba-tiba ke 2 lembar Surat Panggilan dari Panitia Pemilu yang tergeletak di atas laci lemari. Salah satunya bertuliskan ‘Nama: Novis Saputra, Umur: 19 Tahun, TPS: 5.’  Dan satunya ‘Nama; Masyah, Umur: 98 Tahun, TPS: 5.’ Surat panggilan menandai kedaulatan rakyat yang termanifestasi dalam pemilihan parlemen dan presiden setiap lima tahun. Nenek Masyah antusias, karena dia mengalami langsung proses dan aura politik di kampungnya. Sejak zaman colonial dengan system berbaris dan voting terbuka dalam memelilih Kepala dan Dewan Marga, Orde Lama yang multi partai, Orde Baru yang penuh rekayasa dan tekanan serta pemilu di era Reformasi. Dia selalu berpartisipasi.  

Jahitannya tinggal sedikit lagi, Novis dengan rokok yang menjuntai di bibirnya duduk di kursi kayu menuggu sang Nenek menyelesaikan jahitannya. Mereka akan bersama-sama menuju TPS yang berada di tidak jauh dari rumahnya, TPS 5 berada tepat di samping Masjid tua yang dibangun oleh Haji Syamsudin. Orang tua dari Masyah.

Kali ini Pemilu dilaksanakan serentak, ada 5 kartu yang harus Nenek Masyah yang buta hurup coblos. Malamnya, sebelum pemilihan tidak ada tamu atau calon legislative atau tim sukses yang datang kerumahnya. Meskipun Novis tahu ada pembagian uang untuk menyukseskan calon tertentu dikampungnya. Nenek Masyah teguh dengan sikapnya. Sikap yang anti politik recehan dan politik uang meskipun dia buta hurup.

“Politik dengan uang adalah politik munafik,” katanya ketika ada tim sukses yang nekat menemui dia di kebunnya yang tidak jauh dari kampung sehari sebelum pencoblosan.

“Jika kamu membeli suara dan kepala kami dan membeli posisi politik, kamu seperti berdagang,” lanjutnya sambil memasukan beberapa biji terung yang telah dia panen kedalam bakul anyaman bambu. Akibatnya. Kata Nenek Masyah. Ketika posisi politik itu di dapati, kamu akan menjual apapun termasuk menjual harga diri. Tim sukses itupun merah mukanya lalu meninggalkan Nenek Masyah.

Meskipun buta politik, dengan pengalaman hidup yang panjang Nenek Masyah tahu sejak berakhirnya Orde Baru yang dipimpin presiden Suharto dan mulainya periode Reformasi, setiap pemilu di Indonesia dianggap bebas dan adil. Tetapi bagi Nenek Masyah. Indonesia belum bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme maupun 'politik uang' di mana orang bisa membeli kekuasaan atau posisi politik. Misalnya, segmen miskin seperti kaumnya Nenek Masyah 'didorong' untuk memilih calon tertentu pada hari pemilihan dengan menerima uang kecil di dekat kotak suara maupun sebelum pencoblosan. Strategi seperti ini masih tetap dilakukan, bahkan digunakan oleh semua pihak politik yang terlibat.

Nenek Masyah yang buta hurup dan tegas sikap serta pilihan politiknya, berjalan tertatih-tatih di belakang Novis cucunya. Mereka berjalan menuju TPS 5 samping Masjid tua, dia berhenti sejenak di depan Masjid, mulutnya komat-kamit entah bicara pada siapa. Dua lembar kertas diserahkan Novis kepada Panita TPS, kemudian mereka duduk di kursi plastik mengunggu giliran masuk ke dalam bilik suara. Nama Novis disebut, dilanjutkan dengan nama Nenek Masyah. Keduanya masuk ke bilik suara bersama penduduk lainnya dengan masing-masing memegang 5 kartu yang telah diberikan oleh Panitia. Di dalam bilik suara terdapat bantal kecil dan paku yang di ikat dengan tali plastic. Novis memandu sang Nenek untuk mencoblos. Nenek Masyah sudah tahu siapa yang akan dipilihnya. Satu-satu kertas suara di bukanya sambil berbisik kepada Novis dan dengan telunjuk Novis memastikan pilihan sang Nenek tercoblos sempurna.

Begitu selesai memasukan kertas suara ke dalam 5 kardus, dengan terbungkuk-bungkuk sambil membenarkan letak selendangnya berwarna abu-abu dia mencelupkan jari kelingkingnya kedalam wadah berisikan tinta, pertanda dia telah mengunakan hak pilihnya, haknya sebagai warga Negara yang akan menentukan nasibnya dan nasib cucunya di tahun-tahun mendatang. Sekali lagi, begitu melintas di depan masjid mulutnya komat-kamit tetapi kali ini lebih keras dan bisa di dengar oleh Novis.

“Pemilu kali ini di bawah bayang-bayang hitam,” Novis tahu dia seakan-akan berbicara langsung kepada Arwah Bapaknya, Haji Syamsudin yang sudah lama meninggal. Yang pernah dipenjara oleh Pemerintahan Belanda karena berani mengikis kekuasaan colonial dan bersuara tentang ketidakadilan yang diakibatkan oleh system politik ketika itu. Novis yang berumur 19 tahun dan sang Nenek berumur 98 tahun berjalan tertatih pulang ke rumah menyongsong hari depan yang mungkin saja dibawah bayang-bayang hitam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar