Duduk di atas kursi rotan yang mulai rapuh di teras rumah
kayu peninggalan suaminya, Nenek Masyah sibuk menjahit selendang yang akan
dipakainya pagi ini. Matanya masih awas dan tangan keriputnya masih cekatan
memainkan jarum yang di tusukkan ke selembar kerudung berwarna abu-abu dan
mulai pudar warnanya. Meski umurnya mendekati 98 tahun, gerakan kedua tangganya
masih lincah.
Novis, cucu yang tinggal bersama Nenek Masyah masuk kamar
dengan tergesa-gesa. Ia mengenakan kostum khas anak muda yang siap ngedate. Celana jean, kaos oblong dengan
tas selempang terkait di pundaknya. Ia tengah mencari sesuatu, Novis
mengobrak-abrik laci dan lemari kecil milik neneknya. Penasaran dengan tingkah Novis,
Nenek Masyah menegurnya.
“Nyari apa kamu Vis?” tanya Nenek Masyah sambil membenarkan
letak tembakau ramuan sirih kesukaannya yang menyumpal di dalam bibir bagian
atas.
Sama sekali tak menghiraukan Neneknya, Novis meneruskan
pencarian barang yang di carinya. Kesal dengan sikap cucunya, Nenek Masyah
berdiri mendekati Novis dan kembali bertanya.
“Hoi.. Novis! Kamu nyari apa!?” bentaknya kesal.
“Minyak wangi Nek,” ketus Novis sambil tetap mengoreh laci.
Nenek Masyah membuka lemari besar di samping ranjang besi
miliknya untuk mencari minyak wangi. Nenek Masyah memberikan minyak wangi
kepada Novis. Tanpa basa-basi, Novis langsung berdiri di depan cermin oval
berbingkai papan berhias lukisan bunga yang mulai kabur warna merahnya. Novis menyemprotkan
minyak wangi yang sudah hampir habis ke kaosnya, lalu merapikan tatanan
rambutnya. Selesai dandan, Novis membalikan badan kearah Neneknya. Ia mengacungkan
tangan kanan sambil mengesek-gesek jempol dan ibu jarinya. Ia meminta uang
jajan kepada Neneknya, uang jajan yang dia titip hasil dari upah angkut kopi
tetangganya.
Sambul cemberut, Nenek Masyah menatap wajah cucu
kesayangannya yang telah ditinggal ibunya beberapa bulan lau, lantas membuka
lemari dan mengabil uang yang tinggal tersisa 50 ribu dari bawah tumpukan
pakaian. Uang tersebut terdiri dari pecahan 10 dan 20 ribuan. Tanpa sepatah
kata, dia langsung memberikannya pada Novis. Novis menunjukan ekspresi kecewa
dengan 30 ribu yang diterimanya.
Cepat-cepat Novis keluar dari kamar meninggalkan Neneknya.
Mata Nenek Masyah tiba-tiba ke 2 lembar Surat Panggilan dari Panitia Pemilu
yang tergeletak di atas laci lemari. Salah satunya bertuliskan ‘Nama: Novis
Saputra, Umur: 19 Tahun, TPS: 5.’ Dan
satunya ‘Nama; Masyah, Umur: 98 Tahun, TPS: 5.’ Surat panggilan menandai kedaulatan rakyat yang termanifestasi dalam
pemilihan parlemen dan presiden setiap lima tahun. Nenek Masyah antusias,
karena dia mengalami langsung proses dan aura politik di kampungnya. Sejak
zaman colonial dengan system berbaris dan voting terbuka dalam memelilih Kepala
dan Dewan Marga, Orde Lama yang multi partai, Orde Baru yang penuh rekayasa dan
tekanan serta pemilu di era Reformasi. Dia selalu berpartisipasi.
Jahitannya
tinggal sedikit lagi, Novis dengan
rokok yang menjuntai di bibirnya duduk di kursi kayu menuggu sang Nenek
menyelesaikan jahitannya. Mereka akan bersama-sama menuju TPS yang berada di
tidak jauh dari rumahnya, TPS 5 berada tepat di samping Masjid tua yang
dibangun oleh Haji Syamsudin. Orang tua dari Masyah.
Kali ini
Pemilu dilaksanakan serentak, ada 5 kartu yang harus Nenek Masyah yang buta
hurup coblos. Malamnya, sebelum pemilihan tidak ada tamu atau calon legislative
atau tim sukses yang datang kerumahnya. Meskipun Novis tahu ada pembagian uang untuk menyukseskan
calon tertentu dikampungnya. Nenek Masyah teguh dengan sikapnya. Sikap yang
anti politik recehan dan politik uang meskipun dia buta hurup.
“Politik
dengan uang adalah politik munafik,” katanya ketika ada tim sukses yang nekat
menemui dia di kebunnya yang tidak jauh dari kampung sehari sebelum pencoblosan.
“Jika
kamu membeli suara dan kepala kami dan membeli posisi politik, kamu seperti
berdagang,” lanjutnya sambil memasukan beberapa biji terung yang telah dia
panen kedalam bakul anyaman bambu. Akibatnya. Kata Nenek Masyah. Ketika posisi
politik itu di dapati, kamu akan menjual apapun termasuk menjual harga diri. Tim
sukses itupun merah mukanya lalu meninggalkan Nenek Masyah.
Meskipun
buta politik, dengan pengalaman hidup yang panjang Nenek Masyah tahu sejak
berakhirnya Orde Baru yang dipimpin presiden Suharto dan mulainya periode
Reformasi, setiap pemilu di Indonesia dianggap bebas dan adil. Tetapi bagi
Nenek Masyah. Indonesia belum bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme maupun
'politik uang' di mana orang bisa membeli kekuasaan atau posisi politik.
Misalnya, segmen miskin seperti kaumnya Nenek Masyah 'didorong' untuk memilih
calon tertentu pada hari pemilihan dengan menerima uang kecil di dekat kotak
suara maupun sebelum pencoblosan. Strategi seperti ini masih tetap dilakukan,
bahkan digunakan oleh semua pihak politik yang terlibat.
Nenek Masyah yang buta hurup dan tegas sikap serta pilihan
politiknya, berjalan tertatih-tatih di belakang Novis cucunya. Mereka berjalan menuju
TPS 5 samping Masjid tua, dia berhenti sejenak di depan Masjid, mulutnya
komat-kamit entah bicara pada siapa. Dua lembar kertas diserahkan Novis kepada
Panita TPS, kemudian mereka duduk di kursi plastik mengunggu giliran masuk ke
dalam bilik suara. Nama Novis disebut, dilanjutkan dengan nama Nenek Masyah.
Keduanya masuk ke bilik suara bersama penduduk lainnya dengan masing-masing
memegang 5 kartu yang telah diberikan oleh Panitia. Di dalam bilik suara
terdapat bantal kecil dan paku yang di ikat dengan tali plastic. Novis memandu
sang Nenek untuk mencoblos. Nenek Masyah sudah tahu siapa yang akan dipilihnya.
Satu-satu kertas suara di bukanya sambil berbisik kepada Novis dan dengan telunjuk
Novis memastikan pilihan sang Nenek tercoblos sempurna.
Begitu selesai memasukan kertas suara ke dalam 5 kardus, dengan
terbungkuk-bungkuk sambil membenarkan letak selendangnya berwarna abu-abu dia
mencelupkan jari kelingkingnya kedalam wadah berisikan tinta, pertanda dia
telah mengunakan hak pilihnya, haknya sebagai warga Negara yang akan menentukan
nasibnya dan nasib cucunya di tahun-tahun mendatang. Sekali lagi, begitu
melintas di depan masjid mulutnya komat-kamit tetapi kali ini lebih keras dan
bisa di dengar oleh Novis.
“Pemilu kali ini di bawah bayang-bayang hitam,” Novis tahu
dia seakan-akan berbicara langsung kepada Arwah Bapaknya, Haji Syamsudin yang
sudah lama meninggal. Yang pernah dipenjara oleh Pemerintahan Belanda karena
berani mengikis kekuasaan colonial dan bersuara tentang ketidakadilan yang
diakibatkan oleh system politik ketika itu. Novis yang berumur 19 tahun dan
sang Nenek berumur 98 tahun berjalan tertatih pulang ke rumah menyongsong hari
depan yang mungkin saja dibawah bayang-bayang hitam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar