Topos, Kampung yang Meniti Batang Adat - Erwin Basrin

Breaking

Recent Posts

 photo Untitled-1_1.jpg

Senin, 07 Agustus 2017

Topos, Kampung yang Meniti Batang Adat

Nak.” ceritaku dimulai ketika kami duduk di teras rumah kam yang belum selesai dibangun sejak 6 tahun lalu. Malam itu menjelang munculnya bulan membentuk sabit setelah hujan turun yang hanya membasahi bunga tanah.


Bapak itu dilahirkan disebuah perkampungan. Perkampungan itu perkampungan tua dan tua sekali, menurut sejarah katanya perkampungan ini sudah berdiri dan ada sebelum Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit, Nama perkampungan itu diambil dari nama batang Tongkat pendiri kampung itu, kanon legendanya dia itu Seorang Ayah yang “menjelma” menjadi anak, dia manusia keturunan para dewa yang turun dari Istana Makedum Rajo Diwo, itulah leluhur kalian nak.” Ceritaku. Kampung ini berada di lereng bukit barisan, para sejarawan menyebutnya dataran tinggi dan berada di titik tengah Pulau Sumatera.

Kata Kakekmu, Bapak dilahirkan hari Selasa tanggal 12 Juli, tanggal itu mengingatkan dia pada Thariq bin Ziyat yang berhasil memasuki Spanyol dan perkembangan politik dan tindakan sepihak oleh Fretilin yang melakukan proklamasi kemerdekaan di Timur Timor yang sekarang benar-benar Merdeka dan jadi Negara Demokratik Timur Leste. Tangisan pertama Bapak, melengking di sebuah kamar pengap yang sering kita tiduri ketika kita pulang ke rumah nenekmu. Itu pertarungan hidup mati nenekmu. Kelahiran Bapak mengobati duka yang dialami nenekmu, dua tahun sebelumnya dia juga melahirkan anak yang hanya sempat berumur 3 bulan kemudian dipangil Tuhan. Tidak ada yang tahu apa penyebab kematiannya, ketika itu belum ada dokter atau bidan yang bisa mendeteksi penyebab kematiannya.

Hidup kami disana dulu sederhana dan sangat sederhana sekali, ceritaku sambil melihat bulan muncul melalui celah daun batang sawo yang pertama kali aku taman ketika membeli tanah yang kemudian diatasnya berdiri setengah kokoh rumah kami. Mataku berlinang ada perasaan rindu pada Ayahku yang tidak lagi kekar ototnya, rambutnya semakin putih dan sering sakit-sakitan, lalu ada bayangan senyum karismatik, dan bau harum peluhnya ketika mengendong aku yang selalu sakit-sakitan ketika kecil. Lamunan rindu itu buyar, lau dengan agresor dan keingintahuannya, Bdikar anak tertua kami yang sekarang baru 8 tahun memotong lamunanku,

Sederhana seperti apa maksudnya pak.?” Tanya dia.

Sederhana sekali nak.” jawab saya sambil membenarkan letak kepala Adiknya yang mulai miring dibantal berwarna merah kesayangannya. Dia tidur-tiduran di teras rumah kami. Kata kakekmu, ari-ari Bapak dihanyutkan di Sungai, sungai yang menjadi saksi sejarah perjalan kebudayaan sekaligus berfungsi sebagai denyut utama kehidupan warga di sana. Katanya itu simbol supaya ketika Bapak besar nanti bisa seperti Thariq bin Ziyat, bisa menjadi penerus garis wali lalu melakukan invansi kebudayaan. Sepertinya, bapak itu sengaja jiwa dan raganya di hibahkan, itu simbol kenapa ari-ari itu hanyut tidak dikuburkan seperti anak-anak lainnya.

Ketika mulai besar, tidak ada injeksi imunisasi BCG, Polio, DPT, Hepatitis B dan Campak yang wajib diberikan kepada setiap Bayi. Tidak satu selpun tubuh Bapak di berikan vaksin. Ritual adatlah yang menjadi ganti imunisasi, bapak lalu diperkenalkan kepada alam melalui ritual Mbin Cupik moi Munen. Membawa bayi ke Air adalah ritual yang wajib dilakukan setiap bayi lahir dan berumur 40 hari, bagi masyarakat modern umur 40 hari sudah wajib di kasih asupan imunisasi. Bapak dicelup dan dimandikan di Sungai, tepat pada umur 40 hari, ini mengingatkan pada kelahiran Achilles anaknya Peleus dan Thetis yang dicelupkan oleh ibunya ke sungai Styx agar menjadi Immortal.

Bayi Bapak yang masih merah itu diserahkan kepada alam dan gaib melalui proses ritual, itu dipercayai untuk menjaga kesehatan, kebugaran dalam masa pertumbuhan. Tapi tidak ada ritual melumuri tubuh bayi dengan Ambrosia, dan dibaringkan di atas api. Bapak hanya dipandu dengan jampi-jampi yang dilapaskan oleh para Dukun dan tetua kampung, boleh jadi, jampi-jampi ini adalah doa yang dipanjatkan kepada sang Penguasa Alam melalui karomah para arwah leluhur. Kami percaya doa-doa dan jampi-jampi ini merupakan imunisasi dan vaksinasi yang akan mengalir dalam denyut darah yang kemudian mengakumulasi di bawah permukaan kulit kami, lalu berfungsi seperti selaput Vernix Caceosa sepanjang hayat hidup kami, tetua kampung menyebutnya sebagai Kerajat Tu’un atau pakaian lahir yang berfungsi menangkal bahaya dari 8 penjuru dan menjaga dari kami dari 4 waktu dan pintu sial keturunan.

Selama masa pertumbuhan, tidak ada susu bayi, tidak ada makan buatan siap saji yang padat nutrisi dan gizi. Asupan-asupan yang masuk ke tubuh Bapak adalah makakan yang dibuat dan dimasak oleh tengan lembut Nenekmu. Nenekmu tidak perlu membeli telur, beras, ikan, daging dan minyak sebagian bahan untuk mengelolanya menjadi makanan yang siap kami makan. Kami punya beberapa ekor itik dan ayam kampung yang tiap pagi tinggal masuk ke kandang lalu mengumpulkan telurnya, kami punya lumbung beras yang tiap tahun selalu surplus, kami menyebutnya dengan Poi Usang, untuk menjadikan beras kami cukup numpang di ‘kincir alu’ yang digerakkan oleh air, berasnya pasti bagus dan masih banyak bekatulnya.

Nak, bekatul itu adalah lapisan yang ada di beras, terdiri dari lapisan aleuron dan perikarp yang kaya gizi baik, katanya bagus untuk mencegah diabetes dan hipertensi. Lanjutku.

Berarti beras sekarang tidak ada bekatulnya ya pak.? Makanya banyak penderita diabetes dan hipertensi?” Potong Bdikar seperti biasanya.

Tidak begitu juga nak,” jawabku, kan ada banyak sebab lainya, misalnya makanan yang kadar gulanya tinggi maka secara tidak langsung akan meningkatkan kadar hormon angiotensi 2 yang akan mengakibatkan terjadinya hipertensi. Jelas saya seadanya saja.

Dulu, kalau mau makan ikan, tinggal ke kolam yang ada disawah atau malam-malam sebentar saja bapak dengan kakekmu ke sungai, dengan peralatan seadanya kami bisa dapat ikan untuk 3-4 hari. Ibuku atau nenekmu itu, kalau sedang tidak ada pekerjaan di kebun atau sawah, dia rajin sekali membuat minyak goreng dari buah Kepayang (Pangium Edule, tumbuhan berbentuk pohon), atau sesekali ‘menanak’ kelapa, minyak ini non kolestrol dan nikmat sekali jika nenekmu memasak nasi goreng atau mengoreng pisang di setiap pagi buat kami sarapan.

Setelah besar, setiap hari kalau tidak mandi di sungai, kami mandi di pemandian umum, bisa lama kalau mandi, selain airnya masih sangat segar dan bersih, sambilan mandi kami bisa bercerita atau mendengarkan cerita para ibu-ibu dan orang tua tentang banyak hal yang terjadi di kampung. Mereka itu sangat akrab sekali, tidak ada kecurigaan antar mereka dan kalau ada masalah atau pekerjaan, semuanya dikerjakan secara kolektif, semua ikut membantu.

Kami sering disebut orang udik atau orang hulu air, itu kalau kami keluar kampung, karena kami gagap dengan kemajuan yang kami anggap sebagian besarnya sebagai perusak struktur sosial dan budaya yang telah dibangun ratusan tahun lamanya oleh leluhur kami. Pernah sesekali ada mobil pejabat yang masuk ke kampung, seperti semut mengerubungi gula kemudian kami berebut memegang mobil pejabat sampai dimarahi oleh tetua kampung, mungkin karena malu oleh tingkah kami, setelah itu kamipun terkaget-kaget ternyata asap yang keluar dari lubang belakang mobil itu bisa membuat batuk, sesak napas dan membuat pedih mata.

Dulu tidak ada listrik di kampung kami, untuk penerangan cukup mengunakan lampu minyak, kemudian dipadamkan kalau sudah mau tidur. Kami diajari untuk tidak takut gelap, dari kecil ibu-ibu termasuk nenekmu mengajari kami untuk tidak mengutuk kegelapan. Kami diuntungkan dengan belum adanya listrik ini, karena medan elektromagnetik bisa berdampak terhadap kesehatan jika terjadi pemajanan dengan intensitas yang sangat tinggi. Kondisi ini tidak berdampak pada DNA, RNA, dan sintesis protein, proliferasi sel, respon imun serta transduksi signal membran. Efek ini membuktikan bahwa pada tingkat pajanan yang tinggi akan terjadi gangguan dan pada sisi fisiologis dapat mempegaruhi beberapa fungsi seperti fungsi reproduksi, kardiovaskular, saraf, hematopoetik, endokrin, mutagenesis, sistem imun.

Banyak sekalikan akibatnya bagi kesehatan tubuh?” Jelasku meniru guru Biologiku ketika duduk di Kelas 2 SMP.

Di dalam tubuh makhluk hidup, dalam tubuh kita sebenarnya terdapat medan listrik endogen yang mempunyai peranan kompleks dalam mengontrol mekanisme fisiologis tubuh, seperti aktivitas saraf otot, sekresi kelenjar, fungsi membran sel, perkembangan dan pertumbuhan, serta perbaikan jaringan.

Kalau kami sedikit takut gelap cukup nyalan lampu minyak, lalu kemudian matikan. Lampu minyak inilah yang membantu kami ketika malam, waktu untuk belajar. Belajar pelajaran yang kami dapatkan dari Sekolah SD satu-satunya yang ada di Desa kami. Kami menyebutnya sekolah 24 jam. Karena bisa bertanya apapun dan dimanapun dengan guru kami untuk sesuatu yang perlu ditahu atau tanyakan.

Loh, kenapa Bdikar yang biasanya suka bertanya kok diam.? Ternyata keduanya sudah pulas tidur sambil memeluk bantal guling berwarna merah yang dijahit oleh tangan ibunya tadi siang.


1 komentar: