Ketika
laut belakang kampung kami datangkan pasang perbani subuh tadi,
pawang segala pawang hanya tercengang-cengang berkacak pinggang di
simpang segala simpang. Pawang-pawang kampung sekali ini hilang
rangsang. Zaman kejayaan pawang-pawang kampung mendadak saja
tergerus, hangus, putus-putus! Peta kuasa pawang-pawang kini
terhapuskan sudah!
Masa
berganti! Masa berganti! Ini masa, masa Abang. Abanglah yang
berkuasa. Kampung dalam genggaman Abang. Pawang-pawang tak berkutik.
Kami, penghuni kampung, termasuk adik-adik Abang, sanak-famili Abang,
saudara-saudara jauh-dekat Abang, handai-tolan Abang, dan segala
kaum-kerabat Abang bisanya cuma mendelik-delik. Kuasa Abang sungguh
garang, hingga Abang berjuluk Abang Garang. Kegarangan Abang tak
main-main, hingga kuasa Abang pun tunduk pada garangnya Abang.
Abanglah Abang Garang!
Abang
Garang suka sekali bermuka masam, sukar nian tebar senyuman. Kata
para pawang, senyum-senyuman Abang Garang sulit-sulit tertunaikan
dolar, ringgit, pound, dirham, gulden..apalagi rupiah, karena Abang
Garang memang garang orangnya. Abang Garang pantang bersenyum. jika
sekali saja mengumbar senyum, baik sinis atawa manis, maka kadar asin
garang Abang Garang pasti terkikis. Itu sebabnya Abang Garang kerap
menggarang-garangkan diri biar senyum itu putus terkebiri, biar
senyum itu sunyi sepi dan mati arti bermaknakan senyum.
Abang
Garang suka pandang-pandangi orang, biar orang kecut, biar orang
takut. Ketika orang-orang pada takut, diam-diam Abang Garang terbahak
riang hatinya. Sungguh lelucon itu baginya unik yang sengaja
diulur-ulur sepanjang masa kuasa Abang Garang. Dalam tangkup-tangkup
lelucon itu kami orang-orang kampung, termasuk adik-adik Abang
Garang, sanak-famili Abang Garang, saudara-saudara jauh-dekat Abang
Garang, handai-tolan Abang Garang, dan segala kaum-kerabat Abang
Garang cuma hanya mendelik-delik saja. Kami tak berani ngomong
apapun. Kami biarkan saja Abang Garang melampiaskan kegarangannya
sesuka-sukanya. Kami sudah pasrah saja, menerima saja apa adanya.
Sesekali
kami pernah mencoba-coba bermohon kepada siapapun yang bisa menerima
permohonan, untuk kemudian bisa mengejawantahkan permohonan kami itu
agar kiranya Abang Garang tak lagi garang segarang sekarang. Tetapi
sepertinya Abang Garang semakin garang. Sepertinya permohonan kami
tak makbul. Permohonan kami terlalu tumpul.
Setelah
berpuluh-puluh tahun kami tak makbul dalam doa dan segala sumpah
serapah atas polah tingkah Abang Garang, akhirnya kutukpun kami
kutukkan ke Abang Garang. Tak pilih kutuk apa, yang harus dan yang
penting Abang Garang secepatnya terkutuk-kutuk. Timpakanlah kutuk apa
saja biar Abang Garang tak makin merajalela berkuasa dan menguasa
kampung seisinya sesuka-suka garangnya! Timpakanlah kutuk segala
kutuk biar ia terkutuk!
Hanya
dalam hitungan minggu, kutukpun datang menimpa Abang Garang. Tak
main-main kutuk itu mengutuknya. Lidah Abang Garang mendadak pendek!
Lidah yang tak bertulang itu kini mengulah. Tetapi hanya sekejap
Abang Garang gelagapan ketika tutur-kata, tegur-sapa, basa-basi pada
aneka seremoni tak jelas lagi urut kata apa yang diucapkan. Kata-kata
yang keluar dari mulutnya seperti suara orang berkumur-kumur saja
terdengar. Gila! Kami tak tahu apa yang dikatakannya! Kami tak jelas
apa yang diucapkannya! Kacau menceracau segalanya!
Sungguh
kutuk ini semakin tak menguntungkan siapa-siapa. Kampung semakin
sunyi. Pawang-pawang kembali terpekik. Kami, orang-orang kampung,
termasuk adik-adik Abang Garang, sanak-famili Abang Garang,
saudara-saudara jauh-dekat Abang Garang, handai-tolan Abang Garang,
dan segala kaum-kerabat Abang Garang semakin mendelik-delik.
Sejak
saat itu Abang Garang berganti juluk. Kini ia berjuluk Abang Garang
Berlidah Pendek! Dan sejak saat itu pula laut belakang kampung kami
tak henti-henti dihantam pasang perbani. Sepanjang siang, sepanjang
malam; sepanjang bulan, sepanjang tahun pasang perbani itu
mengintai-intai waktu yang tepat untuk menelungkup kampung kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar