“Awalnya dia mencuri ayam tetangganya” kata Pak Salim
memulai ceritanya. Salim Senawar adalah
salah satu tokoh adat yang tinggal di Desa Topos Kabupaten Lebong. Ia bercerita tentang seorang pemuda yang lenyap dari desa karena
perbuatannya membawa aib, aib bagi dirinya, bagi orang tua dan keluarganya.
Kami kemudian duduk melingkar, biasanya akan ada letupan-letupan di setiap
ceritannya, karena Bapak Salim ini pandai betul mengugah rasa disetiap
ceritanya.
Mulanya dia yakin tidak seorangpun tahu, rumah
tetangganya kosong karena semua penghuninya menginap di Kebun yang jauh dari
dusun, mereka sedang panen Kopi biasanya menginap sampai seminggu. Anehnya
sambung cerita Pak Salim ketika seekor ayam jantan dibopong, pemuda itu Cuma
berputar-putar selama dua jam di halaman rumah, kemudian fajar dan pagipun
tiba.
“Oh, kamu nak?” tegus yang punya rumah tiba-tiba datang
seperti hantu, “kenapa kamu bopong ayam?”Si pemudapun tergagap-gagap.
Pertanyaan itu sederhana membuat si Pemuda terpojok, dengan bijak si tuan rumah
tentu tidak mau bikin orang terpojok, maka dibimbingnya pemuda itu keteras
belakang rumahnya. Ayam dikurung di halaman, mereka pun bercakap-cakap. “kamu
perlu uang?” tuan rumah mempermudah persoalan. Pemuda itu menganguk,
kesadaranya mengambang. “berapa kamu perlu uang?” Pertanyaan membuat Pemuda itu
bungkam, malu, tak berdaya dan bingung untuk menguasai perasaannya.
“Baiklah” kata si tuan rumah, sekarang tinggalkan ayam
itu disana, dan ini uang yang kamu perlukan, aku tidak tahu berapa banyak tapi
cukup untuk memenuhi kebutuhanmu, jumlahnya lebih dari harga 5 ekor ayam
jantan. Seperti di hipnotis, pemuda itu mengulurkan tangan buat menerima uang
tersebut, pandangan matanya kosong, tapi uang itu tetap dimasukannya ke dalam
kantong.
“Pesanku jangan kau ulangi dimanapun perbuatan ini, dan
kamu boleh pergi sekarang” tegas tuan rumah. Si Pemuda itu kemudian dengan
mudah melintasi batas halaman, tapi bukan cuma itu. Ia juga meninggalkan batas
kampung, batas desa, kemudian batas kecamatan dan batas kabupaten dan sampai
sekarang tidak ada yang tahu dimana rimbanya, aib telah tercoreng diwajahnya.
Cerita Pak Salim kemudian terhenti karena ia menyulutkan rokok dari daun nipahnya.
“Sekarang siapa yang peduli dengan aib?” lanjutnya. Suatu
perkara yang dulu merupakan aib bagi kakek, kini tidak bagi kita. Coba kita
lihat di koran-koran nama, jabatan, rahasia dan segenap keburukan dibeberkan.
Dan ketika khalayak menuding dengan marah, kok masih bisa kalem, mungkin
dianggap bukan aib karena masih ada hal yang lebih penting.
“Aib mungkin sebuah tolak ukur” tambah dia sambil
menghisap rokoknya. “Tolak ukur mengenai pantas-tak pantas, baik atau buruk,
aib itu terkait dengan nilai-nilai, dan ia bisa berubah, boleh saja zaman dan
orientasi memandu perubahan itu. Wawasan yang dulu diwarnai rohani, sesuatu
yang bukan materi, kini beralih tajam ke materi. Dulu orientasi dan kearifan
mengajarkan kita dan membuat kulit wajah kita tipis, mudah peka, mudah risi,
dan malu. Tapi kini, setelah materi dan pangkat yang di lihat, walah kita
menjadi tebal, seperti badak, seperti tembok, kemudian tidak peduli aib
mencoreng wajah”. Sambung Pak Salim yang seperti biasa ternyata mulai
bersemangat kemudian berdialegtika.
Sambil mengeser tempat duduknya, dia kemudian bertanya
“siapa sekarang yang peduli pada aib?” kamipun diam takut salah jawab. Sekarang
sudah berubah, sambung dia, satuan-satuan sosial budaya tradisional yang kecil
dan lokal dilenyapkan, itu mungkin biaya mahal yang harus kita bayar, dalam
satuan besar, aib mulai hilang. Aib lenyap di mall-mall, bioskop dan pemukiman
yang satu tidak mengenal yang lain. Aib lenyap di tengah jegal-menjegal lawan
politik. Kedengkian dan nafsu menang sendiri, dan lupa bahwa ada aib yang mesti
dijauhi.
Bayangan duit, jabatan atau posisi politik membikin aib
bukan apa-apa. Aib kini tak lagi menempel di wajah, melainkan di lembar demi lembar
duit di kantong, di laci, di rekening bank, di perusahaan, di atas tanah yang
masih sengketa. Kita kemudian hanya peduli pada aib ketika duit, jabatan, atau
posisi politik terancam. Misalnya liku-liku harta dan jabatan kita di ketahui
oleh media kemudian di beritakan dan berita itu memojokkan. Yang membeberkan
dan mencoba menyebarkan dianggap musuh yang harus disingkirkan bahkan
‘dimatikan’. Dan bila kemudian penyelidikan dilakukan dengan gencar rakyat
bersatu menyerang. Dengan duit yang gencar pula dikeluarkan, dengan duit
‘sutradara’ disewa untuk mengatur lakon lain, dengan permainan lain, agar tetap
kelihatan agung.
Penyimpangan ini kemudian tidaklah dianggap aib, malah
semakin gagah dan pongah bahkan secara tidak tahu malu mengeluarkan statement mau
melawan sistem birokrasi dan hukum yang ada demi Rakyat, pada hal publik tahu
kemudian tertawa sambil kentut, memanjangkan jengot biar telihat religius,
beretorika di masjid-masjid bak penjual obat pingir jalan. Kenapa bisa seperti
itu? tanya Pak salim lagi, karena aib sudah mati, aib kita ganti dengan duit,
nilai kita ada di duit dan cuma duit yang kini terpenting. Obrolan kamipun
terhenti ketika fasilitator konsultasi publik memulai kembali diskusi tentang
soal kasus Cempalo, kasus tentang kesalahan indra tubuh dimana dulunya tempat
aib menempel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar