Aib, Dari Muka Turun ke Dompet - Erwin Basrin

Breaking

Recent Posts

 photo Untitled-1_1.jpg

Rabu, 02 Agustus 2017

Aib, Dari Muka Turun ke Dompet


“Awalnya dia mencuri ayam tetangganya” kata Pak Salim memulai ceritanya. Salim Senawar adalah salah satu tokoh adat yang tinggal di Desa Topos Kabupaten Lebong. Ia bercerita tentang seorang pemuda yang lenyap dari desa karena perbuatannya membawa aib, aib bagi dirinya, bagi orang tua dan keluarganya. Kami kemudian duduk melingkar, biasanya akan ada letupan-letupan di setiap ceritannya, karena Bapak Salim ini pandai betul mengugah rasa disetiap ceritanya.


Mulanya dia yakin tidak seorangpun tahu, rumah tetangganya kosong karena semua penghuninya menginap di Kebun yang jauh dari dusun, mereka sedang panen Kopi biasanya menginap sampai seminggu. Anehnya sambung cerita Pak Salim ketika seekor ayam jantan dibopong, pemuda itu Cuma berputar-putar selama dua jam di halaman rumah, kemudian fajar dan pagipun tiba.

“Oh, kamu nak?” tegus yang punya rumah tiba-tiba datang seperti hantu, “kenapa kamu bopong ayam?”Si pemudapun tergagap-gagap. Pertanyaan itu sederhana membuat si Pemuda terpojok, dengan bijak si tuan rumah tentu tidak mau bikin orang terpojok, maka dibimbingnya pemuda itu keteras belakang rumahnya. Ayam dikurung di halaman, mereka pun bercakap-cakap. “kamu perlu uang?” tuan rumah mempermudah persoalan. Pemuda itu menganguk, kesadaranya mengambang. “berapa kamu perlu uang?” Pertanyaan membuat Pemuda itu bungkam, malu, tak berdaya dan bingung untuk menguasai perasaannya.

“Baiklah” kata si tuan rumah, sekarang tinggalkan ayam itu disana, dan ini uang yang kamu perlukan, aku tidak tahu berapa banyak tapi cukup untuk memenuhi kebutuhanmu, jumlahnya lebih dari harga 5 ekor ayam jantan. Seperti di hipnotis, pemuda itu mengulurkan tangan buat menerima uang tersebut, pandangan matanya kosong, tapi uang itu tetap dimasukannya ke dalam kantong.

“Pesanku jangan kau ulangi dimanapun perbuatan ini, dan kamu boleh pergi sekarang” tegas tuan rumah. Si Pemuda itu kemudian dengan mudah melintasi batas halaman, tapi bukan cuma itu. Ia juga meninggalkan batas kampung, batas desa, kemudian batas kecamatan dan batas kabupaten dan sampai sekarang tidak ada yang tahu dimana rimbanya, aib telah tercoreng diwajahnya. Cerita Pak Salim kemudian terhenti karena ia menyulutkan rokok dari daun nipahnya.

“Sekarang siapa yang peduli dengan aib?” lanjutnya. Suatu perkara yang dulu merupakan aib bagi kakek, kini tidak bagi kita. Coba kita lihat di koran-koran nama, jabatan, rahasia dan segenap keburukan dibeberkan. Dan ketika khalayak menuding dengan marah, kok masih bisa kalem, mungkin dianggap bukan aib karena masih ada hal yang lebih penting.

“Aib mungkin sebuah tolak ukur” tambah dia sambil menghisap rokoknya. “Tolak ukur mengenai pantas-tak pantas, baik atau buruk, aib itu terkait dengan nilai-nilai, dan ia bisa berubah, boleh saja zaman dan orientasi memandu perubahan itu. Wawasan yang dulu diwarnai rohani, sesuatu yang bukan materi, kini beralih tajam ke materi. Dulu orientasi dan kearifan mengajarkan kita dan membuat kulit wajah kita tipis, mudah peka, mudah risi, dan malu. Tapi kini, setelah materi dan pangkat yang di lihat, walah kita menjadi tebal, seperti badak, seperti tembok, kemudian tidak peduli aib mencoreng wajah”. Sambung Pak Salim yang seperti biasa ternyata mulai bersemangat kemudian berdialegtika.

Sambil mengeser tempat duduknya, dia kemudian bertanya “siapa sekarang yang peduli pada aib?” kamipun diam takut salah jawab. Sekarang sudah berubah, sambung dia, satuan-satuan sosial budaya tradisional yang kecil dan lokal dilenyapkan, itu mungkin biaya mahal yang harus kita bayar, dalam satuan besar, aib mulai hilang. Aib lenyap di mall-mall, bioskop dan pemukiman yang satu tidak mengenal yang lain. Aib lenyap di tengah jegal-menjegal lawan politik. Kedengkian dan nafsu menang sendiri, dan lupa bahwa ada aib yang mesti dijauhi.

Bayangan duit, jabatan atau posisi politik membikin aib bukan apa-apa. Aib kini tak lagi menempel di wajah, melainkan di lembar demi lembar duit di kantong, di laci, di rekening bank, di perusahaan, di atas tanah yang masih sengketa. Kita kemudian hanya peduli pada aib ketika duit, jabatan, atau posisi politik terancam. Misalnya liku-liku harta dan jabatan kita di ketahui oleh media kemudian di beritakan dan berita itu memojokkan. Yang membeberkan dan mencoba menyebarkan dianggap musuh yang harus disingkirkan bahkan ‘dimatikan’. Dan bila kemudian penyelidikan dilakukan dengan gencar rakyat bersatu menyerang. Dengan duit yang gencar pula dikeluarkan, dengan duit ‘sutradara’ disewa untuk mengatur lakon lain, dengan permainan lain, agar tetap kelihatan agung.


Penyimpangan ini kemudian tidaklah dianggap aib, malah semakin gagah dan pongah bahkan secara tidak tahu malu mengeluarkan statement mau melawan sistem birokrasi dan hukum yang ada demi Rakyat, pada hal publik tahu kemudian tertawa sambil kentut, memanjangkan jengot biar telihat religius, beretorika di masjid-masjid bak penjual obat pingir jalan. Kenapa bisa seperti itu? tanya Pak salim lagi, karena aib sudah mati, aib kita ganti dengan duit, nilai kita ada di duit dan cuma duit yang kini terpenting. Obrolan kamipun terhenti ketika fasilitator konsultasi publik memulai kembali diskusi tentang soal kasus Cempalo, kasus tentang kesalahan indra tubuh dimana dulunya tempat aib menempel.            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar