“Kepada
perempuan yang hendak kupinang, dia di lahirkan di daerah yang penuh pasir,
penuh cemara dan penuh segalanya. Bila arus gigil senyummu punah pun mulutmu
bergelora tandus, beri aku sepenggal embun maka akan terlahir gerai ayat-ayat
kekang cakrawala.”
Sebelum
aku memulai racikan narasi puisi ini menjadi; seteguk samudera, dinding gelap, sebuncah
darah, maka dengan rasa segala pinta. Kenalilah diam seperti kau mengenali
pelepah dikeluasan gerak pada musim kemarau, pandanglah diam seperti kau
memandang alam yang lepas di antara bukit ke bukit lainnya, biar aku meneteskan
gerimis seiring arak senja peminang nestapa lewat kata demi kata narasi puisi
ini.
Diamlah
kasih. Sejenak! dengarkan aku bernyanyi bersama burung camar di pundakku,
nyanyian yang kurekam dari perjalanan cinta semenjak daun telingamu berbunga
hingga gugur berjatuhan pada pintalan alam ini. Setelah kau simak baik-baik,
kau pasti akan tertawa sendirian karena di dalamnya terdapat ramuan partikel
kepedihan, kepedihan yang meluncur pada sepasang gedung-gedung dan hamparan
sepekik jejak doa-doa malam, kau masih ingat pesanku? Sekarang pejamkan matamu
simaklah nyanyian ruhku.
“Semarai
dadaku menyembur luka, almanak mengelupas rongga pekak tiada menjamu semburat
hanya dapat memercah luka batin duka. Di dalamnya tembok besar berdiri tegak
tak lerai oleh sepasang wajah karam gadis laut barambut merah, buram mengeram
setiap siapa yang datang tempo malam, tidaklah benda itu goyah bergoyang
kencang tetaplah seiring ramuan cakrawala meletakkan selendang jerami pada
hutan belantara jiwa. Mendedah tangan rumpang, mengoyah otak remang. Sepertinya
ada sesuatu di antara jalan yang meliut di matamu, mengepul-ngepulkan api tak
henti-henti tertidih. Ah…!
Sungguh
tak ada tikungan terang menguasai pandang hanya gemuruh dari pecahan bibir
bernuansa panjang. Nun… ada berbaris rapi di kobaran matanya, diriku seperti
keranda membawa lagu-lagu sunyi yang kadang mencekam jalannya. Aku pun mencari
kasih dari sekian kasih yang terlentang kenyang di pesisir laut untuk menguras
darah bernada indah.
Kucoba
memalingkan wajahku dari wajahnya tapi tak kuasa wajahku masih terseret senyumnya.
kupasang cadar dari mukena para dewa tapi mata beningnya menyobek-nyobek
maskerku, lalu kucoba mengubur tubuhku sendiri bersama tumpukan batu-batu
karang tapi masih saja suara indahnya menggali-gali kuburan mayatku. Hingga
merontok tubuh semampaiku.
Memang,
penggalan wajahku di rongga matamu tak menembangkan belasungkawa sesekali
merasuk meremukkan bejana salaka yang dulu seperti zamrud berbau parfum
kesturi. Namun sekarang kau mengalungkan celurit berlapis nanah di sudut-sudut
leherku hingga aku termuntah-muntah di cekamnya.
Gadis
itu terbang menarik kembali senyumnya di sekitar gang sempit, bertahun-tahun ia
berjalan menelusuri alam semesta mencari kematiannya sendiri yang terlampau
telah mampu menepis apa yang perlu ditepis. Aku pun juga menepis wajahmu dari
kecipak kepak galon kerontang namun di dalamnya masih tersisa sebutir
kecantikan. Aku hanya bisa mengerti tentang selama ini tubuh yang tak mau
disapa berdegup kencang meninggalkan sesusup kesepian sekali remang
menyeruakkan pendar jejak pertemuan. Dan kuresapi bunga-bunga sari irama dari
kitab tua pada percik letup kembar jantungmu, kuharap kau akan memecah kuncup
cerita dari sinyal batang puisiku, sehingga aku tak mampu memintal gugusan
purnama di ketiak malam perjakaku. Akhirnya pun aku menyimpan sisa kecantikanmu
itu di sela-sela tempat penyimpanan surat kabar biar di sana sepuas-puasnya
berlayar.
Semisal
kantuk melucuti kemarau panjang di jajaran alisku melubangi sepotong kehangatan
yang meluap-luap dan tanganmu menggebu-gebu sebilah kembang jemariku, maka
tubuhku tetap akan melingkar-lingkar berdekatan dengan tubuhmu sembari membuat
jembatan panjang dari perasaanku sampai ke permukaan perasaanmu. Lantaran kabut
dari galaksi mulutmu beredar dari langit-langit kepalaku serupa aroma bunga
mawar di tengah-tengah lautan memainkan tarian ombak kekal bersama panorama,
kadang sepotong pelangi mengecupnya dan merangkulnya. Kini jembatan itu semakin
lama semakin memanjang pada daging ratapmu hingga sekarang telah membangun
sebuah mihrob besar dari darahku untuk kita bercanda dan mengalirkan getar
suara cinta. Beberapa hari sebelumnya sebelum mukamu larut dalam cairan malam
kusam dan kesedihan yang kental dari jendela gubukmu kau bernyanyi tentang
namaku kemudian kau menari di atas ubun-ubunku seperti tarianku waktu aku
belajar pada pohon salju.
Ingatlah
kau tentang air mataku dan air matamu berbaur di lekuk padang: sebuah ratapan
hingga waktu itu orang-orang berteriak koyak akan kebanjiran air mata yang
kerap dengan kedidihannya. Waktu itu pun aku bawakan tiga laut untukmu yang di
saksikan gemuruh rindu. Menjelang senja tiba-tiba mukaku berubah pualam. Ada
yang tiba-tiba mengertak dalam otak mungkin rasa resah, tapi siapakah yang
mampu bermimpi mengalirkan huruf-huruf pedih tak ada yang kuasa, tak ada yang tertawa,
tak ada yang berubah dan tak ada yang terdedah semuanya terbungkam diam dalam
genggaman.
Oh,
seperti itukah kau menyambut hari kematianku sering menampar cuilku seiring
tawa menggelegar nyerpih di tebing-tebing pohon garam pada berandaku yang sudah
tua dan pirang, kau sama sekali tak ada rasa puas untuk merobek lembaran
kehidupanku sesekali membuka lembaran berikutnya kau membantingnya keras-keras
ah… sakit…! dan kesakitanku terus menari dalam redup deru dada membuncah
menelusuri asap luka, sementara pipi yang kian basah dengan air mata tak
semena-mena mendobrak senyum pada peluk malam nan setia mengeram menanti karam.
Sungguh
aku berharap pucat yang menjelajahi keningku ini tak menikam lepas jalan pada
sel-sel suara jiwaku karena gemetar akan terus memburu pada ekor celah-celah
duka lalu kembali memutuskan pemberhentian jalan para nelayan. Maka, di
sentuhnya atas doa di seluruh tubuhku perca warna warni penghijau kabut kelam
titipan kerinduan berupa kelopak kicau bunga mawar melebur hingga aromanya tersendat
sampai pada penghantam karang penuh gelombang, sementara usai gombai celupan
tiang-tiang melemah pandangan kepada seserpih tafsir ruang reguk batas pesona
leluasa beranda lebur tak setia. setangkup perangah tetap mendesir seperti di
antara kita merelakan segalanya meskipun sesak menyeret senyumanmu, keremangan
sepenggal halilintar cambuk gemerlap lampu lilin yang kerap menyulut longgar
tepi aksara kekekalan sebuah mata nanar membangkit di ujung aneka warna.
Aku
datang untukmu untuk menjadi orang yang pertama kali menghias ruang pustaka
sunyi senyap. Mengharumkan segala atap kerinduan, tapi kenapa impian yang
selama ini kupendam dalam-dalam menggeliat karena selembar luka yang tiba-tiba
menyapa tulang-tulang rusukku lalu menyibak ratusan purnama di dadaku. atau
mungkin kau hanya bayang-bayang seorang budak dengan menatapku topan bersarang
meluluhkan gersang puisi berkisar di antara keniscayaan sebab halilintar tangis
mengajariku untuk menebang gugur pasrah yang mendesirkan ombak pada arung
relung gelisah, aku tahu riwayat akhir malam itu telah singgah mencabik bibirku
dan memacu kisah gurindam dalam diam.
Silam
kalau kau dekat tubuh yang mulai mengeluh tiba-tiba bau sedap menyengat dari
tubuhmu seperti irisan pandan dan kembang keminyan dalam kabut yang tak henti
kau eluskan bersama himpitan intan mematuk-matuk derai tepi penenggelaman
mesrah. Asalmu menyetubuhi rahim di tanganku meski sedetik tetap terangkai
bergemulai sesekali berkuncup gerhana raut-raut mekar, kau kini memasang
rombongan dusta menaiki ubun-ubun kemudian membuat gempa besar yang tak
terhisap selama masa, tancapkan darah putaran galaksi tak henti.
Tentu
kau mengerti aku tak menginginkan kelelawar-kelelawar di sangkar emasmu
mengintai kamboja hinggapan dewa menjemputnya kepusaran nyala matamu.
Ingat,
aku masih mencintaimu, impian embun di lempeng otakku menghanguskan segenap
sunyi di sujudku yang melepuh dan syair rerintih aroma sepisau bulan, kini
bekas kecupanku yang melekat di bibirmu seperti ruh bibirku yang panik akan
erangan sajak terkutuk.
Di
sebelah hutan sana jauh dari hilir angin kau bersembunyi jadi ibu tertua yang
mengharap suatu ketika pulang dengan membawa kapal-kapal putrinya ambilan dari
berbagai pelabuhan, sebab menyebranginya tak hanya dengan berenang melainkan
menjurus terbang. oleh luka maupun terpaksa menetas: kau memukul kepalaku
dengan sebilah cambuk ataupun bunga-bunga pada reranting yang sengaja
kuletakkan di musim gigilku satu persatu kau gigit dengan panjang gigi taringmu
melalui ciuman khusyuk cercahan balut lipatan perih hingga sesekali angin
merangkulnya mengalir kering perlahan, bahkan kau tak mau menanggapi definisi
cinta-rindu-nestapa menjadi penggalan akhir cerita perjalanan kisah yang
menebarkan kejahatan pada setiap seluk-beluk senyum tipismu, tak pernah cukup
yang kuartikan tenun hening maut dalam gelap yang harumnya melebihi parfum
casablanka pada toko-toko megah senja, olehmu jua keagungan seekor elang
pemercak makna segenggam kematian dialunkan menjadi pertemuan terpahit
sepanjang titian mayat di atas api neraka.
Dan
rindu yang mengapung telah menjadi busa ruang kekerdilan detik helai rimbun
risau dalam siul seongguk pohon pada kemuraman badai di awal pertemuan, kompas
berhenti menunjuk arah kematian sebuah ceruk curam menceritakannya padaku. kau
malah merentangkan tanganmun kehamparan dadaku yang tak pernah kau lepas dan
kau simpan arus camuk di bibirku pada bait malam hendak kau ceritakan, maka
segeralah kau diam”.
Kasih,
telah sampai nyanyian patah ini pada tepi yang di lindungi jejak patung serdadu
dan saatnya pula kuakhiri nyanyian patah ini karena meski aku tak henti-henti
bernyanyi, buatmu tak kan ada suara liar mengajakmu menari hanya kesepian yang
membuat lesung pipimu di genang musim semi. barang kali lagu ini tak menyimpan
rasa penyesalan dan dusta yang pada akhirnya akan membawamu terbang melalui
lorong jantung lalu menikam hembusan aroma sepoi maka pecahlah setiap paragraf
nyanyianku. sekali lagi dariku, terima kasih atas dustamu yang kau gemburkan
padaku, hingga tubuhku hancur seiring senyummu yang melebur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar