Narasi Puisi; Garai Ayat-Ayat Kekang Cakrawala - Erwin Basrin

Breaking

Recent Posts

 photo Untitled-1_1.jpg

Rabu, 02 Agustus 2017

Narasi Puisi; Garai Ayat-Ayat Kekang Cakrawala


“Kepada perempuan yang hendak kupinang, dia di lahirkan di daerah yang penuh pasir, penuh cemara dan penuh segalanya. Bila arus gigil senyummu punah pun mulutmu bergelora tandus, beri aku sepenggal embun maka akan terlahir gerai ayat-ayat kekang cakrawala.”


Sebelum aku memulai racikan narasi puisi ini menjadi; seteguk samudera, dinding gelap, sebuncah darah, maka dengan rasa segala pinta. Kenalilah diam seperti kau mengenali pelepah dikeluasan gerak pada musim kemarau, pandanglah diam seperti kau memandang alam yang lepas di antara bukit ke bukit lainnya, biar aku meneteskan gerimis seiring arak senja peminang nestapa lewat kata demi kata narasi puisi ini.

Diamlah kasih. Sejenak! dengarkan aku bernyanyi bersama burung camar di pundakku, nyanyian yang kurekam dari perjalanan cinta semenjak daun telingamu berbunga hingga gugur berjatuhan pada pintalan alam ini. Setelah kau simak baik-baik, kau pasti akan tertawa sendirian karena di dalamnya terdapat ramuan partikel kepedihan, kepedihan yang meluncur pada sepasang gedung-gedung dan hamparan sepekik jejak doa-doa malam, kau masih ingat pesanku? Sekarang pejamkan matamu simaklah nyanyian ruhku.

“Semarai dadaku menyembur luka, almanak mengelupas rongga pekak tiada menjamu semburat hanya dapat memercah luka batin duka. Di dalamnya tembok besar berdiri tegak tak lerai oleh sepasang wajah karam gadis laut barambut merah, buram mengeram setiap siapa yang datang tempo malam, tidaklah benda itu goyah bergoyang kencang tetaplah seiring ramuan cakrawala meletakkan selendang jerami pada hutan belantara jiwa. Mendedah tangan rumpang, mengoyah otak remang. Sepertinya ada sesuatu di antara jalan yang meliut di matamu, mengepul-ngepulkan api tak henti-henti tertidih. Ah…!

Sungguh tak ada tikungan terang menguasai pandang hanya gemuruh dari pecahan bibir bernuansa panjang. Nun… ada berbaris rapi di kobaran matanya, diriku seperti keranda membawa lagu-lagu sunyi yang kadang mencekam jalannya. Aku pun mencari kasih dari sekian kasih yang terlentang kenyang di pesisir laut untuk menguras darah bernada indah.

Kucoba memalingkan wajahku dari wajahnya tapi tak kuasa wajahku masih terseret senyumnya. kupasang cadar dari mukena para dewa tapi mata beningnya menyobek-nyobek maskerku, lalu kucoba mengubur tubuhku sendiri bersama tumpukan batu-batu karang tapi masih saja suara indahnya menggali-gali kuburan mayatku. Hingga merontok tubuh semampaiku.

Memang, penggalan wajahku di rongga matamu tak menembangkan belasungkawa sesekali merasuk meremukkan bejana salaka yang dulu seperti zamrud berbau parfum kesturi. Namun sekarang kau mengalungkan celurit berlapis nanah di sudut-sudut leherku hingga aku termuntah-muntah di cekamnya.

Gadis itu terbang menarik kembali senyumnya di sekitar gang sempit, bertahun-tahun ia berjalan menelusuri alam semesta mencari kematiannya sendiri yang terlampau telah mampu menepis apa yang perlu ditepis. Aku pun juga menepis wajahmu dari kecipak kepak galon kerontang namun di dalamnya masih tersisa sebutir kecantikan. Aku hanya bisa mengerti tentang selama ini tubuh yang tak mau disapa berdegup kencang meninggalkan sesusup kesepian sekali remang menyeruakkan pendar jejak pertemuan. Dan kuresapi bunga-bunga sari irama dari kitab tua pada percik letup kembar jantungmu, kuharap kau akan memecah kuncup cerita dari sinyal batang puisiku, sehingga aku tak mampu memintal gugusan purnama di ketiak malam perjakaku. Akhirnya pun aku menyimpan sisa kecantikanmu itu di sela-sela tempat penyimpanan surat kabar biar di sana sepuas-puasnya berlayar.

Semisal kantuk melucuti kemarau panjang di jajaran alisku melubangi sepotong kehangatan yang meluap-luap dan tanganmu menggebu-gebu sebilah kembang jemariku, maka tubuhku tetap akan melingkar-lingkar berdekatan dengan tubuhmu sembari membuat jembatan panjang dari perasaanku sampai ke permukaan perasaanmu. Lantaran kabut dari galaksi mulutmu beredar dari langit-langit kepalaku serupa aroma bunga mawar di tengah-tengah lautan memainkan tarian ombak kekal bersama panorama, kadang sepotong pelangi mengecupnya dan merangkulnya. Kini jembatan itu semakin lama semakin memanjang pada daging ratapmu hingga sekarang telah membangun sebuah mihrob besar dari darahku untuk kita bercanda dan mengalirkan getar suara cinta. Beberapa hari sebelumnya sebelum mukamu larut dalam cairan malam kusam dan kesedihan yang kental dari jendela gubukmu kau bernyanyi tentang namaku kemudian kau menari di atas ubun-ubunku seperti tarianku waktu aku belajar pada pohon salju.

Ingatlah kau tentang air mataku dan air matamu berbaur di lekuk padang: sebuah ratapan hingga waktu itu orang-orang berteriak koyak akan kebanjiran air mata yang kerap dengan kedidihannya. Waktu itu pun aku bawakan tiga laut untukmu yang di saksikan gemuruh rindu. Menjelang senja tiba-tiba mukaku berubah pualam. Ada yang tiba-tiba mengertak dalam otak mungkin rasa resah, tapi siapakah yang mampu bermimpi mengalirkan huruf-huruf pedih tak ada yang kuasa, tak ada yang tertawa, tak ada yang berubah dan tak ada yang terdedah semuanya terbungkam diam dalam genggaman.

Oh, seperti itukah kau menyambut hari kematianku sering menampar cuilku seiring tawa menggelegar nyerpih di tebing-tebing pohon garam pada berandaku yang sudah tua dan pirang, kau sama sekali tak ada rasa puas untuk merobek lembaran kehidupanku sesekali membuka lembaran berikutnya kau membantingnya keras-keras ah… sakit…! dan kesakitanku terus menari dalam redup deru dada membuncah menelusuri asap luka, sementara pipi yang kian basah dengan air mata tak semena-mena mendobrak senyum pada peluk malam nan setia mengeram menanti karam.

Sungguh aku berharap pucat yang menjelajahi keningku ini tak menikam lepas jalan pada sel-sel suara jiwaku karena gemetar akan terus memburu pada ekor celah-celah duka lalu kembali memutuskan pemberhentian jalan para nelayan. Maka, di sentuhnya atas doa di seluruh tubuhku perca warna warni penghijau kabut kelam titipan kerinduan berupa kelopak kicau bunga mawar melebur hingga aromanya tersendat sampai pada penghantam karang penuh gelombang, sementara usai gombai celupan tiang-tiang melemah pandangan kepada seserpih tafsir ruang reguk batas pesona leluasa beranda lebur tak setia. setangkup perangah tetap mendesir seperti di antara kita merelakan segalanya meskipun sesak menyeret senyumanmu, keremangan sepenggal halilintar cambuk gemerlap lampu lilin yang kerap menyulut longgar tepi aksara kekekalan sebuah mata nanar membangkit di ujung aneka warna.

Aku datang untukmu untuk menjadi orang yang pertama kali menghias ruang pustaka sunyi senyap. Mengharumkan segala atap kerinduan, tapi kenapa impian yang selama ini kupendam dalam-dalam menggeliat karena selembar luka yang tiba-tiba menyapa tulang-tulang rusukku lalu menyibak ratusan purnama di dadaku. atau mungkin kau hanya bayang-bayang seorang budak dengan menatapku topan bersarang meluluhkan gersang puisi berkisar di antara keniscayaan sebab halilintar tangis mengajariku untuk menebang gugur pasrah yang mendesirkan ombak pada arung relung gelisah, aku tahu riwayat akhir malam itu telah singgah mencabik bibirku dan memacu kisah gurindam dalam diam.

Silam kalau kau dekat tubuh yang mulai mengeluh tiba-tiba bau sedap menyengat dari tubuhmu seperti irisan pandan dan kembang keminyan dalam kabut yang tak henti kau eluskan bersama himpitan intan mematuk-matuk derai tepi penenggelaman mesrah. Asalmu menyetubuhi rahim di tanganku meski sedetik tetap terangkai bergemulai sesekali berkuncup gerhana raut-raut mekar, kau kini memasang rombongan dusta menaiki ubun-ubun kemudian membuat gempa besar yang tak terhisap selama masa, tancapkan darah putaran galaksi tak henti.

Tentu kau mengerti aku tak menginginkan kelelawar-kelelawar di sangkar emasmu mengintai kamboja hinggapan dewa menjemputnya kepusaran nyala matamu.

Ingat, aku masih mencintaimu, impian embun di lempeng otakku menghanguskan segenap sunyi di sujudku yang melepuh dan syair rerintih aroma sepisau bulan, kini bekas kecupanku yang melekat di bibirmu seperti ruh bibirku yang panik akan erangan sajak terkutuk.

Di sebelah hutan sana jauh dari hilir angin kau bersembunyi jadi ibu tertua yang mengharap suatu ketika pulang dengan membawa kapal-kapal putrinya ambilan dari berbagai pelabuhan, sebab menyebranginya tak hanya dengan berenang melainkan menjurus terbang. oleh luka maupun terpaksa menetas: kau memukul kepalaku dengan sebilah cambuk ataupun bunga-bunga pada reranting yang sengaja kuletakkan di musim gigilku satu persatu kau gigit dengan panjang gigi taringmu melalui ciuman khusyuk cercahan balut lipatan perih hingga sesekali angin merangkulnya mengalir kering perlahan, bahkan kau tak mau menanggapi definisi cinta-rindu-nestapa menjadi penggalan akhir cerita perjalanan kisah yang menebarkan kejahatan pada setiap seluk-beluk senyum tipismu, tak pernah cukup yang kuartikan tenun hening maut dalam gelap yang harumnya melebihi parfum casablanka pada toko-toko megah senja, olehmu jua keagungan seekor elang pemercak makna segenggam kematian dialunkan menjadi pertemuan terpahit sepanjang titian mayat di atas api neraka.

Dan rindu yang mengapung telah menjadi busa ruang kekerdilan detik helai rimbun risau dalam siul seongguk pohon pada kemuraman badai di awal pertemuan, kompas berhenti menunjuk arah kematian sebuah ceruk curam menceritakannya padaku. kau malah merentangkan tanganmun kehamparan dadaku yang tak pernah kau lepas dan kau simpan arus camuk di bibirku pada bait malam hendak kau ceritakan, maka segeralah kau diam”.

Kasih, telah sampai nyanyian patah ini pada tepi yang di lindungi jejak patung serdadu dan saatnya pula kuakhiri nyanyian patah ini karena meski aku tak henti-henti bernyanyi, buatmu tak kan ada suara liar mengajakmu menari hanya kesepian yang membuat lesung pipimu di genang musim semi. barang kali lagu ini tak menyimpan rasa penyesalan dan dusta yang pada akhirnya akan membawamu terbang melalui lorong jantung lalu menikam hembusan aroma sepoi maka pecahlah setiap paragraf nyanyianku. sekali lagi dariku, terima kasih atas dustamu yang kau gemburkan padaku, hingga tubuhku hancur seiring senyummu yang melebur.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar