Segalanya
terasa semu. Seperti tidak pernah benar-benar berpijak di tanah. Seperti tidak
benar-benar melihat dunia. Seperti tidak benar-benar menghirup dan
menghembuskan napas. Semua terasa hambar, remang-remang, abu-abu. Tidak terang,
gelap pun tidak. Tidak putih, hitam pun tidak.
Tidak bahagia, sedih pun tidak.
Seperti berada di pertengahan jalan yang dihimpit kenormalan dan
ketidaknormalan. Maju tidak mampu, mundur pun tidak mau. Apa ini yang disebut
titik keanomalian? Hidup dengan setengah asa. Setengah harapan. Setengah
senyum. Lalu setengah bagian yang tersisa…. kerapuhan.
“Tunjukkan
aku di depan semua orang. Kamu tidak lemah, kan?” Ucap Senyum. Aku mengangguk.
“Genggam aku dan cobalah melangkah. Kamu percaya dengan mimpi-mimpimu untuk masa depan, kan?” Harapan berkata dengan suara lantang. Aku mengangguk.
“Letakkan aku di dalam hatimu untuk menguatkan harapan yang akan kamu genggam. Kamu yakin padaku, kan?” Asa mendukung harapan. Aku mengangguk.
Aku
mulai menggerakkan kakiku selangkah maju, meski ragu. Namun belum sempat ia
berpijak di tanah, sesuatu yang begitu menyakitkan menghantam kakiku. Aku
merintih kesakitan. Memandangi kakiku yang berdarah-darah. Dan langkahku
terhenti lagi. Di tempat semula. Tempat yang telah begitu lama memasungku.
Anomali.
“Kenapa kau selalu berbuat ini padaku? Apa salahku, hah?!!” Aku berteriak-teriak, entah dengan siapa.
“Karena kamu pengecut. Kamu tidak pernah mampu membunuhku. Hahaha.” Sebuah suara memekik di telingaku.
“Kamu apa? Kamu siapa? Kamu di mana? Enyah kamu dari hidupku!!” Aku mengamuk.
“Dasar
manusia tidak waras. Kamu bertanya padaku siapa aku? di mana aku? Potong saja
urat nadimu agar kamu menemukan jawaban atas pertanyaan konyolmu. Aku hidup
dalam dirimu sendiri. Sesuatu yang paling dekat denganmu. Sesuatu yang telah
melekat kuat dan kamu tidak pernah mampu membunuhnya!” teriaknya menjadi-jadi.
Aku benci suara-suara itu. Aku benci teriakan itu. Aku hanya mampu duduk
mematung dan menutup kedua telingaku dengan kedua tanganku rapat-rapat. Dia
terus berteriak-teriak pongah. Kadang memaki, kadang menghujat, dan kadang
menertawaiku. Suaranya lantang menantang. Hingga aku terpuruk dan menangis,
lantas lamat-lamat ia menghilang.
“Bukankah
aku sudah mengatakan berkali-kali padamu, dia adalah Asa yang hancur,” ucap
Asa.
“Dia adalah kesedihan.” Bisik Senyum.
“Dia adalah bagian dirimu yang menyerah.” Harapan menambahi.
“Dan semua itu sudah menyatu menjadi sebuah kerapuhan akut. Seperti sudah mendarah-daging dalam tubuhku.” sahutku lirih, sangat lirih. Seketika hening. Hanya suara sesenggukan tangisku yang terdengar oleh telingaku sendiri.
“Kamu
hanya perlu percaya pada kami. Maka kami akan membantumu untuk membunuhnya, itu
saja. Abaikan masa lalu yang mencoba hentikan langkahmu. Abaikan bayangan-bayangan
jahat itu. Tahan rasa sakit di kakimu. Terus melangkah. Pelan-pelan saja. Tidak
usah tergesa-gesa. Tidak usah berlari. Jika lelah berhenti sejenak. Jika
terlalu sakit, kamu boleh merangkak. Pelan-pelan saja. Kamu akan segera
sampai..” Senyum, Asa, dan Harapan mencoba menguatkan lagi. Aku menyeka air
mataku. Ku pandangi jalan yang membentang di hadapanku. Aku memejamkan mata.
Aku tersenyum dengan harapan yang kembali ku genggam erat di kedua tanganku dan
Asa yang ku hujam kuat dalam hatiku. Sekali lagi, aku melangkah.
“Sakit!”
Dia
masih belum bosan mengibaskan pisau masa lalu tepat di telapak kakiku. Ia
menusuk-menusukkan ketajamannya bertubi-tubi, hingga darah memuncrat di
sepanjang tanah tempat kakiku memijak. Tapi aku terus melangkah. Tidak
berhenti. Ya, untuk kali ini aku tidak akan pernah berhenti. Tiba-tiba Senyum,
Asa, dan Harapan menghalaunya. Mereka berperang sengit. Seperti pertarungan
antara hidup dan mati. Pertarungan jiwa yang gila dengan jiwa yang waras.
Sementara aku terus melangkah. Meski sakit, aku harus bertahan. Meski masih
sangat jauh, aku harus sampai. Aku harus mampu melarikan diri dari belenggu
anomali ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar