“Nak.” ceritaku dimulai
ketika kami duduk di teras rumah kam yang belum selesai dibangun
sejak 6 tahun lalu. Malam itu menjelang munculnya bulan membentuk
sabit setelah hujan turun yang hanya membasahi bunga tanah.
“Bapak itu dilahirkan disebuah
perkampungan. Perkampungan itu perkampungan tua dan tua sekali,
menurut sejarah katanya perkampungan ini sudah berdiri dan ada
sebelum Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit, Nama perkampungan
itu diambil dari nama batang Tongkat pendiri kampung itu, kanon
legendanya dia itu Seorang Ayah yang “menjelma” menjadi anak, dia
manusia keturunan para dewa yang turun dari Istana
Makedum Rajo Diwo,
itulah leluhur kalian nak.” Ceritaku. Kampung ini berada di lereng
bukit barisan, para sejarawan menyebutnya dataran tinggi dan berada
di titik tengah Pulau Sumatera.
Kata Kakekmu, Bapak dilahirkan
hari Selasa tanggal 12 Juli, tanggal itu mengingatkan dia pada Thariq
bin Ziyat yang berhasil memasuki Spanyol dan perkembangan politik dan
tindakan sepihak oleh Fretilin yang melakukan proklamasi kemerdekaan
di Timur Timor yang sekarang benar-benar Merdeka dan jadi Negara
Demokratik Timur Leste. Tangisan pertama Bapak, melengking di sebuah
kamar pengap yang sering kita tiduri ketika kita pulang ke rumah
nenekmu. Itu pertarungan hidup mati nenekmu. Kelahiran Bapak
mengobati duka yang dialami nenekmu, dua tahun sebelumnya dia juga
melahirkan anak yang hanya sempat berumur 3 bulan kemudian dipangil
Tuhan. Tidak ada yang tahu apa penyebab kematiannya, ketika itu belum
ada dokter atau bidan yang bisa mendeteksi penyebab kematiannya.
Hidup kami disana dulu sederhana
dan sangat sederhana sekali, ceritaku sambil melihat bulan muncul
melalui celah daun batang sawo yang pertama kali aku taman ketika
membeli tanah yang kemudian diatasnya berdiri setengah kokoh rumah
kami. Mataku berlinang ada perasaan rindu pada Ayahku yang tidak lagi
kekar ototnya, rambutnya semakin putih dan sering sakit-sakitan, lalu
ada bayangan senyum karismatik, dan bau harum peluhnya ketika
mengendong aku yang selalu sakit-sakitan ketika kecil. Lamunan rindu
itu buyar, lau dengan agresor dan keingintahuannya, Bdikar anak
tertua kami yang sekarang baru 8 tahun memotong lamunanku,
“Sederhana seperti apa
maksudnya pak.?” Tanya dia.
“Sederhana sekali nak.” jawab
saya sambil membenarkan letak kepala Adiknya yang mulai miring
dibantal berwarna merah kesayangannya. Dia tidur-tiduran di teras
rumah kami. Kata kakekmu, ari-ari Bapak dihanyutkan di Sungai, sungai
yang menjadi saksi sejarah perjalan kebudayaan sekaligus berfungsi
sebagai denyut utama kehidupan warga di sana. Katanya itu simbol
supaya ketika Bapak besar nanti bisa seperti Thariq bin Ziyat, bisa
menjadi penerus garis wali lalu melakukan invansi kebudayaan.
Sepertinya, bapak itu sengaja jiwa dan raganya di hibahkan, itu
simbol kenapa ari-ari itu hanyut tidak dikuburkan seperti anak-anak
lainnya.
Ketika mulai besar, tidak ada
injeksi imunisasi BCG, Polio, DPT, Hepatitis B dan Campak yang wajib
diberikan kepada setiap Bayi. Tidak satu selpun tubuh Bapak di
berikan vaksin. Ritual adatlah yang menjadi ganti imunisasi, bapak
lalu diperkenalkan kepada alam melalui ritual Mbin
Cupik moi Munen.
Membawa bayi ke Air adalah ritual yang wajib dilakukan setiap bayi
lahir dan berumur 40 hari, bagi masyarakat modern umur 40 hari sudah
wajib di kasih asupan imunisasi. Bapak dicelup dan dimandikan di
Sungai, tepat pada umur 40 hari, ini mengingatkan pada kelahiran
Achilles anaknya Peleus dan Thetis yang dicelupkan oleh ibunya ke
sungai Styx agar menjadi Immortal.
Bayi Bapak yang masih merah itu
diserahkan kepada alam dan gaib melalui proses ritual, itu dipercayai
untuk menjaga kesehatan, kebugaran dalam masa pertumbuhan. Tapi tidak
ada ritual melumuri tubuh bayi dengan Ambrosia, dan dibaringkan di
atas api. Bapak hanya dipandu dengan jampi-jampi yang dilapaskan oleh
para Dukun dan tetua kampung, boleh jadi, jampi-jampi ini adalah doa
yang dipanjatkan kepada sang Penguasa Alam melalui karomah para arwah
leluhur. Kami percaya doa-doa dan jampi-jampi ini merupakan imunisasi
dan vaksinasi yang akan mengalir dalam denyut darah yang kemudian
mengakumulasi di bawah permukaan kulit kami, lalu berfungsi seperti
selaput Vernix Caceosa
sepanjang hayat hidup kami, tetua kampung menyebutnya sebagai Kerajat
Tu’un atau pakaian
lahir yang berfungsi menangkal bahaya dari 8 penjuru dan menjaga dari
kami dari 4 waktu dan pintu sial keturunan.
Selama masa pertumbuhan, tidak
ada susu bayi, tidak ada makan buatan siap saji yang padat nutrisi
dan gizi. Asupan-asupan yang masuk ke tubuh Bapak adalah makakan yang
dibuat dan dimasak oleh tengan lembut Nenekmu. Nenekmu tidak perlu
membeli telur, beras, ikan, daging dan minyak sebagian bahan untuk
mengelolanya menjadi makanan yang siap kami makan. Kami punya
beberapa ekor itik dan ayam kampung yang tiap pagi tinggal masuk ke
kandang lalu mengumpulkan telurnya, kami punya lumbung beras yang
tiap tahun selalu surplus, kami menyebutnya dengan Poi
Usang, untuk
menjadikan beras kami cukup numpang di ‘kincir alu’ yang
digerakkan oleh air, berasnya pasti bagus dan masih banyak
bekatulnya.
Nak, bekatul itu adalah lapisan
yang ada di beras, terdiri dari lapisan aleuron
dan perikarp
yang kaya gizi baik, katanya bagus untuk mencegah diabetes dan
hipertensi. Lanjutku.
“Berarti beras sekarang tidak
ada bekatulnya ya pak.? Makanya banyak penderita diabetes dan
hipertensi?” Potong Bdikar seperti biasanya.
“Tidak begitu juga nak,”
jawabku, kan ada banyak sebab lainya, misalnya makanan yang kadar
gulanya tinggi maka secara tidak langsung akan meningkatkan kadar
hormon angiotensi 2 yang akan mengakibatkan terjadinya hipertensi.
Jelas saya seadanya saja.
Dulu, kalau mau makan ikan,
tinggal ke kolam yang ada disawah atau malam-malam sebentar saja
bapak dengan kakekmu ke sungai, dengan peralatan seadanya kami bisa
dapat ikan untuk 3-4 hari. Ibuku atau nenekmu itu, kalau sedang tidak
ada pekerjaan di kebun atau sawah, dia rajin sekali membuat minyak
goreng dari buah Kepayang (Pangium
Edule, tumbuhan
berbentuk pohon), atau sesekali ‘menanak’ kelapa, minyak ini non
kolestrol dan nikmat sekali jika nenekmu memasak nasi goreng atau
mengoreng pisang di setiap pagi buat kami sarapan.
Setelah besar, setiap hari kalau
tidak mandi di sungai, kami mandi di pemandian umum, bisa lama kalau
mandi, selain airnya masih sangat segar dan bersih, sambilan mandi
kami bisa bercerita atau mendengarkan cerita para ibu-ibu dan orang
tua tentang banyak hal yang terjadi di kampung. Mereka itu sangat
akrab sekali, tidak ada kecurigaan antar mereka dan kalau ada masalah
atau pekerjaan, semuanya dikerjakan secara kolektif, semua ikut
membantu.
Kami sering disebut orang udik
atau orang hulu air, itu kalau kami keluar kampung, karena kami gagap
dengan kemajuan yang kami anggap sebagian besarnya sebagai perusak
struktur sosial dan budaya yang telah dibangun ratusan tahun lamanya
oleh leluhur kami. Pernah sesekali ada mobil pejabat yang masuk ke
kampung, seperti semut mengerubungi gula kemudian kami berebut
memegang mobil pejabat sampai dimarahi oleh tetua kampung, mungkin
karena malu oleh tingkah kami, setelah itu kamipun terkaget-kaget
ternyata asap yang keluar dari lubang belakang mobil itu bisa membuat
batuk, sesak napas dan membuat pedih mata.
Dulu tidak ada listrik di kampung
kami, untuk penerangan cukup mengunakan lampu minyak, kemudian
dipadamkan kalau sudah mau tidur. Kami diajari untuk tidak takut
gelap, dari kecil ibu-ibu termasuk nenekmu mengajari kami untuk tidak
mengutuk kegelapan. Kami diuntungkan dengan belum adanya listrik ini,
karena medan
elektromagnetik bisa berdampak terhadap kesehatan jika terjadi
pemajanan dengan intensitas yang sangat tinggi. Kondisi ini tidak
berdampak pada DNA, RNA, dan sintesis protein, proliferasi sel,
respon imun serta transduksi signal membran. Efek ini membuktikan
bahwa pada tingkat pajanan yang tinggi akan terjadi gangguan dan pada
sisi fisiologis dapat mempegaruhi beberapa fungsi seperti fungsi
reproduksi, kardiovaskular, saraf, hematopoetik, endokrin,
mutagenesis, sistem imun.
“Banyak sekalikan akibatnya
bagi kesehatan tubuh?” Jelasku meniru guru Biologiku ketika duduk
di Kelas 2 SMP.
Di
dalam tubuh makhluk hidup, dalam tubuh kita sebenarnya terdapat medan
listrik endogen yang mempunyai peranan kompleks dalam mengontrol
mekanisme fisiologis tubuh, seperti aktivitas saraf otot, sekresi
kelenjar, fungsi membran sel, perkembangan dan pertumbuhan, serta
perbaikan jaringan.
Kalau kami sedikit takut gelap
cukup nyalan lampu minyak, lalu kemudian matikan. Lampu minyak inilah
yang membantu kami ketika malam, waktu untuk belajar. Belajar
pelajaran yang kami dapatkan dari Sekolah SD satu-satunya yang ada di
Desa kami. Kami menyebutnya sekolah 24 jam. Karena bisa bertanya
apapun dan dimanapun dengan guru kami untuk sesuatu yang perlu ditahu
atau tanyakan.
Loh, kenapa Bdikar yang biasanya
suka bertanya kok diam.? Ternyata keduanya sudah pulas tidur sambil
memeluk bantal guling berwarna merah yang dijahit oleh tangan ibunya
tadi siang.
👍
BalasHapus