Oleh: Erwin Basrin
Mendedah
Kronologis Asal Mula Konflik
Kegagalan
kaum politisi liberal dalam mensejahterakan rakyat Indonesia telah
melahirkan Politik Kolonial Etis di Hindia Belanda pada awal abad XX.
Politik Kolonial Etis di dasarkan pada pemikiran Van Deventer tentang
tiga hal untuk mensejahterakan rakyat Jawa yaitu pembangunan
pendidikan, pembangunan sarana irigasi dan emigrasi penduduk Jawa
keluar Jawa.
Program kolonisasi sendiri awalnya bagian dari politik
balas budi yang dirancang oleh penjajah Belanda. Semula kolonisasi
dilakukan Belanda sebagai tanggapan atas tulisan C. Th. van Deventer,
“En Ereschuld” (Utang Budi) yang dimuat dalam majalah De Gids
tahun 1899. Tulisan itu menceritakan kemiskinan di Pulau Jawa akibat
Peraturan Tanam Paksa (Cultuur stelsel). Tahun 1860 Multatuli (nama
samaran Douwes Dekker, Asisten Residen Lebak, Banten) menulis buku
Max Havelaar. Buku ini mengisahkan tentang penderitaan petani teh
akibat tekanan pejabat pemerintah Belanda. Tulisan singkat
transmigrasi mendapat tanggapan dari Raja Belanda, dan menugaskan
Minister van Kolonien untuk melakukan program perbaikan. Sehingga
Pemerintah Belanda mengenalkan Politik Balas Budi (Etische Politiek).
Politik balas budi adalah upaya memperbaiki nasib warga pribumi,
melalui irigasi, edukasi, dan kolonisasi.
Untuk
merealisasikan hal itu, maka bulan November 1905 dimulailah
pengiriman kolonisasi, Berturut-turut sejak tahun 1906 sampai 1942
telah diberangkatkan sebanyak 30 kali, salah satu daerah tujuannya
adalah Kepahiang Bengkulu. Tahun 1927 dalam Harian Soeloeh Indonesia
Soekarno memperkenalkan istilah transmigrasi untuk pertama kali
sebagai warga pribumi. Setahun setelah Kemerdekaan, dalam Konferensi
Ekonomi di Kaliurang, Yogyakarta, 3 Februari 1946, Wakil Presiden
Bung Hatta menyebutkan pentingnya transmigrasi untuk mendukung
pembangunan industrialisasi di luar Jawa. Baru tahun 1948 pemerintah
Republik Indonesia membentuk panitia untuk mempelajari program serta
pelaksanaan transmigrasi yang diketuai oleh A. H. D. Tambunan.
Walaupun telah terbentuk kepanitiaan, keputusan yang menyangkut
masalah transmigrasi baru diambil pada tahun 1950.
Tahun
1954, pemerintahan Soekarno mengirim 600 orang yang dibagi dalam 12
kelompok, dan masing-masing kelompok beranggotakan 50 orang. 600
orang ini berasal dari Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan
Jogjakarta. Tujuan transmigrasi adalah wilayah Bengko dan Sengkuang
Kabupaten Kepahiang. Sengkuang adalah suatu kawasan yang terletak di
lereng vulkanik Bukit Daun merupakan bagian dari kewilayaan adat
Marga Bermani Ilir, secara adminsitratif berada di Kecamatan
Kabawetan Kabupaten Kepahiang Propinsi Bengkulu.
Sampai
pertengahan tahun 1920-an, Sengkuang merupakan wilayah adat Bermani
Ilir dan masyarakat adatnya belum mengenal ada aturan kehutanan
sehingga dapat dikatakan hutan masih dikuasai oleh rakyat dalam
bentuk hutan adat atau wilayah adat yang diatur melalui kearifan dan
hukum adat Rejang. Baru di tahun 1927 Pemerintahan Penjajahan Belanda
mulai melaksanakan peraturan pengelolaan hutan dengan diawali membagi
lahan hutan, sebagian kecil untuk rakyat dan sebagian besar untuk
pemerintah kolonial. Pemisahan kawasan hutan ini dikenal masyarakat
dengan sebutan ’BW
atau Boshwesen’.
Batas antara tanah marga dengan hutan negara ditandai dengan ”pilar”
yang disebut ”batas”.
Pemerintah kolonial Belanda mengangkat petugas untuk mengawasi hutan
yang dikenal dengan sebutan ”mantri
imbo”
untuk mengontrol hutan namun di masukan kedalam struktur pemerintahan
marga.
Tahun
1954, peserta tranmigrasi yang berjulah 600 orang ini mulai membuka
hutan dan membangun pondok-pondok yang mereka sebut dengan “bedengan”
sebagai tempat tinggal sementara di dalam hutan serta membuka hutan
untuk lahan garapan. Tahun
1950-an adalah masa dimana kondisi pemerintahan di Indonesia masih
belum stabil pasca agresi Belanda.
Hal ini juga mempengaruhi hubungan pemerintah pusat dengan daerah
serta menimbulkan berbagai ketimpangan dalam pembangunan, terutama
pada daerah-daerah di luar pulau Jawa.
Sehingga memunculkan konflik yang dipengaruhi oleh tuntutan keinginan
akan adanya otonomi daerah yang lebih luas. Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (biasa disingkat dengan PRRI)
merupakan salah satu gerakan pertentangan antara pemerintah daerah
dengan pemerintah pusat (Jakarta)
yang dideklarasikan pada tanggal 15 Februari 1958 dengan keluarnya
ultimatum dari Dewan
Perjuangan
yang
dipimpin oleh Letnan Kolonel Ahmad Husein di Padang,
Sumatera Barat.
Tahun
1959 Pemberontakan PRRI sampai di wilayah Bengkulu dan menjadikan
wilayah Sengkuang dan rumah-rumah “bedengan” di jadikan sebagai
Markas Milisi, karena sering terjadinya kontak senjata perserta
transmigrasi mengungsi turun ke wilayah yang tidak jauh dari
Perkebunan Teh Kabawetan. Di tempat baru inilah dibangun rumah-rumah
sementara di sepanjang wilayah Bukit Melintang dan Air Sempiang
sambil berharap bisa kembali lokasi pertama mereka setelah kondisi
diangap aman dan kondusif. Perkampungan sementarapun berkembang dan
menjadi perkampungan definitif secara administratif dan diberi nama
khas pendatang dari Pulau Jawa seperti Bandung Baru, Suka Sari, Tugu
Rejo dan lain-lain, perkampungan pertama yang berada di dalam hutan
mereka tinggalkan dan dijadikan sebagai lahan garapan setelah kondisi
politik kondusif dan dibekukannnya PRRI.
Data
yang disusun oleh Pramasty Ayu Kusdinar (Koordinator Program Akar
Foundation, 2017) menjelaskan bahwa konflik dengan kawasan pertanahan
(tanah masyarakat dengan tanah negara) baru muncul secara tajam sejak
tahun 1980-an. Tanah
garapan dan pemukiman masyarakat transmigrasi dulunya adalah tanah
miliki Marga Bermani Ilir dan penyerahannya dilakukan oleh Pesirah
Do’ib sebagai Kepala Marga Bermani Ilir di tahun 1954, menyerahkan
sebagian wilayah Marga Bermani Ilir untuk dialokasikan sebagai
wilayah tempatan transmigrasi. Selain wilayah adat Marga Bermani
Ilir, di wilayah yang peruntukan tanmigrasi ini terdapat konsesi
perkebunan teh miliki Pemerintah Hindia-Belanda. Pasca kemerdekaan,
perkebunan tersebut diambil alih pemerintah Indonesia, hingga tahun
1965 perkebunan yang telah di nasionalisasi ini dikelola oleh PT
Trisula Ujung Mega Surya, Pemerintah Daerah Tingkat I Bengkulu
mengambil alih perkebunan pada 1975-1979 bersama dengan PT Kabawetan.
Tahun 1980, perkebunan teh di sewakan pada PTPN XXIII dengan luas
lahan 1.911,7 hektar dan masa sewa perkebunan tersebut berakhir di
tahun 1988, pada tahun 1989 perkebunan tersebut diambil alih oleh
Perusahaan Swasta PT Kepahiang Indah dengan menambah luas lahan
perkebunan hingga mencapai 3.500 Ha. PT Kepahiang Indah membuka
usaha perkebunan teh dan kopi yang tersebar di 2 Kabupaten, yakni
Kabupaten Rejang Lebong tepatnya di Kecamatan Padang Ulak Tanding dan
Kabupaten Kepahiang di Kecamatan Kabawetan. Total luas wilayah
tersebut adalah 1.000 ha di Kabupaten Rejang Lebong dan 1.500 ha di
Kabupaten Kepahiang. Menurut masyarakat setempat, wilayah perkebunan
ini tumpang tindih dengan wilayah kelola dan pemukiman masyarakat.
Selain
tumpang tindih dengan kawasan konsesi perkebunan, wilayah kelola dan
pemukiman masyarakat juga tumpang tindih dengan kawasan hutan negara.
Oleh negara, wilayah kelola masyarakat diklaim masuk dalam kawasan
Hutan Lindung Bukit Kaba melalui Surat Penunjukan R.B No. 4 tanggal 8
September 1962. Tahun 1986 terjadi perubahan status hutan lindung
menjadi hutan konservasi yang dilegalkan melalui SK Menteri Kehutanan
No. 166/Kpts-II/86 tanggal 29 Mei 1986 tentang perubahan status Hutan
Lindung Bukit Kaba menjadi Taman Wisata Alam (TWA) CQ Taman Wisata
dengan luas ± 13.490 ha. Tahun 2012 melalui Keputusan Menteri
Kehutanan No SK.784/Men-Hut-II/2012 tanggal 27 desember 2012
Pemerintah melakukan penunjukan kawasan TWA Bukit Kaba. Dan, di tahun
2014 kawasan ini ditetapkan sebagai Kawasan Hutan TWA Bukit Kaba
seluas 14.650,51 Ha melalui surat keputusan Menteri Kehutanan No SK.
3.981/Men-Hut-VII.KUH/2014 ditetapkan pada tanggal 23 Mei 2014.
Kondisi
penguasaan oleh Negara dan pengarapan oleh masyarakat seperti pada
narasi singkat diatas merupakan aspek utama dari mana
sengketa-sengketa tanah harus segera diselesaikan, karena hakekatnya
masalah tanah adalah masalah pembagiannya, penyebarannya atau
distibusinya yang pada gilirannya menyangkut hubungan kerja dalam
proses produksi. Dan hal ini bertalian erat dengan masalah penyebaran
pendapatan, kekayaan, kesempatan ekonomi dan penguasaan politik.
Terpusatnya penguasaan atas tanah berkontribusi pada ketimpangan,
berpengaruh pada pembagian pendapatan secara ekonomi serta mendorong
ke arah polarisasi masyarakat miskin dan menguatnya resistensi negara
dalam menguasai tanah.
Menelisik
Upaya Penyelesaian “Jalan Tengah” Atas Konflik Yang Terjadi
Dari
pengalaman konflik yang terjadi di Indonesia, faktor kesenjangan
ekonomi merupakan titik rawan bagi munculnya konflik. Selain itu
akibat meluasnya kesenjangan ekonomi dan lemahnya keberdayaan
individu dalam situasi sosial, telah menciptakan sikap skeptis dalam
masyarakat. Proses kesenjangan tersebut disebabkan berbagai faktor.
Diantaranya faktor sulitnya kesempatan untuk mengakses sumber-sumber
ekonomi dan adanya sistem distribusi yang yang propesional, akibatnya
struktur kepemilikan ekonomi masyarakat menjadi terpilah secara
tajam.
Dalam
memahami konflik harus dipahami bahwa setiap orang memiliki pandangan
yang acap kali beragam tentang suatu hal. Demikian juga dengan
kelompok masyarakat, entitas sosial dan politik. Masing-masing
memiliki pandangan berbeda-beda, sejarah dan karakter yang unik, di
besarkan dengan cara hidup dan budaya tertentu, memiliki nilai-nilai
yang memandu pikiran, prilaku dan motovasi setiap megambil atau
menolak tindakan tertentu. Karena itu, semakin banyak pola interaksi
maka pandangan yang ada akan semakin banyak. Ada kalanya pandangan
tersebut dapat disamakan, tetapi ada kalanya perbedaan pandangan
tidak dapat dihindarkan. Penetapan status suatu wilayah oleh Negara
di wilayah pertuanan melalui ataupun tanpa mekanisme persetujuan
terlebih dahulu acapkali memicu perbedaan-perbedaan pandangan,
apalagi ditambah dengan muatan perbedaan status, kekuasaan, peran
menurut gender, keanggotaan dalam kelompok sosial dan politik dan
sebagainya. Dalam situasi yang sama indikator-indikator posisi dalam
masyarakat itu sering menentukan keinginan kelompok yang berbeda.
Ketika sasaran dan kepentingan bertentangan, maka terjadilah konflik.
Penetapan
seluas 14.650,51 Ha sebagai Kawasan Taman Wisata Alam Bukit Kaba
melalui Keputusan Menteri Kehutanan No: SK.398/Menhut-VII/KUH/2014
dan terkosentrasinya konsesi perkebunan adalah pemicu konflik antara
masyarakat sebagai peserta maupun keturunan transmigrasi Sengkuang
yang mendiami wilayah tersebut sejak 1954. Pertentangan pandangan
terhadap status dan fungsi kawasan tersebut disebabkan oleh kebutuhan
dasar peserta dan anak keturunan peserta tranmigrasi, baik fisik,
mental maupun sosial yang tidak terpenuhi atau terhalangi. Sehingga
keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi dan otoritas sering
menjadi inti pembicaraan baik di tingkat masyakatan. Di satu sisi,
menguatnya resistensi dan represif oleh negara sebagai otoritas yang
menduduki posisi memiliki kewenangan membuat dan melaksanakan
keputusan yang mengikat semua pihak yang ada di dalam wilayah hutan
tersebut, termasuk dalam katagori ini adalah Presiden, Menteri,
Pemangku Kawasan maupun Pemerintah Daerah atas dasar otoritas yang
bertemali dengan kewenangan. Preferensi negara dalam kasus ini
dilukiskan sebagai tindakan dan bukan tindakan yang otoritatif
terhadap setiap dan semua objek hubungan, karena para pejabat
pemerintah itulah yang memiliki hubungan pilihan kebijakan sendiri
dan bertindak atas pilihan tersebut, meskipun harus menegasi hak
masyarakat sebagai penghuni utama suatu wilayah.
Belajar
dari kasus sengketan lahan dan sistem pengelolaan Kawasan Taman
Wisata Alam Bukit Kaba di wilayah Sengkuang Kabupaten Kepahiang, di
mana hutan dan masyarakat memiliki karakter yang saling berhubungan,
ketika potensi sumber daya diabaikan,
konsekuensi yang akan muncul adalah potensi ancaman sebagai
resultansi adanya kerusakan sendi-sendi
budaya dan etika masyarakat yang menjadi penopang eksistensinya.
Masyarakat yang sebaiknya menjadi rekanan dalam menangani
permasalahan hutan, bukan sebaliknya di mana orientasi pengelolaan
hanya difokuskan pada hutan itu sendiri. Seharusnya dalam pengelolaan
hutan termasuk juga pengelolaan masyarakatnya. Akar Foundation
setidaknya mencatat bahwa konflik ini memuat tiga unsur utama yaitu;
1) ketidaksesuaian atau kontradiksi di antara kepentingan,
ketidakcocokan di antara nilai-nilai sosial dan struktur sosial; 2)
perilaku negatif dalam bentuk persepsi atau stereotif yang berkembang
di antara pihak-pihak yang berkonflik; dan 3) perilaku kekerasan dan
ancaman yang diperlihatkan.
Dengan
disyahkannya TAP MPR RI No. IX/MPR-RI/2001 tentang Pembaruan Agraria
dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, ada titik harapan dari proses
reformasi di bidang agraria dan pengelolaan sumber daya alam, yang
sebelumnya tidak pernah mendapatkan perhatian dari para pengambil
kebijakan. Secara substansial, keluarnya ketetapan ini dilandasi
kesadaran pemikiran tentang kegagalan kebijakan pengelolaan sumber
daya alam dan lingkungan hidup sebelumnya. Dalam konsideran TAP MPR
tersebut dijelaskan beberapa peta permasalahan yang membuat keputusan
politik ini lahir, diantaranya; 1) sumber
daya agraria dan sumber daya alam harus dikelola dan dimanfaatkan
secara optimal bagi generasi sekarang dan generasi mendatang dalam
rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur; 2) adanya persoalan
kemiskinan, ketimpangan dan ketidakadilan sosial ekonomi rakyat serta
kerusakan sumber daya alam; 3) pengelolaan sumber daya agaria dan
sumber daya alam selama ini telah menimbulkan penurunan kualitas
lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan
dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik; 4) peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya
agraria dan sumber daya alam saling tumpang tindih dan bertentangan;
serta 5) pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam yang
adil, berkelanjutan, dan ramah lingkungan harus dilakukan dengan cara
terkoordinasi, terpadu dan menampung dinamika, aspirasi dan peran
serta masyarakat, serta menyelesaikan konflik.
Pilihan
Damai Dalam Mereposisi Ruang Kelola Melalui Kebijakan Berlaku
di
dalam Dokumen Arahan dari Kantor Stap Presiden; Strategi Nasional
Pelaksanaan Reforma agrarian 2016-2019, Pemerintahan
Joko Widodo dan Jusuf Kala telah membuat strategi Nasional untuk
Pelaksanaan Reforma Agraria mencakup enam komponen program, yakni: 1)
Penguatan
Kerangka Regulasi dan Penyelesaian Konflik Agraria, yang ditujukan
untuk menyediakan basis regulasi yang memadai bagi pelaksanaan
agenda-agenda Reforma Agraria, dan menyediakan keadilan melalui
kepastian tenurial bagi tanah-tanah masyarakat yang berada dalam
konflik-konflik agraria; 2) Penataan Penguasaan dan Pemilikan Tanah
Obyek Reforma Agraria, yang ditujukan untuk mengidentifikasi subjek
penerima dan objek tanah-tanah yang akan diatur kembali hubungan
penguasaan dan kepemilikannya; 3) Kepastian Hukum dan Legalisasi Hak
atas Tanah Objek Reforma Agraria, yang ditujukan untuk memberikan
kepastian hukum dan penguatan hak dalam upaya mengatasi kesenjangan
ekonomi dengan meredistribusi lahan menjadi kepemilikan rakyat; 4)
Pemberdayaan Masyarakat dalam Penggunaan, Pemanfaatan dan Produksi
atas Tanah Obyek Reforma Agraria, yang ditujukan untuk mengurangi
kemiskinan dengan perbaikan tata guna dan pemanfaatan lahan, serta
pembentukan kekuatan-kekuatan produktif baru; 5) Pengalokasian
Sumber Daya Hutan untuk Dikelola oleh Masyarakat, yang ditujukan
untuk mengatasi kesenjangan ekonomi dengan pengalokasian hutan negara
untuk dikelola masyarakat; dan 6) Kelembagaan Pelaksana Reforma
Agraria Pusat dan Daerah, untuk memastikan untuk memastikan
tersedianya dukungan kelembagaan di pemerintah pusat dan daerah,
serta memampukan desa untuk mengatur penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah, sumber daya alam, dan wilayah
kelola desa.
Pelaksanaan
Reforma Agraria yang dicita-citakan oleh Rezim Jowi-JK yang termaktub
dalam Nawacita itu menyasar empat kategori tanah, yakni: 1)
Tanah-tanah legalisasi aset yang menjadi objek dan sekaligus arena
pertentangan klaim antara kelompok masyarakat dengan pihak perusahaan
dan instansi pemerintah, dan tanah-tanah yang sudah diberikan hak
untuk masyarakat namun kepastian hukumnya belum diperoleh penyandang
haknya; 2) Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) untuk diredistribusikan
kepada kelompok masyarakat miskin pedesaan; 3) Hutan negara yang
dialokasikan untuk desa dan masyarakat desa melalui skema-skema hutan
adat dan perhutanan sosial termasuk Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan
Desa (HD), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), dan sebagainya; dan 4)
Pengelolaan dan pengadaan lahan aset desa untuk diusahakan oleh rumah
tangga petani miskin secara bersama. Kategori pertama dan kedua
adalah tanah seluas sekitar 9 (sembilan) juta hektar.
Pergerakan
perhutanan sosial atau community
based forest management
(CBFM) sudah
berkembang sejak tahun 1980an. Program ini bertujuan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat yang berada di dalam dan di sekitar hutan
melalui pemberdayaaan masyarakat dengan memperhatikan aspek
kelestariannya. Pemberdayaan ini berupa penguatan kapasitas dan
pemberian akses terhadap
kawasan.
Pemerintahan
di bawah Presiden Joko Widodo dalam mewujudkan Nawacita sejak tahun
2014 telah mencanangkan terwujudnya wilayah kelola rakyat di areal
hutan minimal seluas 12,7 juta hektar. Dampak dari target tersebut,
Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan,
Kementerian Lingkungan Hidup danKehutanan (KLHK) menjadi salah satu
pihak yang bertanggungjawab memastikan angka ini tercapai. Hutan
Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat dan
Kemitraan merupakan skema-skema yang harus didorong manifestasinya
karena pemberian izin atas skema-skema perhutanan sosial tersebut
akan menjadi bukti dari terwujudnya perluasan wilayah kelola rakyat.
Dalam
beberapa dekade terakhir, pendekatan Kemitraan atau kolaboratif
(co-management)
dalam pengelolaan kawasan konservasi sudah lama dipromosikan oleh
berbagai pihak. Pendekatan Co-Management
adalah sebuah kerangka kerja yang menggambarkan suatu situasi dimana
satu atau lebih aktor sosial menegosiasikan, mendefinisikan dan
menyepakati diantara mereka sendiri.
Secara
implementatif pendekatan kolaboratif
menyasar
kelompok komunitas mengelola hutan, atau pengelolaan hutan negara di
mana masyarakat memiliki hak akses dan kontrol atas kawasan hutan
yang dibebani hak oleh negara dalam pengelolaannya. Sebagai kelompok
yang memiliki akses kelola lebih mungkin mengadopsi perspektif jangka
panjang dan praktik-praktik yang lebih berkelanjutan dan mampu
menahan laju deforestasi dan melindungi kehidupan komunitas pengelola
hutan selain mampu untuk menjamin ketahanan pangan, keanekaragaman
budaya, kesatuan sosial dan pasar serta mengimplemtasi
praktik-praktik demokratik serta distribusi kekayaan yang lebih
merata.
Berkenaan
dengan pembagian peran dan tanggung jawab pengelolaan suatu kawasan
sumberdaya tertentu serta menjamin adanya pembagian manfaat yang adil
atas sumberdaya tersebut.
Lebih
spesifik lagi, pengelolaan kolaboratif merupakan proses mengembangkan
kerjasama antar pihak yang relevan, terutama antara masyarakat lokal
dan pengguna sumberdaya alam, yang sudah mempunyai kejelasan fungsi,
hak dan tanggung
jawab.
Menurut
Erwin Basrin dan Rahabilah Firdha, dalam Laporan Study Dominasi
Penguasaan Kawasan Hutan Konservasi, Study Kasus di Wilayah Marga
Jurukalang Kabupaten Lebong, 2012,
Beberapa
alasan substantif berkaitan dengan pentingnya
kolaboratif
itu dalam pengelolaan kawasan konservasi adalah:
1) Upaya
konservasi membutuhkan kapasitas dan pelibatan masyarakat secara
keseluruhan, tidak hanya para ahli konservasi, kaum professional
serta pihak pemerintah; 2) Upaya konservasi membutuhkan perhatian
dalam mengkaitkan kepentingan keanerakaragaman hayati dan kebudayaan
yang memberi ruang bagi masyarakat lokal dan adat untuk secara aktif
dan terberdayakan selama kolaborasi berlangsung; 3) Upaya konservasi
membutuhkan perhatian dalam prinsip kesetaraan dan keadilan, baik
pembagian biaya dan manfaat yang diterima baik dalam perlindungan
keanekaragaman hayati, pengelolaan sumberdaya alam maupun
pemanfaatannya; dan 4) Upaya konservasi menuntut penghormatan
terhadap hak-hak social ekonomi masyarakat. Prinsip “do no harm”
dalam pelaksanaan konservasi penting dikedepankan agar tidak
memberikan dampak buruk terhadap kesejahteraan social-ekonomi
masyarakat yang tinggal didalam dan disekitar kawasan. Apabila
memungkinkan, diupayakan insiatif konservasi untuk memberi dampak
positif pada kesejahteraan masyarakat.
Pelibatan
masyarakat dengan pendekatan pemberdayaan menjadi penting
mengingat masyarakat sudah tinggal di sekitar atau di dalam kawasan
konservasi sebelum kawasan tersebut ditetapkan. Karenanya
menegasikan keberadaan masyarakat dalam pengelolaan kawasan
konservasi sangat tidak mungkin mengingat interaksi, pemahaman dan
ketergantungan masyarakat terhadap kawasan cukup tinggi. Masyarakat
adalah aset yang eksistensinya dapat mendukung terwujud-nya
pengelolaan kawasan yang efektif. Ruang kerjasama pengelolaan kawasan
konservasi yang telah diberikan Negara selayaknya menjadi landasan
dalam memba-ngun kemitraan antar pihak yang sejajar dalam kerangka
pengelolaan, kawasan konservasi yang lestari dan mensejahterkan
masyarakat.
x
Mendedah Kronologis Asal Mula Konflik
Program kolonisasi sendiri awalnya bagian dari politik balas budi yang dirancang oleh penjajah Belanda. Semula kolonisasi dilakukan Belanda sebagai tanggapan atas tulisan C. Th. van Deventer, “En Ereschuld” (Utang Budi) yang dimuat dalam majalah De Gids tahun 1899. Tulisan itu menceritakan kemiskinan di Pulau Jawa akibat Peraturan Tanam Paksa (Cultuur stelsel). Tahun 1860 Multatuli (nama samaran Douwes Dekker, Asisten Residen Lebak, Banten) menulis buku Max Havelaar. Buku ini mengisahkan tentang penderitaan petani teh akibat tekanan pejabat pemerintah Belanda. Tulisan singkat transmigrasi mendapat tanggapan dari Raja Belanda, dan menugaskan Minister van Kolonien untuk melakukan program perbaikan. Sehingga Pemerintah Belanda mengenalkan Politik Balas Budi (Etische Politiek). Politik balas budi adalah upaya memperbaiki nasib warga pribumi, melalui irigasi, edukasi, dan kolonisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar