Oleh Erwin Basrin
Mendedah Kemiskinan Msyarakat Sekitar Hutan
Mendedah Kemiskinan Msyarakat Sekitar Hutan
Hutan
memungkinkan masyarakat miskin sekitar untuk mendayagunakan kebutuhan hidup dan
kebutuhan dasar mereka guna memperoleh manfaat produktif serta mengurangi
kerentanan terhadap kejutan-kejutan ekonomi. Dan, hak atas kepemilikan dan
penguasan terhadap tanah merupakan aset yang paling penting bagi masyarakat.
Menjamin hak-hak penguasaan dan kepemilikan atas tanah berimplikasi kepada
sebuah proses transfer kekayaan dan oleh karena itu menyumbang kepada
pemberdayaan serta pemberantasan kemiskinan di wilayah pedesaan (Deininger 2003).
Kepemilikan atas tanah juga memiliki potensi yang besar untuk mengembangkan
pendapatan ekonomi yang efisien karena kepemilikan dan kontrol lokal
berasosiasi dengan pengelolaan sumberdaya yang sudah teruji, mudah diakses dan
berlandaskan pengetahuan lokal yang sangat penting bagi keberlanjutan
produktifitas.
Ketidakpastian
hukum telah menimbulkan dampak yang merusak pada masyarakat pedesaan yang
secara turun-temurun hidup bergantung kepada hutan sebagai sumber penghidupan
dan penompang kebudayaan. Tegangan dan konflik atas ketidakpastian ini juga
berpengaruh terhadap hubungan antara kelompok masyarakat yang dipinggirkan.
Ancaman-ancaman terhadap keamanan penguasaan dan kepemilikan masyarakat atas
tanah terjadi secara terus-menerus tetapi, tak satu pun dari pihak yang
memiliki kekuasaan dan kemampuan itu menghormati hak-hak masyarakat, tetapi
justru menyapu peluang-peluang masyarakat terhadap ekonomi, kesejahteraan dan
kepastian penguasaan (Jarvie et al 2003). Terdapat beberapa perkembangan yang
tidak diharapkan yang merupakan turunan dari ketidakpastian penguasaan atas
tanah yaitu berupa ketidakadilan ekonomi yang berdampak pada kesenjangan
kesejahteraan antar masyarakat, ketergantungan dengan satu komoditas, perubahan
sosio-ekonomi dari masyarakat produsen menjadi konsumen. Kondisi ini berdampak
langsung dengan kemiskinan, ancaman keselamatan pangan dan kelaparan
tersembunyi (hidden hunger) yang menimpa
masyarakat sekitar hutan.
Sebagai
contoh, Griffen (2001) mencoba menarik perhatian terhadap dampak negatif
terhadap perempuan yang pada gilirannya memiliki dampak negatif terhadap
keselamatan pangan – karena makanan dari hutan, yang secara adat dikumpulkan
oleh kaum perempuan, tak dapat lagi dilakukan – demikian pula untuk
ketersediaan kayu bakar dan air. Dan, Aya Hirata Kimura dalam Hidden Hunger: Gender and the Politics of
Smarter Food, menceriterakan bahwa sekitar dekade 1990-an problem pangan di
“dunia ketiga” telah menyita perhatian masyarakat internasional. Apa yang
dimaksud problem pangan dalam hal ini tidak hanya berhubungan dengan kelangkaan
pangan, melainkan kondisi malnutrisi, yaitu kekurangan vitamin dan mineral yang
diderita anggota keluarga-keluarga.
Dalam arus
utama study agrofood atau usaha
menghasilkan melalui pertanian haruslah berorientasi pada konsep kedaulatan
makanan menjadi lebih penting dibandingkan dengan ketahanan pangan, karena
konsep kedaulatan pangan diciptakan sebagai kritik eksplisit konsep ketahanan
pangan. Kedaulatan pangan ini mengacu pada hak setiap orang, setiap saat, memiliki
akses langsung terhadap makanan yang aman dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan
makanan dan preferensi makanan untuk kehidupan yang lebih sehat. Kedaulatan
pangan berkaitan langsung dengan ketersediaan pangan secara makro dan berfokus
pada akses individu khususnya kelompok marjinal dan masyarakat miskin sekitar
dan dalam hutan, sehingga kedaulatan pangan menuntut agar kebijakan berfokus
pada akses dan kontrol yang terkonsentrasi pada sumber daya produktif terutama
sumber pangan yang disediakan oleh sumber daya hutan.
Reformasi
memicu Negara untuk bergerak maju dan semakin membuka pengakuan terhadap klaim
masyarakat atas kepemilikan tanah pada Kawasan Hutan. Keputusan MK 35 dan
beberapa kebijakan lainnya mulai melakukan reformasi sektor kehutanan untuk membuka
peluang bagi pengakuan hak-hak adat masyarakat atas Kawasan Hutan. Program
Perhutanan Sosial oleh pemerintah saat ini dapat dikatakan luar biasa.
Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan & Kehutanan (KLHK) pada periode
2015-2019 menargetkan 12,7 juta ha kawasan hutan dikelola oleh masyarakat
melalui skema HD, HKm, HTR, Hutan Adat, dan Kemitraan. Kebijakan perhutanan
sosial hakikatnya berbicara tentang akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan.
Akses sebagai kemampuan (ability)
mengambil manfaat dari sesuatu (hutan) dan lebih condong kepada power,
ketimbang sekedar legalitas klaim atas hak (right)
kelola. Ribot & Peluso (2003) menyatakan bahwa kunci pembeda antara akses (access) dan properti (property) terletak
pada ability dan right.
Sementara
hak-hak (right) masyarakat atas tanah
merupakan inti dari keadilan sosial, alasan bagi jaminan yang lebih luas
melalui kepemilikan tanah secara hukum memiliki makna melampaui landasan etika
dari keadilan sosial, pelestarian nilai-nilai budaya serta tindakan-tindakan
korektif dari kesalahan di masa lalu. Kemampuan dalam Pengelolaan hutan (ability) oleh masyarakat terbukti
efektif dalam mengelola dan melestarikan sumberdaya alam secara lebih baik di
berbagai wilayah. Lebih jauh hal tersebut merupakan mekanisme yang ampuh untuk
pemberantasan kemiskinan, kepastian kedaulatan pangan serta memperbaiki
efisiensi ekonomi. Oleh karena itu, kapasitas masyarakat harus ditingkatkan
agar akses terhadap sumberdaya hutan meningkat, yang terlebih dahulu harus
dorong untuk terlibat dalam tindakan kolektif untuk kesetaraan sosio-ekonomi
dan pengurangan kemiskinan, di satu sisi secara komprehensip Negara harus
memperbaiki kebijakan yang ada terkait dengan tata kelola hutan, skema
investasi dan dukungan terhadap perbaikan sosio ekonomi masyarakat, serta
membangun relasi kontigensi terhadap kekuatan-kekuatan yang terikat dengan
perubahan sosial.
Sebagian
besar kemiskinan ini diakibatkan oleh struktur sosial yang rumit menyebabkan
masyarakat termarjinalisasi dan sulit memperoleh akses terhadap berbagai
peluang serta ditompang oleh rendahnya kapasitas sumberdaya. Meski secara
historis tradisional mereka memiliki ketangguhan untuk bertahan hidup dengan
kemampuan meramu dan pengalaman menjadi sebuah kearifan lokal dalam mengelola
dan memanfaatkan sumber daya hutan di lingkungannya, rendahnya sumberdaya
masyarakat juga berpengaruh terhadap peluang dan daya saing secara ekonomi dan
sosial serta ketidaksiapan masyarakat lokal dalam menghadapi modernisasi
menjadi salah satu faktor yang semakin memarjinalkan posisi mereka secara
ekonomi politik. Kekurangan pangan paling banyak dikaitkan dengan kondisi
kemiskinan masyarakat sekitar hutan. Kekurangan pangan dimaksud dalam hal ini
bukan saja terpenuhinya kebutuhan makan setiap hari, tetapi juga berkaitan
dengan kualitas (gizi), variasi makanan (menu) dan kontinuitas. Terjadi
perubahan modus konsumsi petani hutan, misalnya di 721 Kepala Keluarga Pengarap
Hutan Kemasyarakat di Kabupaten Rejang Lebong sudah sejak 1980an, keluarga
petani membeli beras, sejak pertanian multikultur berubah menjadi monokultur
dengan mengandalkan satu komoditas yang cepat bisa dipasarkan. Padahal pada
1970-an, masyarakat di Lima desa tersebut menanami tanah (yang sekarang
dimilikinya) dengan padi, kopi dan tumpangsari.
Bertolak
dari kasus petani hutan tersebut, dapat dipastikan bahwa petani hutan berupaya
mencari jalan untuk melakukan penghematan nutrisi pangan. Upaya penghematan ini
berangkat dari kondisi dimana penghasilan mereka selalu lebih kecil dibandingkan
pengeluaran untuk belanja pangan dan pengolahannya. Sementara ekonomi
kapitalisme telah menjadikan gizi dan nutrisi sebagai barang komoditi yang
makin tak terjangkau oleh penghasilan dari pertanian monokultur. Maka
karbohidrat dan penguat/penyedap rasa - yang memalsukan rasa gizi dan nutrisi
sesungguhnya - menjadi strategi yang dilakukan kesehariann.
Pentingnya
hutan sebagai sumber penghidupan masyarakat di dalam dan sekitar hutan baik
sebagai sumber cadangan pangan, papan, obat-obatan, religi dan konservasi
hendaknya memformulasi kebijakan kehutanan yang dapat memberi kontribusi
terhadap pembangunan sekaligus melindungi hak–hak tanah dan sumber daya hutan
yang di mulai membangun komitmen yang kuat terhadap upaya penanggulangan
kemiskinan dan merangkul stakeholders non pemerintah yang diharapkan dapat
memberikan inisiatif yang kreatif, inovatif dan adaptif terhadap upaya
penanggulangan kemiskinan dan kedaulatan pangan.
Berkelit Dari Kemiskinan Dengan Sumber Daya
Hutan
Menurut
Ress (1990) diacu Fauzi (2004), sesuatu untuk dapat dikatakan sebagai sumber
daya yang harus dimiliki harus memiliki; 1) ada pengetahuan, teknologi atau
keterampian untuk memamfaatkannya. Dan, 2) harus ada permintaan (demand)
terhadap sumber daya tersebut. Dengan kata lain sumber daya alam/hutan
merupakan faktor produksi yang digunakan untuk menyediakan barang dan jasa
dalam kegiatan ekonomi. Secara umum sumber daya alam/hutan dapat diklasifikasi
ke dalam dua kelompok; 1 Kelompok stok (non renewable), sumber daya ini
dianggap memiliki cadangan yang terbatas, sehingga ekploitasinya terhadap
sumber daya tersebut akan menghabiskan cadangan sumber daya stok tidak dapat
diperbaharui (non renewable) atau
terhabiskan (exhaustible). Kelompok
flow, jenis sumber daya ini dimana jumlah dan kwalitas fisik dari sumber daya
berubah sepanjang waktu. Berapapun jumlah yang ada saat ini bisa mempengaruhi
dan tidak mempenagruhi ketersediaan sumber daya di masa mendatang. Sumber daya
ini dikatakan dapat diperbaharui (renewable) regenerasinya ada yang tergantung
pada proses biologis dan ada yang tidak.
Jika hutan
ditinjau dari sudut pandang sumberdaya ekonomi maka terdapat tiga sumberdaya
utama ekonomi yang ada di hutan, yaitu: lahan, vegetasi bersama semua komponen
hayatinya serta lingkungan itu sendiri sebagai sumberdaya ekonomi yang tidak
dapat diabaikan. Hasil hutan juga jelas merupakan sumberdaya ekonomi potensial
yang beragam yang didalam areal kawasan hutan mampu menghasilkan hasil hutan
kayu, non kayu dan hasil hutan tidak kentara (intangible) seperti perlindungan
tanah, pelestarian sumberdaya air dan beragam hasil wisata. Uraian tersebut di
atas terungkap bahwa hutan sesungguhnya menjadi sumberdaya (resources) yang
mempunyai potensi menciptakan barang, jasa serta aktifitas ekonomi yang sangat
bermanfaat bagi masyarakat.
Di dalam
ketentuan umum pada Permenhut P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 Tentang
Perhutanan Sosial, menyatakan bahwa pemanfaatan hutan adalah kegiatan untuk
memanfaatkan kawasan hutan dalam bentuk hasil hutan kayu dan bukan kayu melalui
pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan, dan pemasaran
berdasarkan asas kelestarian hutan, sosial dan lingkungan dan/atau dalam bentuk
pemanfaatan jasa lingkungan melalui antara lain jasa ekowisata, jasa tata air,
jasa keanekaragaman hayati, jasa penyerapan/penyimpanan karbon. Hasil hutan
bukan kayu dapat menyelamatkan eksploitasi terhadap sektor kehutanan ketika
potensi hasil hutan bukan kayu dapat dimanfaatkan dengan baik.
Hasil
hutan non kayu ini bisa sangat menguntungkan, karena dari satu jenis saja kita
bisa memanfaatkan bagian-bagian dari suatu jenis tumbuhan tersebut, dengan
demikian hasil hutan non kayu ini merupakan basis utama sebagai kekukatan
ekonomi masyarakat sekitar hutan. Misalnya, Di Indonesia terdapat kurang lebih
306 spesies rotan telah teridentifikasi dan menyebar di semua pulau di
Indonesia. Hutan sagu di Provinsi Papua luas sekitar 4.769.548 ha (diperkirakan
telah dimanfaatan hutan sagu secara tradisional 14.000 ha). Menurut Prof.
Bintoro, untuk menghasilkan 30 juta ton beras per tahun diperlukan lahan seluas
12 juta hektare, sedangkan untuk menghasilkan 30 juta ton sagu hanya diperlukan
lahan seluas satu juta hektar. Indonesai juga memiliki daerah tanaman nipah
seluas 10% atau 700.000 ha dari luas daerah pasang surut sebesar 7 juta ha, dan
penyebarannya meliputi wilayah kepulauan Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi,
Maluku dan Papua. Populasi tanaman nipah diperkirakan sekitar 8.000 pohon/ha,
sehingga dari luas areal tanam yang ada sekarang terdapat 5,6 miliar pohon.
Sementara, Perkebunan kopi Indonesia mencakup total wilayah kira-kira 1,24 juta
hektar, 933 hektar perkebunan robusta dan 307 hektar perkebunan arabika. Lebih
dari 90% dari total perkebunan dibudidayakan oleh para petani skala kecil dan
berasal di kawasan hutan. Untuk komoditi kopi misalnya, hasil assesment Akar
Foundation (2016) di wilayah kelola Hutan Kemasyarakatan di 5 Desa di Kabupaten
Rejang Lebong saja, dengan luas lahan 1.481,68 Ha menghasilkan kopi berjenis
robusta 800-1.300 ton/tahun.
Meniti Jalan Pemberdayaan
Pemberdayaan
terkait dengan penggalian dan pengembangan potensi masyarakat. Kartasasmita (1996)
mengatakan bahwa: “setiap manusia dan masyarakat memiliki potensi yang dapat
dikembangkan, sehingga pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu
dengan mendorong, memberikan motivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi
yang dimiliki serta untuk mengembangkannya.” Dalam rangka memberdayakan
masyarakat diperlukan pendekatan utama yaitu masyarakat tidak dijadikan sebagai
obyek melainkan subyek dari berbagai upaya pembangunan. Dan, pemberdayaan
masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi yaitu; pertama, menciptakan suasana
atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Kedua,
memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering). Dan,
Ketiga memberdayakan mengandung pula arti melindungi.
Skema-skema
dalam Perhutanan Sosial (Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (Hkm), Hutan
Tanaman Rakyat (HTR), Kemitraan dan Hutan Adat) merupakan bentuk jalan tengah
pengelolaan hutan yang menemukan kepentingan ekonomi pragmatis masyarakat dan
kepentingan kelestarian ekologi yang idealis pada kawasan. Pada posisi ini
masyarakat didorong untuk mendapatkan akses kelola sumber daya hutan dan lahan
yang setara dan seluas-luasnya untuk pemanfaatan hasil hutan yang sesuai
prinsip kelestarian yang ramah lingkungan maka tujuan konservasi lingkungan
dapat sejalan dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat tanpa menggangu
fungsi pokoknya. Maka, pemberdayaan masyarakat harus menyasar pada peningkatan
nilai ekonomi, nilai budaya, memberikan manfaat kepada masyarakat pengelola,
dan masyarakat setempat. Pengalaman praktis Akar Foundation dalam mendorong
pemberdayaan masyarakat pengarap Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten Rejang
Lebong Bengkulu, faktor- faktor pendorong terjadinya pemberdayaan masyarakat
adalah sebagai berikut;
1)
Memotivasi dan membangkitkan kesadaran
(awareness) akan potensi sumberdaya manusia dan sumberdaya alam yang dimiliki,
menguatkan individu dan pranata sosial seperti nilai-nilai budaya pelestarian
hutan dan lingkungan, pembaharuan kelembagaan sosial dan ekonomi.
2)
Membuka akses kepada sumberdaya hutan, lahan,
modal, kemajuan teknologi (budidaya, pengolahan paska panen), pasar produk
(wiraswastawan, mitra usaha), dan lapangan kerja.
3)
Penyediaan prasarana dan sarana seperti unit
produksi/pabrik pengelolaan hasil, inprastruktur dan komunikasi. Dan prasarana
dan sarana pelatihan seperti bidang sosial, ekonomi, teknologi dan pemasaran.
4)
Motivasi, akses dan penyediaan prasarana dan
sarana ini hanya bisa dilakukan dengan dua pendekatan sederhana. Pertama,
dengan menjadikan kebijakan Desentralisasi Kehutanan sebagai alat advokasi.
Kedua, pendekatan Sosial Ekonomi dalam upaya peningkatan hak dasar.
Di dalam
Permenhut P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016, pengertian Perhutanan Sosial adalah
sistem pengelolaan lestari yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat sebagai
pelaku utama untuk peningkatan kesejahteraan, keseimbangan lingkungan dan
dinamika sosial budaya. Secara sosiologis, kawasan hutan mempengaruhi
praktek-praktek kebudayaan, relasi sosial dan ekonomi masyarakat. Pelibatan
masyarakat dengan pendekatan pemberdayaan menjadi penting karena masyarakat
sudah tinggal di sekitar atau di dalam kawasan hutan sebelum kawasan tersebut
ditetapkan sebagai kawasan hutan Negara. Karenanya menegasikan keberadaan masyarakat
dalam pengelolaan hutan sangat tidak mungkin mengingat interaksi, pemahaman dan
ketergantungan masyarakat terhadap kawasan hutan cukup tinggi. Masyarakat
adalah aset yang eksistensinya dapat mendukung terwujud-nya pengelolaan kawasan
yang efektif. Ruang kerjasama pengelolaan kawasan hutan yang telah diberikan
Negara selayaknya menjadi landasan dalam membangun kemitraan antar pihak yang
sejajar dalam kerangka pengelolaan, kawasan hutan yang lestari dan
mensejahterakan masyarakat.
Ketergantungan
ekonomi masyarakat sekitar hutan selalu saja disertakan dengan ketergantungan
budaya dan mempengaruhi pola komsumsi masyarakat sekitar hutan. Hutan sebagai
fungsi keberlangsungan penghidupan misalnya, akibat ternegasinya masyarakat
dari hutan, masyarakat tidak lagi menjadikan hutan sebagai sumber pangan.
Kebutuhan akan pangan disediakan atas pasok dari luar yang mal-nutrisi, skema
pasar kapitalisme telah meng-ekonomikan makanan masuk ke pelosok-pelosok
perkampungan hutan dan masyarakat sekitar hutan sebagai kosumen utamanya.
Kondisi ini menampilkan dibalik rasa kenyang sebenarnya masyarakat sekitar
hutan kelaparan.
Berdasarkan
laporan Akar Foundation 2016 melalui pelaksanaan program Promoting Community
Based Forest Product and Enterprise di lima desa yang telah mendapatkan IUPHKm
di Rejang Lebong, ada enam permasalahan sosial ekonomi yang harus diselesaikan,
yaitu:
·
Pertama; rendahnya pendapatan yang diakibatkan
masyarakat pengelola hanya tergantung dengan satu komoditi dan pengendalian
harga oleh tengkulak.
·
Kedua; kurangnya lapangan kerja yang tersedia
menyebabkan masyarakat semakin cenderung melegalkan segala cara dalam
mengeksploitasi sumber daya hutan. Akibatnya, kelestarian sumber daya hutan
semakin terancam.
·
Ketiga; rendahnya kesehatan yang disebabkan
oleh kelaparan yang tersembunyi (asupan nutrisi), budaya pertanian multikultur
berganti dengan monokultur.
·
Keempat; tingginya jumlah penduduk miskin
memicu meningkatnya permasalahan dan konfik sosial, rendahnya posisi tawar
masyarakat, tergantung pada sumber daya hutan sehingga semakin beratnya tekanan
terhadap kelestarian hutan, dan meningkatnya tindak kriminalitas dan tingginya
ketergantungan masyarakat terhadap bantuan pemerintah. Penting digarisbawahi
bahwa himpitan kemiskinan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan (dapat)
menjadi salah satu faktor pendorong tingginya laju pembalakan liar dan
perambahan hutan.
·
Kelima; Rendahnya jejaring informasi pasar
produk dapat menghambat pencapaian kegiatan pemberdayaan masyarakat. Implikasinya,
pemanfaatan kesempatan usaha tidak optimal, kemampuan mendapat nilai tambah
komoditi menjadi sulit, harga jual hasil produksi masyarakat tertekan, dan
masyarakat sulit melepaskan diri dari kungkungan sistem yang membelenggu
terutama dengan informasi yang konsumerisme.
·
Keenam; Terbatasnya modal ekonomi masyarakat.
Keinginan masyarakat untuk meningkatkan pendapatan seringkali terhambat karena
keterbatasan modal ekonomi berdampak pada terhambatnya pemanfaatan lebih lanjut
sumber daya hutan, rendahnya peluang berusaha, dan sulitnya mengembangkan
potensi dan mendapat nilai tambah sehingga pada akhirnya cenderung berorientasi
pada eksploitasi illegal sumber daya hutan.
Dari enam
permasalahan sosial ekonomi tersebut langkah-langkah pengentasan kemiskinan pasca
mendapatkan perizinan haruslah dimulai dari penataan batas kelola dan
perencanaan kelola kawasan (penyusunan Rencana Kelola Kawasan) yang diturunkan
dalam rencana umum dan rencana operasional yang menyasar pada komponen
pengelolaan kawasan yaitu; Intervensi pada kawasan kelola (on-farm), intervensi yang paling mungkin dilakukan adalah
melakukan penataan batas dan membangun rencana kelola kawasan. Rencana kelola
kawasan yang telah terbebani izin pengelolaan haruslah dilakukan dengan
diversifikasi tanaman dilakukan dengan memperhatikan sebaran hasil sesuai
rentang waktu maupun rentang jenis dan tanaman-tanaman yang berkontribusi untuk
kebutuhan pangan, sehingga masyarakat tidak lagi tergantung dari pasokan pangan
dari luar maupun sumber makanan instan.
Intervesi
pada pengelolaan komoditi (off-farm),
Pengelolaan komoditi ini menuju pada peningkatan nilai tambah dari komoditi
yang dihasilkan dari kawasan kelola dimulai dari analisis bahan baku hingga
sampai pada konsumen akhir harus dihitung. Dari praktek yang pernah dilakukan
di Kabupaten Rejang Lebong oleh Akar Foundation (2015) dengan mengunakan Community Livelihood Assesment and Products
Scanning (CLAPS). Maka, perlu di bedakan antara konsep ‘rantai’ dan konsep
‘jaringan’, karena ketika ditujukan pada komoditi hasil hutan, kedua konsep ini
bisa berbeda yang kelihatannya mirip, seperti value chain, commodity chain, activities chain, production network
dan value network. Karena ‘rantai’
merujuk pada sekuel vertical dari kegiatan yang mengarah kepada penyerahan,
konsumsi dan perawatan barang dan jasa-jasa. Pada tataran implementatif
kegiatan ini mencakup tahap pembuatan konsep dan perancangan, proses
diperolehnya input/sarana produksi, proses produksi, kegiatan pemasaran dan
distribusi, serta kinerja layanan purna jual. Seluruh kegiatan tersebut
membentuk keseluruhan ‘rantai’ yang menghubungkan produsen dan konsumen, dan
tiap kegiatan menambahkan ‘nilai’ pada produk akhir. Sementara ‘jaringan’
mengetegahkan sifat dan kedalaman dari hubungan-hubungan dalam
kelompok-kelompok ekonomi yang lebih besar. Dengan demikan pengelolaan komoditi
haruslah bekerja pada aspek mikro dan makro yang mencakup isu-isu organisasi
dan koordinasi, strategi, dan hubungan kekuatan antara berbagai pelaku. Intervensi
pada pengguatan kelembagaan masyarakat. Paling tidak ada enam poin yang harus
diintervensi pada kelembagaan masyarakat pengelola hutan. Pertama, peningkatan
peran dan sinergitas antar para pihak. Kedua, mendorong akses yang lebih mudah
dalam akses terhadap modal (finansial), pasar, teknologi, informasi dan proses
pengambilan kebijakan yang berhubungan dengan tata kelola hutan. Ketiga,
menguatkan partisipasi dan jejaring kerja. Keempat, meminalisir kesenjangan
kebijakan. Kelima, meningkatkan posisi tawar kelembagaan dalam kemitraan.
Keenam, penguatan dokumen, data dan informasi kelembagaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar