Mendedah Kelaparan Tersembunyi (Hidden Hunger) pada Masyarakat Sekitar Hutan dibalik Ketimpangan Penguasaan dan Pengelolaan Sumber Daya Hutan - Erwin Basrin

Breaking

Recent Posts

 photo Untitled-1_1.jpg

Minggu, 15 Oktober 2017

Mendedah Kelaparan Tersembunyi (Hidden Hunger) pada Masyarakat Sekitar Hutan dibalik Ketimpangan Penguasaan dan Pengelolaan Sumber Daya Hutan





Oleh Erwin Basrin

Mendedah Kemiskinan Msyarakat Sekitar Hutan

Hutan memungkinkan masyarakat miskin sekitar untuk mendayagunakan kebutuhan hidup dan kebutuhan dasar mereka guna memperoleh manfaat produktif serta mengurangi kerentanan terhadap kejutan-kejutan ekonomi. Dan, hak atas kepemilikan dan penguasan terhadap tanah merupakan aset yang paling penting bagi masyarakat. Menjamin hak-hak penguasaan dan kepemilikan atas tanah berimplikasi kepada sebuah proses transfer kekayaan dan oleh karena itu menyumbang kepada pemberdayaan serta pemberantasan kemiskinan di wilayah pedesaan (Deininger 2003). Kepemilikan atas tanah juga memiliki potensi yang besar untuk mengembangkan pendapatan ekonomi yang efisien karena kepemilikan dan kontrol lokal berasosiasi dengan pengelolaan sumberdaya yang sudah teruji, mudah diakses dan berlandaskan pengetahuan lokal yang sangat penting bagi keberlanjutan produktifitas.

Ketidakpastian hukum telah menimbulkan dampak yang merusak pada masyarakat pedesaan yang secara turun-temurun hidup bergantung kepada hutan sebagai sumber penghidupan dan penompang kebudayaan. Tegangan dan konflik atas ketidakpastian ini juga berpengaruh terhadap hubungan antara kelompok masyarakat yang dipinggirkan. Ancaman-ancaman terhadap keamanan penguasaan dan kepemilikan masyarakat atas tanah terjadi secara terus-menerus tetapi, tak satu pun dari pihak yang memiliki kekuasaan dan kemampuan itu menghormati hak-hak masyarakat, tetapi justru menyapu peluang-peluang masyarakat terhadap ekonomi, kesejahteraan dan kepastian penguasaan (Jarvie et al 2003). Terdapat beberapa perkembangan yang tidak diharapkan yang merupakan turunan dari ketidakpastian penguasaan atas tanah yaitu berupa ketidakadilan ekonomi yang berdampak pada kesenjangan kesejahteraan antar masyarakat, ketergantungan dengan satu komoditas, perubahan sosio-ekonomi dari masyarakat produsen menjadi konsumen. Kondisi ini berdampak langsung dengan kemiskinan, ancaman keselamatan pangan dan kelaparan tersembunyi (hidden hunger) yang menimpa masyarakat sekitar hutan.

Sebagai contoh, Griffen (2001) mencoba menarik perhatian terhadap dampak negatif terhadap perempuan yang pada gilirannya memiliki dampak negatif terhadap keselamatan pangan – karena makanan dari hutan, yang secara adat dikumpulkan oleh kaum perempuan, tak dapat lagi dilakukan – demikian pula untuk ketersediaan kayu bakar dan air. Dan, Aya Hirata Kimura dalam Hidden Hunger: Gender and the Politics of Smarter Food, menceriterakan bahwa sekitar dekade 1990-an problem pangan di “dunia ketiga” telah menyita perhatian masyarakat internasional. Apa yang dimaksud problem pangan dalam hal ini tidak hanya berhubungan dengan kelangkaan pangan, melainkan kondisi malnutrisi, yaitu kekurangan vitamin dan mineral yang diderita anggota keluarga-keluarga.

Dalam arus utama study agrofood atau usaha menghasilkan melalui pertanian haruslah berorientasi pada konsep kedaulatan makanan menjadi lebih penting dibandingkan dengan ketahanan pangan, karena konsep kedaulatan pangan diciptakan sebagai kritik eksplisit konsep ketahanan pangan. Kedaulatan pangan ini mengacu pada hak setiap orang, setiap saat, memiliki akses langsung terhadap makanan yang aman dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan makanan dan preferensi makanan untuk kehidupan yang lebih sehat. Kedaulatan pangan berkaitan langsung dengan ketersediaan pangan secara makro dan berfokus pada akses individu khususnya kelompok marjinal dan masyarakat miskin sekitar dan dalam hutan, sehingga kedaulatan pangan menuntut agar kebijakan berfokus pada akses dan kontrol yang terkonsentrasi pada sumber daya produktif terutama sumber pangan yang disediakan oleh sumber daya hutan.

Reformasi memicu Negara untuk bergerak maju dan semakin membuka pengakuan terhadap klaim masyarakat atas kepemilikan tanah pada Kawasan Hutan. Keputusan MK 35 dan beberapa kebijakan lainnya mulai melakukan reformasi sektor kehutanan untuk membuka peluang bagi pengakuan hak-hak adat masyarakat atas Kawasan Hutan. Program Perhutanan Sosial oleh pemerintah saat ini dapat dikatakan luar biasa. Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan & Kehutanan (KLHK) pada periode 2015-2019 menargetkan 12,7 juta ha kawasan hutan dikelola oleh masyarakat melalui skema HD, HKm, HTR, Hutan Adat, dan Kemitraan. Kebijakan perhutanan sosial hakikatnya berbicara tentang akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan. Akses sebagai kemampuan (ability) mengambil manfaat dari sesuatu (hutan) dan lebih condong kepada power, ketimbang sekedar legalitas klaim atas hak (right) kelola. Ribot & Peluso (2003) menyatakan bahwa kunci pembeda antara akses (access) dan properti (property) terletak pada ability dan right.

Sementara hak-hak (right) masyarakat atas tanah merupakan inti dari keadilan sosial, alasan bagi jaminan yang lebih luas melalui kepemilikan tanah secara hukum memiliki makna melampaui landasan etika dari keadilan sosial, pelestarian nilai-nilai budaya serta tindakan-tindakan korektif dari kesalahan di masa lalu. Kemampuan dalam Pengelolaan hutan (ability) oleh masyarakat terbukti efektif dalam mengelola dan melestarikan sumberdaya alam secara lebih baik di berbagai wilayah. Lebih jauh hal tersebut merupakan mekanisme yang ampuh untuk pemberantasan kemiskinan, kepastian kedaulatan pangan serta memperbaiki efisiensi ekonomi. Oleh karena itu, kapasitas masyarakat harus ditingkatkan agar akses terhadap sumberdaya hutan meningkat, yang terlebih dahulu harus dorong untuk terlibat dalam tindakan kolektif untuk kesetaraan sosio-ekonomi dan pengurangan kemiskinan, di satu sisi secara komprehensip Negara harus memperbaiki kebijakan yang ada terkait dengan tata kelola hutan, skema investasi dan dukungan terhadap perbaikan sosio ekonomi masyarakat, serta membangun relasi kontigensi terhadap kekuatan-kekuatan yang terikat dengan perubahan sosial.

Sebagian besar kemiskinan ini diakibatkan oleh struktur sosial yang rumit menyebabkan masyarakat termarjinalisasi dan sulit memperoleh akses terhadap berbagai peluang serta ditompang oleh rendahnya kapasitas sumberdaya. Meski secara historis tradisional mereka memiliki ketangguhan untuk bertahan hidup dengan kemampuan meramu dan pengalaman menjadi sebuah kearifan lokal dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya hutan di lingkungannya, rendahnya sumberdaya masyarakat juga berpengaruh terhadap peluang dan daya saing secara ekonomi dan sosial serta ketidaksiapan masyarakat lokal dalam menghadapi modernisasi menjadi salah satu faktor yang semakin memarjinalkan posisi mereka secara ekonomi politik. Kekurangan pangan paling banyak dikaitkan dengan kondisi kemiskinan masyarakat sekitar hutan. Kekurangan pangan dimaksud dalam hal ini bukan saja terpenuhinya kebutuhan makan setiap hari, tetapi juga berkaitan dengan kualitas (gizi), variasi makanan (menu) dan kontinuitas. Terjadi perubahan modus konsumsi petani hutan, misalnya di 721 Kepala Keluarga Pengarap Hutan Kemasyarakat di Kabupaten Rejang Lebong sudah sejak 1980an, keluarga petani membeli beras, sejak pertanian multikultur berubah menjadi monokultur dengan mengandalkan satu komoditas yang cepat bisa dipasarkan. Padahal pada 1970-an, masyarakat di Lima desa tersebut menanami tanah (yang sekarang dimilikinya) dengan padi, kopi dan tumpangsari.

Bertolak dari kasus petani hutan tersebut, dapat dipastikan bahwa petani hutan berupaya mencari jalan untuk melakukan penghematan nutrisi pangan. Upaya penghematan ini berangkat dari kondisi dimana penghasilan mereka selalu lebih kecil dibandingkan pengeluaran untuk belanja pangan dan pengolahannya. Sementara ekonomi kapitalisme telah menjadikan gizi dan nutrisi sebagai barang komoditi yang makin tak terjangkau oleh penghasilan dari pertanian monokultur. Maka karbohidrat dan penguat/penyedap rasa - yang memalsukan rasa gizi dan nutrisi sesungguhnya - menjadi strategi yang dilakukan kesehariann.

Pentingnya hutan sebagai sumber penghidupan masyarakat di dalam dan sekitar hutan baik sebagai sumber cadangan pangan, papan, obat-obatan, religi dan konservasi hendaknya memformulasi kebijakan kehutanan yang dapat memberi kontribusi terhadap pembangunan sekaligus melindungi hak–hak tanah dan sumber daya hutan yang di mulai membangun komitmen yang kuat terhadap upaya penanggulangan kemiskinan dan merangkul stakeholders non pemerintah yang diharapkan dapat memberikan inisiatif yang kreatif, inovatif dan adaptif terhadap upaya penanggulangan kemiskinan dan kedaulatan pangan.

Berkelit Dari Kemiskinan Dengan Sumber Daya Hutan

Menurut Ress (1990) diacu Fauzi (2004), sesuatu untuk dapat dikatakan sebagai sumber daya yang harus dimiliki harus memiliki; 1) ada pengetahuan, teknologi atau keterampian untuk memamfaatkannya. Dan, 2) harus ada permintaan (demand) terhadap sumber daya tersebut. Dengan kata lain sumber daya alam/hutan merupakan faktor produksi yang digunakan untuk menyediakan barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi. Secara umum sumber daya alam/hutan dapat diklasifikasi ke dalam dua kelompok; 1 Kelompok stok (non renewable), sumber daya ini dianggap memiliki cadangan yang terbatas, sehingga ekploitasinya terhadap sumber daya tersebut akan menghabiskan cadangan sumber daya stok tidak dapat diperbaharui (non renewable) atau terhabiskan (exhaustible). Kelompok flow, jenis sumber daya ini dimana jumlah dan kwalitas fisik dari sumber daya berubah sepanjang waktu. Berapapun jumlah yang ada saat ini bisa mempengaruhi dan tidak mempenagruhi ketersediaan sumber daya di masa mendatang. Sumber daya ini dikatakan dapat diperbaharui (renewable) regenerasinya ada yang tergantung pada proses biologis dan ada yang tidak.

Jika hutan ditinjau dari sudut pandang sumberdaya ekonomi maka terdapat tiga sumberdaya utama ekonomi yang ada di hutan, yaitu: lahan, vegetasi bersama semua komponen hayatinya serta lingkungan itu sendiri sebagai sumberdaya ekonomi yang tidak dapat diabaikan. Hasil hutan juga jelas merupakan sumberdaya ekonomi potensial yang beragam yang didalam areal kawasan hutan mampu menghasilkan hasil hutan kayu, non kayu dan hasil hutan tidak kentara (intangible) seperti perlindungan tanah, pelestarian sumberdaya air dan beragam hasil wisata. Uraian tersebut di atas terungkap bahwa hutan sesungguhnya menjadi sumberdaya (resources) yang mempunyai potensi menciptakan barang, jasa serta aktifitas ekonomi yang sangat bermanfaat bagi masyarakat.

Di dalam ketentuan umum pada Permenhut P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 Tentang Perhutanan Sosial, menyatakan bahwa pemanfaatan hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan dalam bentuk hasil hutan kayu dan bukan kayu melalui pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan, dan pemasaran berdasarkan asas kelestarian hutan, sosial dan lingkungan dan/atau dalam bentuk pemanfaatan jasa lingkungan melalui antara lain jasa ekowisata, jasa tata air, jasa keanekaragaman hayati, jasa penyerapan/penyimpanan karbon. Hasil hutan bukan kayu dapat menyelamatkan eksploitasi terhadap sektor kehutanan ketika potensi hasil hutan bukan kayu dapat dimanfaatkan dengan baik.

Hasil hutan non kayu ini bisa sangat menguntungkan, karena dari satu jenis saja kita bisa memanfaatkan bagian-bagian dari suatu jenis tumbuhan tersebut, dengan demikian hasil hutan non kayu ini merupakan basis utama sebagai kekukatan ekonomi masyarakat sekitar hutan. Misalnya, Di Indonesia terdapat kurang lebih 306 spesies rotan telah teridentifikasi dan menyebar di semua pulau di Indonesia. Hutan sagu di Provinsi Papua luas sekitar 4.769.548 ha (diperkirakan telah dimanfaatan hutan sagu secara tradisional 14.000 ha). Menurut Prof. Bintoro, untuk menghasilkan 30 juta ton beras per tahun diperlukan lahan seluas 12 juta hektare, sedangkan untuk menghasilkan 30 juta ton sagu hanya diperlukan lahan seluas satu juta hektar. Indonesai juga memiliki daerah tanaman nipah seluas 10% atau 700.000 ha dari luas daerah pasang surut sebesar 7 juta ha, dan penyebarannya meliputi wilayah kepulauan Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Maluku dan Papua. Populasi tanaman nipah diperkirakan sekitar 8.000 pohon/ha, sehingga dari luas areal tanam yang ada sekarang terdapat 5,6 miliar pohon. Sementara, Perkebunan kopi Indonesia mencakup total wilayah kira-kira 1,24 juta hektar, 933 hektar perkebunan robusta dan 307 hektar perkebunan arabika. Lebih dari 90% dari total perkebunan dibudidayakan oleh para petani skala kecil dan berasal di kawasan hutan. Untuk komoditi kopi misalnya, hasil assesment Akar Foundation (2016) di wilayah kelola Hutan Kemasyarakatan di 5 Desa di Kabupaten Rejang Lebong saja, dengan luas lahan 1.481,68 Ha menghasilkan kopi berjenis robusta 800-1.300 ton/tahun.

Meniti Jalan Pemberdayaan

Pemberdayaan terkait dengan penggalian dan pengembangan potensi masyarakat. Kartasasmita (1996) mengatakan bahwa: “setiap manusia dan masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan, sehingga pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu dengan mendorong, memberikan motivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki serta untuk mengembangkannya.” Dalam rangka memberdayakan masyarakat diperlukan pendekatan utama yaitu masyarakat tidak dijadikan sebagai obyek melainkan subyek dari berbagai upaya pembangunan. Dan, pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi yaitu; pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering). Dan, Ketiga memberdayakan mengandung pula arti melindungi.

Skema-skema dalam Perhutanan Sosial (Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (Hkm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Kemitraan dan Hutan Adat) merupakan bentuk jalan tengah pengelolaan hutan yang menemukan kepentingan ekonomi pragmatis masyarakat dan kepentingan kelestarian ekologi yang idealis pada kawasan. Pada posisi ini masyarakat didorong untuk mendapatkan akses kelola sumber daya hutan dan lahan yang setara dan seluas-luasnya untuk pemanfaatan hasil hutan yang sesuai prinsip kelestarian yang ramah lingkungan maka tujuan konservasi lingkungan dapat sejalan dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat tanpa menggangu fungsi pokoknya. Maka, pemberdayaan masyarakat harus menyasar pada peningkatan nilai ekonomi, nilai budaya, memberikan manfaat kepada masyarakat pengelola, dan masyarakat setempat. Pengalaman praktis Akar Foundation dalam mendorong pemberdayaan masyarakat pengarap Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten Rejang Lebong Bengkulu, faktor- faktor pendorong terjadinya pemberdayaan masyarakat adalah sebagai berikut;
1)      Memotivasi dan membangkitkan kesadaran (awareness) akan potensi sumberdaya manusia dan sumberdaya alam yang dimiliki, menguatkan individu dan pranata sosial seperti nilai-nilai budaya pelestarian hutan dan lingkungan, pembaharuan kelembagaan sosial dan ekonomi.
2)      Membuka akses kepada sumberdaya hutan, lahan, modal, kemajuan teknologi (budidaya, pengolahan paska panen), pasar produk (wiraswastawan, mitra usaha), dan lapangan kerja.
3)      Penyediaan prasarana dan sarana seperti unit produksi/pabrik pengelolaan hasil, inprastruktur dan komunikasi. Dan prasarana dan sarana pelatihan seperti bidang sosial, ekonomi, teknologi dan pemasaran.
4)      Motivasi, akses dan penyediaan prasarana dan sarana ini hanya bisa dilakukan dengan dua pendekatan sederhana. Pertama, dengan menjadikan kebijakan Desentralisasi Kehutanan sebagai alat advokasi. Kedua, pendekatan Sosial Ekonomi dalam upaya peningkatan hak dasar.

Di dalam Permenhut P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016, pengertian Perhutanan Sosial adalah sistem pengelolaan lestari yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat sebagai pelaku utama untuk peningkatan kesejahteraan, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya. Secara sosiologis, kawasan hutan mempengaruhi praktek-praktek kebudayaan, relasi sosial dan ekonomi masyarakat. Pelibatan masyarakat dengan pendekatan pemberdayaan menjadi penting karena masyarakat sudah tinggal di sekitar atau di dalam kawasan hutan sebelum kawasan tersebut ditetapkan sebagai kawasan hutan Negara. Karenanya menegasikan keberadaan masyarakat dalam pengelolaan hutan sangat tidak mungkin mengingat interaksi, pemahaman dan ketergantungan masyarakat terhadap kawasan hutan cukup tinggi. Masyarakat adalah aset yang eksistensinya dapat mendukung terwujud-nya pengelolaan kawasan yang efektif. Ruang kerjasama pengelolaan kawasan hutan yang telah diberikan Negara selayaknya menjadi landasan dalam membangun kemitraan antar pihak yang sejajar dalam kerangka pengelolaan, kawasan hutan yang lestari dan mensejahterakan masyarakat.

Ketergantungan ekonomi masyarakat sekitar hutan selalu saja disertakan dengan ketergantungan budaya dan mempengaruhi pola komsumsi masyarakat sekitar hutan. Hutan sebagai fungsi keberlangsungan penghidupan misalnya, akibat ternegasinya masyarakat dari hutan, masyarakat tidak lagi menjadikan hutan sebagai sumber pangan. Kebutuhan akan pangan disediakan atas pasok dari luar yang mal-nutrisi, skema pasar kapitalisme telah meng-ekonomikan makanan masuk ke pelosok-pelosok perkampungan hutan dan masyarakat sekitar hutan sebagai kosumen utamanya. Kondisi ini menampilkan dibalik rasa kenyang sebenarnya masyarakat sekitar hutan kelaparan.

Berdasarkan laporan Akar Foundation 2016 melalui pelaksanaan program Promoting Community Based Forest Product and Enterprise di lima desa yang telah mendapatkan IUPHKm di Rejang Lebong, ada enam permasalahan sosial ekonomi yang harus diselesaikan, yaitu:
·         Pertama; rendahnya pendapatan yang diakibatkan masyarakat pengelola hanya tergantung dengan satu komoditi dan pengendalian harga oleh tengkulak.
·         Kedua; kurangnya lapangan kerja yang tersedia menyebabkan masyarakat semakin cenderung melegalkan segala cara dalam mengeksploitasi sumber daya hutan. Akibatnya, kelestarian sumber daya hutan semakin terancam.
·         Ketiga; rendahnya kesehatan yang disebabkan oleh kelaparan yang tersembunyi (asupan nutrisi), budaya pertanian multikultur berganti dengan monokultur.
·         Keempat; tingginya jumlah penduduk miskin memicu meningkatnya permasalahan dan konfik sosial, rendahnya posisi tawar masyarakat, tergantung pada sumber daya hutan sehingga semakin beratnya tekanan terhadap kelestarian hutan, dan meningkatnya tindak kriminalitas dan tingginya ketergantungan masyarakat terhadap bantuan pemerintah. Penting digarisbawahi bahwa himpitan kemiskinan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan (dapat) menjadi salah satu faktor pendorong tingginya laju pembalakan liar dan perambahan hutan.
·         Kelima; Rendahnya jejaring informasi pasar produk dapat menghambat pencapaian kegiatan pemberdayaan masyarakat. Implikasinya, pemanfaatan kesempatan usaha tidak optimal, kemampuan mendapat nilai tambah komoditi menjadi sulit, harga jual hasil produksi masyarakat tertekan, dan masyarakat sulit melepaskan diri dari kungkungan sistem yang membelenggu terutama dengan informasi yang konsumerisme.
·         Keenam; Terbatasnya modal ekonomi masyarakat. Keinginan masyarakat untuk meningkatkan pendapatan seringkali terhambat karena keterbatasan modal ekonomi berdampak pada terhambatnya pemanfaatan lebih lanjut sumber daya hutan, rendahnya peluang berusaha, dan sulitnya mengembangkan potensi dan mendapat nilai tambah sehingga pada akhirnya cenderung berorientasi pada eksploitasi illegal sumber daya hutan.

Dari enam permasalahan sosial ekonomi tersebut langkah-langkah pengentasan kemiskinan pasca mendapatkan perizinan haruslah dimulai dari penataan batas kelola dan perencanaan kelola kawasan (penyusunan Rencana Kelola Kawasan) yang diturunkan dalam rencana umum dan rencana operasional yang menyasar pada komponen pengelolaan kawasan yaitu; Intervensi pada kawasan kelola (on-farm), intervensi yang paling mungkin dilakukan adalah melakukan penataan batas dan membangun rencana kelola kawasan. Rencana kelola kawasan yang telah terbebani izin pengelolaan haruslah dilakukan dengan diversifikasi tanaman dilakukan dengan memperhatikan sebaran hasil sesuai rentang waktu maupun rentang jenis dan tanaman-tanaman yang berkontribusi untuk kebutuhan pangan, sehingga masyarakat tidak lagi tergantung dari pasokan pangan dari luar maupun sumber makanan instan.

Intervesi pada pengelolaan komoditi (off-farm), Pengelolaan komoditi ini menuju pada peningkatan nilai tambah dari komoditi yang dihasilkan dari kawasan kelola dimulai dari analisis bahan baku hingga sampai pada konsumen akhir harus dihitung. Dari praktek yang pernah dilakukan di Kabupaten Rejang Lebong oleh Akar Foundation (2015) dengan mengunakan Community Livelihood Assesment and Products Scanning (CLAPS). Maka, perlu di bedakan antara konsep ‘rantai’ dan konsep ‘jaringan’, karena ketika ditujukan pada komoditi hasil hutan, kedua konsep ini bisa berbeda yang kelihatannya mirip, seperti value chain, commodity chain, activities chain, production network dan value network. Karena ‘rantai’ merujuk pada sekuel vertical dari kegiatan yang mengarah kepada penyerahan, konsumsi dan perawatan barang dan jasa-jasa. Pada tataran implementatif kegiatan ini mencakup tahap pembuatan konsep dan perancangan, proses diperolehnya input/sarana produksi, proses produksi, kegiatan pemasaran dan distribusi, serta kinerja layanan purna jual. Seluruh kegiatan tersebut membentuk keseluruhan ‘rantai’ yang menghubungkan produsen dan konsumen, dan tiap kegiatan menambahkan ‘nilai’ pada produk akhir. Sementara ‘jaringan’ mengetegahkan sifat dan kedalaman dari hubungan-hubungan dalam kelompok-kelompok ekonomi yang lebih besar. Dengan demikan pengelolaan komoditi haruslah bekerja pada aspek mikro dan makro yang mencakup isu-isu organisasi dan koordinasi, strategi, dan hubungan kekuatan antara berbagai pelaku. Intervensi pada pengguatan kelembagaan masyarakat. Paling tidak ada enam poin yang harus diintervensi pada kelembagaan masyarakat pengelola hutan. Pertama, peningkatan peran dan sinergitas antar para pihak. Kedua, mendorong akses yang lebih mudah dalam akses terhadap modal (finansial), pasar, teknologi, informasi dan proses pengambilan kebijakan yang berhubungan dengan tata kelola hutan. Ketiga, menguatkan partisipasi dan jejaring kerja. Keempat, meminalisir kesenjangan kebijakan. Kelima, meningkatkan posisi tawar kelembagaan dalam kemitraan. Keenam, penguatan dokumen, data dan informasi kelembagaan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar