Oleh Erwin Basrin
…..bahwa
revolusi tanpa land reform adalah sama saja dengan gedung tanpa alas, sama saja
dengan pohon tanpa batang, sama saja dengan omong besar tanpa isi”; “Tanah
tidak boleh menjadi alat penghisapan! Tanah untuk Tani! Tanah untuk mereka yang
betul-betul menggarap tanah!” (Soekarno, “Djalannja Revolusi Kita”, Pidato
Kenegaraan 17 Agustus 1960).
Jelajah jejak
Reforma Agraria
Dari berbagai
retorika politik dan akademik semenjak arus reformasi di degungkan, terjadi
perbedaan cara pandang terhadap Reformasi (Reform); ada yang beranggapan secara
substansial, reformasi itu adalah sama dengan Revolusi, ada juga yang
beranggapan bahwa pada dasarnya reformasi bukan revolusi meskipun beberapa
aspek-aspek tertentu bernuansa revolusioner atau bukan sekedar perbaikan yang
tambal sulam, namun cara pandang Negara terutama awal reformasi melihat
Reformasi itu sebagai usaha perbaikan yang dilaksanakan secara bertahap
(evolusioner), gradual dan konstitusional. Dari tiga Cara pandang inilah
kemudian mewarnai Cara pandang, sikap dan politik reforma agraria di Indonesia
yang memang tujuannya tentu saja keadilan agraria.
Sekarang marilah
kita lihat peta jalan perkembangan politik agrarian sejak kemunculannya. Agrarian
reform dalam Bahasa Inggris dan pengaturan kembali atau perombakan
penguasaan tanah dalam Bahasa Indonesia disebut dengan Reforma Agraria. Secara
etimologis, kata agraria berasal dari kata bahasa Latin ager yang
artinya sebidang tanah. Kata bahasa Latin aggrarius meliputi
arti yang ada hubungannya dengan tanah, pembagian atas tanah terutama tanah
umum, bersifat perdesaan. Kata reform merujuk pada perombakan,
mengubah dan menyusun/membentuk kembali sesuatu menuju perbaikan. Dengan
demikian reforma agraria dapat diartikan secara sederhana sebagai penataan
kembali struktur pemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah/wilayah, demi kepentingan
petani kecil, dan buruh tani. Dan, tentu saja dalam prosesnya mengalami
perkembangan dan perubahan baik dalam isi, sifat, tujuan, fungsi, landasan
maupun konseptualnya. Sehingga, reforma agraria dianggap sebagai masalah yang
belum selesai.
Reforma agraria
muncul pertama kalinya di Yunani Kuno, muncul ketika Pemerintahan Solon (594
SM) berupaya membentuk pemerintahan demokrasi dan berhasil melahirkan
undang-undang yang dikenal dengan Siessachtheia yang bertujuan
untuk membebaskan para hektamor dari hutang sekaligus
membebaskan mereka dari status sebagai budak di bidang pertanian. Tapi,
Undang-undang Siessachtheia sayangnya tidak sampai pada proses
distribusi. Tiberus Gracchus (134 SM), salah seorang Anggota legislator di
Romawi Kuno berhasil mengolkan Undang-Undang Agraria (lex agrarian),
inti dari UU ini adalah penetapan batas maksimum penguasaan tanah, tanah di
berikan kepada Negara lalu di bagikan kepada Petani kecil. Berbeda dengan yang
terjadi di Inggris, gerakan “enclosure movement” adalah proses
pengaplingan tanah-tanah pertanian dan Padang pengembalaan yang dulunya adalah
tanah yang disewakan oleh umum, menjadi tanah-tanah individual.
Revolusi Prancis
tahun 1789, adalah proses perubahan fundamental dalam penataan tanah. System
penguasaan tanah feodal di hancurkan. Tujuannya adalah membebaskan petani dari
ikatan “tuan dan budak” dalam system feodal dan melembagakan usaha tani
keluarga kecil-kecil sebagai satuan pertanian yang dianggap ideal. Model
reforma agraria ini kemudian meluas dan mengilhami beberapa negara di Eropa.
Reforma agrariapun menjadi suatu pembaharuan yang komprehensif, bukan
saja redistributive landreform tetapi sampai pada proses
keberlangsungan produksi. Pada tahun 1906-1911 di Rusia lahir pembaharuan Gaya
baru yang dikenal dengan Stolypin Reform. Ciri dari gerakan ini
adalah menghapus tanah kepemilikan pribadi, melarang (sewa, bagi hasil, gadai),
hak dan luas garapan di sesuaikan dengan kemampuan petani dan melarang
mengunakan buruh upahan. Lenin kemudian mencetuskan istilah landreform dan
banyak di adopsi dan digunakan di negara komunis atau Blok timur pada saat itu
dengan adagium “land to the tiller” gunanya untuk memikat hati rakyat
dan petani yang menderita karena tekanan tuan tanah, untuk kepentingan politis
Jejak-Jejak
Agraria di Indonesia
Pada zaman
kerajaan yang berada di Nusantara, kerajaan Mataram misalnya, penguasaan tanah
dilakukan oleh pejabat di dasari atas system appanage, yaitu
suatu bentuk penguasaan dimana pengunaan atas tanah itu dihadiakan kepada para
pejabat dengan syarat kewajiban membayar upeti kepada penguasa pusat dalam
bentuk sebagian hasil bumi yang dikumpukan dari para petani. Kedatangan VOC
tahun 1677 membuat peranan pejabat-pejabat protektorat di Mataram mengalami
perubahan. Kebangkurutan VOC pada abad ke 19 yang digantikan oleh Pemerintah
Kerajaan Belanda, dan di bawah Gubernur Jenderal Daendels terjadi
perubahan-perubahan adminsitrasi untuk menciptakan kekuasaan politik yang lebih
sistematis.
Pemerintahan
Inggris (1811-1816) yang mengantikan Pemerintahan Belanda, di bawah
Kepemimpinan Thomas Stamford Raffles persoalan agraria memperoleh perhatian
yang serius. Raffles memperkenalkan teori Domein. System inilah yang menjadi
tonggak sejarah Agraria di Indonesia. System ini sederhana saja, yaitu
menerapkan system penarikan pajak bumi seperti yang dilakukan oleh Inggris di
India.
Ketika kekuasaan
kembali ke pada Pemerintahan Belanda pada tahun 1830 Gubernur Jenderal Van den
Bosch melaksanakan system Cultuurstelsel atau dikenal dengan
system tanam paksa, system ini merupakan adopsi sekaligus lanjutan dari system
yang diterapkan oleh Raffles. Pada tahun 1854 keluarlah Undang-Undang atau
Regerings Regelment (RR) 1854 yang merupakan kebijakan hasil kemenangan politik
kaum liberal, inti dari Undang-Undang ini menyebutkan; Gubernur Jenderal boleh
menyewakan tanah dengan ketentuan-ketentuan yang akan ditetapkan oleh ordonasi.
Tujuannya adalah agar pemerintah memberikan pengakuan terhadap penguasaan tanah
oleh Pribumi sebagai hak milik mutlak (eigendom) dan memungkinkan menjual,
penyewaan serta pemerintah memberikan kesempatan kepada pengusaha swasta agar
dapat menyewakan tanah untuk jangka panjang dan murah.
Pada tahun 1870
lahirlah kebijakan akibat dari pemberian hak eigendom kepada
pribumi. Pemberian hak eigendom kepada pribumi berakibat pada
berkurangnya peran swasta dalam penguasaan tanah. Keputusan atau kebijakan yang
dibuat tahun 1870 ini disebut dengan Agrarisch Besluit yang
diundangkan dalam Staatsblad No.118 tahun 1870. Peryataan penting dalam
keputusan ini di kenal dengan Domein Verklaring yang
menyatakan bahwa “Semua tanah yang tidak terbukti bahwa atas tanah itu ada hak
milik mutlah (eigendom) adalah domain negara” Domain negara artinya milik
mutlahnya Negara. Tujuan dari keputusan ini adalah memberikan kesempatan luas
bagi modal swasta asing.
Setelah 15 tahun
Indonesia merdeka tanggal 24 September lahirlah Undang-Undang No 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang kemudian di kenal dengan UUPA.
UUPA ini lahir dari 3 Komite atau Panitia; Panitia Jogya pada tahun 1948,
Panitia Jakarta tahun 1951 dan Panitia Soewahjo tahun 1956 ketiga komite ini
mengusulkan perlunya penetapan batas luas maksimum dan batas luas minimum,
distribusi tanah untuk petani kecil dan pengakuan atas hak rakyat atas kuasa undang-undang.
Tujuan diberlakukannya UUPA sebagai hukum agraria adalah;
meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional sebagai alat
untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat tani,
dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur; Meletakkan dasar-dasar kesatuan
dan kesederhanaan dalam hukum agraria; Meletakkan dasar-dasar memberikan
kepastian hukum agraria mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Di dalam UUPA
pengaruh “land to the tiller” tentu saja untuk kepentingan politik guna
menghapus tanah partikelir atau particuliere landerijen merupakan
tanah yang dimiliki oleh swasta Belanda dan pribumi yang mendapat hadiah tanah
karena dianggap berjasa pada Belanda. Tetapi, landreform pengertiannya
di UUPA diperluas meliputi program tindakan yang saling berhubungan yang
bertujuan untuk menghilangkan penghalang di bidang ekonomi, sosial dan
kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam struktur pertanahan. Dengan demikian
pelaksanaan landreform bertujuan memperbaiki keadaan sosial
ekonomi rakyat melalui pembagian yang lebih adil atas sumber penghidupan petani
berupa tanah.
Namun, karena
konstalasi politik di tahun 1960-an kuasa atas Undang-undang sebagai jabaran
dan penjelasan dari UUPA sebagai besar belum sempat di garap. Orde Baru sebagai
penganti rezim Orde Lama Menyusun suatu strategi Pembangunan yang hakikatnya
tidak menepatkan masalah “Reforma Agraria” sebagai dasar pembangunan.
Alasan-alasanya adalah; perlu adanya stabilitas politik, peningkatan produksi
pertanian melalui Revolusi Hijau menjadi titik sentral pembangunan selama Lima
pelita dan UUPA di curigai sebagai produk PKI. Orde Reformasi yang mengantikan
rezim sentralistik Orde Baru menganggungkan demokrasi modern yang bertumpu pada
asas mayoritas, HAM dan asas kesukarelaan rakyat. Persoalan agrariapun
mengalami persoalan dilematis menuju keadilan agraria, jalan inipun kemudian
menawarkan jalur reformism yang memerlukan perjalan waktu yang
panjang dan bisa jadi inti masalahnya menjadi kabur ataukah mengambil jalan
tambal sulam dan yang keduanya mengandung bayangan revolusioner memicu
terjadinya gejolak.
Peta Jalan Menuju
Keadilan Agraria
Setidaknya ada 5
(Lima) aspek yang di harapkan dari proses Reforma agraria ini yaitu; aspek
hukum, social, psikologis, ekonomi dan politik. Aspek politik ekonomi di
berbagai negara yang pernah melakukan Reforma Agraria menganut model yang
berbeda-beda dan sangat beragam; berdasarkan idelogi politik ekonomi
dikelompokkan menjadi tiga yaitu model kapitalis, model sosialis dan model
neopopulis. Sedangkan atas dasar arah transaksi dapat dibedakan menjadi dua
model yaitu colectivist reform dan redistributive
reform. Yang pertama “mengambil yang kecil untuk di berikan kepada
yang besar” dan yang kedua “mengambil dari yang besar untuk diberikan kepada
yang kecil”. Model redistributive reform dibedakan menjadi
tida model atas dasar kreteria teknis. Pertama, batas luas maksimum dan minimum
ditetapkan. Kedua, batas maksimum di tetapkan dan batas minimum diambangkan.
Ketiga, batas keduanya diambangkan.
Pada intinya,
pembaruan agraria (reforma agraria) adalah upaya perubahan struktural yang
mendasarkan diri pada hubungan-hubungan intra dan antar subyek-subyek agraria
dalam kaitan akses (penguasaan dan pemanfaatan) terhadap obyek-obyek agraria.
Namun secara konkret, pembaruan agraria diarahkan untuk melakukan perubahan
struktur penguasaan tanah dan perubahan jaminan kepastian penguasaan tanah bagi
rakyat yang memanfaatkan tanah dan kekayaan alam yang menyertainya. Dalam
prakteknya, pembaruan agraria sering dipadankan dengan landreform, yang pada
intinya, landreform diartikan sebagai restrukturisasi penguasaan, pemilikan,
pemanfaatan dan penggunaan tanah; namun dalam praktiknya, konsep landreform
telah diperluas cakupannya dengan menekankan peran strategis dari tanah dan
pertanian dalam pembangunan. Intinya, pembaruan agraria mempunyai makna dan
dimensi yang lebih luas daripada sekedar pemahaman landreform.
Alasan mendasar
dibutuhkan reforma agrarian adalah karena corak dan sistem masyarakat di
Indonesia masih agraris, dan secara ideologis tujuannya adalah keadilan dan
pemerataan dan penghapusan segala bentuk penghisapan dalam proses pembangunan.
Reforma agraria yang salah satu aspeknya adalah landreform merupakan
upaya untuk menciptakan pemerataan sosial-ekonomi di berbagai lapisan
masyarakat terutama di pedesaan. Landreform sebagai usaha
sistematis untuk memperbaiki hubungan antara manusia dengan tanah yang
dirasakan belum harmonis dan belum mencerminkan keadilan sosial. Usaha
perbaikan yang dilakukan melalui penataan kembali struktur penguasaan,
pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah menjadi tatanan keagrarian baru
yang dapat menjamin keadilan, harmoni sosial, produktivitas dan keberlanjutan
produksi, berdasarkan prinsip bahwa “tanah pertanian harus dikerjakan dan
diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri”.
Namun disadari
bahwa dalam banyak kejadian, petani yang telah memperoleh tanah dari
kegiatan landreform kemudian melepaskan kembali tanahnya
karena petani tidak memiliki akses kepada kegiatan ekonomi, sumber keuangan,
manajemen usaha, dan teknologi pertanian. Akibatnya keberadaan tanah tidak
membantu petani meningkatkan kesejahteraannya. Kondisi ini mendorong
dilaksanakannya konsep reforma agraria, yaitu landreform dalam
pengertian redistribusi pemilikan dan penguasaan tanah (reforma aset) yang
didukung oleh program penunjang seperti pengairan, perkreditan, penyuluhan,
pendidikan, pemasaran, dan sebagainya (reforma akses). Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa reforma agraria terdiri dari 2 (dua) pilar yaitu reforma aset
dan reforma akses.
Jika dipahami
bahwa pembangunan merupakan proses transisi masyarakat ke arah yang lebih adil,
sejahtera dan demokratis, maka struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah dan sumber daya agraria lainnya harus ditata kembali dalam
bingkai kebijakan pembaruan agraria. Padahal, Pasal 5 Tap MPR No. IX/MPR/2001
tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan sumber Daya Alam, menetapkan arah
kebijakan pembaruan agraria sebagai berikut:
1.
Melakukan
pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan per-undang-undangan yang berkaitan
dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar sektor demi
terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip
pem-baruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam;
2.
Menyelesaikan
konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul selama
ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna
menjamin terlaksananya penegakkan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip
pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam;
3.
Melaksanakan
penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform)
yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat;
4.
Menyelenggarakan
pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis
dalam rangka pelaksanaan landreform;
5.
Memperkuat
kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban pelaksanaan pembaruan
agraria dan menyelesaikan konflik-konflik sumber daya agraria yang terjadi;
6.
Mengupayakan
dengan sungguh-sungguh pembiayaan dalam melaksanakan program pembaruan agraria
dan penyelesaian konflik-konflik sumber daya agraria yang terjadi.
Jika kita lihat
kondisi hari ini yang terjadi di Indonesia Fenomena ketimpangan penguasaan dan
pemilikan tanah yang semakin meningkat dan berpengaruh pada meningkatnya
kemiskinan dan pengangguran di pedesaan, hal ini tidak terlepas dari kebijakan
pertanahan yang hanya focus pada peningkatan produktivitas yang berujung
pertumbuhan ekonomi. Sementara penataan aset produksi malah terabaikan,
akibatnya masyarakat marjinal semakin terabaikan dan kehilangan akses terhadap
tanah. Kondisi ini yang menimbulkan konflik agraria baik berupa perselisihan
tanah di tingkat rumah tangga petani, meningkatnya penguasaan tanah skala
besar, konversi penggunaan tanah yang tidak terencana, tata ruang yang tidak
konsisten dan tumpeng tindih. Dampaknya dirasakan lansung oleh masyarakat
maupun terjadi pada program pemerintah seperti ketahanan pangan, perumahan
rakyat, dan Lingkungan hidup.
Pemerintahan Joko
Widodo dan Jusuf Kala telah membuat strategi Nasional untuk Pelaksanaan Reforma
Agraria mencakup enam komponen program, yakni;
1.
Penguatan
Kerangka Regulasi dan Penyelesaian Konflik Agraria, yang ditujukan untuk
menyediakan basis regulasi yang memadai bagi pelaksanaan agenda-agenda Reforma
Agraria, dan menyediakan keadilan melalui kepastian tenurial bagi tanah-tanah
masyarakat yang berada dalam konflik-konflik agraria;
2.
Penataan
Penguasaan dan Pemilikan Tanah Obyek Reforma Agraria, yang ditujukan untuk
mengidentifikasi subjek penerima dan objek tanah-tanah yang akan diatur kembali
hubungan penguasaan dan kepemilikannya;
3.
Kepastian Hukum
dan Legalisasi Hak atas Tanah Objek Reforma Agraria, yang ditujukan untuk
memberikan kepastian hukum dan penguatan hak dalam upaya mengatasi kesenjangan
ekonomi dengan meredistribusi lahan menjadi kepemilikan rakyat;
4.
Pemberdayaan
Masyarakat dalam Penggunaan, Pemanfaatan dan Produksi atas Tanah Obyek Reforma
Agraria, yang ditujukan untuk mengurangi kemiskinan dengan perbaikan tata guna
dan pemanfaatan lahan, serta pembentukan kekuatan-kekuatan produktif baru;
5.
Pengalokasian
Sumber Daya Hutan untuk Dikelola oleh Masyarakat, yang ditujukan untuk
mengatasi kesenjangan ekonomi dengan pengalokasian hutan negara untuk dikelola
masyarakat; dan
6.
Kelembagaan
Pelaksana Reforma Agraria Pusat dan Daerah, untuk memastikan untuk memastikan
tersedianya dukungan kelembagaan di pemerintah pusat dan daerah, serta
memampukan desa untuk mengatur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah, sumber daya alam, dan wilayah kelola desa
Pelaksanaan
Reforma Agraria yang dicita-citakan oleh Rezim Jowi-JK yang termaktub dalam Nawacita
itu menyasar empat kategori tanah, yakni: (i) Tanah-tanah legalisasi aset yang
menjadi objek dan sekaligus arena pertentangan klaim antara kelompok masyarakat
dengan pihak perusahaan dan instansi pemerintah, dan tanah-tanah yang sudah
diberikan hak untuk masyarakat namun kepastian hukumnya belum diperoleh
penyandang haknya; (ii) Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) untuk
diredistribusikan kepada kelompok masyarakat miskin pedesaan; (iii) Hutan
negara yang dialokasikan untuk desa dan masyarakat desa melalui skema-skema
hutan adat dan perhutanan sosial termasuk Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan
Desa (HD), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), dan sebagainya; dan (iv) Pengelolaan dan
pengadaan lahan aset desa untuk diusahakan oleh rumah tangga petani miskin secara
bersama. Kategori pertama dan kedua adalah tanah seluas sekitar 9 (sembilan)
juta hektar.
Untuk menjawab
persoalan yang terjadi seperti di atas maka, tujuan landreform haruslah
diarahkan pada tiga aspek penting dari lima aspek yang disebut diatas, yaitu; Aspek
Ekonomis, untuk memperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat dengan memperkuat hak
milik rakyat serta memberi fungsi sosial pada hak milik, memperbaiki produksi
nasional khususnya di sektor pertanian guna mempertinggi taraf hidup rakyat;
Aspek Politis, mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan pemilikan tanah
yang luas, mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani
berupa tanah; Aspek Psikologis, untuk meningkatkan kegairahan kerja bagi para
petani penggarap dengan jalan memberikan kepastian hak, memperbaiki hubungan
kerja antara pemilik tanah dan penggarap. Dengan demikian paling tidak dengan
pijakan di tiga aspek ini bisa menegaskan bahwa gagasan pembaruan agraria
merupakan landasan untuk mewujudkan kemerdekaan seutuhnya dari kolonialisme
beserta sistem warisannya. Penjajahan kolonialisme telah mewariskan ketimpangan
struktur kepemilikan dan penguasaan tanah sedemikian rupa, sebagai bentuk
eksploitasi dan penindasan seperti Pidato Soekarno dalam Djalannja
Revolusi Kita”, Pidato Kenegaraan 17 Agustus 1960.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar