Bdikar (Pendekar) Mengugat tentang Ketidaksadaran Kolektif - Erwin Basrin

Breaking

Recent Posts

 photo Untitled-1_1.jpg

Rabu, 01 November 2017

Bdikar (Pendekar) Mengugat tentang Ketidaksadaran Kolektif



“saat ini kita mengalami ketidaksadaran kolektif, yang dibentuk oleh kesadaran masa lalu dan sebagian terbentuk atas pengalaman empiris” Kata Bdikar pada sore hari Senen kliwon. Belakangan ini saya, bapaknya, memaksa dia membaca buku-buku pelajaran sekolahnya, diam-diam anak ini mulai menunjukan pemberontakan-pemberontakan kecil, tapi saya mulai menikmati nada suaranya yang memenuhi ruangan rumah kami yang belum jadi dan memang terdengar mengema dan menantul dari dinding batang.


“Bapak boleh Periksa” katanya, demikian dia biasa panggil saya. “kita sudah sangat biasa dituntun dan diperintah, kita kemudian tidak punya kepercayaan diri dan terus menerus butuh pengakuan dan penghargaan, oleh karena itu kita sering mencari status tanpa substansi, demontrasi-demontrasi tanpa henti yang kita anggap sebagai cerminan demokrasi, kebutuhan berbagai kelompok baik etnis maupun keagamaan untuk menonjolkan diri mereka dalam cara-cara menarik perhatian yang tidak selalu konstruktif, cenderung destruktif dan memecah belah”, sampai disitu saya potong omongannya yang mulai memojokkan itu. 

“Bukankah masih ada kelompok-kelompok intelektual, cendikia yang punya kemampuan ilmiah, rasional dan kesadaran kritis untuk keluar dari ketidaksadaran kolektif.?” dia langsung potong.

“Tunggu dulu, saya akan selesaikan dulu kalimat saya” seperti biasa dengan sifatnya yang tidak mau dikalahkan dalam berargumentasi.

”Yang terjadi kemudian secara masif kita menjadi komunitas imajiner, menjadi bangsa yang panakut tanpa jiwa besar, menjadi masyarakat yang iri dan pedengki kemudian menciptakan rasa frustasi dan obsesif karena bertahun-tahun di kontruksikan secara sosial, lalu kita terobang-ambing antara membohongi diri atau mengamuk tak terkendali.!”Bdikar pun kemudian termenung sebentar kemudian dengan gaya bicaranya yang sering mempelototi lawan bicaranya, seperti mempelototi ayam goreng buatan ibunya “Menjawab pertanyaan bapak tadi.” dia berhenti sejenak.

“Seharusnya memang begitu, tapi juga kecenderungan banyak kaum intektual kita menjadi selebritas, yang lebih sedang muncul di televisi dan mengungkapkan pendapat mereka tentang apa saja atau mengulang-ulang apa yang telah mereka katakan tidak ada pikiran dan ide baru, mereka tidak mau turut merenung dan menghasilkan pengetahuan demi terciptanya masyarakat baru, ini praktik akademik yang memalukan.!” tambah dia. 

Sambil menghisap rokok bermerk luar, saya kemudian coba memastikan dia harus bertanggung jawab atas statemennya “sampai disitu saya sepakat” saya hisab lagi rokok itu sambil tertawa dalam hati, ingat dialog interaktif di salah satu stasiun televisi yang sering menghadirkan kaum intelektual itu-itu saja, kemudian saya melanjutkan pertanyaan “tapi apakah kamu punya indikator lain atau paling tidak dampak ketidaksadaran kolektif yang kamu sebutkan itu.?”

Sepertinya dia mulai gerah dengan pertanyaan itu “Pertanyaan Bapak itu adalah ciri-ciri pertanyaan masyarakat yang saja jelaskan tadi, selalu merasa benar dan cenderung menonjol sekaligus memojokkan kemudian mulai menyalahkan orang lain, metalitas kita mengarah pada superior-inferior merupakan dasar psikologis budaya kekerasan yang kemudian jadi sadomasokistis dan itu adalah prilaku depensif yang saya sebut diawal yang mengantikan renungan dan intropeksi jujur atas kehidupan dan kondisi yang terjadi, kita ini irasional dan sebagai akibatnya sering terlalu emosional.”

Muka saya mulai memerah dan mulai tersingung dibuatnya, dan saya tahu, Bdikar tahu itu dan tetap saja dia menikmati ketersinggungan saya.

“Secara kultural, kita masih berorientasi feodal baik dalam mentalitas maupun dalam struktur sosial” tambah dia, dia mulai menikam pertahanan terdalam yang aku miliki, sayapun matikan rokok kemudian menyulut batang rokok yang baru untuk menyembunyikan hasrat feodal sebagai bawaan anak sulung dan kepala keluarga.

“Kamu tidak boleh terlalu berpikir begitu, untuk memahami jiwa Indonesia kamu mesti mengerti kontek keberadaanya, kamu mestinya percaya pada gagasan anima mundi atau jiwa dunia, kita hidup pada entitas kosmik, kesatuan organisme yang memiliki jasad dan sukmanya sendiri” sayapun berhenti sampai disitu karena ibunya Bdikar membawa kopi dan sambil tersenyum menyaksikan perdebatan kami.

“Bapak betul” Lanjut Bdikar yang mulai sadar bahwa dia berhadapan dengan Bapak biologisnya yang dia dapati melalui senyuman ibunya. 

Dia menurunkan intonasi suaranya “Tapi Bapak, filosofis itu kemudian diartikan sebagai gagasan Desa Global, Entitas Global yang diciptakan dengan serat optik dan kemudian kita dipaksanakan ditarik ke dalamnya, penafsiran ini di dampingi oleh kebekuan budaya; tidak ada puisi, tidak ada ritual yang ada hanya ritual neurotik, makan makanan olahan, tidak ada imajinasi, tidak ada kesucian. Ini adalah bentuk syndrom modernisme yang ditanam dan tertanam dalam diri kita penyebab utamanya adalah rusaknya sukma, secara global kita hidup dalam priode materialisme dan konsumerisme yang ditandai hilangnya nilai-nilai dan pergeseran standar estetika”

“Oh, lalu apa yang harus dilakukan kalau begitu.?” Aku coba menyelesaikan perdebatan ini

“Kita dibekali sifat tenggang rasa, tapi tidak ditanamkan sikap analitis dan kritis, keduanya harus seimbang, memilih salah satunya akan mengakibatkan cara berpikir yang katagoris dan reduksionis”  Jawab Bdikar.

Kemudian berlahan dia mulai menaikkan kembali intonasi suaranya  “Indonesia sekarang ini sesungguhnya belum mencapai tarap hidup modern yang berlandaskan pendekatan intelektual, rasional, terbuka, egaliter dan pluralistik namun terlanjur meninggalkan tradisi lama. Maka keberanian memahami kearifan tradisi lama, kejujuran atas kajian dan kejadian sejarah, memahami secara konprehensi pertikaian inheren turun temurun sebagai refleksi sukma yang tidak bahagia dan semu yang terpecah-pecah itu, kemudian kita juga perlu menyalakan kembali nasionalisme sehat dan tentu saja kita mesti berani berdamai dengan diri kita sendiri dan sejarah kita, karena jika tidak kita akan terkatung-katung dan tidak pernah berkembang  menjadi bangsa yang kuat.” Kata penutupnya sangat abstrak dan prematur, sepertinya dia buru karena ada 4 orang temannya menunggu ingin bermain sepeda, dia kemudian berlari keluar sambil gotong sepedanya dan membiarkan pikiran ku jadi berantakan oleh statemennya yang pedas dan resolusi yang prematur itu.

Akupun terdiam sendiri dikursi reot yang belumtahu kapan aku mampu mengantikannya dan sambil berhayal; bukankah dulu pernah ada MANIFOL USDEK (Manifesto Politik; UUD 1945, Sosialisme, Demokrasi, Ekonomi dan Kepribadian), sehingga berdaulat dalam politik, mandiri diekonomi dan bermartabat dalam budaya, Pancasila, ada Repelita, ada GBHN, ada Reformasi, ada Otonomi, tapi entahlah rokok habis dan kopipun sudah kering, sepertinya aku harus siram bunga kemudian mandi, rebus mie instan lalu menikmati ritual neurotik/nonton televisi.


ah.. Bdikar ada-ada saja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar