“saat ini
kita mengalami ketidaksadaran kolektif, yang dibentuk oleh kesadaran masa lalu
dan sebagian terbentuk atas pengalaman empiris” Kata Bdikar pada sore hari
Senen kliwon. Belakangan ini saya, bapaknya, memaksa dia membaca buku-buku pelajaran
sekolahnya, diam-diam anak ini mulai menunjukan pemberontakan-pemberontakan
kecil, tapi saya mulai menikmati nada suaranya yang memenuhi ruangan rumah kami
yang belum jadi dan memang terdengar mengema dan menantul dari dinding batang.
“Bapak boleh
Periksa” katanya, demikian dia biasa panggil saya. “kita sudah sangat biasa
dituntun dan diperintah, kita kemudian tidak punya kepercayaan diri dan terus
menerus butuh pengakuan dan penghargaan, oleh karena itu kita sering mencari
status tanpa substansi, demontrasi-demontrasi tanpa henti yang kita anggap
sebagai cerminan demokrasi, kebutuhan berbagai kelompok baik etnis maupun
keagamaan untuk menonjolkan diri mereka dalam cara-cara menarik perhatian yang
tidak selalu konstruktif, cenderung destruktif dan memecah belah”, sampai
disitu saya potong omongannya yang mulai memojokkan itu.
“Bukankah masih ada
kelompok-kelompok intelektual, cendikia yang punya kemampuan ilmiah, rasional
dan kesadaran kritis untuk keluar dari ketidaksadaran kolektif.?” dia langsung potong.
“Tunggu dulu,
saya akan selesaikan dulu kalimat saya” seperti biasa dengan sifatnya yang
tidak mau dikalahkan dalam berargumentasi.
”Yang terjadi kemudian secara masif
kita menjadi komunitas imajiner, menjadi bangsa yang panakut tanpa jiwa besar, menjadi
masyarakat yang iri dan pedengki kemudian menciptakan rasa frustasi dan obsesif
karena bertahun-tahun di kontruksikan secara sosial, lalu kita terobang-ambing
antara membohongi diri atau mengamuk tak terkendali.!”Bdikar pun
kemudian termenung sebentar kemudian dengan gaya bicaranya yang sering
mempelototi lawan bicaranya, seperti mempelototi ayam goreng buatan ibunya “Menjawab
pertanyaan bapak tadi.” dia berhenti sejenak.
“Seharusnya memang begitu, tapi
juga kecenderungan banyak kaum intektual kita menjadi selebritas, yang lebih
sedang muncul di televisi dan mengungkapkan pendapat mereka tentang apa saja
atau mengulang-ulang apa yang telah mereka katakan tidak ada pikiran dan ide
baru, mereka tidak mau turut merenung dan menghasilkan pengetahuan demi
terciptanya masyarakat baru, ini praktik akademik yang memalukan.!” tambah dia.
Sambil menghisap rokok bermerk luar, saya kemudian coba memastikan dia harus
bertanggung jawab atas statemennya “sampai disitu saya sepakat” saya hisab lagi
rokok itu sambil tertawa dalam hati, ingat dialog interaktif di salah satu
stasiun televisi yang sering menghadirkan kaum intelektual itu-itu saja, kemudian saya melanjutkan
pertanyaan “tapi apakah kamu punya indikator lain atau paling tidak dampak
ketidaksadaran kolektif yang kamu sebutkan itu.?”
Sepertinya
dia mulai gerah dengan pertanyaan itu “Pertanyaan Bapak itu adalah ciri-ciri
pertanyaan masyarakat yang saja jelaskan tadi, selalu merasa benar dan
cenderung menonjol sekaligus memojokkan kemudian mulai menyalahkan orang lain,
metalitas kita mengarah pada superior-inferior merupakan dasar psikologis
budaya kekerasan yang kemudian jadi sadomasokistis dan itu adalah prilaku
depensif yang saya sebut diawal yang mengantikan renungan dan intropeksi jujur
atas kehidupan dan kondisi yang terjadi, kita ini irasional dan sebagai
akibatnya sering terlalu emosional.”
Muka saya
mulai memerah dan mulai tersingung dibuatnya, dan saya tahu, Bdikar tahu itu dan
tetap saja dia menikmati ketersinggungan saya.
“Secara kultural,
kita masih berorientasi feodal baik dalam mentalitas maupun dalam struktur sosial”
tambah dia, dia mulai menikam pertahanan terdalam yang aku miliki, sayapun
matikan rokok kemudian menyulut batang rokok yang baru untuk menyembunyikan
hasrat feodal sebagai bawaan anak sulung dan kepala keluarga.
“Kamu tidak
boleh terlalu berpikir begitu, untuk memahami jiwa Indonesia kamu mesti
mengerti kontek keberadaanya, kamu mestinya percaya pada gagasan anima mundi atau jiwa dunia, kita hidup
pada entitas kosmik, kesatuan organisme yang memiliki jasad dan sukmanya
sendiri” sayapun berhenti sampai disitu karena ibunya Bdikar membawa kopi dan
sambil tersenyum menyaksikan perdebatan kami.
“Bapak
betul” Lanjut Bdikar yang mulai sadar bahwa dia berhadapan dengan Bapak biologisnya
yang dia dapati melalui senyuman ibunya.
Dia menurunkan intonasi suaranya “Tapi
Bapak, filosofis itu kemudian diartikan sebagai gagasan Desa Global, Entitas
Global yang diciptakan dengan serat optik dan kemudian kita dipaksanakan
ditarik ke dalamnya, penafsiran ini di dampingi oleh kebekuan budaya; tidak ada
puisi, tidak ada ritual yang ada hanya ritual neurotik, makan makanan olahan,
tidak ada imajinasi, tidak ada kesucian. Ini adalah bentuk syndrom modernisme
yang ditanam dan tertanam dalam diri kita penyebab utamanya adalah rusaknya
sukma, secara global kita hidup dalam priode materialisme dan konsumerisme yang
ditandai hilangnya nilai-nilai dan pergeseran standar estetika”
“Oh, lalu
apa yang harus dilakukan kalau begitu.?” Aku coba menyelesaikan perdebatan ini
“Kita
dibekali sifat tenggang rasa, tapi tidak ditanamkan sikap analitis dan kritis,
keduanya harus seimbang, memilih salah satunya akan mengakibatkan cara berpikir
yang katagoris dan reduksionis” Jawab
Bdikar.
Kemudian berlahan dia mulai menaikkan kembali intonasi suaranya “Indonesia sekarang ini sesungguhnya belum
mencapai tarap hidup modern yang berlandaskan pendekatan intelektual, rasional,
terbuka, egaliter dan pluralistik namun terlanjur meninggalkan tradisi lama.
Maka keberanian memahami kearifan tradisi lama, kejujuran atas kajian dan
kejadian sejarah, memahami secara konprehensi pertikaian inheren turun temurun
sebagai refleksi sukma yang tidak bahagia dan semu yang terpecah-pecah itu, kemudian
kita juga perlu menyalakan kembali nasionalisme sehat dan tentu saja kita mesti
berani berdamai dengan diri kita sendiri dan sejarah kita, karena jika tidak
kita akan terkatung-katung dan tidak pernah berkembang menjadi bangsa yang kuat.” Kata penutupnya
sangat abstrak dan prematur, sepertinya dia buru karena ada 4 orang temannya
menunggu ingin bermain sepeda, dia kemudian berlari keluar sambil gotong
sepedanya dan membiarkan pikiran ku jadi berantakan oleh statemennya yang pedas dan
resolusi yang prematur itu.
Akupun
terdiam sendiri dikursi reot yang belumtahu kapan aku mampu mengantikannya dan sambil
berhayal; bukankah dulu pernah ada MANIFOL USDEK (Manifesto Politik; UUD 1945,
Sosialisme, Demokrasi, Ekonomi dan Kepribadian), sehingga berdaulat dalam
politik, mandiri diekonomi dan bermartabat dalam budaya, Pancasila, ada
Repelita, ada GBHN, ada Reformasi, ada Otonomi, tapi entahlah rokok habis dan
kopipun sudah kering, sepertinya aku harus siram bunga kemudian mandi, rebus
mie instan lalu menikmati ritual neurotik/nonton televisi.
ah.. Bdikar
ada-ada saja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar