Oleh: Erwin Basrin
Masyarakat Hukum Adat Rejang dalam Pusaran Politik Kebijakan di Indonesia
Masyarakat Hukum Adat Rejang dalam Pusaran Politik Kebijakan di Indonesia
Suku Rejang merupakan salah satu suku tertua di
pulau Sumatra selain suku Bangsa Melayu. Suku yang masuk ke dalam proto melayu
ini memiliki bahasa dan tulisan sebagai alat komunikasi, menurut riwayat “mula
jadi” Masyarakat Suku Rejang mendiami wilayah Renah Sekalawi, Pinang Belapis, Kutai
Belek Tebo dan sekarang disebut dengan Lebong yang artinya berkumpul.
Secara
administratif Lebong berada di Propinsi Bengkulu dan berbatasan langsung dengan
Propinsi Jambi dan Sumatera Selatan. Tentang Keberadaannya telah terdokumentasi
dengan baik dalam sejumlah literatur sejarah dan hukum adat. John Marsden
(Residen Inggris di Lais, tahun 1775-1779), dalam laporannya menyatakan adanya
empat petulai Rejang yaitu Joorcalang (Jurukalang), Beremanni (Bermani), Selopo
(Selupu) dan Toobye (Tubai).[1]
Dan
dalam laporannya mengenai ‘adat-federatie in de Residentie’s Bengkoelen en
Palembang Dr. JW. Van Royen menyebutkan bahwa kesatuan Rejang yang paling murni
dimana marga-marga dapat dikatakan didiami hanya oleh orang-orang di satu Bang,
harus diakui Rejang yang ada berada di wilayah Lebong.[2] Sedangkan upaya pendokumentasian secara
khusus mengenai hukum adat Rejang telah dilakukan Guru Besar Hukum Islam dan
Adat, Dr. Hazairin dengan bukunya “De Redjang” terbit pada tahun 1936, dan Dr.
Abdullah Siddik seorang Guru Besar Hukum Islam dan Adat dengan bukunya “Hukum
Adat Rejang” terbit pada 1980.
Berdasarkan sejarah, bentuk kesatuan MHA Rejang mengalami lima tahapan
perkembangan dari bersifat genelogis menjadi teritorial, yakni meramu
(genelogis), petulai (genelogis), kutei (genelogis), kuteui (teritorial), dan
marga (teritorial). Hingga tahun 1961, Siddik (1980) mencatat MHA Rejang
mendiami 28 marga di wilayah Provinsi Bengkulu, dan 15 marga di Provinsi
Sumatera Selatan.
Keberadaan
Masyarakat Hukum Adat (MHA Rejang merupakan salah satu fakta keberagaman bentuk
masyarakat yang membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mengakui,
menghormati dan melindungi keberagaman tersebut merupakan perwujudan dari
Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan negara yang menjadi pijakan dalam menyusun
UUD 1945. Dalam Rapat Besar BPUPKI tanggal 15 Juli 1945, Supomo mengemukakan
“Tentang daerah, kita telah menyetujui bentuk persatuan, unie: oleh karena itu
di bawah pemerintah pusat, di bawah negara tidak ada negara lagi. Tidak ada onderstaat, akan tetapi hanya
daerah-daerah, ditetapkan dalam undang-undang.” Sedangkan Muhammad Yamin
menyampaikan bahwa: “Kesanggupan dan kecakapan bangsa Indonesia dalam mengurus
tata negara dan hak atas tanah sudah muncul beribu-ribu tahun yang lalu, dapat
diperhatikan pada susunan persekutuan hukum seperti 21.000 desa di Pulau Jawa,
700 Nagari di Minangkabau, susunan Negeri Sembilan di Malaya, begitu pula di
Borneo, di tanah Bugis, di Ambon, di Minahasa, dan lain sebagainya. Gagasan
dari Soepomo dan Muhammad Yamin tersebut dikristalisasi menjadi Pasal 18 UUD
1945 dan penjelasan Pasal 18 UUD 1945.
Dari
apa yang dikemukakan oleh Van Vollenhoven dan Soepomo, kelihatanlah bahwa
masyarakat yang memperkembangkan ciri-ciri khas hukum adat itu, adalah
persekutuan hukum adat (adat-rechtsgemeneschap).
Pergaulan hidup manakah diantara pelbagai rupa pergaulan-pergaulan hidup
di Indonesia, dapat dikualifikasikan sebagai persekutuan hukum
adat”. Sementara inti dari perumusan Ter
Haar menyatakan: masyarakat hukum (persekutuan hukum) adalah 1) kesatuan
manusia yang teratur, 2) menetap disuatu daerah tertentu, 3) mempunyai
penguasa-penguasa dan 4) mempunyai kekayaan yang berwujud ataupun tidak
berwujud, dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam
masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam dan tidak seorangpun
diantara para anggota itu mempunyai fikiran atau kecenderungan unutuk
membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya dalam arti
melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya.[3]
Istilah
masyarakat hukum adat (MHA) ini
semakin sering digunakan karena mendekati istilah yang dipergunakan di
dalam UUD 1945 yaitu istilah kesatuan masyarakat hukum adat. Sehingga
memberikan kesan bahwa istilah inilah yang paling sahih dan sesuai dengan
konstitusi. Hanya saja, beragam peraturan perundangan-undangan tersebut tidak
menjelaskan definisi Masyarakat Hukum Adat. Sedangkan istilah kesatuan
masyarakat hukum adat dipergunakan dalam UU Pemerintahan Daerah dan dalam
Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 sebagai entitas hukum yang diakui dan dihormati
keberadaannya berserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang kemudian diatur dalam undang-undang. Kata awal “kesatuan” pada istilah ini
menunjukan bahwa masyarakat adat itu merupakan suatu bentuk komunitas (community)
yang memiliki ikatan-ikatan berdasarkan adat, bukan society yang lebih
longgar dan bersifat umum.
Peraturan
perundang-undangan yang menggunakan istilah sekaligus mendefinisikan Masyarakat
Hukum Adat adalah UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan LH,
UU No. 39 tahun 2014 tentang Perkebunan, dan UU No 1 tahun 2014 tentang
perubahan terhadap UU No 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil, Peraturan Menteri Agraria No 5 Tahun 1999 tentang Pedoman
Penyelesaian Permasalahan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengakuan Dan Perlindungan
Masyarakat Hukum Adat, Peraturan
Menteri Negara Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5
Tahun 2015 Tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum
Adat dan Masyarakat Yang Berada Dalam Kawasan Hutan,dan Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup Kehutanan Nomor P.32/Menlhk-Setjen/2015 Tentang Hutan
Hak.
Walau
keberagaman MHA diakui, dihormati dan dilindungi dalam UUD 1945, namun UU No. 5
Tahun 1979 tentang Pemerintah Desa telah menegasinya dengan melakukan
penyeragaman nama, bentuk, susunan dan kedudukan pemerintah desa. Bahwa
penyeragaman itu merupakan kekeliruan serius dan berdampak sangat fatal bagi
MHA (termasuk MHA Rejang) dalam segala aspek. Kekeliruan tersebut telah pula diakui
oleh Negara sebagaimana tertuang dalam bagian “Menimbang” butir 5 UU No. 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan “bahwa Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (Lembaran Negara Tahun 1979 Nomor
56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3153) yang menyeragamkan nama, bentuk,
susunan, dan kedudukan pemerintah Desa, tidak sesuai dengan jiwa Undang-Undang
Dasar 1945 dan perlunya mengakui serta menghormati hak asal-usul Daerah yang
bersifat istimewa sehingga perlu diganti”. Kendati demikian, upaya
mengoreksi kekeliruan tersebut belum serius dilakukan oleh negara, terutama
pemerintah. Bahkan, dengan tetap menggunakan kontruksi hak menguasai negara
(HMN) yang merujuk pada pasal 33 UUD 1945, negara menguasai wilayah kesatuan
masyarakat hukum adat. Termasuk menggunakan UU No 5 tahun 1999 tentang
Kehutanan, negara mengklaim hutan adat sebagai milik negara.
Namun
paska keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012, negara didesak
untuk mengakui keberadaan MHA. Dalam pokok pikirannya, MK menyatakan “Peraturan
Daerah (Perda) merupakan pendelegasian wewenang mengatur mengenai Masyarakat
Hukum Adat dari Pemerintah Pusat. Pendelegasian ini adalah upaya menjalankan
Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Eksistensi Masyarakat Hukum Adat belum pernah
mendapatkan perhatian nyata. Kebijakan sebelum reformasi lebih mengarah kepada
sentralisasi dan penyeragaman yang meminggirkan bahkan tidak mengakui
eksistensi kesatuan masyarakat hukum adat,
aplikasi terhadap identitas local ini dapat di lihat dibeberapa
kebijakan yang dibuat oleh Negara UU No 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah dan UU No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Unsur
penghormatan terhadap masyarakat dengan susunan asli mengalami distorsi yang
tajam dengan upaya penyeragaman melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa. Bahwa ini merupakan sebuah kekeliruan dalam penyelenggaraan
Negara Indonesia pun sudah diakui oleh Negara sebagaimana dapat dilihat dalam
bagian ‘Menimbang’ butir 5 UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang
menyatakan ‘bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa
(Lembaran Negara Tahun 1979 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3153) yang
menyeragamkan nama, bentuk, susunan, dan kedudukan pemerintah Desa, tidak
sesuai dengan jiwa Undang-Undang Dasar 1945 dan perlunya mengakui serta
menghormati hak asal-usul Daerah yang bersifat istimewa sehingga perlu
diganti’.
Desentralisasi
dan pembangunan berbasis pada kearifan lokal menjadi salah satu arus utama
menggantikan kebijakan sentralisasi dan penyeragaman di masa lalu, hal itu
selanjutnya ditegaskan dalam ketentuan UUD 1945 hasil amandemen, Pasal 28I Ayat
(3) UUD 1945 menjamin identitas budaya dan hak masyarakat tradisional selaras
dengan perkembangan jaman dan peradaban. Pengakuan dan penghormatan tersebut
tidak hanya terhadap identitas budaya, juga terhadap eksistensinya sebagai
subyek hukum, hal itu ditegaskan dalam Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945 yang
menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
diatur dalam undang-undang.
Pengaturan
mengenai Masyarakat Hukum Adat sejatinya dilakukan dalam undang-undang, namun
untuk menghindari kekosongan hukum, maka MK berpendapat bahwa pengaturan oleh
Pemerintah Daerah dibenarkan”. Oleh karena itu, upaya mengakui, menghormati dan
melindungi keberadaan MHA Rejang dan hak asal-usulnya dengan menerbitkan
peraturan daerah menjadi suatu keniscayaan untuk tidak memperpanjang masa kelam
yang dialami MHA Rejang. Terutama di Kabupaten Lebong yang dikenal sebagai
daerah asal-usul MHA Rejang.
Perjalanan
Panjang Menuju Pengakuan MHA Rejang di Kabupaten Lebong
Penelitian
yang dilakukan oleh Akar Foundation menunjukan bahwa tanah adat wilayah
Jurukalang dan Marga Suku IX masih di akui oleh komunitas Warganya, ini
dibuktikan dengan keinginan yang kuat oleh masyarakat hukum adat di wlilayah
tersebut untuk menghidupkan kembali kelembagaan kutainya. Hubungan MHA Rejang
dengan wilayah adatnya, seperti yang di sebutkan oleh Ter Haar bahwa ‘bilamana
orang menoropong suku bangsa Indonesia manapun juga, tampaklah dimatanya
lapisan bagian bawah yang amat luas suatu masyarakat yang terdiri dari gerombolan-gerombolan
yang bertalian satu sama lain terhadap alam yang tidak kelihatan mata terhadap
dunia luar dan terhadap alam kebendaan, maka mereka bertingkah laku sedemikian
rupa sehingga mendapat gambaran yang sejelas-jelasnya gerombolan-gerombolan tadi
dapat disebut rechtsgemeenchap
(masyarakat hukum).
Koptasi
wilayah adat oleh Negara dengan tidak melibatkan masyarakat adat ini kemudian
memunculkan konpilk dan saling klaim atas kepemilikan atas objek tanah yang
sama, klaim kepemilikan atas wilayah kelola masyarakat hukum adat dimana
sebagian besar sangat tergantung dengan kawasan hutan sebagai bagian penompang
kehidupan mereka, sementara pemangku kawasan mengenangap masyarakat tersebut
sebagai perambah yang harus di tertibkan dan di usir dari lahan-lahan pertanian
yang dikelola secara tradisional. Dimana klaim pemangku kawasan tersebut bahwa
peran pertanian dengan system konvensional tradisional skala kecil dibandingkan
dengan penyebab deforestasi lainya di Indonesia merupakan subyek yang sampai
sekarang menjadi kontrovesial yang besar, data mengenai luasan hutan yang di
buka sejak tahun 1985 -1990 menyatakan bahwa para peladang berpindah mungkin
bertanggungjawab sekitar 20% hilangnya hutan.
Selain
kehilangan tanah penyebab terjadi aktivitas pertanian dan perkebunan di Taman
Nasional Kerinci Seblat adalah proses penetapan yang tidak partisipatif.
Kenyataanya pada saat sebelum adanya taman nasional beberapa daerah telah
menjadi areal perkebunan dan persawahan masyarakat, beberapa daerah seperti
Desa Tapus, Bandar Agung, Talang Donok, Tanjung Bajak dan Kota Donok yang
merupakan dusun-dusun di Komunitas Marga Jurukalang, selama ini petani memang
sudah berusaha dan beraktivitas di areal yang sekarang ini di claimsebagai wilayah taman nasional.
Kondisi ini sengaja dibiarkan dan tidak pernah dilakukan upaya-upaya
penyelesaian dengan tuntas. Hal yang terjadi dengan kondisi seperti ini
masyarakat terus melakukan aktivitas tapi seperti pencuri di tanah mereka
sendiri. Hasilnya adalah hasil pertanian yang diperoleh oleh rakyat tidak
pernah memuaskan sementara disisi lain kondisi Taman Nasional semakin tidak
jelas.
Gambaran
tentang luasan kebun dan sawah yang di Taman Nasional Kerinci Seblat adalah hal
serius yang mengancam keselamatan taman nasional secara keseluruhan dengan
kebutuhan akan lahan dalam pemenuhan ekonomi masyarakat, praktik selama ini
adalah adanya kecenderungan pembiaran dari setiap aktivitas yang merusak di
wilayah ini, Tidak ada hal signifikan yang dilakukan baik dari pihak balai
taman nasional maupun dari pihak terkait lainnya untuk menyelesaikan secara
tuntas berkenaan dengan persoalan yang ada.Masyarakat yang selama ini sudah
melakukan aktivitas di wilayah taman nasional sampai sekarangpun tetap
beraktivitas walau dengan cara diam-diam. Mereka membuka kebun dan menanam padi
di areal, jika kebetulan sedang ada operasi dari masyarakat menghindar. Hal ini
berlangsung secara terus menerus sejak ditetapkannya taman nasional sampai
sekarang ini. Kondisi ini sebenarnya tidak dapat dipersalahkan karena mereka
memang sejak dahulu beraktivitas di wilayah tersebut, selain dari latar
belakang penetapan kawasan yang tidak partisipatif.
Selain meletakkan kedaulatan
pengelolaan hutan pada masyarakat, pola pengakuan hak atas adat masyarakat
hukum adat Rejang ini juga harus menekankan prinsip dasar sistem pengelolaan
hutan pada pengertian ekosistem (Ecosystem Based Principles). Hal ini
dicirikan oleh aspek kelestarian semua kehidupan tergantung pada kesatuan
ekosistem yang mencakup komposisi, struktur dan proses. Karena itu antara
masyarakat setempat dan kehidupan sosial, ekonomi dan budayanya berada dalam
suatu kesatuan ekosistem hutan. Secara langsung maupun tidak, para pemanfaat
atau pengguna hasil hutan dan jasa harus berbagi tanggung jawab untuk mempertahankan
dan memperbaiki ekosistem. Dalam konteks keutuhan ekosistem maka komoditas yang
diusahakan memiliki tingkat keragaman yang tinggi dan tidak hanya tergantung
pada ekstraksi salah satu komoditas tertentu.
Untuk mewujudkan prinsip pengelolaan
hutan yang berbasis masyarakat hukum adat, sangat diperlukan adanya perubahan
paradigma pembangunan, kebijakan dan peraturan di sektor kehutanan,
kelembagaan, termasuk perilaku dan budaya setiap pihak yang terlibat
(stakeholders). Hal tersebut di atas dapat tercapai bila dalam proses
penyusunan dan implemntasi kebijakan mengakomodir dua hal penting. Pertama:
dalam proses penyusunan kebijakan harus menerapkan prinsip demokrasi,
transparansi, dan partisipasi; Kedua: dalam implementasi kebijakan harus
menegakkan prinsip konsistensi dan non diskriminasi.
Pada tahun 1999
terbit UU No. 22 tahun 1999 dan diperbaharui dengan UU no. 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. UU yang bercorak desentralisasi ini memberi
peluang bagi setiap daerah untuk menerapkan kembali sistem pemerintahan
tradisional sehingga diakui dalam tata hukum Indonesia. Peluang desentralisasi
ini dimanfaatkan dengan baik oleh Badan Musyawarah Adat (BMA) Kabupaten Rejang
Lebong. Kabupaten Rejang Lebong merupakan kabupaten induk dari Kabupaten
Lebong, sebelum pemekaran tahun 2003. BMA beserta elemen pendukung masyarakat
adat termasuk Akar Founadtion kemudian melakukan kerja-kerja dalam mendorong
eksistensi sistem lokal yang dianut oleh sebagian besar penduduk di Kabupaten
Rejang Lebong.
Sepanjang tahun 2006-2007
telah dilahirkan beberapa kebijakan daerah Kabupaten Rejang Lebong dalam
mendukung eksistensi kelembagaan ini, terutama pada penguatan hukum adat
Rejang, beberapa kebijakan tersebut antara lain:
- Keputusan Bupati
Rejang Lebong No 58 tahun 2005 tentang Pelaksanaan Hukum Adat Rejang
- Keputusan Bupati
No 93 tahun 2005 tentang Kumpulan Adat bagi Masyarakat Adat di wilayah
Kabupaten Rejang Lebong
- Keputusan Bupati
No 338 tahun 2005 tentang Pengangkatan Jenang Kutai
- Peraturan Daerah
No 2 tahun 2007 tentang Pemberlakuan Hukun Adat Istiadat Rejang dalam
wilayah Kabupaten Rejang Lebong
- Peraturan Bupati
No 231 tahun 2007 tentang Tugas Jenang Kutai (Hakim Desa), Pedoman susunan
Acara dan Astribut atau Pelengkapan pada Pelaksanaan Kegiatan Adat di Desa
dan Kelurahan dalam Kabupaten Rejang Lebong
Melalui UU No 39 Tahun 2003 terbentuklah Kabupaten
adminsitratif yaitu Kabupaten Lebong yang merupakan hasil pemekaran dari
Kabupaten Rejang Lebong. Pasca Pemekaran Kabupaten (tahun 2003) pengakuan hukum
asli/Hukum Adat Rejang belum diakui secara formal oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten Lebong meskipun ditingkat Kampung/Desa tertib Hukum ini masih
dijalankan dengan baik oleh warga dibawah pimpinan Kepala Adat dan Ketua Kutai.
Tahun 2012, Akar Foundation melihat perkembangan desentralisasi
sebagai peluang untuk mendorong pengakuan atas hak-hak adat Rejang di lingkup
Kabupaten Lebong. Akar Foundation terlibat beberapa kali diskusi intensif
dengan para pihak di Kabupaten Lebong. Pihak-pihak yang dimaksud adalah para
pihak yang dianggap bisa melakukan percepatan pemberlakuan hukum adat. Bagian
Hukum Pemda, DPRD bersepakat untuk membuat 3 (tiga) Rancangan Peraturan Daerah
(RAPERDA) tentang pengakuan instrumen sebagai dasar pengakuan Masyarakat Hukum
Adat di Kabupaten Lebong.
Pada tahun 2012 telah disusun Rancangan Peraturan
Daerah (RAPERDA) tentang Lembaga Adat, Rancangan Peraturan Daerah (RAPERDA)
tentang Hukum Adat dan Rancangan Peraturan Daerah (RAPERDA) tentang Tulisan
Adat (Ka Ga Nga). Dari tiga Rancangan Peraturan Daerah (RAPERDA) ini, dua
diantaranya masih dalam proses pembahasan di Badan Legislasi (Baleg) DPRD
Kabupaten Lebong dan tidak mengalami perkembangan dan bahkan di hentikan dari
pembahasan. Dari tiga Ranperda tersebut hanya Rancangan Peraturan Daerah
(RAPERDA) tentang Tulisan Adat (Ka Ga Nga) yang berlanjut pembahasannya dan
telah disahkan menjadi Peraturan Daerah Kabupaten Lebong No 4 tahun 2013
tentang Aksara Ka Ga Nga.
Secara resmi dalam proses mendorong pengkuan
masyarakat hukum adat ini pada tahun 2013 Akar Foundation melakukan kesepakatan
dan Pemerintahan Daerah Kabupaten Lebong dengan menandatangani perjanjian kerja
sama antara Pemerintah Daerah Kabupaten Lebong Provinsi Bengkulu dengan Akar
Foundation dan HuMA (Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat
dan Ekologis) dengan Nomor: 89/ FH-A.1-IV/II/2013 dan Nomor:
55/S.Prog-HuMa/NW/2013. Perjanjian Kerja Sama yang dimaksud adalah untuk
mendukung peningkatan kapasitas instansi dan sumber daya manusia serta
peningkatan kualitas produk hukum di daerah Kabupaten Lebong, Provinsi
Bengkulu.
Baru, pada tanggal 24 Oktober 2014 Akar Foundation
melakukan konsultasi Publik dan mengajukan Draft Naskah Akademik dan Rancangan
Peratura Daerah (Raperda) tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum
adat Rejang di Kabupaten Lebong Propinsi Bengkulu Kepada DPRD Kabupaten Lebong
yang di terima oleh Ketua DPRD, Ketua Komisi II dan Ketua Badan Legislasi DPRD
Kabupaten Lebong yang disaksikan oleh Sekretaris Daerah, Kepala Bagian Hukum,
Kepala Bagian Pemerintahan, Dinas Kehutanan, BAPEDA Kabupaten Lebong, Akademisi
dan 9 (sembilan) orang Kepala Desa dan 20 (dua puluh) orang Tokoh Masyarakat
Adat Marga Suku IX dan Jurukalang Kabupaten Lebong.
Pada pertemuan ini, Draft Raperda ini disepakati
menjadi draft Raperda Inisiatif DPRD Kabupaten Lebong. Untuk percepatan
pengakuan ini tentu disepakati pembagian kerja dan aktivitas yang segera untuk
dilaksanakan sebagai bagian dari rencana percepatan pengakuan, tidak hanya
konsolidasi dengan para pihak, tetapi juga perlu perluasan isue ke publik untuk
mendukung percepatan pengakuan ini. Pada prosesnya Draf Ranperda dan Naskah
Akademik yang merupakan hasil dari riset aksi dan pemetaan potensi tata kelola
wilayah adat ini selama selama 3 tahun. Dan, dari proses kondolidasi yang dilakukan
di Sebelas Kutai Model di Kutai Embong Uram, Embong I, Kota Baru, Kota Baru
Santan dan Plabai Marga Suku IX dan Kutai Talang Donok, Talang Donok I, Bajok,
Teluk Diyen, Talang Ratu dan Suka Sari Marga Jurukalang serta konsolidasi
politik baik di tingkat local maupun nasional, draf Ranperda dan Naskah
akademik ini dilakukan 5 (lima) kali konsultasi publik dan 4 (empat) kali
terjadi perubahan.
Akhirnya, pada Selasa 23/5/2017, DPRD Kabupaten Lebong
melaksanakan Rapat Paripurna pendapat akhir fraksi terhadap enam Rancangan
Peraturan Daerah (Raperda) Eksekutif dan Legislatif DPRD. Lima fraksi yang
hadir pada Rapat Paripurna ini yaitu Fraksi Demokrat, Fraksi Nasdem, Fraksi
Golkar, Fraksi Hanura dan Fraksi PKB. Dan, Paripurna ini di hadiri oleh
Sekretraris Daerah Kabupaten Lebong, dan unsur SKPD, Muspida, Tripika dan
Masyarakat Hukum Adat yang ada di Kabupaten Lebong dan 16 orang anggota DPRD
yang dimimpin oleh Azman May Dolan, dan dalam Pidatonya menyatakan bahwa
Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum
adat Rejang di Kabupaten Lebong disahkan menjadi Peraturan Daerah tentang
Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum adat Rejang di Kabupaten Lebong.
Pada tanggal 15 September 2017 Peraturan Daerah ini resmi di Undangkan dalam
lembaran Negara dengan PERDA No 4 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan
Masyarakat Hukum Adat Rejang. Pengakuan ini menjadi titik awal dan sekaligus
titik balik dalam usaha pengembalian hak-hak Masyarakat Hukum Adat Rejang
setelah sekian lama secara struktural dan sistematis diambil alih oleh Negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar