Oleh: Erwin Basrin
Pada semua agama yang hidup pasti terdapat ketegangan. Penyebabnya terletak pada kesadaran beragama itu sendiri, sejalan dengan garis yang memisahkan antara Tuhan yang disembah dan umat yang menyembahnya, atau antar perasaan kesucian dan perasaan bedosanya. Semua agama menyatakan bahwa Tuhan berbeda dengan sesuatu yang lain. Tetapi pada saat yang sama, umat menyebahnya menyadari akan dekatnya Tuhan, dan ketidakmungkinannya untuk memisahkan antara ide tentang Tuhan dan pengalaman spiritual dirinya sendiri. Dalam pengalaman-pengalaman atau ibadat-ibadat pada setiap agama, yang merupakan ajaran dari para pendirinya, kedua unsur itu senantiasa berdampingan yang, sampai tingkatan tertentu, terpadu satu sama lain. Karena kedua unsur itu terpadu erat dalam pengalaman spiritual mereka, maka disitulah keduanya memperoleh kekuatan kreatif. Tetapi dalam kehidupan para pemeluk agama-agama tersebut timbul ketegangan. Secara parsial untuk sementara waktu, sebagian besar umat beragama akan cenderung mengikuti salah satu di antara kedua pilihan tersebut dan akan menyembah Tuhan yang lebih transendental[1] atau Tuhan yang lebih imanen.
Pada semua agama yang hidup pasti terdapat ketegangan. Penyebabnya terletak pada kesadaran beragama itu sendiri, sejalan dengan garis yang memisahkan antara Tuhan yang disembah dan umat yang menyembahnya, atau antar perasaan kesucian dan perasaan bedosanya. Semua agama menyatakan bahwa Tuhan berbeda dengan sesuatu yang lain. Tetapi pada saat yang sama, umat menyebahnya menyadari akan dekatnya Tuhan, dan ketidakmungkinannya untuk memisahkan antara ide tentang Tuhan dan pengalaman spiritual dirinya sendiri. Dalam pengalaman-pengalaman atau ibadat-ibadat pada setiap agama, yang merupakan ajaran dari para pendirinya, kedua unsur itu senantiasa berdampingan yang, sampai tingkatan tertentu, terpadu satu sama lain. Karena kedua unsur itu terpadu erat dalam pengalaman spiritual mereka, maka disitulah keduanya memperoleh kekuatan kreatif. Tetapi dalam kehidupan para pemeluk agama-agama tersebut timbul ketegangan. Secara parsial untuk sementara waktu, sebagian besar umat beragama akan cenderung mengikuti salah satu di antara kedua pilihan tersebut dan akan menyembah Tuhan yang lebih transendental[1] atau Tuhan yang lebih imanen.
Di dalam Islam pun terdapat ketegangan seperti ini, di dalam Al Quran
transendensi Allah dinyatakan berkali-kali secara mutlak sehingga kelihatan
tidak memberi peluang sama sekali kepada ajaran imanensi. Namun demikian
transendensi Tuhan yang tidak dapat dibayangkan ini tidak mengecualikan
sifat-sifat cinta dan kehalusan yang dimiliki-Nya, dan karena itu Allah ada
bersama-sama sedemikian rupa dalam kehidupan spiritual manusia sehingga
dikatakan bahwa Allah “lebih dekat kepada manusia daripada urat lehernya
sendiri.”
Belakangan ini, saya melihat ada kecenderungan baru dalam
pemikiran “gerakan” Islam untuk menampilkan ajaran-ajaran spekulatif dengan
memaksakan argumen logika terhadap hal-hal yang bisa dikatakan terlalu jauh.
Dengan memulai dari premis kongkrit yang ada, argumen tersebut diajukan dengan
mengunakan qiyas atau silogisme. Pencampuradukan antara wacana religius mistis
dan diskursus ideologis yang tidak suci mencapai efikasi mobilisasional
maksimum dan pengaruh yang deskruktif terhadap penataan semantik masyarakat.
Pencampuradukan ini menimbulkan inversi nilai-nilai yang bisa jadi menjadi
sangat berbahaya. Secara sederhananya begini, membicarakan Tuhan dalam
pegertian figur manusia yang, menalari Tuhan dengan pemikiran manusia.
Kondisinya belum begitu bahaya jika dibandingkan dengan antroposofisme[2],
ajaran religio-politik yang perhatian dipusatkan pada manusia, bukan Tuhan.
Saya merasa bersalah bila berasumsi bahwa formulasi teologik
mengenai ajaran Islam manapun secara pasti menunjukan realitas yang hidup dalam
pemikiran dan pengalaman umat Muslim, walaupun saya sama sekali tidak akan
mengingkarinya secara a priori. Memang bisa dikatakan, salah satu
gambaran yang paling membingungkan dalam sistim ajaran Islam adalah bahwa
hubungan antara formulasi lahiriah dan fungsi atau realitas batiniah sering
merupakan hubungan yang sama sekali tidak langsung. Ajaran Islam ortodoks
tentang taqdir misalnya, dalam formulasi teologiknya diambil dari sederatan
dalil logika yang dimaksudkan untuk mengemukakan imbauan paling kuat mengenai
limitasi teoritik terhadap kemahakuasaan Allah dan dikuatkan dengan
kecenderungan dominan walaupun sama sekali tidak bersifat ekslusif dalam
ayat-ayat Al Quran yang berkaitan dengan masalah kebebasan kehendak.
Ajaran ini pada umumnya disebut sebagai penyebab timbulnya apa
yang disebut dengan jabariyyah atau “fatalisme muslim”. Saya kira
argumen lain bisa dikemukan untuk mendukung pendapat yang berlawanan dengannya
yaitu qadariyyah, dan bagai manapun juga, fatalisme dikalangan muslim
tidak berlaku sangat luas melampui apa yang terdapat di kalangan umat manapun.
Dimana kemiskinan dan kebodohan menimbulkan sikap pasrah dalam menghadapi
berbagai penyakit jasmani, bencana alam, dan tindakan kekerasan. Orang Muslim
senatiasa memikirkan hari esok, dia berkeyakinan bahwa perbuatan-perbuatan yang
dikehendakinya akan menimbulkan akibat-akibat yang dikehendeki pula.
Dan, Islam sejak lama digambarkan sebagai agama “totaliter.”
Tetapi semua gagasan keagamaan yang memberi bentuk kepada pandangan imajinatif
dan kandungan pemikiran manusia dan yang menentukan perbuatan dari kehendak
manusia secara potensial atau secara prinsipil bersifat totaliter.
Gagasan-gagasan itu harus berusaha menerapkan pembakuan-pembakuan dan
aturan-aturannya sendiri mengenai semua kegiatan dan lembaga sosial sampai
dengan hukum dan pemerintahan. Agama Yahudi dalam pengertian ini juga bersifat
totaliter dan demikian juga dengan agama Kristen. Bila kita melupakan hal ini,
maka hal itu hanya dikarenakan oleh kenyataan bahwa sejak tahun-tahun pertama
agama Kristen dipaksakan untuk mengakui otoritas hukum Romawi dan karena,
ketika ia tampak memperoleh kemenangan melalui perjuangan panjangnya dengan
feodalisme jermanik di abad pertengahan, ia terpaksa mendapatkan serangan dari
dua musuh baru yang pantang kompromi yaitu humanisme dan sains. Dan sians itu
sendiri semakin berkembang menjadi gagasan totaliter, setelah menghancurkan
perlawanan agama dengan kerja samanya dengan humanisme dan liberalisme ekonomi.
Bila boleh kita menilai dengan ramalan-ramalan untung-ruginya, totalitarianisme
ilmiah itu memang benar-benar sedang mempersiapkan diri untuk menguasai dunia
secara keras dan kejam melampui semua yang pernah dialami umat manusia selama
ini.
Tetapi, totalitarianisme dalam keyakinan agama hanya belenggu yang
ringan dan mudah saja. Walaupun para pemegang otoritas agama itu “tidak jelas
pemikirannya,” setidak-tidaknya mereka mengakui nilai dan keperibadian setiap
orang dan karenanya mereka memberikan kebebasan yang agak longgar. Dalam Islam,
sebagaimana telah kita lihat, kebebasan ini dikembangkan lebih jauh dengan
kelonggaran organisasi. Tetapi, seperti semua pemerintahan totaliter, ia
berusaha mengawasi atau mencegah pengkomunikasian dan penyebaran
“pemikiran-pemikiran yang membahayakan.”
Ada baiknya kita memperhatikan secara lebih cermat berbagai implikasi
dari konsep “pemikiran-pemikiran yang membahayakan” ini. Berbahaya terhadap
apa? Terhadap nasib seseorang? Bagaimanapun juga, bila seseorang memilih untuk
menghadapi resiko siksa di neraka, ia merupakan persoalan pribadinya. Taruklah,
untuk memurnikan ajaran dan pembebasan umat, yang barangkali dapat dikatakan
dalam bahaya karena adanya kerancuhan? Mungkin, tetapi ini agak kurang
konsisten dalam masyarakat yang mengakui “konsensus” atau Ijma sebagai
sesuatu yang bersifat normatif. Tetapi ketidaksamaan pendapat mengenai ajaran
dapat menimbulkan perpecahan dan perselisihan, dan ini merupakan persoalan yang
paling rumit untuk dipecahkan. Konsepsi yang menalandasinya adalah bahwa suatu
kelompok masyarakat tidak dapat stabil bila ia tidak diwarnai dengan etika yang
bersumber pada keyakinan agama yang benar. Etika itu tidak dapat stabil bila
keyakinan agama itu tidak terbebaskan dari berbagai pengaruh ajaran yang
menyimpang. Jadi, tidak hanya pelestarian etika yang lebih penting dari pada
fleksibilitas dan keselarasan dalam masyarakat, tetapi ia merupakan
satu-satunya syarat yang diperlukan agar masyarakat dapat berkembang ke arah
yang benar, yaitu menuju integrasi sosial pada tingkatan yang lebih tinggi dan
menuju kehidupan perorangan yang lebih berimbang.
Dalam menghadapi persoalan-persoalan etika dan lembaga-lembaga
sosial, kita menyaksikan dorongan dari kalangan yang benar-benar pembaharu
tetapi dilupuhkan sendiri oleh berbagai kontradiksi intelektual dalam dirinya
dan diselewengkan oleh nafsu yang berlebih-lebihan sehingga membentuk dirinya
menjadi apologetika[3].
Gambaran sederhananya begini, dalam sikap mental di kalangan hampir semua umat
muslim terdapat unsur kuat yang barangkali bisa kita sebuat sebagai “bahan baku
panteisme[4],”
yang saya maksudkan disini misalnya,
adalah warisan animisme primitif, kepercayaan terhadap adannya roh-roh dan
segala macam kekuatan gaib dan sihir. Meskipun di antara
kepercayaan-kepercayaan dan ibadat-ibadat animistik ini secara tegas ditolak
oleh Islam dan dinyatakan tidak termasuk bagian dari ajarannya, beberapa di
antaranya mendapatkan pengakuan dan memberi jalan kepada penyembahan para wali,
habib dan kepercayaan terhadap tingkatan wali-wali, yang memiliki kemampuan
untuk berhubungan langsung dengan Allah di dunia ini, dan unsur-unsur sejenis
lainnya, yang meresap masuk ke dalam pemikiran umat.
Saat ini pemikiran umat, banyak sekali makmum “panteisme” yang
berpikir secara normatif dan apologetika. Mereka beranggapan bahwa norma yang
dihasilkan pemikirannya bersifat absolut dan universal. Ini terutama terjadi
dalam pemikiran yang menyeret-nyeret agama kedalam sistem sosial, politik,
ekonomi dan bahkan pemikiran-pemikiran di bidang internal agamapun “panteisme”
mendulang makmum. Pemikiran akulah yang benar karena itu harus diikuti. Dalam
keadaan seperti ini, kita dengan mudah jatuh pada kebekuan dan kebuntuan
pemikiran kita. Apa yang dinamis menjadi statis, apa yang cair dan dapat
dibentuk, menjadi beku dan menutup terjadinya perkembangan. Semua pihak merasa
dirinya paling benar.
Kesimpulan praktis dari tulisan sederhana ini adalah bahwa jalan
menuju pemaduan “ketegangan” adalah meninjau kembali metode ilmiah yang mereka
gunakan dan mencoba memperluas dan memperdalam jangkauannnya. Jalan itu justru
sebaiknya dicari dalam revaluasi data pemikirannya melalui pengembangan
pemikiran yang holistik. Hanya pemikiran holistiklah yang dapat mengembalikan
kelenturan yang dituntut oleh tugas ini, demi keberhasilannya dalam membebaskan
pandangan gerakan nalar abadi dari kelusuan, penafsiran-penafsiran
yang berhenti, dan tambahan disana-sini karena campur tangan perangkat dan
kehendak manusiawi.
Dengan demikian hanya, pemikiran sejarahlah yang mengajarkan
kepada manusia atas tindakan yang benar sesuai dengan keluhuran martabat dan
kahalusannya, yang dapat menjinakan kecongkakan teologis dan ilmiahnya. Ini
bukanlah proses yang mudah dilakukan, atau senantiasa merupakan proses yang
menyenangkan. Pengalaman menunjukan betapa mendalamnya unsur emosi mempengaruhi
semua pemikiran kita, betapa ia senantiasa menganggu upaya dan penilaian kita
terhadap berbagai fakta, betapapun ketatnya kita berusaha melepaskan diri dari
cengkeramannya, dan betapa ampuhnya ia membelokkan perhatian kita kepada
sesuatu yang tidak ingin kita lihat. Jika meminjam Karl Mannheim, dalam sejarah
umat manusia belum pernah ada yang mampu mempertahankan suatu tingkatan budaya
yang pernah dicapainya tanpa menjaga kesinambungannya dengan para pengemban
warisan kultural sebelumnya dan dengan cara-cara mereka untuk merasionalisakan dan
meningkatkannya.
Akhirnya, dari ketegangan-ketegangan yang terjadi dapatkah kita
mengamati petunjuk-petunjuk atas adanya gerakan dalam pemikiran Islam dan agama
ke arah yang lebih baik? Memang petunjuk itu sedikit sekali, tetapi ada. Tetapi
yang tidak ingin kita lihat berapa di permukaan, kalangan ortodoks tampaknya
tengah mengerahkan kemampuan mereka untuk merumuskan suatu ajaran, stigmatisasi
atas pribumi, non-Muslim, 212 dan seterusnya bisa jadi sebagai implementasi
“panteisme.” Namun, karena kekakuan dan tuntutannya untuk berkompromi
dengannya, ternyata bertentangan tidak hanya dengan pandangan revolusioner dari
para “pembaharu” tetapi juga bahkan bertentangan dengan watak tradisi Islam
yang penuh toleransi. Tetapi boleh jadi ekses dari formalitas kaum ortodoks ini
sendiri merupakan suatu tanda yang mengkhawatirkan. Sehingga, kita harus
membuang kerangka dualistik pengetahuan yang menjebak nalar melawan imajinasi,
sejarah melawan mitos, benar melawan salah, baik melawan buruk dan akal melawan
iman. Kita harus mempostulasikan corak rasionalitas yang berubah dan menyambut
baik, corak rasionalitas yang konsisten dengan operasi-operasi psikologis yang
oleh Al Quran di tempatkan di dalam kalbu dan yang oleh antropologi kotemporer
dicoba untuk diperkenalkan kembali di bawah label citra.
[1] Transenden, berasal dari bahasa Latin
Transcendere adalah kondisi berada di luar lawannya adalah imanen, dalam
metafisika dan teologi, Tuhan dikataakan transenden dalam hal sempurna, tidak
dapat dipahami, jauh dari alam dan tidak terikat dengan manusia biasa.
[2] Antroposopfisme adalah sistem ajaran
religio-politik, terdiri dari berbagai macam unsur, termasuk neo-teosifi,
reinkarnasi, okultisme (simbolisme warna-warna).
[3] Apologi atau apologetika yaitu ucapan atau
tulisan untuk membela diri, dalam ilmu agama apologi dimaksudkan sebagai usaha
untuk membuktikan bagi dirinya sendiri dan juga bagi orang lain bahwa
agamanyalah yang baik.
[4] Panteisme dalah kepercayaan yang menyataan
bahwa segala sesuatu adalah tuhan atau tuhan adalah segala sesuatu, yakni
memasukkan segala sesuatu ke dalam tuhan dan mengingkari personalitas kepada
tuhan atau sesuatu yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar