Memperkenalkan Commoning Care - Erwin Basrin

Breaking

Recent Posts

 photo Untitled-1_1.jpg

Minggu, 29 Juni 2025

Memperkenalkan Commoning Care

 



Keberlanjutan kehidupan kolektif merupakan tantangan mendesak bagi komunitas adat di Indonesia. Menjaga alam, budaya, dan solidaritas antar anggota komunitas di tengah tekanan ekonomi-politik dan ekologi membutuhkan pendekatan inklusif. Commoning care adalah gagasan yang dapat memperkuat cara komunitas adat merawat kehidupan bersama. Istilah ini menggabungkan dua ide utama: commoning (pengelolaan sumber daya bersama) dan care (perawatan/kepedulian). Konsep ini menekankan bahwa merawat sesama dan lingkungan adalah aktivitas kolektif, bukan hanya urusan individu.


Secara konseptual, commoning care adalah kerangka pemikiran yang melihat kegiatan perawatan (care) sebagai bagian integral dari commons atau kekayaan bersama. Dalam pandangan ini, kegiatan merawat (anak, orang tua, ternak, lahan, dan makhluk hidup lain) bukanlah beban tugas individu atau komoditas pasar, melainkan usaha kolektif yang mendukung keberlanjutan komunitas dan ekosistem. Perawatan diposisikan sebagai nilai bersama yang menyatukan anggota komunitas dalam tanggung jawab kolektif.

 

Dalam perspektif feminis-ekologis, kerja perawatan sering menjadi “commons tersembunyi.” Maria Puig de la Bellacasa (2017) menegaskan bahwa care mencakup “segala hal yang dilakukan … untuk mempertahankan, melanjutkan, dan memperbaiki dunia agar semua makhluk dapat hidup di dalamnya sebaik-baiknya.” Memaknai care sebagai commons berarti perawatan bukanlah urusan pribadi semata, melainkan kewajiban sosial bersama. Artinya, memelihara anak, keluarga, atau lahan adat adalah bagian dari menjaga commoning care – kepedulian komunitas terhadap kehidupannya sendiri.

 

Istilah commoning care banyak dikembangkan oleh pemikir gerakan degrowth dan feminis ekonomi. Mereka mencatat bahwa masyarakat subsisten tradisional telah lama mempraktikkan prinsip commoning care. Misalnya, Dengler dan Lang (2022) mencatat komunitas agraris subsisten tidak menjual panen pokoknya untuk keuntungan pribadi, melainkan untuk ketahanan hidup keluarga dan komunitas. Akibatnya, seluruh tenaga kerja yang terlibat adalah tenaga kerja sosial yang bergotong-royong. Praktik semacam ini menunjukkan bahwa produksi pangan dikelola secara komunal dengan kepedulian bersama, bukan diarahkan oleh logika pasar.

 

Meskipun terdengar abstrak, banyak komunitas adat di Indonesia sudah menjalankan nilai serupa. Tradisi gotong-royong, kerja bersama saat panen, dan aturan adat yang melarang penjualan hasil pangan primer mencerminkan prinsip merawat bersama. Beberapa komunitas menetapkan pantangan adat untuk menjual padi atau air, karena kebutuhan tersebut dianggap milik Bersama. Praktik-praktik seperti ini selaras dengan commoning care yang menekankan pemenuhan kebutuhan bersama tanpa logika jual-beli.

 

Dari sudut teori, commoning care mengintegrasikan gagasan commons dan care. Commons tradisional sering dikaji sebagai sumber daya bersama (air, tanah, hutan, dll.). Namun, jika commons dipahami sebagai aktivitas (commoning), fokusnya bergeser pada proses sosial-kolektif di baliknya. Dengan pendekatan commoning, perhatian tertuju pada bagaimana komunitas secara aktif merawat anggotanya dan lingkungannya bersama-sama, di luar mekanisme pasar atau birokrasi negara.

 

Kerja perawatan (carework) juga merupakan isu gender. Penelitian feminis ekonomi menunjukkan bahwa carework – mencakup memasak, mengurus anak, merawat lansia, hingga merawat alam – umumnya tidak dibayar dan dianggap “bukan pekerjaan” dalam logika ekonomi patriarkal (Federici, 2012; Fraser, 2016). Akibatnya, perempuan memikul beban kerja ganda tanpa kendali penuh atas waktunya. Commoning care menentang kondisi ini dengan menyatakan bahwa tanggung jawab merawat harus menjadi tanggung jawab sosial bersama, bukan hanya dibebankan pada individu tertentu. Dengan kata lain, commoning care mendorong pengorganisasian perawatan secara kolektif dan adil gender, sehingga beban tidak hanya jatuh pada perempuan saja (Dengler & Lang, 2022).

 

Pendekatan commoning juga mengajak kita melihat perawatan lintas batas sosial. Misalnya, dalam praktik commoning care, masyarakat mengorganisir pendidikan, kesehatan, dan perawatan lansia tanpa bergantung sepenuhnya pada pasar atau layanan negara. Sebagai contoh internasional, kelompok Regeneración di New York City menjalankan koperasi pengasuhan anak bagi keluarga LGBT dan imigran berpenghasilan rendah. Mereka mendirikan pusat penitipan anak yang dikelola bersama, berbagi tanggung jawab perawatan, sehingga orang tua dapat aktif di masyarakat. Meskipun konteksnya berbeda, semangat serupa terlihat di banyak komunitas adat: tanggung jawab kepedulian terhadap anak, lansia, dan lingkungan diorganisir oleh solidaritas internal komunitas.

 

Di Indonesia, semangat commoning care tercermin dalam tradisi adat yang menghargai kearifan lokal. Banyak komunitas adat secara tradisional menolak logika pasar terhadap tanah dan hutan mereka. Misalnya, komunitas subsisten sering memiliki aturan adat melarang penjualan padi, air, atau lahan karena ketahanan hidup komunitas dianggap lebih utama daripada keuntungan finansial. Dalam konteks demikian, warga bergantung pada kerja sosial sesama anggota—bukan membeli layanan—untuk memenuhi kebutuhan kolektif (seperti membagi hasil panen, obat tradisional, dan pendidikan dasar). Intinya, commoning care memandang merawat sesama manusia dan alam sebagai kekayaan bersama yang harus dipelihara kolektif.

 

Banyak tradisi adat di Indonesia sejatinya mengandung unsur commoning care. Beberapa praktik nyata antara lain:

 

  • Sasi di Maluku: Sasi adalah sistem pengelolaan sumber daya adat di Maluku. Masyarakat menutup sementara wilayah tangkapan ikan atau area hutan tertentu berdasarkan kalender lokal dan tanda alam. Saat sasi berlaku, warga dilarang menangkap ikan, menebang kayu, atau membuang sampah di zona tersebut sehingga stok ikan dan ekosistem terjaga. Setelah masa tutup selesai, wilayah sasi dibuka kembali dengan upacara adat, dan masyarakat secara bersama-sama memanen hasilnya. Sistem ini menunjukkan prinsip merawat sumber daya secara komunal untuk generasi berikutnya.
  • Subsistensi Kasepuhan (Jawa Barat): Komunitas Kasepuhan Ciptagelar mengimplementasikan commoning care dalam skala luas. Mereka menggunakan hampir seluruh panen padi untuk kebutuhan sendiri, serta memanfaatkan teknologi ramah lingkungan bersama. Desa ini membangun pembangkit listrik mikrohidro dari sungai setempat (118 kW untuk sekitar 33.000 jiwa) dan mengoperasikan radio/TV komunitas untuk memenuhi kebutuhan informasi secara mandiri tanpa tergantung media komersial. Contoh ini menggambarkan bagaimana masyarakat mengelola sumber daya energi dan budaya secara bersama untuk kebutuhan kolektif, menjaga keberlanjutan lingkungan dan budaya lokal.
  • Sistem Handil dan Kaleka (Dayak Kahayan, Kalteng): Masyarakat Dayak Kahayan di Desa Kalawa (Hulu Sungai Kahayan) memiliki sistem adat pengelolaan lahan terpadu. Handil adalah batas pengelolaan lahan berbasis sungai: beberapa keluarga menanam di kanan-kiri sungai yang sama, dengan seorang kepala handil yang menyelesaikan konflik secara musyawarah. Handil bukan sekadar batas fisik, melainkan struktur sosial yang menjaga keharmonisan pengelolaan lahan pertanian dan hutan bersama. Sedangkan kaleka adalah sistem agroforestri: masyarakat menanam padi, buah-buahan, dan tanaman obat secara bergantian di satu area, tanpa pupuk kimia, sehingga menjamin kesuburan tanah dan hasil panen memadai. Kedua sistem ini menerapkan kerja sosial kolektif—keluarga besarnya saling bergotong-royong tanpa upah—untuk menjaga kelestarian lingkungan dan ketahanan pangan.
  • Pengelolaan Hutan Adat: Di berbagai daerah (Sumatera, Sulawesi, Papua, dst.), banyak komunitas adat berjuang mengelola hutan adat secara komunal. Misalnya, gerakan community logging yang difasilitasi lembaga seperti Telapak membentuk koperasi pengelolaan hutan rakyat. Dalam inisiatif ini, hutan dikelola bersama di bawah prinsip kebersamaan, keadilan, dan keberlanjutan. Koperasi-koperasi tersebut mengelola hasil kayu dan hasil hutan bukan kayu untuk kesejahteraan anggota komunitas, memastikan keuntungan kembali pada kebutuhan masyarakat dan pelestarian hutan. Model ini menunjukkan commoning care dalam praktik pengelolaan alam: masyarakat memperoleh manfaat sumber daya sambil menjaga ekosistem.
  • Aktivitas Komunitas Harian: Kehidupan sehari-hari komunitas adat juga banyak mengandung commoning care. Misalnya, di komunitas Sedulur Sikep (Jateng), perempuan lokal seperti Gunarti mendirikan kelas gratis bagi anak-anak adat, mengajarkan membaca-tulis dan nilai cinta alam tanpa memungut biaya. Di banyak desa, perempuan mengorganisir pengobatan tradisional gratis dan membagi bantuan pangan secara gotong-royong. Gotong-royong juga tampak dalam pembangunan fasilitas umum (sekolah, jalan, posyandu) bersama-sama. Semua aktivitas ini mengutamakan solidaritas dan merawat sesama tanpa logika untung-rugi.

 

Beberapa ciri khas commoning care dalam komunitas adat Indonesia adalah:

 

  • Larangan adat konservatif: Banyak komunitas adat punya pantangan (pamali) melarang eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya pokok. Misalnya, larangan menjual padi, air, atau lahan digarap memastikan ketersediaan pangan dan sumber hidup bagi seluruh anggota komunitas.
  • Kerja sosial kolektif: Pekerjaan reproduktif (bertani, beternak, pekerjaan rumah tangga) dilakukan secara bergotong-royong. Alih-alih tenaga kerja upahan, produksi pangan dan pemeliharaan lingkungan dikelola bersama oleh keluarga besar atau seluruh warga. Seluruh anggota menyumbang tenaga (tenaga sosial) untuk menghidupi keluarga dan komunitas tanpa imbalan finansial.
  • Pendidikan dan pengetahuan bersama: Pengetahuan lokal (bertani, perikanan, obat tradisional) dan nilai moral diwariskan melalui cerita, ritual, dan keterlibatan generasi muda dalam aktivitas komunitas. Pendidikan informal—seperti sekolah alam atau kelas baca gratis—menanamkan nilai saling peduli dan cinta lingkungan tanpa budaya komersial.
  • Prinsip egaliter: Pengambilan keputusan dan pertukaran hasil panen/kerajinan didasari kesetaraan. Pemimpin adat biasanya dipilih berdasarkan kepercayaan bersama, dan keputusan diambil melalui musyawarah. Pendekatan ini melibatkan semua pihak (termasuk perempuan dan anak muda) sehingga tidak ada kelompok dominan yang mendikte kebijakan.
  • Peran perempuan dan keluarga: Dalam commoning care, peran perempuan diakui strategis. Meskipun pembagian kerja tradisional ada, banyak komunitas adat melibatkan perempuan dalam pengelolaan sumber daya dan pengambilan keputusan. Contoh Gunarti (Kendeng) menunjukkan perempuan menjadi penggerak pendidikan dan kesehatan komunitas. Kontribusi perempuan dalam merawat keluarga, lingkungan, dan budaya dihargai sebagai bagian dari kesejahteraan kolektif.

 

Walaupun nilai dan praktik commoning care kuat di masyarakat adat, terdapat hambatan struktural serius:

 

  • Pengambilalihan lahan dan konflik agraria: Wilayah adat sering berbenturan dengan izin korporasi. Data BRWA mencatat sekitar 3,1 juta ha wilayah adat tumpang tindih dengan konsesi perkebunan, HTI, pertambangan, dan HGU. Akibatnya muncul konflik dan perampasan lahan. AMAN melaporkan 301 kasus perampasan wilayah adat seluas 8,5 juta ha (2017–2022) oleh perusahaan besar. Ketika lahan diambil alih, bukan saja mata pencaharian hilang, tetapi tradisi merawat bersama juga terkikis.
  • Birokrasi pengakuan adat: Secara hukum, pengakuan hutan adat diatur dalam mekanisme kompleks. UU Kehutanan No.41/1999 menyatakan hutan adat hanya bisa diperoleh setelah masyarakat hukum adat diakui secara resmi. Verifikasi masyarakat adat (oleh pemda sesuai Permendagri 52/2014) dan pengajuan hutan adat (PermenLHK 9/2021) memakan bertahun-tahun dan biaya besar. Perbedaan politik antara pusat dan daerah kerap menunda pengakuan hak masyarakat adat. Proses birokrasi yang panjang ini menghambat komunitas dalam menjalankan perawatan kolektif mereka.
  • Logika pasar kapitalis: Ekonomi pasar melihat kerja care sebagai biaya. Korporasi memprioritaskan keuntungan finansial tanpa memperhitungkan beban sosial-ekologis. Sebaliknya, commoning care menekankan nilai guna dan keberlanjutan tanpa memperdagangkan kebutuhan dasar. Benturan nilai ini membuat aktivitas commoning care sering dianggap tidak efisien dalam sistem pasar. Selain itu, budaya konsumtif global mengikis nilai gotong-royong: generasi muda desa semakin terpengaruh gaya hidup modern dan materialistis.
  • Ketidaksetaraan gender patriarki: Meskipun commoning care menekankan kolaborasi, patriarki masih melekat. Perawatan keluarga sering dibebankan pada perempuan tanpa imbalan setara. Ketiadaan akses perempuan terhadap sumber daya (lahan, modal) dan keputusan adat melemahkan prinsip egaliter. Jika perempuan tidak sepenuhnya terlibat dan dihargai, maka kerja kolektif perawatan berisiko sekadar memperkuat beban mereka tanpa perubahan struktural.
  • Perubahan iklim dan degradasi lingkungan: Kerusakan lingkungan dan perubahan iklim semakin memperparah kehidupan subsisten. Bencana alam (banjir, kekeringan) mengancam panen dan ketersediaan air. Penurunan keanekaragaman hayati mempersulit metode adat yang bergantung pada alam. Komunitas adat perlu menyesuaikan praktik (misalnya, varietas padi tahan banjir) sambil mempertahankan nilai merawat alam.

 

Tantangan-tantangan di atas saling berkaitan. Misalnya, saat hutan adat dialihfungsikan menjadi perkebunan, tradisi commoning care pun terpinggirkan. Namun banyak komunitas menggabungkan perjuangan legal dengan penguatan budaya. Dalam proses pengajuan hutan adat, masyarakat adat dan LSM seringkali menyelenggarakan lokakarya pengetahuan tradisional—memperkuat identitas lokal sambil mengadvokasi hak kelola. Pendekatan ini membantu masyarakat menggabungkan advokasi hukum dengan revitalisasi commoning care.

 

Commoning care menawarkan cara pandang bahwa merawat adalah praktik kolektif yang mengikat komunitas. Bagi masyarakat adat Indonesia, konsep ini menegaskan nilai gotong-royong, ketahanan pangan bersama, dan pemuliaan sumber daya berdasarkan kearifan lokal. Istilah ini memberi bingkai untuk lebih sadar melihat bagaimana keadilan sosial dan ekologi terjalin dalam kegiatan sehari-hari.

 

Mewujudkan commoning care di lapangan memerlukan dukungan struktural: pengakuan hak adat secara nyata, pengelolaan sumber daya bersama secara demokratis, dan pendidikan tentang pentingnya kepedulian bersama. Peran perempuan harus ditingkatkan, serta kebijakan publik dirancang mendukung gotong-royong. Dengan memperkuat nilai merawat bersama, masyarakat adat tidak hanya mempertahankan identitas budayanya, tapi juga berkontribusi pada masa depan berkeadilan bagi semua makhluk hidup.

 

Commoning care bukanlah konsep asing bagi komunitas adat justru ia sudah tercermin dalam tradisi dan perjuangan mereka. Meski menghadapi tantangan struktural, kolaborasi antara pengetahuan lokal dan gerakan sosial modern dapat menguatkan praktik ini. Diharapkan pemahaman dan penerapan commoning care membantu aktivis serta komunitas adat Indonesia memperkuat ketahanan kolektif, merawat alam bersama, dan mewujudkan keadilan sosial-ekologis.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar