Keberlanjutan kehidupan kolektif
merupakan tantangan mendesak bagi komunitas adat di Indonesia. Menjaga alam,
budaya, dan solidaritas antar anggota komunitas di tengah tekanan
ekonomi-politik dan ekologi membutuhkan pendekatan inklusif. Commoning care
adalah gagasan yang dapat memperkuat cara komunitas adat merawat kehidupan
bersama. Istilah ini menggabungkan dua ide utama: commoning (pengelolaan
sumber daya bersama) dan care (perawatan/kepedulian). Konsep ini
menekankan bahwa merawat sesama dan lingkungan adalah aktivitas kolektif, bukan
hanya urusan individu.
Secara konseptual, commoning
care adalah kerangka pemikiran yang melihat kegiatan perawatan (care)
sebagai bagian integral dari commons atau kekayaan bersama. Dalam
pandangan ini, kegiatan merawat (anak, orang tua, ternak, lahan, dan makhluk
hidup lain) bukanlah beban tugas individu atau komoditas pasar, melainkan usaha
kolektif yang mendukung keberlanjutan komunitas dan ekosistem. Perawatan
diposisikan sebagai nilai bersama yang menyatukan anggota komunitas dalam
tanggung jawab kolektif.
Dalam perspektif feminis-ekologis, kerja perawatan
sering menjadi “commons tersembunyi.”
Maria Puig de la Bellacasa (2017) menegaskan bahwa care mencakup “segala hal
yang dilakukan … untuk mempertahankan, melanjutkan, dan memperbaiki dunia agar
semua makhluk dapat hidup di dalamnya sebaik-baiknya.” Memaknai care sebagai commons
berarti perawatan bukanlah urusan pribadi semata, melainkan kewajiban sosial
bersama. Artinya, memelihara anak, keluarga, atau lahan adat adalah bagian dari
menjaga commoning care – kepedulian
komunitas terhadap kehidupannya sendiri.
Istilah commoning care
banyak dikembangkan oleh pemikir gerakan degrowth dan feminis ekonomi. Mereka
mencatat bahwa masyarakat subsisten tradisional telah lama mempraktikkan
prinsip commoning care. Misalnya, Dengler dan Lang (2022) mencatat
komunitas agraris subsisten tidak menjual panen pokoknya untuk keuntungan
pribadi, melainkan untuk ketahanan hidup keluarga dan komunitas. Akibatnya,
seluruh tenaga kerja yang terlibat adalah tenaga kerja sosial yang
bergotong-royong. Praktik semacam ini menunjukkan bahwa produksi pangan
dikelola secara komunal dengan kepedulian bersama, bukan diarahkan oleh logika
pasar.
Meskipun terdengar abstrak,
banyak komunitas adat di Indonesia sudah menjalankan nilai serupa. Tradisi
gotong-royong, kerja bersama saat panen, dan aturan adat yang melarang penjualan
hasil pangan primer mencerminkan prinsip merawat bersama. Beberapa komunitas
menetapkan pantangan adat untuk menjual padi atau air, karena kebutuhan
tersebut dianggap milik Bersama. Praktik-praktik seperti ini selaras dengan commoning
care yang menekankan pemenuhan kebutuhan bersama tanpa logika jual-beli.
Dari sudut teori, commoning
care mengintegrasikan gagasan commons dan care. Commons
tradisional sering dikaji sebagai sumber daya bersama (air, tanah, hutan,
dll.). Namun, jika commons dipahami sebagai aktivitas (commoning), fokusnya
bergeser pada proses sosial-kolektif di baliknya. Dengan pendekatan commoning,
perhatian tertuju pada bagaimana komunitas secara aktif merawat anggotanya dan
lingkungannya bersama-sama, di luar mekanisme pasar atau birokrasi negara.
Kerja perawatan (carework) juga merupakan isu gender. Penelitian feminis
ekonomi menunjukkan bahwa carework
– mencakup memasak, mengurus anak, merawat lansia, hingga merawat alam –
umumnya tidak dibayar dan dianggap “bukan pekerjaan” dalam logika ekonomi
patriarkal (Federici, 2012; Fraser, 2016). Akibatnya, perempuan memikul beban
kerja ganda tanpa kendali penuh atas waktunya. Commoning
care menentang kondisi ini dengan menyatakan bahwa tanggung jawab merawat
harus menjadi tanggung jawab sosial bersama, bukan hanya dibebankan pada
individu tertentu. Dengan kata lain, commoning
care mendorong pengorganisasian perawatan secara kolektif dan adil gender,
sehingga beban tidak hanya jatuh pada perempuan saja (Dengler & Lang,
2022).
Pendekatan commoning juga
mengajak kita melihat perawatan lintas batas sosial. Misalnya, dalam praktik commoning
care, masyarakat mengorganisir pendidikan, kesehatan, dan perawatan lansia
tanpa bergantung sepenuhnya pada pasar atau layanan negara. Sebagai contoh
internasional, kelompok Regeneración di New York City menjalankan koperasi
pengasuhan anak bagi keluarga LGBT dan imigran berpenghasilan rendah. Mereka
mendirikan pusat penitipan anak yang dikelola bersama, berbagi tanggung jawab
perawatan, sehingga orang tua dapat aktif di masyarakat. Meskipun konteksnya
berbeda, semangat serupa terlihat di banyak komunitas adat: tanggung jawab
kepedulian terhadap anak, lansia, dan lingkungan diorganisir oleh solidaritas
internal komunitas.
Di Indonesia, semangat commoning
care tercermin dalam tradisi adat yang menghargai kearifan lokal. Banyak
komunitas adat secara tradisional menolak logika pasar terhadap tanah dan hutan
mereka. Misalnya, komunitas subsisten sering memiliki aturan adat melarang
penjualan padi, air, atau lahan karena ketahanan hidup komunitas dianggap lebih
utama daripada keuntungan finansial. Dalam konteks demikian, warga bergantung
pada kerja sosial sesama anggota—bukan membeli layanan—untuk memenuhi kebutuhan
kolektif (seperti membagi hasil panen, obat tradisional, dan pendidikan dasar).
Intinya, commoning care memandang merawat sesama manusia dan alam
sebagai kekayaan bersama yang harus dipelihara kolektif.
Banyak tradisi adat di Indonesia
sejatinya mengandung unsur commoning care. Beberapa praktik nyata antara
lain:
- Sasi
di Maluku: Sasi
adalah sistem pengelolaan sumber daya adat di Maluku. Masyarakat menutup
sementara wilayah tangkapan ikan atau area hutan tertentu berdasarkan
kalender lokal dan tanda alam. Saat sasi berlaku, warga dilarang
menangkap ikan, menebang kayu, atau membuang sampah di zona tersebut
sehingga stok ikan dan ekosistem terjaga. Setelah masa tutup selesai,
wilayah sasi dibuka kembali dengan upacara adat, dan masyarakat
secara bersama-sama memanen hasilnya. Sistem ini menunjukkan prinsip
merawat sumber daya secara komunal untuk generasi berikutnya.
- Subsistensi
Kasepuhan (Jawa Barat): Komunitas Kasepuhan Ciptagelar
mengimplementasikan commoning care dalam skala luas. Mereka
menggunakan hampir seluruh panen padi untuk kebutuhan sendiri, serta
memanfaatkan teknologi ramah lingkungan bersama. Desa ini membangun
pembangkit listrik mikrohidro dari sungai setempat (118 kW untuk sekitar
33.000 jiwa) dan mengoperasikan radio/TV komunitas untuk memenuhi
kebutuhan informasi secara mandiri tanpa tergantung media komersial.
Contoh ini menggambarkan bagaimana masyarakat mengelola sumber daya energi
dan budaya secara bersama untuk kebutuhan kolektif, menjaga keberlanjutan
lingkungan dan budaya lokal.
- Sistem
Handil dan Kaleka (Dayak Kahayan, Kalteng): Masyarakat Dayak Kahayan di
Desa Kalawa (Hulu Sungai Kahayan) memiliki sistem adat pengelolaan lahan
terpadu. Handil adalah batas pengelolaan lahan berbasis sungai:
beberapa keluarga menanam di kanan-kiri sungai yang sama, dengan seorang kepala
handil yang menyelesaikan konflik secara musyawarah. Handil
bukan sekadar batas fisik, melainkan struktur sosial yang menjaga
keharmonisan pengelolaan lahan pertanian dan hutan bersama. Sedangkan kaleka
adalah sistem agroforestri: masyarakat menanam padi, buah-buahan, dan
tanaman obat secara bergantian di satu area, tanpa pupuk kimia, sehingga
menjamin kesuburan tanah dan hasil panen memadai. Kedua sistem ini
menerapkan kerja sosial kolektif—keluarga besarnya saling bergotong-royong
tanpa upah—untuk menjaga kelestarian lingkungan dan ketahanan pangan.
- Pengelolaan
Hutan Adat: Di
berbagai daerah (Sumatera, Sulawesi, Papua, dst.), banyak komunitas adat
berjuang mengelola hutan adat secara komunal. Misalnya, gerakan community
logging yang difasilitasi lembaga seperti Telapak membentuk koperasi
pengelolaan hutan rakyat. Dalam inisiatif ini, hutan dikelola bersama di
bawah prinsip kebersamaan, keadilan, dan keberlanjutan. Koperasi-koperasi
tersebut mengelola hasil kayu dan hasil hutan bukan kayu untuk
kesejahteraan anggota komunitas, memastikan keuntungan kembali pada
kebutuhan masyarakat dan pelestarian hutan. Model ini menunjukkan commoning
care dalam praktik pengelolaan alam: masyarakat memperoleh manfaat
sumber daya sambil menjaga ekosistem.
- Aktivitas
Komunitas Harian: Kehidupan sehari-hari komunitas adat juga
banyak mengandung commoning care. Misalnya, di komunitas Sedulur
Sikep (Jateng), perempuan lokal seperti Gunarti mendirikan kelas gratis
bagi anak-anak adat, mengajarkan membaca-tulis dan nilai cinta alam tanpa
memungut biaya. Di banyak desa, perempuan mengorganisir pengobatan
tradisional gratis dan membagi bantuan pangan secara gotong-royong.
Gotong-royong juga tampak dalam pembangunan fasilitas umum (sekolah,
jalan, posyandu) bersama-sama. Semua aktivitas ini mengutamakan
solidaritas dan merawat sesama tanpa logika untung-rugi.
Beberapa ciri khas commoning
care dalam komunitas adat Indonesia adalah:
- Larangan
adat konservatif: Banyak komunitas adat punya pantangan (pamali)
melarang eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya pokok. Misalnya,
larangan menjual padi, air, atau lahan digarap memastikan ketersediaan
pangan dan sumber hidup bagi seluruh anggota komunitas.
- Kerja
sosial kolektif:
Pekerjaan reproduktif (bertani, beternak, pekerjaan rumah tangga)
dilakukan secara bergotong-royong. Alih-alih tenaga kerja upahan, produksi
pangan dan pemeliharaan lingkungan dikelola bersama oleh keluarga besar
atau seluruh warga. Seluruh anggota menyumbang tenaga (tenaga sosial)
untuk menghidupi keluarga dan komunitas tanpa imbalan finansial.
- Pendidikan
dan pengetahuan bersama: Pengetahuan lokal (bertani, perikanan, obat
tradisional) dan nilai moral diwariskan melalui cerita, ritual, dan
keterlibatan generasi muda dalam aktivitas komunitas. Pendidikan
informal—seperti sekolah alam atau kelas baca gratis—menanamkan nilai
saling peduli dan cinta lingkungan tanpa budaya komersial.
- Prinsip
egaliter:
Pengambilan keputusan dan pertukaran hasil panen/kerajinan didasari
kesetaraan. Pemimpin adat biasanya dipilih berdasarkan kepercayaan
bersama, dan keputusan diambil melalui musyawarah. Pendekatan ini
melibatkan semua pihak (termasuk perempuan dan anak muda) sehingga tidak
ada kelompok dominan yang mendikte kebijakan.
- Peran
perempuan dan keluarga: Dalam commoning care, peran perempuan
diakui strategis. Meskipun pembagian kerja tradisional ada, banyak
komunitas adat melibatkan perempuan dalam pengelolaan sumber daya dan
pengambilan keputusan. Contoh Gunarti (Kendeng) menunjukkan perempuan
menjadi penggerak pendidikan dan kesehatan komunitas. Kontribusi perempuan
dalam merawat keluarga, lingkungan, dan budaya dihargai sebagai bagian
dari kesejahteraan kolektif.
Walaupun nilai dan praktik commoning
care kuat di masyarakat adat, terdapat hambatan struktural serius:
- Pengambilalihan
lahan dan konflik agraria: Wilayah adat sering berbenturan dengan izin
korporasi. Data BRWA mencatat sekitar 3,1 juta ha wilayah adat tumpang
tindih dengan konsesi perkebunan, HTI, pertambangan, dan HGU. Akibatnya
muncul konflik dan perampasan lahan. AMAN melaporkan 301 kasus perampasan
wilayah adat seluas 8,5 juta ha (2017–2022) oleh perusahaan besar. Ketika
lahan diambil alih, bukan saja mata pencaharian hilang, tetapi tradisi
merawat bersama juga terkikis.
- Birokrasi
pengakuan adat:
Secara hukum, pengakuan hutan adat diatur dalam mekanisme kompleks. UU
Kehutanan No.41/1999 menyatakan hutan adat hanya bisa diperoleh setelah
masyarakat hukum adat diakui secara resmi. Verifikasi masyarakat adat
(oleh pemda sesuai Permendagri 52/2014) dan pengajuan hutan adat
(PermenLHK 9/2021) memakan bertahun-tahun dan biaya besar. Perbedaan
politik antara pusat dan daerah kerap menunda pengakuan hak masyarakat
adat. Proses birokrasi yang panjang ini menghambat komunitas dalam
menjalankan perawatan kolektif mereka.
- Logika
pasar kapitalis:
Ekonomi pasar melihat kerja care sebagai biaya. Korporasi
memprioritaskan keuntungan finansial tanpa memperhitungkan beban
sosial-ekologis. Sebaliknya, commoning care menekankan nilai guna
dan keberlanjutan tanpa memperdagangkan kebutuhan dasar. Benturan nilai
ini membuat aktivitas commoning care sering dianggap tidak efisien
dalam sistem pasar. Selain itu, budaya konsumtif global mengikis nilai
gotong-royong: generasi muda desa semakin terpengaruh gaya hidup modern
dan materialistis.
- Ketidaksetaraan
gender patriarki: Meskipun commoning care menekankan
kolaborasi, patriarki masih melekat. Perawatan keluarga sering dibebankan
pada perempuan tanpa imbalan setara. Ketiadaan akses perempuan terhadap
sumber daya (lahan, modal) dan keputusan adat melemahkan prinsip egaliter.
Jika perempuan tidak sepenuhnya terlibat dan dihargai, maka kerja kolektif
perawatan berisiko sekadar memperkuat beban mereka tanpa perubahan
struktural.
- Perubahan
iklim dan degradasi lingkungan: Kerusakan lingkungan dan perubahan iklim
semakin memperparah kehidupan subsisten. Bencana alam (banjir, kekeringan)
mengancam panen dan ketersediaan air. Penurunan keanekaragaman hayati
mempersulit metode adat yang bergantung pada alam. Komunitas adat perlu
menyesuaikan praktik (misalnya, varietas padi tahan banjir) sambil
mempertahankan nilai merawat alam.
Tantangan-tantangan di atas
saling berkaitan. Misalnya, saat hutan adat dialihfungsikan menjadi perkebunan,
tradisi commoning care pun terpinggirkan. Namun banyak komunitas
menggabungkan perjuangan legal dengan penguatan budaya. Dalam proses pengajuan
hutan adat, masyarakat adat dan LSM seringkali menyelenggarakan lokakarya
pengetahuan tradisional—memperkuat identitas lokal sambil mengadvokasi hak
kelola. Pendekatan ini membantu masyarakat menggabungkan advokasi hukum dengan
revitalisasi commoning care.
Commoning care menawarkan cara pandang bahwa
merawat adalah praktik kolektif yang mengikat komunitas. Bagi masyarakat adat
Indonesia, konsep ini menegaskan nilai gotong-royong, ketahanan pangan bersama,
dan pemuliaan sumber daya berdasarkan kearifan lokal. Istilah ini memberi
bingkai untuk lebih sadar melihat bagaimana keadilan sosial dan ekologi terjalin
dalam kegiatan sehari-hari.
Mewujudkan commoning care
di lapangan memerlukan dukungan struktural: pengakuan hak adat secara nyata,
pengelolaan sumber daya bersama secara demokratis, dan pendidikan tentang
pentingnya kepedulian bersama. Peran perempuan harus ditingkatkan, serta
kebijakan publik dirancang mendukung gotong-royong. Dengan memperkuat nilai
merawat bersama, masyarakat adat tidak hanya mempertahankan identitas
budayanya, tapi juga berkontribusi pada masa depan berkeadilan bagi semua makhluk
hidup.
Commoning care bukanlah konsep asing bagi
komunitas adat justru ia sudah tercermin dalam tradisi dan perjuangan mereka.
Meski menghadapi tantangan struktural, kolaborasi antara pengetahuan lokal dan
gerakan sosial modern dapat menguatkan praktik ini. Diharapkan pemahaman dan
penerapan commoning care membantu aktivis serta komunitas adat Indonesia
memperkuat ketahanan kolektif, merawat alam bersama, dan mewujudkan keadilan
sosial-ekologis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar