Lahan bukan sekadar tanah; ia adalah ruang hidup yang sarat akan
sejarah dan harapan masa depan. Di atas tanah inilah manusia berpijak,
membangun keluarga, menanam asa, dan mempertahankan hak-haknya. Namun, arus
investasi, ekspansi perkotaan, dan laju pertumbuhan penduduk yang pesat membuat
tanah kian diperebutkan, dialihfungsikan, bahkan dikuasai oleh pihak-pihak yang
jauh dari tapak komunitas lokal (Wahyuni, 2023; Dewi, 2020). Ketimpangan dalam
penguasaan lahan berpadu dengan tekanan demografis telah menciptakan jurang
antara mereka yang berkuasa dan mereka yang berjuang untuk bertahan hidup (KPA,
2024; Rahman, 2019).
Ketika kita membicarakan agraria dan
kependudukan, sesungguhnya kita sedang membicarakan masa depan: tentang siapa
yang berhak tinggal, tumbuh, dan bertahan di atas bumi yang sama (Jong, 2025;
BPS, 2023). Dalam konteks ini, tanah tidak hanya menjadi aset ekonomi, tetapi
juga pusat identitas, keberlanjutan hidup, dan keadilan sosial—khususnya bagi
masyarakat adat dan petani kecil yang selama ini terpinggirkan dari akses dan
kontrol atas ruang hidup mereka (Universitas Gadjah Mada, 2023).
Maraknya Konflik Agraria di Tengah
Investasi dan Ekspansi
Belakangan ini konflik agraria terus bermunculan di berbagai
penjuru negeri. Selama kurun 2015–2024 saja tercatat setidaknya 3.234 kasus
konflik agraria di Indonesia, meliputi area seluas 7,4 juta
hektare dan berdampak pada 1,8 juta keluarga (Konsorsium
Pembaruan Agraria [KPA], 2024). Tren ini bukannya mereda, justru meningkat
akhir-akhir ini. KPA melaporkan bahwa sepanjang tahun 2023 terjadi
241 letusan konflik agraria di 346 desa, naik sekitar 14% dibanding
tahun 2022. Konflik-konflik ini tersebar di 33 dari 34 provinsi di
Indonesia, menandakan betapa luas dan sistemiknya persoalan perebutan lahan
(KPA, 2024).
Pemicu konflik agraria sangat beragam, namun didominasi oleh kepentingan
investasi skala besar. Sekitar 44,8% konflik sepanjang 2023 terjadi
di sektor perkebunan (agribisnis) – terutama ekspansi perkebunan
kelapa sawit – yang kerap melibatkan perusahaan besar dan
mengakibatkan masyarakat lokal tergusur (Konsorsium Pembaruan Agraria [KPA],
2024). Pelanggaran hak asasi manusia tidak jarang menyertai
konflik-konflik ini; tahun 2023 di sektor perkebunan saja tercatat 252 orang
dikriminalisasi, puluhan mengalami kekerasan fisik, bahkan 3 korban jiwa (KPA,
2024).
Selain perkebunan, konflik lahan juga
dipicu oleh proyek infrastruktur, pertambangan, properti, hingga
Program Strategis Nasional (PSN). Proyek-proyek “raksasa” yang lapar lahan – seperti
pengembangan Kawasan Industri Rempang di Batam, proyek Bendungan Wadas di Jawa
Tengah, hingga Kawasan Mandalika di NTB –
telah memicu sengketa sengit antara masyarakat dengan pemerintah atau investor
(KPA, 2024; Universitas Gadjah Mada, 2023).
Kasus Pulau Rempang menjadi contoh
nyata betapa konflik agraria kerap mempertemukan masyarakat lokal versus
pemodal besar. Di Rempang, komunitas adat Melayu yang telah mendiami tanah
leluhur mereka selama ratusan tahun dipaksa menghadapi rencana pembangunan “Rempang
Eco City” – sebuah proyek kawasan industri dan properti dengan investasi asing.
Syaratnya, warga harus direlokasi keluar dari pulau tersebut. Tak pelak,
masyarakat adat menolak tegas karena merasa hak mereka diabaikan dan warisan
tanah ulayat dirampas demi kepentingan investor. Bentrokan yang terjadi di
Rempang pada 2023 antara warga dan aparat keamanan menunjukkan getirnya
pertarungan antara mereka yang mempertahankan hidup di atas tanahnya versus
mereka yang berkuasa atas nama “pembangunan”.
Ketimpangan Penguasaan Lahan dan
Tekanan Kependudukan
Fenomena konflik agraria tak lepas dari
ketimpangan struktur penguasaan lahan yang telah mengakar. Ironisnya, di negara
agraris seperti Indonesia, distribusi tanah justru sangat timpang dan tidak
memihak petani kecil. Data menunjukkan 1% penduduk menguasai hingga 68% lahan
di Indonesia. Hal ini terjadi karena pemerintah kerap memberikan konsesi lahan
skala besar kepada korporasi, sementara rakyat kecil kebagian lahan terbatas.
Akibatnya, jumlah petani gurem (petani dengan lahan sangat sempit <0,5
hektare) terus meningkat – dari sekitar 14,3 juta orang pada 2013 menjadi 16,9
juta petani pada 2018. Dengan lahan sesempit itu, sulit bagi keluarga petani
menjamin kesejahteraan, apalagi mencapai swasembada pangan. Seperti diungkap
Dewi Kartika (Sekjen KPA), “bagaimana mungkin petani dengan lahan kurang dari
0,5 ha bisa mencapai ketahanan ekonomi, apalagi swasembada pangan nasional?”
Pertanyaan ini menggambarkan betapa genting situasi ketimpangan agraria kita.
Di sisi lain, pertumbuhan penduduk
memberikan tekanan besar pada ketersediaan lahan. Populasi Indonesia yang saat
ini lebih dari 270 juta jiwa terus bertambah setiap tahun. Secara global pun,
penduduk dunia diproyeksikan mencapai 9 miliar dalam beberapa dekade mendatang,
dan sebagai negara berpenduduk ke-4 terbanyak, Indonesia akan merasakan
dampaknya berupa lonjakan kebutuhan lahan permukiman dan pangan. Sementara itu,
luas bumi dan tanah produktif tidak bertambah. Ketidakseimbangan ini memicu apa
yang bisa disebut krisis kependudukan terkait agraria: jumlah penduduk
yang membutuhkan tanah terus naik, tapi akses terhadap lahan justru menyusut
bagi kalangan rentan.
Salah satu indikasi krisis tersebut
adalah alih fungsi lahan pertanian secara masif untuk memenuhi berbagai
kebutuhan non-pertanian. Setiap tahun, ratusan ribu hektare sawah dan kebun
produktif hilang digantikan perumahan, pabrik, jalan tol, dan proyek lainnya.
Kementerian Pertanian mengakui terjadi penurunan luas lahan sawah sekitar 650
ribu hektare per tahun akibat konversi lahan. Data Badan Pusat Statistik
menunjukkan pada 2018 luas lahan sawah tersisa 7,1 juta hektare – turun drastis
dari 7,75 juta hektare hanya setahun sebelumnya (2017). Artinya, dalam waktu
singkat, ratusan ribu hektar sawah produktif lenyap. Alih fungsi lahan ini
banyak terjadi di pinggiran kota-kota besar maupun sentra agraris strategis.
Pemerintah daerah acapkali mengizinkan konversi lahan pertanian menjadi
permukiman atau kawasan industri dengan dalih meningkatkan PAD (Pendapatan Asli
Daerah) dan pertumbuhan ekonomi. Namun konsekuensinya, lahan bagi petani dan
ruang hidup warga kian menyempit. Ujungnya, rakyat kecil kehilangan tempat
tinggal dan mata pencaharian, sementara korporasi atau pengembang properti
mendapatkan keuntungan besar. Kombinasi ledakan penduduk dengan lahan pertanian
yang menyusut ini jelas menjadi resep lahirnya konflik-konflik agraria baru di
kemudian hari.
Menuju Masa Depan: Reforma Agraria dan
Hak atas Ruang Hidup
Melihat kompleksitas persoalan di atas,
penyelesaian konflik agraria tidak bisa ditawar lagi – ini pertaruhan masa
depan bangsa. Siapa yang akan memiliki hak untuk tinggal, tumbuh, dan hidup
sejahtera di negeri ini di masa mendatang sangat ditentukan oleh bagaimana isu
agraria dan kependudukan ditangani sekarang. Jika dibiarkan, ketimpangan
agraria dan krisis kependudukan akan semakin tajam: segelintir elite tanah akan
makin berkuasa, sementara jutaan rakyat terpinggirkan dari tanah kelahirannya sendiri.
Dampaknya bukan hanya kerentanan sosial (kemiskinan, urbanisasi liar, konflik
horizontal), tapi juga ancaman terhadap ketahanan pangan dan kelestarian
lingkungan kita.
Harapan tentu masih ada. Pemerintah
bersama masyarakat sipil telah mulai menggagas solusi melalui program reforma
agraria dan penataan ulang struktur kepemilikan lahan. Pada Februari 2025,
misalnya, pemerintah Indonesia dan organisasi masyarakat sipil menandatangani
pernyataan bersama dalam Asia Land Forum untuk mempercepat reforma agraria demi
pengentasan kemiskinan dan kedaulatan pangan. Program legalisasi dan
redistribusi lahan seperti Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) serta Perhutanan
Sosial mulai dijalankan untuk memberikan akses lahan kepada petani tak
bertanah. Pemerintahan Presiden Joko Widodo sebelumnya menargetkan redistribusi
4,5 juta hektare lahan terlantar dan tanah negara kepada rakyat kecil; meski
hingga 2023 realisasinya baru sekitar 1,8 juta hektare, langkah ini setidaknya
menunjukkan niat mengurai ketimpangan historis. Kini di era baru, Presiden
Prabowo Subianto juga menaruh isu agraria dalam agendanya – termasuk rencana memberikan
tanah kepada rakyat miskin sebagai upaya menuntaskan kemiskinan ekstrem.
Kebijakan ini patut dikawal agar benar-benar berpihak pada rakyat, bukan
sekadar membuka ruang bagi korporasi dengan bungkus food estate semata.
Selain upaya pemerintah, tekanan publik
dan gerakan warga sangat penting. Masyarakat sipil, LSM, dan komunitas lokal
perlu terus memperjuangkan hak atas tanah dan ruang hidupnya melalui jalur
hukum maupun advokasi. Pengakuan hak-hak masyarakat adat atas wilayah ulayat,
misalnya, harus dijadikan prioritas agar kasus seperti Rempang tidak terulang.
Penegakan hukum yang adil juga krusial: hentikan kriminalisasi petani dan
aktivis agraria yang memperjuangkan hak mereka, dan tindak tegas aktor-aktor
yang melakukan land grabbing atau perampasan tanah ilegal.
Pada akhirnya, konflik agraria dan isu
kependudukan adalah cerminan pertarungan visi masa depan Indonesia. Apakah bumi
dan ruang hidup di negeri ini akan dikuasai segelintir pihak saja, ataukah
dibagi adil bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat? Menjawab pertanyaan itu
berarti menata ulang kebijakan agraria kita secara mendasar. Reforma agraria
sejati – yang mencakup redistribusi lahan berkeadilan, perlindungan petani dan
masyarakat adat, serta pembatasan konsentrasi pemilikan tanah – merupakan kunci
menuju masa depan yang inklusif. Di sisi lain, pengendalian laju pertumbuhan
penduduk melalui pendidikan dan pemerataan pembangunan perlu berjalan seiring,
agar tekanan demografis tidak memperparah rebutan lahan yang tersisa.
Kita perlu menyadari bahwa tanah, dalam
batas fisiknya, harus dikelola sebagai ruang hidup bersama. Jika konflik
agraria dibiarkan merajalela, maka luka sosial dan ketidakadilan akan
diwariskan ke generasi berikutnya. Sebaliknya, bila reforma agraria berhasil
dan keseimbangan antara populasi dan sumber daya lahan tercapai, kita
mewariskan masa depan yang lebih cerah: di mana setiap orang memiliki tempat
untuk tinggal, lahan untuk tumbuh, dan kesempatan untuk bertahan hidup secara
bermartabat di atas bumi yang sama.
Referensi
- Gayati, M. D. (2020, 17 Januari). Kementan akui lahan sawah berkurang 650 ribu ha per tahun. ANTARA News.
- Jong, H. N. (2025, 25 Februari). Indonesia signs agrarian reform commitment amid rising land equity woes. Mongabay News.
- Lubis, R. B. (2024, 6 Maret). Jumlah letusan konflik agraria di Indonesia terus meningkat dalam 2 tahun terakhir. GoodStats.
- Rahman, M. R. (2019, 2 Oktober). Penduduk terus bertumbuh, reforma agraria semakin penting. ANTARA News.
- Universitas Gadjah Mada. (2023, 25 September). Menilik Konflik Rempang dan Pengakuan Pemerintah Atas Hak-Hak Masyarakat Adat. Berita UGM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar