Konflik Agraria dan Kependudukan: Inkompatibilitas Rebutan Ruang Hidup - Erwin Basrin

Breaking

Recent Posts

 photo Untitled-1_1.jpg

Minggu, 06 Juli 2025

Konflik Agraria dan Kependudukan: Inkompatibilitas Rebutan Ruang Hidup

 


Lahan bukan sekadar tanah; ia adalah ruang hidup yang sarat akan sejarah dan harapan masa depan. Di atas tanah inilah manusia berpijak, membangun keluarga, menanam asa, dan mempertahankan hak-haknya. Namun, arus investasi, ekspansi perkotaan, dan laju pertumbuhan penduduk yang pesat membuat tanah kian diperebutkan, dialihfungsikan, bahkan dikuasai oleh pihak-pihak yang jauh dari tapak komunitas lokal (Wahyuni, 2023; Dewi, 2020). Ketimpangan dalam penguasaan lahan berpadu dengan tekanan demografis telah menciptakan jurang antara mereka yang berkuasa dan mereka yang berjuang untuk bertahan hidup (KPA, 2024; Rahman, 2019).

 

Ketika kita membicarakan agraria dan kependudukan, sesungguhnya kita sedang membicarakan masa depan: tentang siapa yang berhak tinggal, tumbuh, dan bertahan di atas bumi yang sama (Jong, 2025; BPS, 2023). Dalam konteks ini, tanah tidak hanya menjadi aset ekonomi, tetapi juga pusat identitas, keberlanjutan hidup, dan keadilan sosial—khususnya bagi masyarakat adat dan petani kecil yang selama ini terpinggirkan dari akses dan kontrol atas ruang hidup mereka (Universitas Gadjah Mada, 2023).

 

Maraknya Konflik Agraria di Tengah Investasi dan Ekspansi

 

Belakangan ini konflik agraria terus bermunculan di berbagai penjuru negeri. Selama kurun 2015–2024 saja tercatat setidaknya 3.234 kasus konflik agraria di Indonesia, meliputi area seluas 7,4 juta hektare dan berdampak pada 1,8 juta keluarga (Konsorsium Pembaruan Agraria [KPA], 2024). Tren ini bukannya mereda, justru meningkat akhir-akhir ini. KPA melaporkan bahwa sepanjang tahun 2023 terjadi 241 letusan konflik agraria di 346 desa, naik sekitar 14% dibanding tahun 2022. Konflik-konflik ini tersebar di 33 dari 34 provinsi di Indonesia, menandakan betapa luas dan sistemiknya persoalan perebutan lahan (KPA, 2024).

Pemicu konflik agraria sangat beragam, namun didominasi oleh kepentingan investasi skala besar. Sekitar 44,8% konflik sepanjang 2023 terjadi di sektor perkebunan (agribisnis) – terutama ekspansi perkebunan kelapa sawit – yang kerap melibatkan perusahaan besar dan mengakibatkan masyarakat lokal tergusur (Konsorsium Pembaruan Agraria [KPA], 2024). Pelanggaran hak asasi manusia tidak jarang menyertai konflik-konflik ini; tahun 2023 di sektor perkebunan saja tercatat 252 orang dikriminalisasi, puluhan mengalami kekerasan fisik, bahkan 3 korban jiwa (KPA, 2024).

 

Selain perkebunan, konflik lahan juga dipicu oleh proyek infrastruktur, pertambangan, properti, hingga Program Strategis Nasional (PSN). Proyek-proyek “raksasa” yang lapar lahan – seperti pengembangan Kawasan Industri Rempang di Batam, proyek Bendungan Wadas di Jawa Tengah, hingga Kawasan Mandalika di NTB – telah memicu sengketa sengit antara masyarakat dengan pemerintah atau investor (KPA, 2024; Universitas Gadjah Mada, 2023).

 

Kasus Pulau Rempang menjadi contoh nyata betapa konflik agraria kerap mempertemukan masyarakat lokal versus pemodal besar. Di Rempang, komunitas adat Melayu yang telah mendiami tanah leluhur mereka selama ratusan tahun dipaksa menghadapi rencana pembangunan “Rempang Eco City” – sebuah proyek kawasan industri dan properti dengan investasi asing. Syaratnya, warga harus direlokasi keluar dari pulau tersebut. Tak pelak, masyarakat adat menolak tegas karena merasa hak mereka diabaikan dan warisan tanah ulayat dirampas demi kepentingan investor. Bentrokan yang terjadi di Rempang pada 2023 antara warga dan aparat keamanan menunjukkan getirnya pertarungan antara mereka yang mempertahankan hidup di atas tanahnya versus mereka yang berkuasa atas nama “pembangunan”.

 

Ketimpangan Penguasaan Lahan dan Tekanan Kependudukan

 

Fenomena konflik agraria tak lepas dari ketimpangan struktur penguasaan lahan yang telah mengakar. Ironisnya, di negara agraris seperti Indonesia, distribusi tanah justru sangat timpang dan tidak memihak petani kecil. Data menunjukkan 1% penduduk menguasai hingga 68% lahan di Indonesia. Hal ini terjadi karena pemerintah kerap memberikan konsesi lahan skala besar kepada korporasi, sementara rakyat kecil kebagian lahan terbatas. Akibatnya, jumlah petani gurem (petani dengan lahan sangat sempit <0,5 hektare) terus meningkat – dari sekitar 14,3 juta orang pada 2013 menjadi 16,9 juta petani pada 2018. Dengan lahan sesempit itu, sulit bagi keluarga petani menjamin kesejahteraan, apalagi mencapai swasembada pangan. Seperti diungkap Dewi Kartika (Sekjen KPA), “bagaimana mungkin petani dengan lahan kurang dari 0,5 ha bisa mencapai ketahanan ekonomi, apalagi swasembada pangan nasional?” Pertanyaan ini menggambarkan betapa genting situasi ketimpangan agraria kita.

 

Di sisi lain, pertumbuhan penduduk memberikan tekanan besar pada ketersediaan lahan. Populasi Indonesia yang saat ini lebih dari 270 juta jiwa terus bertambah setiap tahun. Secara global pun, penduduk dunia diproyeksikan mencapai 9 miliar dalam beberapa dekade mendatang, dan sebagai negara berpenduduk ke-4 terbanyak, Indonesia akan merasakan dampaknya berupa lonjakan kebutuhan lahan permukiman dan pangan. Sementara itu, luas bumi dan tanah produktif tidak bertambah. Ketidakseimbangan ini memicu apa yang bisa disebut krisis kependudukan terkait agraria: jumlah penduduk yang membutuhkan tanah terus naik, tapi akses terhadap lahan justru menyusut bagi kalangan rentan.

 

Salah satu indikasi krisis tersebut adalah alih fungsi lahan pertanian secara masif untuk memenuhi berbagai kebutuhan non-pertanian. Setiap tahun, ratusan ribu hektare sawah dan kebun produktif hilang digantikan perumahan, pabrik, jalan tol, dan proyek lainnya. Kementerian Pertanian mengakui terjadi penurunan luas lahan sawah sekitar 650 ribu hektare per tahun akibat konversi lahan. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan pada 2018 luas lahan sawah tersisa 7,1 juta hektare – turun drastis dari 7,75 juta hektare hanya setahun sebelumnya (2017). Artinya, dalam waktu singkat, ratusan ribu hektar sawah produktif lenyap. Alih fungsi lahan ini banyak terjadi di pinggiran kota-kota besar maupun sentra agraris strategis. Pemerintah daerah acapkali mengizinkan konversi lahan pertanian menjadi permukiman atau kawasan industri dengan dalih meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) dan pertumbuhan ekonomi. Namun konsekuensinya, lahan bagi petani dan ruang hidup warga kian menyempit. Ujungnya, rakyat kecil kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian, sementara korporasi atau pengembang properti mendapatkan keuntungan besar. Kombinasi ledakan penduduk dengan lahan pertanian yang menyusut ini jelas menjadi resep lahirnya konflik-konflik agraria baru di kemudian hari.

 

Menuju Masa Depan: Reforma Agraria dan Hak atas Ruang Hidup

 

Melihat kompleksitas persoalan di atas, penyelesaian konflik agraria tidak bisa ditawar lagi – ini pertaruhan masa depan bangsa. Siapa yang akan memiliki hak untuk tinggal, tumbuh, dan hidup sejahtera di negeri ini di masa mendatang sangat ditentukan oleh bagaimana isu agraria dan kependudukan ditangani sekarang. Jika dibiarkan, ketimpangan agraria dan krisis kependudukan akan semakin tajam: segelintir elite tanah akan makin berkuasa, sementara jutaan rakyat terpinggirkan dari tanah kelahirannya sendiri. Dampaknya bukan hanya kerentanan sosial (kemiskinan, urbanisasi liar, konflik horizontal), tapi juga ancaman terhadap ketahanan pangan dan kelestarian lingkungan kita.

 

Harapan tentu masih ada. Pemerintah bersama masyarakat sipil telah mulai menggagas solusi melalui program reforma agraria dan penataan ulang struktur kepemilikan lahan. Pada Februari 2025, misalnya, pemerintah Indonesia dan organisasi masyarakat sipil menandatangani pernyataan bersama dalam Asia Land Forum untuk mempercepat reforma agraria demi pengentasan kemiskinan dan kedaulatan pangan. Program legalisasi dan redistribusi lahan seperti Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) serta Perhutanan Sosial mulai dijalankan untuk memberikan akses lahan kepada petani tak bertanah. Pemerintahan Presiden Joko Widodo sebelumnya menargetkan redistribusi 4,5 juta hektare lahan terlantar dan tanah negara kepada rakyat kecil; meski hingga 2023 realisasinya baru sekitar 1,8 juta hektare, langkah ini setidaknya menunjukkan niat mengurai ketimpangan historis. Kini di era baru, Presiden Prabowo Subianto juga menaruh isu agraria dalam agendanya – termasuk rencana memberikan tanah kepada rakyat miskin sebagai upaya menuntaskan kemiskinan ekstrem. Kebijakan ini patut dikawal agar benar-benar berpihak pada rakyat, bukan sekadar membuka ruang bagi korporasi dengan bungkus food estate semata.

 

Selain upaya pemerintah, tekanan publik dan gerakan warga sangat penting. Masyarakat sipil, LSM, dan komunitas lokal perlu terus memperjuangkan hak atas tanah dan ruang hidupnya melalui jalur hukum maupun advokasi. Pengakuan hak-hak masyarakat adat atas wilayah ulayat, misalnya, harus dijadikan prioritas agar kasus seperti Rempang tidak terulang. Penegakan hukum yang adil juga krusial: hentikan kriminalisasi petani dan aktivis agraria yang memperjuangkan hak mereka, dan tindak tegas aktor-aktor yang melakukan land grabbing atau perampasan tanah ilegal.

 

Pada akhirnya, konflik agraria dan isu kependudukan adalah cerminan pertarungan visi masa depan Indonesia. Apakah bumi dan ruang hidup di negeri ini akan dikuasai segelintir pihak saja, ataukah dibagi adil bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat? Menjawab pertanyaan itu berarti menata ulang kebijakan agraria kita secara mendasar. Reforma agraria sejati – yang mencakup redistribusi lahan berkeadilan, perlindungan petani dan masyarakat adat, serta pembatasan konsentrasi pemilikan tanah – merupakan kunci menuju masa depan yang inklusif. Di sisi lain, pengendalian laju pertumbuhan penduduk melalui pendidikan dan pemerataan pembangunan perlu berjalan seiring, agar tekanan demografis tidak memperparah rebutan lahan yang tersisa.

 

Kita perlu menyadari bahwa tanah, dalam batas fisiknya, harus dikelola sebagai ruang hidup bersama. Jika konflik agraria dibiarkan merajalela, maka luka sosial dan ketidakadilan akan diwariskan ke generasi berikutnya. Sebaliknya, bila reforma agraria berhasil dan keseimbangan antara populasi dan sumber daya lahan tercapai, kita mewariskan masa depan yang lebih cerah: di mana setiap orang memiliki tempat untuk tinggal, lahan untuk tumbuh, dan kesempatan untuk bertahan hidup secara bermartabat di atas bumi yang sama.

 

Referensi

  • Gayati, M. D. (2020, 17 Januari). Kementan akui lahan sawah berkurang 650 ribu ha per tahun. ANTARA News.
  • Jong, H. N. (2025, 25 Februari). Indonesia signs agrarian reform commitment amid rising land equity woes. Mongabay News.
  • Lubis, R. B. (2024, 6 Maret). Jumlah letusan konflik agraria di Indonesia terus meningkat dalam 2 tahun terakhir. GoodStats.
  • Rahman, M. R. (2019, 2 Oktober). Penduduk terus bertumbuh, reforma agraria semakin penting. ANTARA News.
  • Universitas Gadjah Mada. (2023, 25 September). Menilik Konflik Rempang dan Pengakuan Pemerintah Atas Hak-Hak Masyarakat Adat. Berita UGM.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar