Kapitalisme Belum (Akan) Mati; Kritik Terhadap Alternatif seperti Sosialisme, Ekofeminisme, atau Degrowth - Erwin Basrin

Breaking

Recent Posts

 photo Untitled-1_1.jpg

Jumat, 20 Juni 2025

Kapitalisme Belum (Akan) Mati; Kritik Terhadap Alternatif seperti Sosialisme, Ekofeminisme, atau Degrowth

 


 

Kapitalisme sebagai sistem ekonomi dominan sering menjadi sorotan tajam dari berbagai kalangan karena dituding sebagai biang keladi krisis multidimensi. Mulai dari ketimpangan ekonomi, krisis finansial global, hingga kerusakan ekologis. Salah satu kritik utama terhadap kapitalisme adalah kecenderungannya untuk memperparah kesenjangan kekayaan. Sistem kapitalisme dinilai menciptakan konsentrasi akumulasi modal pada segelintir elit ekonomi atau korporasi raksasa, yang berakibat pada marjinalisasi kelompok mayoritas (Harvey, 2005). Fokus jangka pendek kapitalisme pada akumulasi keuntungan dan pertumbuhan ekonomi tanpa batas juga dianggap mengabaikan aspek keberlanjutan. Praktik seperti deforestasi, eksploitasi sumber daya alam, dan emisi karbon yang mendorong perubahan iklim merupakan akibat logis dari logika ekspansi kapital yang tak terkendali (Setyawan, 2023).

 

Krisis ekonomi yang berulang, seperti Depresi Besar tahun 1930-an atau krisis keuangan global 2008, sering dijadikan bukti kegagalan struktural kapitalisme dalam menciptakan stabilitas dan keadilan sosial (Smith & Jones, 2021). Alih-alih runtuh, kapitalisme justru menunjukkan kapasitas luar biasa untuk bertahan hidup dan berevolusi. Sistem ini tidak bersifat statis, melainkan terus menyesuaikan diri dengan zaman melalui berbagai transformasi, seperti neoliberalisme, finansialisasi, dan digitalisasi. Tulisan ini bertujuan mengurai secara kritis mengapa kapitalisme tetap eksis di tengah krisis global, serta mengevaluasi kelemahan dari alternatif sistemik seperti sosialisme, ekofeminisme, dan degrowth yang kerap diajukan sebagai jalan keluar.

 

Sejarah telah membuktikan bahwa kapitalisme merupakan sistem yang sangat adaptif terhadap berbagai bentuk krisis. Salah satu titik balik penting dalam evolusi kapitalisme terjadi pada dekade 1970–1980-an, ketika munculnya neoliberalisme menjadi respons terhadap stagnasi ekonomi dan krisis kepercayaan terhadap model intervensi negara. David Harvey (2005) menjelaskan bahwa neoliberalisme muncul sebagai ideologi ekonomi baru yang mengedepankan deregulasi, privatisasi, dan pembebasan pasar dari intervensi negara. Bukannya menciptakan pasar yang sepenuhnya bebas dan kompetitif, implementasi neoliberalisme justru mengarah pada konsentrasi kekuasaan ekonomi, di mana perusahaan-perusahaan besar membentuk struktur oligopolistik dan memperbesar ketimpangan sosial.

 

Spekulasi finansial yang menjadi bagian inheren dari neoliberalisme memperbesar kerentanan terhadap krisis sistemik. Instrumen keuangan yang kompleks dan kurang diawasi seringkali menjadi pemicu gelembung ekonomi dan kehancuran pasar, sebagaimana terlihat dalam krisis keuangan global tahun 2008 (Rizal, 2020). Walaupun menimbulkan konsekuensi sosial dan ekonomi yang serius, neoliberalisme tidak serta merta menggoyahkan kapitalisme secara struktural. Sebaliknya, neoliberalisme justru memungkinkan kapitalisme melakukan reformulasi strategi untuk mempertahankan eksistensinya.

 

Kapitalisme tidak terikat pada satu ideologi baku; ia bersifat oportunis, pragmatis, dan selalu mencari bentuk baru yang memungkinkan kelangsungan akumulasi modal. Orientasi sistem ini senantiasa diarahkan pada peningkatan keuntungan, menjadikannya sistem yang sangat terkalibrasi terhadap logika profit (Setyawan, 2023). Bahkan ketika tokoh-tokoh politik progresif seperti Barack Obama mengecam praktik predatoris dari private equity yang disebut sebagai “vampire capitalists,” sistem kapitalisme tidak runtuh, melainkan beradaptasi melalui inovasi kebijakan dan teknologi (Obama, 2020). Fase neoliberal dapat dipahami bukan sebagai kemunduran kapitalisme, melainkan sebagai bukti kemampuan sistem ini untuk bertahan, berevolusi, dan memperkuat dirinya sendiri di tengah krisis.

 

Transformasi teknologi juga menjadi motor adaptasi kapitalisme. Kemajuan teknologi digital dan ekonomi informasi nyatanya diciptakan untuk mengoptimalkan akumulasi modal modern. Studi politik-ekonomi menunjukkan ekonomi digital sangat terkait dengan proses finansialisasi global sejak era neoliberal 1980-an. Artinya, digitalisasi tidak netral. Algoritma, data besar, dan platform teknologi diarahkan untuk menciptakan peluang profit baru. Misalnya, pemanfaatan teknologi keuangan (fintech) dan venture capital menggantikan bagian besar dari transaksi tradisional, mempertebal arus modal di pasar finansial. Konsep ini menegaskan bahwa teknologi dikembangkan bukan sebagai inovasi murni, melainkan sebagai “refleksi” perkembangan sejarah kapitalisme. Tujuannya adalah mengamplifikasi akumulasi kapital. Dengan bantuan teknologi, segala hal mulai dari perilaku konsumen hingga jaringan sosial dapat diukur dan dikalkulasi berdasarkan nilai ekonomi. Keunggulan teknis ini juga mempercepat inovasi dan efisiensi, sehingga kapitalisme digital tetap kompetitif. Singkatnya, kapitalisme abad ke-21 menggunakan teknologi dan finansialisasi untuk menjawab tantangan kritik: ia terus mengalirkan modal dalam bentuk baru serta mengubah dirinya agar selalu sesuai dengan realitas ekonomi dan sosial terbaru.

 

Sebagai tanggapan terhadap berbagai krisis yang ditimbulkan oleh kapitalisme, sejumlah alternatif sistem ekonomi mulai mencuat. Sosialisme merupakan salah satu alternatif paling menonjol yang menawarkan visi keadilan distributif dan kepemilikan kolektif atas alat produksi. Namun, secara historis, sosialisme terutama dalam bentuk perencanaan terpusat—kerap menuai kritik, terutama terkait efisiensi dan kebebasan individu. Sistem perencanaan sentral yang mengabaikan mekanisme harga pasar dinilai tidak mampu mengalokasikan sumber daya secara optimal, sering kali menghasilkan birokrasi yang membengkak dan kelebihan produksi barang-barang yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat (Smith & Jones, 2021).

 

Lebih jauh, insentif bagi inovasi dalam sistem sosialis juga menjadi persoalan. Ketika laba pribadi dan kompetisi antar pelaku ekonomi tidak menjadi pendorong utama, banyak pihak berpendapat bahwa produktivitas dan dinamisme ekonomi ikut melemah (Hayek, 1945). Selain itu, sejarah mencatat bahwa banyak pemerintahan sosialis justru menerapkan pendekatan otoriter dalam mencapai visi kesetaraan sosial. Penekanan pada kepemilikan kolektif sering kali disertai pembatasan kebebasan sipil, ekonomi, dan politik, sehingga melahirkan negara-negara dengan tingkat represi tinggi terhadap oposisi atau ekspresi individual (Berlin, 1969).

 

Runtuhnya Uni Soviet pada awal 1990-an dan krisis ekonomi yang melanda berbagai negara sosialis memperkuat pandangan bahwa sistem ini memiliki kelemahan struktural yang serius. Meski demikian, varian sosialisme modern seperti sosialisme demokratis mencoba merespons kelemahan tersebut dengan menggabungkan prinsip keadilan sosial dengan sistem demokrasi parlementer dan ekonomi pasar yang teregulasi. Model ini, sebagaimana diterapkan di beberapa negara Skandinavia, menunjukkan kemungkinan sintesis antara efisiensi pasar dan distribusi yang lebih adil (Giddens, 1998). Bahkan bentuk sosialisme yang lebih moderat ini menghadapi tantangan dalam implementasinya, seperti tekanan globalisasi, ketergantungan fiskal, dan resistensi dari elit ekonomi. Me kipun sosialisme menawarkan alternatif penting terhadap kapitalisme, praktiknya tetap sarat tantangan baik dari sisi politik, teknokratik, maupun sosial.

 

Ekofeminisme muncul sebagai pendekatan kritis yang menggabungkan perjuangan keadilan gender dan keadilan ekologis dalam satu kerangka teoritis dan praksis. Para pemikir ekofeminis menyoroti bahwa eksploitasi terhadap alam tidak dapat dipisahkan dari penindasan terhadap perempuan keduanya diproduksi dan dipelihara oleh sistem patriarki dan kapitalisme global yang hierarkis dan dominatif (Shiva, 1989; Mies & Shiva, 1993). Ekofeminisme menawarkan alternatif pembangunan berkelanjutan yang berbasis pada komunitas lokal, nilai perawatan (care), serta hubungan timbal balik antara manusia dan alam, yang secara historis lebih dekat dengan peran sosial perempuan.

 

Gerakan ini menghadapi tantangan signifikan dalam penerapan praktisnya. Salah satu kritik utama adalah kecenderungan ekofeminisme menjadi terlalu teoritis dan berakar pada pengalaman serta epistemologi Barat, sehingga kurang representatif terhadap suara perempuan dari Global South yang sering kali menjadi korban langsung krisis ekologis (Gaard & Gruen, 1993; Norgaard & York, 2005). Banyak perempuan adat atau perempuan miskin yang berada di garis depan konflik sumber daya justru tidak terhubung dengan narasi akademik ekofeminisme, yang sering kali beroperasi di ranah diskursif yang elitis dan kurang aplikatif.

 

Sebagian varian ekofeminisme terlalu terfokus pada dekonstruksi patriarki tanpa strategi politik yang sistematis untuk mendorong transformasi struktural di tingkat kebijakan publik. Minimnya partisipasi dalam proses politik formal membuat gagasan ekofeminisme sulit diintegrasikan dalam kerangka kebijakan nasional atau transnasional (Sturgeon, 1997). Kritik juga diarahkan pada kurangnya pelibatan laki-laki sebagai bagian dari solusi perubahan sosial, padahal relasi gender yang adil memerlukan keterlibatan aktif lintas gender dalam perubahan struktur sosial yang lebih luas.

 

Meskipun ekofeminisme menawarkan kerangka normatif yang progresif dan penting dalam menghubungkan perjuangan sosial dan ekologis, tantangan terbesarnya terletak pada penerjemahan gagasan ke dalam strategi politik yang inklusif, lintas kelas, dan lintas budaya, agar dapat berdampak secara nyata dalam konteks kebijakan dan gerakan sosial yang transformatif.

 

Degrowth atau pelambatan pertumbuhan ekonomi secara disengaja muncul sebagai respons radikal terhadap paradigma ekonomi modern yang menekankan ekspansi tanpa batas. Gagasan utama dari gerakan ini adalah bahwa pertumbuhan ekonomi yang terus-menerus tidak hanya tidak berkelanjutan, tetapi juga secara inheren merusak lingkungan dan memperdalam ketimpangan global (Latouche, 2009). Dalam pandangan para pendukungnya, khususnya di negara-negara maju, pengurangan aktivitas ekonomi dianggap sebagai prasyarat untuk mengurangi jejak ekologis, memperbaiki relasi sosial, dan menciptakan masyarakat yang lebih berkeadilan.

 

Pendekatan degrowth menuai skeptisisme dari kalangan akademik maupun pengambil kebijakan. Sejumlah pengamat menilai bahwa gerakan ini cenderung bersifat “semua atau tidak sama sekali”, dengan visi yang belum disertai kerangka transisi yang konkret dan terukur (Kallis et al., 2020). Sebagaimana dikemukakan oleh Terzi (2024), gerakan degrowth cenderung mengandalkan pada “kesadaran moral kolektif” dan perubahan gaya hidup sukarela, seperti voluntary simplicity, yang secara historis terbukti belum mampu mengubah pola konsumsi dalam skala luas. Selain itu, seruan untuk mengecilkan perekonomian negara-negara kaya demi memberi ruang bagi negara berkembang kerap dianggap tidak realistis secara geopolitik, mengingat negara-negara cenderung mempertahankan posisi dan kekuatan ekonominya di panggung global (Latouche, 2009; Terzi, 2024).

 

Degrowth cenderung menolak reformasi parsial seperti pengurangan jam kerja, pajak karbon, atau transisi energi terencana karena dianggap sebagai bentuk kompromi terhadap sistem kapitalis. Paradigma ini justru membuat gerakan degrowth menjadi kontraproduktif dalam merespons krisis iklim secara cepat dan politis (Koch, 2022). Alih-alih membangun jembatan menuju perubahan transformatif, pendekatan ini kerap meminggirkan peluang aliansi strategis dalam arena kebijakan publik. Meskipun degrowth menghadirkan kritik penting terhadap dogma pertumbuhan, banyak pihak menilai bahwa strategi gerakan ini belum cukup operasional secara politik dan berisiko menghambat pencapaian solusi iklim yang pragmatis dan inklusif.

 

Secara keseluruhan, kapitalisme terbukti belum mati karena selalu mampu menemukan jalan bertahan meski menerima kecaman hebat. Sistem ini terus berkembang mengikuti konteks zaman mengadopsi neoliberalisme ketika menghadapi krisis, memanfaatkan teknologi mutakhir untuk mengakumulasi modal, dan memperdalam finansialisasi agar modal mengalir dinamis. Sifat kapitalisme yang adaptif (fleksibel dalam strategi dan berorientasi keras pada profit) memungkinkan ia menormalisasi perubahan internal sebelum kolaps total. Sementara itu, alternatif yang ada saat ini seperti sosialisme, ekofeminisme, dan degrowth masih menghadapi kendala besar dalam praktiknya mulai dari masalah efisiensi dan kebebasan (sosialisme), penguatan gerakan politik (ekofeminisme), hingga hambatan politik dan sosial (degrowth). Dengan mempertimbangkan semua ini, dapat disimpulkan bahwa tanpa transformasi fundamental yang meluas, kapitalisme nampaknya belum akan mati. Ia akan terus bertahan sejauh masih dapat memutar dirinya dengan inovasi baru dan mengakomodasi tuntutan perubahan baik melalui kebijakan neoliberalisasi maupun teknologi modern.


 

Sumber Bacaan

 

1.      Harvey, D. (2005). A brief history of neoliberalism. Oxford University Press.

2.      Setyawan, Y. (2023). Kapitalisme digital dan pembentukan algoritma sebagai refleksi sejarah ekonomi global. Jurnal Polinter, 9(2), 121–161. https://doi.org/10.24269/jp.v9i2.2023

3.      Smith, A., & Jones, R. (2021). Why socialism still struggles: Lessons from global case studies. New Left Review, 127(3), 283–305.

4.      Gaard, G., & Gruen, L. (1993). Ecofeminism: Toward global justice and planetary health. Society & Nature, 5(2), 1–36.

5.      Mies, M., & Shiva, V. (1993). Ecofeminism. Zed Books.

6.      Norgaard, K. M., & York, R. (2005). Gender equality and state environmentalism. Gender & Society, 19(4), 506–522. https://doi.org/10.1177/0891243205277319

7.      Shiva, V. (1989). Staying alive: Women, ecology and development. Zed Books.

8.      Sturgeon, N. (1997). Ecofeminist natures: Race, gender, feminist theory and political action. Routledge.

9.      Kallis, G., Kostakis, V., Lange, S., Muraca, B., Paulson, S., & Schmelzer, M. (2020). The case for degrowth. Polity Press.

10.  Koch, M. (2022). Postgrowth and climate justice: Towards a democratic eco-social turn. Routledge.

11.  Latouche, S. (2009). Farewell to growth. Polity Press.

12.  Terzi, M. (2024). Degrowth and political economy: Challenges of systemic alternatives. Journal of Political Ecology, 31(1), 105–132.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar