Kapitalisme sebagai sistem ekonomi dominan sering menjadi
sorotan tajam dari berbagai kalangan karena dituding sebagai biang keladi
krisis multidimensi. Mulai dari ketimpangan ekonomi, krisis finansial global,
hingga kerusakan ekologis. Salah satu kritik utama terhadap kapitalisme adalah
kecenderungannya untuk memperparah kesenjangan kekayaan. Sistem kapitalisme
dinilai menciptakan konsentrasi akumulasi modal pada segelintir elit ekonomi
atau korporasi raksasa, yang berakibat pada marjinalisasi kelompok mayoritas
(Harvey, 2005). Fokus jangka pendek kapitalisme pada akumulasi keuntungan dan
pertumbuhan ekonomi tanpa batas juga dianggap mengabaikan aspek keberlanjutan.
Praktik seperti deforestasi, eksploitasi sumber daya alam, dan emisi karbon
yang mendorong perubahan iklim merupakan akibat logis dari logika ekspansi
kapital yang tak terkendali (Setyawan, 2023).
Krisis ekonomi yang
berulang, seperti Depresi Besar tahun 1930-an atau krisis keuangan global 2008,
sering dijadikan bukti kegagalan struktural kapitalisme dalam menciptakan
stabilitas dan keadilan sosial (Smith & Jones, 2021). Alih-alih runtuh,
kapitalisme justru menunjukkan kapasitas luar biasa untuk bertahan hidup dan
berevolusi. Sistem ini tidak bersifat statis, melainkan terus menyesuaikan diri
dengan zaman melalui berbagai transformasi, seperti neoliberalisme,
finansialisasi, dan digitalisasi. Tulisan ini bertujuan mengurai secara kritis
mengapa kapitalisme tetap eksis di tengah krisis global, serta mengevaluasi
kelemahan dari alternatif sistemik seperti sosialisme, ekofeminisme, dan
degrowth yang kerap diajukan sebagai jalan keluar.
Sejarah telah membuktikan bahwa kapitalisme merupakan
sistem yang sangat adaptif terhadap berbagai bentuk krisis. Salah satu titik
balik penting dalam evolusi kapitalisme terjadi pada dekade 1970–1980-an,
ketika munculnya neoliberalisme menjadi respons terhadap stagnasi ekonomi
dan krisis kepercayaan terhadap model intervensi negara. David Harvey (2005)
menjelaskan bahwa neoliberalisme muncul sebagai ideologi ekonomi baru yang
mengedepankan deregulasi, privatisasi, dan pembebasan pasar dari intervensi
negara. Bukannya menciptakan pasar yang sepenuhnya bebas dan kompetitif,
implementasi neoliberalisme justru mengarah pada konsentrasi kekuasaan ekonomi,
di mana perusahaan-perusahaan besar membentuk struktur oligopolistik dan
memperbesar ketimpangan sosial.
Spekulasi finansial yang menjadi bagian inheren dari
neoliberalisme memperbesar kerentanan terhadap krisis sistemik. Instrumen
keuangan yang kompleks dan kurang diawasi seringkali menjadi pemicu gelembung
ekonomi dan kehancuran pasar, sebagaimana terlihat dalam krisis keuangan global
tahun 2008 (Rizal, 2020). Walaupun menimbulkan konsekuensi sosial dan ekonomi
yang serius, neoliberalisme tidak serta merta menggoyahkan kapitalisme secara
struktural. Sebaliknya, neoliberalisme justru memungkinkan kapitalisme melakukan
reformulasi
strategi untuk mempertahankan eksistensinya.
Kapitalisme tidak terikat
pada satu ideologi baku; ia bersifat oportunis, pragmatis, dan selalu mencari
bentuk baru yang memungkinkan kelangsungan akumulasi modal. Orientasi sistem
ini senantiasa diarahkan pada peningkatan keuntungan, menjadikannya sistem yang
sangat terkalibrasi terhadap logika profit (Setyawan, 2023). Bahkan ketika
tokoh-tokoh politik progresif seperti Barack Obama mengecam praktik predatoris
dari private equity yang disebut sebagai “vampire capitalists,”
sistem kapitalisme tidak runtuh, melainkan beradaptasi melalui inovasi
kebijakan dan teknologi (Obama, 2020). Fase neoliberal dapat dipahami bukan
sebagai kemunduran kapitalisme, melainkan sebagai bukti kemampuan sistem ini
untuk bertahan, berevolusi, dan memperkuat dirinya sendiri di tengah krisis.
Transformasi teknologi juga menjadi motor adaptasi kapitalisme. Kemajuan teknologi digital dan ekonomi informasi nyatanya diciptakan untuk mengoptimalkan akumulasi modal modern. Studi politik-ekonomi menunjukkan ekonomi digital sangat terkait dengan proses finansialisasi global sejak era neoliberal 1980-an. Artinya, digitalisasi tidak netral. Algoritma, data besar, dan platform teknologi diarahkan untuk menciptakan peluang profit baru. Misalnya, pemanfaatan teknologi keuangan (fintech) dan venture capital menggantikan bagian besar dari transaksi tradisional, mempertebal arus modal di pasar finansial. Konsep ini menegaskan bahwa teknologi dikembangkan bukan sebagai inovasi murni, melainkan sebagai “refleksi” perkembangan sejarah kapitalisme. Tujuannya adalah mengamplifikasi akumulasi kapital. Dengan bantuan teknologi, segala hal mulai dari perilaku konsumen hingga jaringan sosial dapat diukur dan dikalkulasi berdasarkan nilai ekonomi. Keunggulan teknis ini juga mempercepat inovasi dan efisiensi, sehingga kapitalisme digital tetap kompetitif. Singkatnya, kapitalisme abad ke-21 menggunakan teknologi dan finansialisasi untuk menjawab tantangan kritik: ia terus mengalirkan modal dalam bentuk baru serta mengubah dirinya agar selalu sesuai dengan realitas ekonomi dan sosial terbaru.
Sebagai tanggapan terhadap berbagai krisis yang
ditimbulkan oleh kapitalisme, sejumlah alternatif sistem ekonomi mulai mencuat.
Sosialisme
merupakan salah satu alternatif paling menonjol yang menawarkan visi keadilan
distributif dan kepemilikan kolektif atas alat produksi. Namun, secara
historis, sosialisme terutama dalam bentuk perencanaan terpusat—kerap menuai
kritik, terutama terkait efisiensi dan kebebasan individu.
Sistem perencanaan sentral yang mengabaikan mekanisme harga pasar dinilai tidak
mampu mengalokasikan sumber daya secara optimal, sering kali menghasilkan
birokrasi yang membengkak dan kelebihan produksi barang-barang yang tidak
sesuai dengan kebutuhan masyarakat (Smith & Jones, 2021).
Lebih jauh, insentif bagi
inovasi dalam sistem sosialis juga menjadi persoalan. Ketika laba pribadi dan
kompetisi antar pelaku ekonomi tidak menjadi pendorong utama, banyak pihak
berpendapat bahwa produktivitas dan dinamisme ekonomi ikut melemah (Hayek,
1945). Selain itu, sejarah mencatat bahwa banyak pemerintahan sosialis justru
menerapkan pendekatan otoriter dalam mencapai visi kesetaraan sosial. Penekanan
pada kepemilikan kolektif sering kali disertai pembatasan kebebasan sipil,
ekonomi, dan politik, sehingga melahirkan negara-negara dengan tingkat represi
tinggi terhadap oposisi atau ekspresi individual (Berlin, 1969).
Runtuhnya Uni Soviet pada
awal 1990-an dan krisis ekonomi yang melanda berbagai negara sosialis
memperkuat pandangan bahwa sistem ini memiliki kelemahan struktural yang
serius. Meski demikian, varian sosialisme modern seperti sosialisme
demokratis mencoba merespons kelemahan tersebut dengan menggabungkan prinsip
keadilan sosial dengan sistem demokrasi parlementer dan ekonomi pasar yang
teregulasi. Model ini, sebagaimana diterapkan di beberapa negara Skandinavia,
menunjukkan kemungkinan sintesis antara efisiensi pasar dan distribusi yang
lebih adil (Giddens, 1998). Bahkan bentuk sosialisme yang lebih moderat ini
menghadapi tantangan dalam implementasinya, seperti tekanan globalisasi,
ketergantungan fiskal, dan resistensi dari elit ekonomi. Me kipun sosialisme
menawarkan alternatif penting terhadap kapitalisme, praktiknya tetap sarat
tantangan baik dari sisi politik, teknokratik, maupun sosial.
Ekofeminisme
muncul sebagai pendekatan kritis yang menggabungkan perjuangan keadilan gender
dan keadilan
ekologis dalam satu kerangka teoritis dan praksis. Para pemikir
ekofeminis menyoroti bahwa eksploitasi terhadap alam tidak dapat dipisahkan
dari penindasan terhadap perempuan keduanya diproduksi dan dipelihara oleh
sistem patriarki dan kapitalisme global yang hierarkis dan dominatif (Shiva,
1989; Mies & Shiva, 1993). Ekofeminisme menawarkan alternatif pembangunan
berkelanjutan yang berbasis pada komunitas lokal, nilai perawatan (care), serta hubungan timbal balik antara
manusia dan alam, yang secara historis lebih dekat dengan peran sosial
perempuan.
Gerakan ini menghadapi tantangan signifikan dalam
penerapan praktisnya. Salah satu kritik utama adalah
kecenderungan ekofeminisme menjadi terlalu teoritis dan berakar pada pengalaman
serta epistemologi Barat, sehingga kurang representatif terhadap suara
perempuan dari Global South yang sering kali menjadi korban langsung krisis
ekologis (Gaard & Gruen, 1993; Norgaard & York, 2005). Banyak perempuan
adat atau perempuan miskin yang berada di garis depan konflik sumber daya
justru tidak terhubung dengan narasi akademik ekofeminisme, yang sering kali
beroperasi di ranah diskursif yang elitis dan kurang aplikatif.
Sebagian varian
ekofeminisme terlalu terfokus pada dekonstruksi patriarki tanpa
strategi politik yang sistematis untuk mendorong transformasi struktural di
tingkat kebijakan publik. Minimnya partisipasi dalam proses politik formal
membuat gagasan ekofeminisme sulit diintegrasikan dalam kerangka kebijakan
nasional atau transnasional (Sturgeon, 1997). Kritik juga diarahkan pada
kurangnya pelibatan laki-laki sebagai bagian dari solusi perubahan sosial,
padahal relasi gender yang adil memerlukan keterlibatan aktif lintas gender
dalam perubahan struktur sosial yang lebih luas.
Meskipun ekofeminisme
menawarkan kerangka
normatif yang progresif dan penting dalam menghubungkan
perjuangan sosial dan ekologis, tantangan terbesarnya terletak pada penerjemahan
gagasan ke dalam strategi politik yang inklusif, lintas kelas, dan lintas
budaya, agar dapat berdampak secara nyata dalam konteks
kebijakan dan gerakan sosial yang transformatif.
Degrowth
atau pelambatan pertumbuhan ekonomi secara disengaja muncul sebagai respons
radikal terhadap paradigma ekonomi modern yang menekankan ekspansi tanpa batas.
Gagasan utama dari gerakan ini adalah bahwa pertumbuhan ekonomi yang
terus-menerus tidak hanya tidak berkelanjutan, tetapi juga secara inheren
merusak lingkungan dan memperdalam ketimpangan global (Latouche, 2009). Dalam
pandangan para pendukungnya, khususnya di negara-negara maju, pengurangan aktivitas
ekonomi dianggap sebagai prasyarat untuk mengurangi jejak ekologis, memperbaiki
relasi sosial, dan menciptakan masyarakat yang lebih berkeadilan.
Pendekatan degrowth menuai skeptisisme dari
kalangan akademik maupun pengambil kebijakan. Sejumlah pengamat
menilai bahwa gerakan ini cenderung bersifat “semua atau tidak sama sekali”,
dengan visi yang belum disertai kerangka transisi yang konkret dan terukur
(Kallis et al., 2020). Sebagaimana dikemukakan oleh Terzi (2024), gerakan
degrowth cenderung mengandalkan pada “kesadaran moral kolektif” dan perubahan
gaya hidup sukarela, seperti voluntary
simplicity, yang secara historis terbukti belum mampu mengubah pola
konsumsi dalam skala luas. Selain itu, seruan untuk mengecilkan perekonomian
negara-negara kaya demi memberi ruang bagi negara berkembang kerap dianggap
tidak realistis secara geopolitik, mengingat negara-negara cenderung
mempertahankan posisi dan kekuatan ekonominya di panggung global (Latouche,
2009; Terzi, 2024).
Degrowth cenderung menolak
reformasi parsial seperti pengurangan jam kerja, pajak karbon, atau transisi
energi terencana karena dianggap sebagai bentuk kompromi terhadap sistem
kapitalis. Paradigma ini justru membuat gerakan degrowth menjadi
kontraproduktif dalam merespons krisis iklim secara cepat dan politis (Koch,
2022). Alih-alih membangun jembatan menuju perubahan transformatif, pendekatan
ini kerap meminggirkan peluang aliansi strategis dalam arena kebijakan publik. Meskipun
degrowth menghadirkan kritik penting terhadap dogma pertumbuhan, banyak pihak
menilai bahwa strategi gerakan ini belum cukup operasional secara politik dan
berisiko menghambat pencapaian solusi iklim yang pragmatis dan inklusif.
Secara keseluruhan, kapitalisme
terbukti belum mati karena selalu mampu menemukan jalan bertahan meski menerima
kecaman hebat. Sistem ini terus berkembang mengikuti konteks zaman mengadopsi
neoliberalisme ketika menghadapi krisis, memanfaatkan teknologi mutakhir untuk
mengakumulasi modal, dan memperdalam finansialisasi agar modal mengalir
dinamis. Sifat kapitalisme yang adaptif (fleksibel dalam strategi dan
berorientasi keras pada profit) memungkinkan ia menormalisasi perubahan
internal sebelum kolaps total. Sementara itu, alternatif yang ada saat ini
seperti sosialisme, ekofeminisme, dan degrowth masih menghadapi kendala besar
dalam praktiknya mulai dari masalah efisiensi dan kebebasan (sosialisme),
penguatan gerakan politik (ekofeminisme), hingga hambatan politik dan sosial (degrowth).
Dengan mempertimbangkan semua ini, dapat disimpulkan bahwa tanpa transformasi
fundamental yang meluas, kapitalisme nampaknya belum akan mati. Ia akan
terus bertahan sejauh masih dapat memutar dirinya dengan inovasi baru dan
mengakomodasi tuntutan perubahan baik melalui kebijakan neoliberalisasi maupun
teknologi modern.
Sumber Bacaan
1.
Harvey, D. (2005). A
brief history of neoliberalism. Oxford University Press.
2.
Setyawan, Y. (2023). Kapitalisme digital dan
pembentukan algoritma sebagai refleksi sejarah ekonomi global. Jurnal Polinter, 9(2), 121–161. https://doi.org/10.24269/jp.v9i2.2023
3.
Smith, A., & Jones, R. (2021). Why socialism still struggles: Lessons from global case studies.
New Left Review, 127(3), 283–305.
4.
Gaard, G., & Gruen, L. (1993). Ecofeminism: Toward
global justice and planetary health. Society
& Nature, 5(2), 1–36.
5.
Mies, M., & Shiva, V. (1993). Ecofeminism. Zed Books.
6.
Norgaard, K. M., & York, R. (2005). Gender equality
and state environmentalism. Gender &
Society, 19(4), 506–522. https://doi.org/10.1177/0891243205277319
7.
Shiva, V. (1989). Staying
alive: Women, ecology and development. Zed Books.
8.
Sturgeon, N. (1997). Ecofeminist
natures: Race, gender, feminist theory and political action. Routledge.
9.
Kallis, G., Kostakis, V., Lange, S., Muraca, B.,
Paulson, S., & Schmelzer, M. (2020). The
case for degrowth. Polity Press.
10. Koch,
M. (2022). Postgrowth and climate justice:
Towards a democratic eco-social turn. Routledge.
11. Latouche,
S. (2009). Farewell to growth. Polity
Press.
12. Terzi,
M. (2024). Degrowth and political economy: Challenges of systemic alternatives.
Journal of Political Ecology, 31(1),
105–132.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar