Kematian Kelas Tani dalam Sistem Kapitalisme Modern: Perspektif Eric Hobsbawm - Erwin Basrin

Breaking

Recent Posts

 photo Untitled-1_1.jpg

Kamis, 19 Juni 2025

Kematian Kelas Tani dalam Sistem Kapitalisme Modern: Perspektif Eric Hobsbawm

Petani Malin Deman Mukomuko


Perkembangan kapitalisme industri modern telah mengubah secara fundamental struktur masyarakat agraris, bahkan menyebabkan apa yang dapat disebut “kematian” kelas tani tradisional. Dalam kerangka teori Eric Hobsbawm, transformasi ini dianggap sebagai Great Transformation sebuah titik balik sejarah yang memisahkan era pra-kapitalis dan era pasca-kapitalis. Hobsbawm mencatat bahwa sejak abad ke-18, kelas petani sebagai mayoritas penduduk agraris telah mengalami “ceased to constitute the actual majority of the population… [and] its disappearance as a class is today quite conceivable”, petani kecil praktis menghilang di sejumlah negara maju (dimulai dari Inggris) sehingga keberadaan kelas tani tradisional menjadi terancam. Tulisan singkat ini mengkaji fenomena tersebut berdasarkan teori Hobsbawm, dengan fokus pada perubahan struktural dalam hubungan produksi, komersialisasi pertanian, dan integrasi ke dalam ekonomi pasar global.


Dalam teorinya Hobsbawm membedakan “masalah petani” (peasant problem) dan “masalah agraria”. Dalam Peasants and Politics, ia menegaskan bahwa para petani keluarga tradisional adalah subjek utama studi kelas tani, sedangkan pemilik pertanian besar komersial dan buruh tani (proletar tani) masuk dalam masalah agraria yang berbeda. Hobsbawm hanya menganggap petani kecil tradisional sebagai “kelas tani” yang stabil, bukan petani kapitalis atau buruh tani.


Hobsbawm menempatkan petani pada sebuah kontinuum antara dua tipologi ideal. Ujung pertama adalah petani komunal tradisional, seperti petani bersama di Rusia abad ke-19, yang hidup berdasarkan kerja kolektif. Ujung kedua adalah petani komoditas individual di bawah rezim hukum liberal properti (contohnya petani Prancis pada era Marx). Petani jenis kedua ini beroperasi secara individu sebagai produsen skala kecil tanpa keterkaitan antar sesama (Marx’s “sack of potatoes”), sedangkan petani tradisional ditandai oleh tingkat kolektivitas tinggi yang menahan diferensiasi sosial dan mendorong aksi komunal. Dalam kerangka ini, kelas petani tradisional stabil dan kooperatif, berbeda dengan petani atau pekerja agraris modern yang terfragmentasi secara sosial.


Kapitalisme industri memicu perubahan drastis pada hubungan produksi agraris. Hobsbawm mencatat bahwa di Inggris pada periode 1760–1830, transformasi ini menggeser pertanian subsisten ke arah agribisnis kapitalis: “when [traditional smallholdings] were stripped away… what emerged was not peasant agriculture but a class of agricultural entrepreneurs…the farmers, and a large agrarian proletariat”. Dengan kata lain, para petani kecil menjadi pengusaha tani skala menengah atau tengkulak, sementara sisanya menjadi buruh tani bergaji (proletariat agraris). Sebagai dampaknya, kemiskinan dan ketidakstabilan sosial meluas di kalangan yang sebelumnya petani kemandirian. Misalnya, di Inggris dua pertiga luas lahan gandum “disappeared between 1875 and 1895” karena petani kecil terdesak atau beralih fungsi. Peralihan ini juga diperkuat oleh konsentrasi kepemilikan lahan dan investasi komersial, sehingga petani kecil tidak lagi dominan dalam sistem produksi pertanian.


Abad ke-19 akhir ditandai depresi agraria global yang mempercepat perubahan kelas tani. Dalam dunia yang semakin terintegrasi, harga komoditas pertanian jatuh, menekan pendapatan petani. Respons masyarakat agraris beragam, namun dua yang dominan adalah migrasi massal dan koperasi pertanian. Hobsbawm menyoroti bahwa “mass emigration… and co-operation” adalah reaksi umum: petani yang tidak lagi memiliki lahan bermigrasi besar-besaran, sedangkan petani yang tersisa membentuk koperasi untuk menghadapi krisis. Di banyak negara, jumlah emigran tertinggi sepanjang masa terjadi pada 1880-an, menandai keluarnya petani kecil ke wilayah lain. Sementara itu, negara-negara maju memperketat proteksionisme dan modernisasi pertanian (misal beralih ke produk ternak yang menguntungkan) untuk mengimbangi penurunan harga internasional.


Integrasi ke dalam ekonomi pasar global juga menyebabkan hilangnya posisi petani kecil. Hobsbawm mencatat bahwa pada akhir abad ke-19 perdagangan komoditas primer dunia melonjak: “international trade in these commodities just about tripled between 1880 and 1913” dan area produksi serta integrasinya ke pasar dunia meningkat. Dalam sistem ini, petani lokal harus bersaing dengan produk impor murah dan teknologi pertanian skala besar. 

Hobsbawm dalam The Age of Empire, antara tahun 1880 hingga 1913, terjadi lonjakan luar biasa dalam perdagangan global barang-barang primer seperti gandum, kopi, gula, kapas, dan bahan mentah pertanian lainnya. Artinya Produksi dan perdagangan bahan pangan serta komoditas pertanian tidak lagi terbatas pada pasar lokal atau nasional. Negara-negara mulai terhubung dalam sistem ekonomi global. Komoditas dari Amerika Latin, Afrika, India, dan Asia Tenggara membanjiri pasar Eropa dan Amerika Utara dengan harga yang lebih murah, terutama karena kolonialisme dan eksploitasi tenaga kerja murah.

Banyak petani kecil terpinggirkan baik karena tidak mampu bersaing maupun dipaksa melebur ke dalam perkebunan besar atau industri pangan. Kondisi ini mengakibatkan fragmentasi sosial di pedesaan: meskipun petani mulai aktif dalam koperasi ekonomi, mereka “rarely mobilized politically and electorally as a class”. Artinya, kaum tani tidak lagi berperan sebagai kekuatan kelas politik yang tersendiri, melainkan terasimilasi ke dalam partai dan kepentingan lain. Secara keseluruhan, struktur produksi bergeser ke arah pertanian komersial yang terintegrasi dalam pasar dunia, menyisihkan pola subsisten tradisional dan menghapus basis kelas petani kecil.

Dalam sistem ekonomi kapitalisme global, terutama sejak akhir abad ke-19, struktur pertanian dunia mengalami perubahan besar. Petani kecil yang sebelumnya hidup dari tanah mereka sendiri, dengan produksi berskala rumah tangga untuk kebutuhan lokal, mulai dihadapkan pada realitas baru: mereka kini harus bersaing di pasar global dengan produk-produk pertanian yang dihasilkan secara massal dan murah oleh negara lain terutama dari koloni atau wilayah dengan upah tenaga kerja yang sangat rendah.

Eric Hobsbawm menjelaskan bahwa integrasi pasar global menyebabkan pergeseran drastis dalam cara pertanian dikelola. Di satu sisi, produk impor seperti gandum atau gula dari Amerika Latin dan Asia membanjiri pasar Eropa dengan harga yang jauh lebih murah dibanding hasil produksi petani lokal. Di sisi lain, teknologi pertanian modern yang hanya dapat diakses oleh tuan tanah besar atau korporasi agribisnis menciptakan kesenjangan produktivitas yang semakin lebar. Petani kecil tak mampu bersaing. Mereka terpinggirkan, bukan hanya secara ekonomi, tetapi juga secara sosial dan politik.

Ketika penghidupan mereka tak lagi mencukupi, banyak petani kecil menjual lahannya, menjadi buruh tani, atau bermigrasi ke kota. Sebagian dari mereka mencoba bertahan dengan membentuk koperasi pertanian atau organisasi ekonomi lokal, namun menurut Hobsbawm, mereka “jarang termobilisasi secara politik sebagai suatu kelas.” Artinya, meskipun mereka masih ada secara sosial, sebagai kelompok, mereka kehilangan kekuatan politik yang terorganisir. Tidak ada partai tani yang kuat, tidak ada gerakan politik petani yang mampu menekan kebijakan nasional. Fragmentasi ini menjadikan mereka rentan: tercerai-berai dalam ketergantungan terhadap pasar, negara, dan korporasi besar.

Narasi ini menunjukkan bahwa kematian kelas tani bukanlah sekadar penurunan jumlah petani, melainkan hilangnya kekuatan kolektif mereka sebagai aktor sosial-politik yang mandiri. Mereka tidak lagi menjadi tulang punggung masyarakat agraris, tetapi menjadi bagian dari sistem produksi kapitalistik yang tidak memberikan ruang bagi keberlanjutan kehidupan tani kecil yang merdeka.

Hobsbawm menunjukkan bahwa modernisasi ekonomi global telah menyebabkan kematian historis kelas tani tradisional. Kapitalisme industri mengubah petani kecil menjadi pengusaha pertanian atau buruh tani, sedangkan pasar global memadatkan pertanian ke skala besar. Hobsbawm menegaskan bahwa perubahan ini bersifat radikal, ketiadaan petani sebagai mayoritas penduduk agraris memisahkan era pascakapitalis dengan sejarah agraris sebelumnya. 

Dalam narasi sejarah modern, kisah tentang petani kecil bukan sekadar kisah tentang pekerjaan di ladang melainkan kisah tentang kehancuran sebuah cara hidup. Hobsbawm menunjukkan bahwa sejak abad ke-18, dunia mengalami transformasi besar yang tidak hanya mengubah mesin dan pabrik, tetapi juga mengguncang akar kehidupan agraris yang telah bertahan berabad-abad lamanya. Kapitalisme industri, dengan logika akumulasi dan efisiensi pasar, pelan tapi pasti menggerus eksistensi kelas tani tradisional.

Dulu, petani kecil adalah mayoritas penduduk. Mereka hidup dari tanah mereka sendiri, terikat oleh siklus musim, adat, dan komunitas yang kuat. Mereka bukan sekadar produsen pangan, tapi juga pewaris tata sosial yang berkelanjutan. Dalam dunia yang makin terkoneksi oleh perdagangan dan industri, tanah berubah menjadi aset komersial, bukan lagi ruang hidup. Petani mulai kehilangan kendali atas tanahnya karena kalah bersaing dengan produk impor murah atau terjerat dalam utang. Mereka yang bertahan pun harus beradaptasi menjadi pengusaha tani skala kecil, mengganti subsistensi dengan kalkulasi untung-rugi.

Kondisi ini bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal struktur sosial. Kelas tani lama yang terikat oleh kolektivitas dan kemandirian berubah menjadi individu yang tercerai-berai, bergantung pada pasar, tengkulak, dan perusahaan besar. Dalam proses ini, petani tidak lagi menjadi kekuatan politik. Mereka tidak mampu membentuk partai atau gerakan yang kuat, karena identitas mereka sebagai kelas pun telah dikikis. Mereka terserap ke dalam sistem yang lebih besar, menjadi bagian dari ekonomi kapitalistik yang tidak menyediakan tempat untuk komunitas agraris yang berdaulat.

Kematian kelas tani tradisional bukanlah peristiwa tunggal, tetapi proses panjang yang diam-diam menghancurkan akar-akar kehidupan pedesaan. Apa yang dulu menjadi pusat ketahanan pangan dan kebudayaan, kini menjadi pinggiran ekonomi global yang bergantung pada harga pasar dan keputusan elite. Inilah narasi tentang hilangnya satu kelas sosial secara historis, seperti yang Hobsbawm sebut, dan dunia yang terbentuk sesudahnya adalah dunia di mana petani bukan lagi subjek sejarah, tetapi korban perubahan zaman.

Hasilnya, kelas tani kecil hampir hilang sebagai entitas sosial yang mandiri. Fragmentasi dan penyerapan ke dalam struktur lain adalah ciri pekerja agraris modern, berbeda jauh dengan stabilitas komunitas tani lama. Secara ringkas, kematian kelas tani tradisional adalah konsekuensi struktur penting dari kapitalisme industri dan integrasi ekonomi dunia, sesuai dengan analisis Eric Hobsbawm.


Referensi: Eric J. Hobsbawm, Peasants and Politics (1973); The Age of Revolution, 1789–1848 (1962); The Age of Empire, 1875–1914 (1987).




Tidak ada komentar:

Posting Komentar