Bergabunglah
pada kekuatan-kekuatan pembebasan yang nyata, yang ada di tengah-tengah kalian,
seperti yang dilakukan oleh Tan Malaka. (De Tribune,
7-Maret-1922)
Siang
itu seorang laki-laki yang berwajah tegas dengan sorot mata tajam, berjalan
menghampiriku. Ia mengulurkan tangannya dan dijabatnya tanganku dengan keras. “Namaku
Tan Malaka” begitu ucapnya sambil duduk di sebelahku. Aku tertegun dan belum
sempat ngomong ketika ia kemudian bilang “Katanya kamu ingin bertanya banyak padaku?”
Aku
mencoba mengingat-ingat wajah seorang yang duduk di sampingku ini. Bajunya
putih bersih dengan garis wajah yang diselimuti kabut. Tan Malaka, pria yang
telah berhasil membuat bangsa ini memiliki keharuman. Tan Malaka, pria yang
telah menuliskan banyak karya raksasa. Tan Malaka, seorang aktivis pergerakan
yang menggoreskan perlawanan dengan kata-kata lugas.
“Ya
aku ingin banyak bertanya dengan anda yang sering disebut-sebut sebagai seorang
pejuang” tanpa ragu aku mengajaknya untuk bicara
“Jangan
kau sebut aku pejuang kalau apa yang aku dan teman-teman lakukan kalian
sia-siakan” dengan muka lugas ia ucapkan kata-kata itu
Aku
terhenyak dan sembari agak menjauh kulihat paras mukanya dari samping. Tulang
pipi yang kurus itu masih menampakkan kerutan yang teguh. Aku seperti
menyaksikan seorang yang tidak pernah bisa dikalahkan oleh badai
‘Kalian
telah menjerumuskan rakyat ini dalam penderitaan. Kulihat kalian mewarisi
sifat-sifat para penjajah. Malah kalian bukan hanya meniru dengan persis, tapi
melebihi apa yang penjajah lakukan dulu”
Aku
masih saja diam mendengar suaranya yang berat dan kering. Ikal rambutnya yang
agak bergelombang dengan sorot mata yang keras itu membuatku yakin, kalau Tan
Malaka adalah aktivis yang tidak pernah memikirkan kepentingan dirinya sendiri
“kusaksikan
kalian yang masih muda tidak punya keberanian untuk menentang
kesewenang-wenangan . Yang kalian kerjakan tidak seimbang dengan penderitaan
rakyat yang sudah melampaui batas. Kupikir tulisanku sudah cukup bisa mendorong
kalian untuk melakukan tindakan, tapi ternyata aku keliru”
Tan
Malaka kulihat menundukkan muka. Matanya melihat tanah hitam di bawahnya dan ke.mudian
menengokku. Matanya memandang diriku seolah-olah aku makhluk unik.
“apa
yang kaukerjakan selama ini anak muda?” Begitu tanyanya
“aku
seorang pekerja yang juga aktif dalam dunia gerakan, aku sama sepertimu” begitu
jawabku agak yakin. Tan Malaka menatapku tampak agak ragu dan berkata.
“Ketika
aku seusiamu kujelajahi dunia pengetahuan bukan dengan pesona tapi bertanya. Saat
aku seusiamu kubikin sekolah rakyat yang tidak mengutip bayaran. Aku ajari
anak-anak tiga pelajaran penting, ketrampilan agar mereka menjadi manusia
merdeka, filsafat agar mereka tahu akar pengetahuan dan berorganisasi agar
mereka menjadi bagian dari pergerakan. Sayang orang-orang kolonial itu
menangkapku jauh lebih cepat dari yang kuduga. Apa yang kaukerjakan sekarang
anak muda?”
Agak
terkejut aku dengan pertanyaanya yang tajam dan cepat. Kujawab dengan ragu-ragu
“yang kukerjakan diskusi, sesekali aku ikut merancang demonstrasi dan pernah
aku tertangkap polisi gara-gara membakar foto penguasa. Aku juga ikut
mengorganisir rakyat miskin dengan mendampingi mereka dan memaksa agar parlemen
bicara dengan mereka. Kini aku aktif di salah satu LSM”
Ia
tersenyum dan kulihat kabut di wajahnya berangsur-angsur memudar. Kali ini ia
mendekat dan menepuk pundakku “dulu aku punya kawan yang wajahnya mirip
denganmu. Namanya Semaun, ia seorang yang pintar dan berani. Kami percaya untuk
mengangkat harga diri bangsa yang terjajah tidak ada jalan lain kecuali melalui
pendidikan dan perlawanan. Kami berdua bikin sekolah dan aku diajaknya masuk
Sarekat Islam. Apa LSM itu seperti Sarekat Islam?”
Aku
tertegun dan bingung memberi jawaban. Sesungguhnya aku sendiri tak tahu apa
yang dikerjakan oleh LSM. Aku kadang disuruh nulis proposal lalu dibelakangnya
ada anggaran dana yang jumlahnya besar sekali. Habis itu aku disuruh
mengerjakan training, pelatihan bahkan pendidikan dengan honor dan biaya yang
bisa untuk membeli HP. Tapi aku malu menjawab pertanyaan Tan Malaka. Malah aku
kemudian ganti bertanya, “apa yang dikerjakan Sarekat Islam?”
Tiba-tiba
Tan Malaka memandangku dengan heran. “aku yakin kamu tak pernah diberitahu apa
itu Sarekat Islam. Inilah kekuatan politik pertama yang berteriak lantang
melawan para penguasa kolonial. Kami terdiri dari anak-anak muda sepertimu.
Kami ajak rakyat untuk melawan setiap kesewenang-wenangan. Diberi nama Sarekat Islam, karena agama ini
menolak untuk menjadikan orang menjadi budak. Hal yang kemudian dikerjakan pula
oleh PKI. Kami dulu menjadi anggota Sarekat Islam sekaligus menjadi anggota
PKI. Aku yakin cerita sejarah tentang itu tak pernah sampai ke telingamu. Zaman
sudah banyak berubah dan kulihat nasib bangsa ini jauh lebih buram. Aku banyak
mendengar, kalau kalian sudah jadi penguasa yang menjajah rakyatnya sendiri.
Rakyat itu kalian jadikan budak. Sekali lagi kalau kupandang muka para penguasa
sekarang ini, aku jadi ingat muka para aparat kolonial dulu.”
Aku
hanya bisa tertunduk. Kuingat beberapa temanku yang menjadi politisi curang.
Mereka aktivis partai tapi tidak punya gagasan besar untuk memerdekakan rakyat.
Kuingat temanku yang menjadi kaum profesional yang juga terlibat dalam
persekongkolan dengan para kapitalis.
“Kalian
memiliki penguasa diktator yang kejam pada rakyat kecil. Menggusur tempat
tinggal mereka, membuat pendidikan dengan harga yang mahal dan membebani rakyat
kecil dengan ongkos kesehatan yang tinggi. Beberapa kali kulihat kalian ikut
mensukseskan program yang didanai oleh bantuan asing dengan sikap yang loyal.
Jika kau sebut dirimu seorang aktivis perubahan sosial apa yang akan kau kerjakan
anak muda? Kau diamkan seorang pejabat yang kekayaanya melebihi pendapatan
jutaan penduduk miskin. Kaubiarkan seorang pejabat tinggi bergaji 110 juta per
bulan jauh melambung melebihi UMR buruh. Apa yang selama ini kaulakukan anak
muda?”
Lagi-lagi
aku terdiam lama sekali. Kuingat-ingat apa yang pernah kukerjakan selama ini.
Ikut dalam solidaritas teman-teman memantau anggaran. Ikut melakukan pengorganisiran
terhadap para pedagang kaki lima. Ikut serta dalam barisan oposisi menentang
militerisme yang hendak berkuasa. Dan kadang-kadang ikut nimbrung dalam program
demokrasi.
Tan
Malaka memandangku dengan rasa iba. Seolah-olah ia tahu kecamuk pikiran yang
kurasakan. Ia berdiri dan menatapku, lalu perlahan-lahan ia mengucapkan
serangkaian kalimat:
“Anak
muda apa yang kaukerjakan selama ini memang masih jauh dari kebutuhan rakyat.
Kau dikepung oleh kekuatan kapitalis yang tumbuh dan berpengaruh luas. Kulihat
kau sendiri susah untuk mempertemukan teman-temanmu yang punya komitmen serupa.
Kulihat jumlah kalian yang sangat kecil dengan ikatan disiplin yang longgar.
Anak muda organisasimu harus belajar banyak dari sejarah Sarekat Islam. Dua
kekuatan politik yang dulu mampu mengetahui kebutuhan rakyat. Rasa-rasanya
kalian harus baca ulang apa yang kutulis dalam Aksi Massa, Madilog dan
Gerpolek. Pahami pikiran kami bukan dengan pisau akademik semata melainkan juga
dengan pisau gerakan. Pahami semangat dan spirit yang melandasi kami semua.
Camkan bahwa struktur kapitalis hanya bisa dilawan dengan kekuatan pengetahuan
dan kekuatan pergerakan. Pengetahuan yang mengabdi pada kepentingan rakyat
bukan yang menjadi alat bagi penguatan sistem produksi kapitalis. Maka senjata
gagasan harus kalian kerjakan lebih dulu. Disitu kulihat kalian malas. Tak
pernah kubaca tulisan kalian yang menggugah dan memberi inspirasi rakyat untuk
melawan. Tak pernahkah dalam benak kalian untuk mendirikan pendidikan yang baik
dan murah untuk melayani rakyat miskin? Anak muda kau adalah tumpuan rakyat
miskin, jika kau ingin mengenal, memahami serta membela mereka, maka yang
kaukerjakan hanya satu: hidup dan hayati kehidupan bersama mereka.”
Ia
menepuk pundakku dan melangkah pergi. Dari punggungnya kulihat ia berjalan
bergegas. Aku berdiri ingin mengejarnya. Tapi langkah itu terlalu cepat dan ia
menghilang di balik gubuk-gubuk yang baru digusur. Akh, Tan Malaka semasa
hidupnya ia bersama orang miskin dan kini kutemukan dirinya di tengah perkampungan
miskin. Kampung orang miskin yang jumlahnya sangat padat dan penduduknya
menjadi golongan yang dulu diperjuangkan kemerdekaanya oleh Tan Malaka. Tan
Malaka, bagiku kau adalah inspirasi yang tak pernah lekang oleh waktu. Menjadi
martir untuk sebuah perubahan yang kini memakan korban anak bangsa sendiri.
Andai kau masih di depanku tentu aku hendak mengatakan.
“ya,
kami memang tidak mampu melakukan seperti yang kau kerjakan.” Kami berada dalam
lingkungan pendidikan yang busuk. Pendidikan yang tidak bisa membuat kami dekat
dengan penderitaan rakyat. Kami hanya memiliki sedikit intelektual besar yang
mampu menuliskan penderitaan rakyat. Intelektual kami hanya sibuk dengan urusan
perutnya sendiri. Kami juga tidak memiliki pemimpin gerakan yang berpandangan terbuka,
bergerak progresif dan bisa memahami kebutuhan rakyat. Yang kami punya hanya
pemimpin karbitan, pemimpin yang muncul sekejab dan tidak memiliki
pikiran-pikiran besar yang menjangkau ke arah masa depan. Indonesia yang dulu
kauperjuangkan kini sudah banyak berubah. Negeri ini telah membiakkan
kebusukan: korupsi, perdagangan anak, pembunuhan, kriminalitas, dan kemiskinan.
Tapi kami anak muda, yang ingin berbuat seperti yang kaulakukan. Kami ingin
melawan, melawan, dan terus melawan. Terhadap penguasa yang diktator, aktivis
yang menjadi broker politik, intelektual yang melacurkan ilmunya, dan preman
yang menggunakan kekerasan pada rakyatnya sendiri. Itu yang ingin dan sedang
kami kerjakan, Tan Malaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar