Jikalau Bangsa Indonesia mengkhianati sumbernya sendiri
Dengan sendirinya bangsa Indonesia akan gugur
…..dan sumber kita ialah anti imperialisme, anti kolonialisme, anti penjajahan
Cinta kepada kemerdekaan, cinta kepada masyarakat yang adil dan makmur
..selama kita setia pada sumber ini, tak ada kekuatan duniawi yang menghancurkannya
(Pidato Soekarno)
Dengan sendirinya bangsa Indonesia akan gugur
…..dan sumber kita ialah anti imperialisme, anti kolonialisme, anti penjajahan
Cinta kepada kemerdekaan, cinta kepada masyarakat yang adil dan makmur
..selama kita setia pada sumber ini, tak ada kekuatan duniawi yang menghancurkannya
(Pidato Soekarno)
Malam itu aku baru saja mau pulang. Laptop dan beberapa berkas
sedang kumasukkan dalam tas. Siraman lampu ruangan kumatikan. Kipas Angin yang
terletak di sudut kuturunkan suhunya. Gigitan hawa dingin mulai berkurang. Aku
menengok sebentar ke jendela. Halaman kantor tampak sunyi dan gelap. Pada
dinding jam kutengok jarum jam menunjukkan angka 11. Belum terlampau malam
untuk ukuran kota ini. Aku segera bergegas. Kuteguk gelas minum yang berisi air
putih. Gelas yang sejak tadi pagi belum aku sentuh. Sembari aku menyusun lembaran
kertas kudengar ketok suara pintu. Pelan dan hening.
“Masuk aja” kataku sekenanya. Di balik pintu kulihat penjaga malam
berdiri menyamping. Memakai sarung yang dibelitkan di kepala. Andom nama
penjaga kantor kami. Agak malu dan sedikit ragu-ragu. Ia tampak ingin bicara,
“Mas, ada tamu yang mencari”, itu kata yang diucapkannya pertama.
Sedikit takut dan cemas. Aku tak biasa melihatnya seperti ini. Andom katanya
jago silat di kampung. Ia berpengalaman menangkap pencuri. Kadang-kadang ia pamerkan
belati kecil yang sering dibawa kalau berjaga malam. Untuk jaga-jaga, katanya.
“Siapa Dom? Malam-malam kok bertamu” jawabku agak enggan. Kupikir
mahasiswa yang mau ajak diskusi atau mengasih undangan ceramah. Mereka biasanya
datang tanpa kenal waktu. Dipikir aku jenis orang yang tak tersentuh dengan
hukum 24 jam. Gampang dan mudah ditemui setiap saat.
“Sepertinya tamu penting dari jauh. Temui sebentar aja, tolong” Andom
sepertinya agak memaksaku untuk menemui tamu itu. Untuk soal tamu Andom memang
tak pernah bohong. Jika tidak penting pasti sudah diusirnya sejak di pintu
gerbang. Padahal aku ingin segera pulang. Merebahkan tubuh sambil memeluk si
kecil. Tapi tak mungkin bertamu semalam ini kalau tidak mendesak. Aku tiba-tiba
cemas. Jangan-jangan tamu dari keluarga kampung yang bawa berita gawat.
Kubiarkan makalah yang tinggal berserakan di meja.
Kulangkahkan kaki mengikuti Andom yang mengajakku ke beranda
depan. Ruangan tamu yang luas dengan kursi yang diatur persegi. Tampak di sana
pria berkopyah hitam sedang menunggu. Aku mendekat dan hendak mulai menyapa.
Tapi ia menengokku terlebih dulu. Berdiri dan berkata lebih dulu
“Wakh terimakasih anak muda, kau mau menemuiku malam-malam seperti
ini.”
Sungguh aku terkejut melihat postur tubuhnya. Wajahnya mirip
dengan Ir Soekarno. Wajah yang baru saja sedang aku kumpulkan foto-fotonya.
Untuk keperluan peringatan kemerdekaan di kampung. Untuk keperluan buku para
pemimpin yang sedang aku tulis. Parasnya masih tampan dan sangat berwibawa.
Ketampanannya masih bersinar terang.
“Jangan mudah terkejut anak muda. Aku memang Soekarno. Orang yang
sedang kautuliskan pidatonya dan kini kau coba bandingkan dengan pemimpin
negeri ini. Aku senang masih banyak penduduk di negeri ini yang mengenalku.
Apalagi kau anak muda yang lahir ketika aku sudah tidak menghuni negeri ini.”
Aku tertegun agak lama. Berdiri diam. Antara terkejut, takut dan
bingung. Sungguh aku orang yang tak percaya tentang adanya mayat yang kembali
hidup. Kisah yang paling banyak diangkat oleh sinetron Indonesia. Ingin aku
mengucapkan doa pengusir makhluk halus. Doa yang dulu aku lafalkan kalau mau
ujian. Kebetulan aku belajar tentang Islam di Kampusku yang hanya sibuk jika
mahasiswanya mau wisuda. Ketentuan agar hapal doa jadi kewajiban tiap
mahasiswa.
“kau jangan takut anak muda, aku bukan hantu. Aku adalah bayangan
yang sejak sore tadi kau idam-idamkan. Aku kesini untuk menjawab segala
pertanyaan yang berkecamuk dalam pikiranmu. Tentang kemerdekaan, tentang
pembebasan, tentang imperialisme. Aku memang tidak hidup dalam zamanmu, tapi
dulu semasa aku muda kuberikan hidupku untuk memberikan jawaban atas itu
semuanya. Kini aku datang untuk mengajakmu diskusi, berdebat dan saling memberi
tanggapan. Atas kehidupan kebangsaan yang makin lama makin memprihatinkan. Terhadap
semua masalah yang membusuk hingga tercium baunya di alam kubur sana. Aku tak
bisa tenang melihat kalian merusak negeri yang dulu dengan susah payah kami
tegakkan.”
Soekarno seperti sosok yang kulihat dalam foto masa lampau. Muda,
cekatan dan pemberani. Entah tanpa sadar aku duduk membenamkan diri di kursi
tamu. Kursi itu seperti menelan rasa takut, cemas dan kesangsianku yang
terpendam. Aku ingin banyak bertanya pada seseorang yang hingga kini namanya
paling banyak disebut. Seorang pendiri Republik yang telah melalui kehidupan
mudanya dengan cara menakjubkan. Hidup dalam jeruji pengasingan, diburu-buru
oleh aparat kolonial hingga berusaha untuk membuat negeri ini tegak secara
terhormat. Kulihat di foto Soekarno bergandeng tangan dengan Fidel Castro. Pria
yang sampai kini masih menjabat sebagai Presiden Kuba. Pemberani dan militan.
Sama dengan Soekarno. Sangat benci pada imperialisme dan bahkan membuat
berbagai slogan yang mudah dihapal. Amerika kita setrika, Inggris kita linggis.
Salah satu ucapan yang sampai sekarang masih enak dibunyikan. Terasa kian
relevan kalau diteriakkan.
“Bung Karno, apa harapanmu pada negeri ini sebenarnya?” Aku mulai
mencoba berani untuk bertanya. Kegelisahanku pada bangsa ini sudah sampai tapal
batas. Bahkan batas itu telah remuk!
“Kau terlambat bertanya anak muda! Mengapa pertanyaan ini tak
kaujawab sendiri”. Aku dulu sudah menegaskan kalau negeri ini harus ‘merdeka’.
Merdeka dalam artian yang sebenarnya. Rakyatnya bebas bekerja, bebas
bersekolah, bebas berkarya. Siapa rakyat anak muda? Rakyat adalah kaum marhein
anak muda. Yang dinamakan kaum marhaein adalah setiap rakyat Indonesia yang
melarat atau lebih tepat: dimelaratkan oleh kapitalisme, imperialisme dan
kolonialisme. Kaum marhaen ini terdiri atas tiga unsur: pertama, unsur proletar
Indonesia (buruh), kedua unsur kaum tani melarat Indonesia, dan ketiga kaum
melarat yang lain.
“Merekalah yang semustinya terangkat kehormatan dan hidupnya.
Semua penduduk negeri ini, terutama kamu yang muda, selayaknya memperjuangkan
kepentingan tiga golongan sosial ini. Merekalah yang banyak berkorban untuk
negeri ini. Untuk mereka kami dulu memperjuangkan kemerdekaan.”
Ucapannya seperti sebuah ketegasan. Aku jadi teringat kembali
pidato Soekarno tentang Tri Sakti. Sebuah kata yang merangkum kehendak besar
bangsa Indonesia di tengah percaturan International. Pidato itu masih terekam
dalam benakku dan tertinggal demikian lama:
‘…Nah. Tri Sakti, berdaulat di lapangan politik, berdikari di lapangan ekonomi, berkepribadian di lapangan kebudayaan….berdaulat di lapangan politik berarti, sebagai bangsa memiliki satu negara yang bebas merdeka, bebas sama sekali dari imperialisme….berdikari di lapangan ekonomi berarti menciptakan tatanan masyarakat yang tidak menghisap satu sama lain…..masyarakat yang adil dan tinggi kemakmurannya….’
‘…Nah. Tri Sakti, berdaulat di lapangan politik, berdikari di lapangan ekonomi, berkepribadian di lapangan kebudayaan….berdaulat di lapangan politik berarti, sebagai bangsa memiliki satu negara yang bebas merdeka, bebas sama sekali dari imperialisme….berdikari di lapangan ekonomi berarti menciptakan tatanan masyarakat yang tidak menghisap satu sama lain…..masyarakat yang adil dan tinggi kemakmurannya….’
Kulihat Soekarno berdiri dan berjalan menuju almari perpustakaan.
Buku-buku yang ada di dalam kebanyakan berisi undang-undang serta dokumen
seminar. Beberapa buku tebal hanya memuat tulisan hasil penelitian tentang Hak
Asazi Manusia dan demokrasi. Pintu kecil almari itu dipegangnya sembari menoleh
ke arahku:
“Tak adakah kumpulan pidatoku disini? Tak kulihat ada tulisan
Hatta, Sjahrir dan Tan Malaka dalam perpustakaan ini? Bahkan tak ada novel
maupun karya sastra dari pujangga yang kau simpan? Perpustakaanmu kering dari
aroma pergerakan dan budaya. Buku-buku apa saja yang kini tertanam dalam
benakmu anak muda?”
Aku diam dan tercenung malu. Negeri ini memang memalukan dalam
soal karya kebudayaan. Buku-buku terbit dalam jumlah yang makin minim.
Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka hidup dalam budaya pengetahuan dunia.
Buku-buku yang mereka baca jauh melampaui generasiku. Das Kapital Karl Marx
yang ketebalannya luar biasa dengan antusias dibaca serius oleh mereka. Buah
karya Adam Smith, Frederich Engels, Aristoteles, Plato hingga Leo Tolstoy
menjadi dasar semua pembicaraan mereka. Kelak dari bentangan bacaan itulah
gagasan-gagasan kebangsaan itu bersemi. Betapa jauhnya mereka dengan para
pemimpin sekarang ini. Mereka seperti sepotong badan yang buta huruf. Buta
terhadap derap pengetahuan dan pergulatan nilai yang semustinya jadi dasar
pertimbangan dalam mengambil tiap keputusan politik. Mereka seperti manusia
‘mujur’ yang punya akal terbatas tetapi duduk dalam kekuasaan. Akibatnya negeri
ini berujung pada kehancuran yang lebih mengerikan. Teringat itu aku jadi
merasa bersalah dihadapan bapak proklamator yang kini tampak letih dan tua.
“Anak muda, jangan kau sesali apa yang sedang terjadi. Pantang
bagi anak muda untuk diam dan penuh sesal….kau ingat pidatoku di Istana Gelora
dihadapan anak-anak muda kukatakan dengan seterang-terangnya:….kalau kita
melihat lawan di muka, kita jangan mengkeret, jangan! Oo malahan kita gigitkan
kita punya gigi. Ayo mau apa, ini dadaku, mana dadamu. Memang maksud saya mau
mengganyang imperialismemu itu. Ayo, kau mau apa? ….tujuan revolusi nasional
adalah membebaskan tanah, air, bangsa dari kekuasaan asing…maka anak muda
jangan kau ragu, takut, cemas. Ayo kepalkan tanganmu dan jangan berdiam diri
menyaksikan kolonialisme yang kini telah membunuh rakyat-rakyat miskin….ayo
anak muda angkat mukamu, kepalkan tanganmu, bergeraklah membangun gerakan…”
Soekarno mengguncang-guncang bahuku dengan keras. Aku terkejut,
kaget dan berdiri tegak. Mataku ditatapnya dengan sorot yang mencengkram. Aku
tak menyangka kehadirannya menyulut semangatku yang redup dan lesu. Tiba-tiba
Soekarno menjabat tanganku dan bicara seakan-akan berada dihadapan jutaan
massa:
“kalau ada mahasiswa yang tidak progresif revolusioner, tendang mahasiswa yang tidak progresif revolusioner itu! Dan jikalau ada organisasi mahasiswa yang tidak progresif revolusioner, bubarkan saja organisasi mahasiswa yang demikian itu!….maka aku menghendaki jangan kalian diantara anak-anak muda gontok-gontokan…jangan berkhianat pada sesama….jangan cerai-berai…bangkitkan militansi dan semangat kalian…melihat kemiskinan, kelaparan, pengangguran jangan hanya diam…kutuk, hujat, hina dan lawan semua itu dengan tangan-tanganmu, teriakanmu dan pikiranmu….engkau harapan rakyat marhaen..jangan kau khinati kami yang telah tiada, yang telah dibuang, diasingkan demi memerdekakan negeri ini…jangan anak muda…kalian semua harus berjuang di tengah-tengah Rakyat Marhaen, membulatkan seluruh kekuatan Marhaen, dan bersama-sama dengan kaum marhaen itu terus berjuang melawan kapitalisme, imperialisme, kolonialisme, di manapun ia bercokol dan berada…..”
Tanganku diguncang-guncangnya. Seperti sebuah botol kosong yang
ingin dilempar. Soekarno seperti ingin mengeluarkan arus semangat yang mengalir
dalam tubuhku. Dipeluknya aku dengan tekanan yang kuat dan berwibawa. Ia
meninggalkanku dalam kesunyian yang bening. Pintu serambi depan tertutup rapat.
Aku berdiri mematung di ruangan tamu yang lengang dan luas. Ini malam tanggal
16 Agustus dan kutengok dari jendela beberapa orang pulang dari malam
tirakatan. Sebuah malam untuk mengenang kembali rapat yang dulu dilakukan
Soekarno untuk membahas kemerdekaan negeri ini. Pagi esok, sebuah peringatan
kemerdekaan akan diperingati dengan kemeriahan yang berlebihan dan upacara yang
kadang memalukan. Kita hanya mampu membaca teks proklamasi yang kian kehilangan
gema kesejahteraan dan keadilan. Aku mungkin tidak bisa kembali hidup seperti
di masa Soekarno, tapi kini aku menghadapi musuh yang dulu selalu dilawan oleh
mereka: imperialisme. Dan kini imperialisme itu tegak melalui tangan-tangan
kaum pribumi yang kulitnya sama denganku. Semustinya aku akan tetap bersikap
dan tegak sebagaimana amanat Soekarno: terus melawan, terus bergerak, terus
menjadi kader kaum marhaen!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar