Pengetahuan yang Melukai: Membaca The Head-Hunters of Borneo di Jalan Asia Afrika - Erwin Basrin

Breaking

Recent Posts

 photo Untitled-1_1.jpg

Minggu, 28 Desember 2025

Pengetahuan yang Melukai: Membaca The Head-Hunters of Borneo di Jalan Asia Afrika

 



Saya membaca The Head-Hunters of Borneo pada akhir tahun 2025, di sebuah sore yang padat oleh ingatan. Jalan Asia Afrika, Bandung, menjadi latarnya ruas pendek yang menyimpan denyut panjang sejarah, tempat jejak kolonial, seni, dan perlawanan kultural bertemu. Asia Afrika bukan sekadar jalan yang menolak dunia utara oleh dunia selatan, melainkan panggung ingatan yang terus dinegosiasikan oleh waktu. Di sana, di antara bangunan kolonial yang dirawat dan dipamerkan sebagai estetika kota, saya membuka sebuah buku lama yang baunya masih menyimpan ambisi lama. Mengetahui agar dapat menguasai.


Membaca Carl Bock di Asia Afrika bukan kebetulan. Jalan ini menyimpan paradoks. Ia dirayakan sebagai simbol pembangkangan dunia ketiga terhadap dominasi global, tetapi juga berdiri di atas fondasi kolonial yang tak pernah benar-benar dibongkar. Seperti Asia Afrika, buku Bock adalah artefak yang hidup bukan karena kebenarannya, melainkan karena pengaruhnya yang panjang. Ia adalah teks yang ikut membentuk cara kita memahami dan sering kali salah memahami masyarakat adat, tanah, dan hukum yang hidup di Nusantara.


The Head-Hunters of Borneo ditulis dalam sebuah zaman ketika pengetahuan adalah perpanjangan tangan kekuasaan. Carl Bock bukan sekadar penjelajah, ia adalah bagian dari rezim pengetahuan kolonial yang menjadikan pengamatan sebagai alat penguasaan. Ia menulis tentang manusia, hutan, sungai, dan ritual, tetapi jarang menulis tentang persetujuan. Ia mencatat, menggambar, mengklasifikasi dan dengan itu, mengubah kehidupan menjadi data.


Di sinilah persoalan epistemic injustice bermula. Ketidakadilan pengetahuan tidak selalu bekerja dengan kekerasan kasat mata. Ia bekerja melalui pilihan. Apa yang dicatat, apa yang diabaikan, siapa yang dipercaya, dan siapa yang dianggap tidak tahu. Dalam buku Bock, masyarakat adat Dayak yang di temui tampil sebagai objek pengamatan, bukan subjek pengetahuan. Mereka hadir sebagai “yang dilihat”, bukan “yang berbicara”.


Ketika sebuah komunitas digambarkan terutama melalui praktik yang dianggap ekstrem atau eksotik, pengetahuan tentang relasi tanah, hukum adat, dan tata kelola ekologisnya menjadi latar yang kabur. Yang menonjol bukan sistem hidup, melainkan potongan-potongan budaya yang mudah dicerna oleh pembaca Eropa. Ini bukan kesalahan teknis, melainkan pilihan epistemic, pilihan yang memihak.


Bock, seperti banyak penjelajah sezamannya, menempatkan masyarakat adat dalam bingkai eksotisasi. Kepala, ritual, tubuh semuanya disajikan sebagai tanda keanehan. Eksotisasi bekerja dengan cara yang licik. Ia tidak selalu merendahkan secara terang-terangan, tetapi menempatkan subjek pada jarak yang aman untuk dikagumi tanpa perlu diakui setara.


Di balik narasi ini tersembunyi pesan politis. Mereka berbeda, maka mereka belum sampai. Mereka unik, maka mereka belum rasional. Dari sinilah lahir justifikasi halus bagi kolonialisme. Jika mereka belum rasional, maka wajar jika wilayahnya diatur oleh yang dianggap lebih tahu. Eksotisasi, dalam konteks ini, adalah pintu masuk bagi perampasan yang dibenarkan.


Epistemic injustice bekerja ketika cara mengetahui masyarakat adat melalui cerita lisan, ritus, dan praktik sehari-hari dianggap inferior dibanding catatan tertulis penjelajah. Yang satu disebut ilmiah, yang lain disebut mitos. Padahal, mitos sering kali adalah arsip ekologis yang paling jujur.


Yang paling mencolok dari The Head-Hunters of Borneo bukanlah apa yang ditulis, melainkan apa yang tidak ditulis. Tanah hadir sebagai latar, bukan sebagai relasi. Hutan adalah pemandangan, bukan wilayah kelola. Sungai adalah rute, bukan sistem kehidupan. Hukum adat, jika disebut, tidak pernah diakui sebagai hukum yang sah.


Penghapusan ini adalah bentuk epistemic injustice yang berdampak panjang. Ketika relasi masyarakat adat dengan tanahnya tidak diakui sebagai sistem hukum, tanah itu tampak seperti ruang kosong. Dari sinilah terra nullius bekerja tanpa perlu disebutkan. Tanah tidak perlu dinyatakan kosong, cukup dengan mengosongkan ceritanya.


Hari ini, kita melihat warisan itu hidup dalam peta konsesi, dalam frasa “kawasan hutan negara”, dalam kebijakan yang menganggap wilayah adat sebagai cadangan investasi. Arsip kolonial tidak mati. Ia bertransformasi menjadi dokumen negara.


Membaca Bock di Jalan Asia Afrika membuat paradoks ini terasa nyata. Jalan ini adalah simbol perlawanan terhadap dominasi global, tetapi juga ruang yang memamerkan arsitektur kolonial sebagai warisan. Ia mengajarkan kita satu hal. Ingatan tidak pernah final. Ia selalu dinegosiasikan oleh siapa yang bicara, untuk siapa, dan dengan tujuan apa.


Jalan Asia Afrika menolak dunia utara oleh dunia selatan, tetapi juga mengingatkan bahwa penolakan tidak cukup jika tidak dibarengi pembongkaran epistemik. Kita bisa merayakan konferensi dan simbol, tetapi jika cara kita memproduksi pengetahuan masih meminggirkan suara lokal, maka kolonialisme hanya berganti baju.


Epistemic injustice menjadi lebih tajam ketika berhadapan dengan perempuan. Pengetahuan Perempuan tentang benih, air, musim, dan tubuh jarang masuk buku Bock. Ia terlalu domestik, terlalu sehari-hari, terlalu “tidak ilmiah”. Padahal, justru di tubuh perempuanlah dampak kolonialisme ekologis paling awal terasa.


Ketika hutan ditebang, perempuan berjalan lebih jauh mencari kayu dan air. Ketika tanah dirampas, perempuan menanggung beban pangan keluarga. Ketika sungai tercemar, rahim perempuan menjadi ruang pertama racun bekerja. Namun pengalaman ini jarang diakui sebagai bukti. Hukum lebih percaya angka laboratorium daripada cerita tubuh.


Inilah ketidakadilan pengetahuan yang berlapis. Perempuan tahu, tetapi tidak dianggap tahu. Mereka mengalami, tetapi kesaksiannya diragukan. Epistemic injustice tidak hanya membungkam, tetapi juga melelahkan.


Kritik terhadap Bock bukan tentang menghakimi masa lalu dengan standar hari ini. Ia adalah tentang memahami bagaimana masa lalu terus bekerja di masa kini. Membaca ulang arsip kolonial adalah tindakan politik bukan untuk menolaknya mentah-mentah, tetapi untuk menempatkannya pada posisi yang tepat, sebagai teks yang berpihak.


Dekolonisasi pengetahuan berarti menggeser pusat otoritas. Arsip kolonial tidak boleh lagi menjadi rujukan tunggal. Ia harus dibaca berdampingan dengan peta komunitas, cerita lisan, dan pengetahuan perempuan. Dalam konteks hukum, ini berarti mengakui bahwa kesaksian hidup adalah bukti. Dalam konteks kebijakan, ini berarti FPIC bukan formalitas, melainkan pengakuan atas kedaulatan pengetahuan.


Apa yang kita lakukan setelah menutup buku Bock? Jika kritik berhenti di rak perpustakaan, maka ia tidak lebih dari latihan intelektual. Tetapi jika kritik itu dibawa ke lapangan ke ruang advokasi, ke pengadilan, ke desa maka ia menjadi alat pembebasan.


Di Bengkulu, Kalimantan, Sumatra, dan banyak wilayah lain, konflik agraria hari ini masih dibingkai oleh logika lama. Tanah sebagai objek, masyarakat sebagai penghalang. Selama logika ini bertahan, buku-buku seperti Bock akan terus hidup bukan sebagai bacaan, tetapi sebagai struktur berpikir.


Menutup The Head-Hunters of Borneo di Jalan Asia Afrika, saya sampai pada satu kesimpulan sederhana. Pengetahuan yang tidak meminta izin selalu berpotensi melukai. Ia mungkin rapi, ilustratif, dan memikat, tetapi ia dibangun di atas penghapusan.


Asia Afrika mengajarkan bahwa dunia selatan pernah berkata tidak dan masih harus terus berkata tidak. Tidak pada pembangunan tanpa persetujuan. Tidak pada hukum yang menyingkirkan. Tidak pada pengetahuan yang menulis tentang kami tanpa kami.


Dekolonisasi pengetahuan bukan sekadar proyek akademik. Ia adalah syarat keadilan agraria dan ekologis. Selama kita masih mengandalkan arsip yang menolak suara lokal, luka itu akan terus terbuka. Dan selama itu pula, perlawanan akan terus menemukan jalannya di jalan, di desa, dan di tubuh mereka yang menolak dilupakan.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar