Berjalan Terlalu Jauh untuk Sesuatu yang Tidak Pernah Datang - Erwin Basrin

Breaking

Recent Posts

 photo Untitled-1_1.jpg

Sabtu, 13 Desember 2025

Berjalan Terlalu Jauh untuk Sesuatu yang Tidak Pernah Datang

 


Paraduta datang dari tempat yang tidak lagi dicari siapa pun. Bukan karena tempat itu hilang, melainkan karena ia tidak lagi dianggap penting untuk disebut. Kampung itu masih ada dengan sungai yang tetap mengalir pelan, ladang yang menua bersama petaninya, dan kuburan kecil yang terus bertambah tanpa berita. Namun di peta-peta baru, wilayah itu hanya bayangan. Hanya ruang kosong yang menunggu diberi fungsi.

Paraduta tumbuh di sana, di antara cerita yang tidak selesai dan janji yang tidak pernah kembali. Sejak kecil ia sudah terbiasa mendengar orang-orang tua berbicara dengan nada pelan, seolah tanah pun bisa mendengar dan melapor. Mereka menyebut batas bukan dengan patok, tetapi dengan ingatan. Batu besar, pohon tua, tikungan sungai, dan kisah siapa yang pernah menanam apa.

Ketika dewasa, Paraduta menyadari bahwa dunia di luar kampung tidak lagi percaya pada ingatan. Dunia baru meminta bukti tertulis, peta berskala, dan tanda tangan. Apa yang tidak tercatat dianggap tidak pernah ada.

Sejak itulah ia mulai membaca, bukan untuk menjadi pandai, tetapi untuk mencari bahasa bagi sesuatu yang sedang dihapus.

Rak buku Paraduta tidak pernah rapi. Buku-buku hukum berdampingan dengan catatan adat, laporan konflik, novel-novel tentang orang kalah, dan manuskrip yang disalin tangan. Banyak yang ia temukan di tempat sampah kantor, ruang arsip yang bocor, atau dari orang-orang yang menyerah dan memilih pergi.

Ia membaca di malam hari, ketika suara dunia mereda dan kata-kata bisa berbicara lebih jujur. Dari sana ia belajar satu hal yang tak pernah diajarkan secara resmi. Bahwa hukum sering kali datang terlambat, dan keadilan hampir selalu datang sendirian.

Orang-orang kampung menganggapnya aneh.

“Untuk apa membaca sebanyak itu?”

“Tanah tidak kembali karena buku.”

“Perut tidak kenyang oleh pasal.”

Paraduta tidak menyangkal. Ia tahu buku tidak menyelamatkan. Tetapi ia juga tahu, tanpa bahasa, luka hanya akan menjadi bisu.

Ada hari ketika Paraduta merasa bahwa duduk dan membaca tidak lagi cukup. Bukan karena ia tiba-tiba percaya pada kemenangan, melainkan karena diam terasa seperti ikut menandatangani penghapusan.

Hari itu ia berdiri lama di tepi kebun, melihat alat berat di kejauhan, mendengar suara mesin yang memotong pagi. Tanah yang ia kenal sejak kecil kini dibagi dengan pita warna dan papan izin. Semuanya tampak sah. Semuanya tampak final.

Paraduta pulang, mengambil map lusuh berisi dokumen, dan berjalan. Ia tidak tahu ke mana, hanya tahu bahwa tetap tinggal akan membuatnya membusuk perlahan.

Ia tidak menyebut dirinya pejuang. Ia hanya berjalan sebagai seseorang yang merasa bertanggung jawab pada ingatan.

Paraduta tidak mengganti namanya. Ia hanya memperluas maknanya. Jika dulu ia adalah satu tubuh, kini ia merasa menjadi simpul dari banyak suara yang tidak terdengar. Ia membawa cerita orang-orang yang tidak pernah diundang ke rapat, nama-nama yang tidak pernah masuk notulen.

Ia mulai berbicara di tempat-tempat yang tidak ramah. Kantor, aula, pos keamanan. Ia berbicara pelan, tanpa teriak, dengan bahasa yang berusaha sopan. Ia percaya, jika kata-kata cukup jujur, dunia akan mendengarkan.

Ia keliru. Tetapi bukan sepenuhnya.

Panza datang tanpa rencana. Tubuhnya tambun, langkahnya lambat, dan seleranya sederhana. Ia tahu dunia tidak adil, tetapi ia juga tahu. Orang harus makan.

“Aku ikut,” katanya suatu sore.

“Kenapa?” tanya Paraduta.

“Karena kalau kau jatuh, setidaknya ada yang mengangkat.”

Panza tidak membaca buku. Ia membaca wajah. Ia tahu kapan seseorang berbohong, kapan harus diam, dan kapan harus mundur agar tetap hidup. Ia tidak sepenuhnya percaya pada perjuangan Paraduta, tetapi ia percaya pada Paraduta.

Kesetiaan itu sederhana, dan karena itu kuat.

Mereka tiba di lokasi proyek. Di sana berdiri bangunan-bangunan tinggi, mesin berputar, dan spanduk yang menjanjikan masa depan. Paraduta melihat sesuatu yang lain. Sawah yang pernah memberi makan, sungai yang pernah memberi nama.

“Kau melawan apa?” tanya Panza.

“Apa yang tidak bisa membela diri,” jawab Paraduta.

Ia berbicara. Menjelaskan. Menunjukkan dokumen.
Ia ditanggapi dengan senyum dan kalimat yang sudah dihafal.

“Ini legal.”

“Ini prosedural.”

“Ini untuk kepentingan umum.”

Paraduta pulang dengan tubuh utuh, tetapi sesuatu di dalamnya retak.

Paraduta menyebut kantor sebagai kastil. Bukan karena ia tidak tahu itu birokrasi, tetapi karena ia melihat bagaimana kekuasaan bekerja melalui jarak dan simbol. Di sana, keputusan tidak dibuat untuk dipahami, melainkan untuk dijalankan.

Ia menunggu berjam-jam. Ia dipersilakan menunggu lebih lama. Ia belajar bahwa menunggu adalah cara paling sopan untuk mengatakan tidak.

Panza tertidur di kursi plastik. Paraduta tetap terjaga. Ia takut, jika ia tertidur, ia akan bangun sebagai orang yang lain. Lebih patuh, lebih lelah, lebih kosong.

Nama Paraduta mulai beredar. Di media. Di seminar. Di grup diskusi. Ia menjadi contoh. Aktivis idealis, suara moral, pengingat.

Ia diundang untuk bicara. Difoto. Diberi waktu terbatas.
Ia mulai merasa, di sinilah perlawanan dijinakkan dengan panggung, bukan pukulan.

“Apakah ini artinya kita didengar?” tanya Panza.

“Tidak,” jawab Paraduta. “Artinya kita aman untuk diabaikan.”

Panza ditawari jabatan kecil. Sementara. Simbolik.
Paraduta menyuruhnya menerima.

“Lihat dari dalam,” katanya.

Panza melihat. Bagaimana keputusan dibuat jauh dari dampaknya, bagaimana kata “rakyat” digunakan tanpa pernah hadir. Ia mencoba adil. Ia mendengar orang-orang. Ia memutus dengan akal sehat.

Ia segera disingkirkan.

“Terlalu lugu,” kata mereka.

Panza kembali, lebih diam, lebih berat.

Paraduta jatuh sakit tanpa peristiwa besar. Tidak ada penangkapan, tidak ada pengusiran. Hanya kelelahan yang menumpuk, kegagalan yang berulang, dan keyakinan yang perlahan kehilangan tempat berpijak.

Di ranjang, ia berbicara pelan.

“Mungkin dunia memang tidak membutuhkan orang sepertiku.”

Panza tidak membantah. Ia tahu, dunia jarang membutuhkan. Dunia hanya menggunakan.

Paraduta berhenti berbicara tentang keadilan. Ia menyebutnya istirahat. Orang-orang menyebutnya waras.

Ia kembali menjadi warga biasa.

Ia menutup buku-bukunya.

Ia meninggal beberapa hari kemudian, dengan tenang.

Orang-orang lega.

Dunia kembali berjalan tanpa gangguan.

Panza menyimpan map lusuh itu. Ia tidak membacanya sering-sering. Ia hanya membawanya, seperti membawa sesuatu yang terlalu berat untuk dibuang.

Dan di tempat lain, selalu ada seseorang yang membaca terlalu dalam, bertanya terlalu jujur, dan berjalan dengan cara yang salah.

Mereka tidak mencari kemenangan.

Mereka hanya menolak menyerah sepenuhnya.

Paraduta tidak mati sebagai pahlawan.

Ia mati sebagai manusia yang setia pada kegelisahannya.

Dan mungkin, di dunia yang terlalu yakin pada kewarasannya,
itulah satu-satunya cara untuk tetap manusia.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar