Paraduta
datang dari tempat yang tidak lagi dicari siapa pun. Bukan karena tempat itu
hilang, melainkan karena ia tidak lagi dianggap penting untuk disebut. Kampung
itu masih ada dengan sungai yang tetap mengalir pelan, ladang yang menua
bersama petaninya, dan kuburan kecil yang terus bertambah tanpa berita. Namun
di peta-peta baru, wilayah itu hanya bayangan. Hanya ruang kosong yang menunggu
diberi fungsi.
Paraduta
tumbuh di sana, di antara cerita yang tidak selesai dan janji yang tidak pernah
kembali. Sejak kecil ia sudah terbiasa mendengar orang-orang tua berbicara
dengan nada pelan, seolah tanah pun bisa mendengar dan melapor. Mereka menyebut
batas bukan dengan patok, tetapi dengan ingatan. Batu besar, pohon tua,
tikungan sungai, dan kisah siapa yang pernah menanam apa.
Ketika
dewasa, Paraduta menyadari bahwa dunia di luar kampung tidak lagi percaya pada
ingatan. Dunia baru meminta bukti tertulis, peta berskala, dan tanda tangan.
Apa yang tidak tercatat dianggap tidak pernah ada.
Sejak
itulah ia mulai membaca, bukan untuk menjadi pandai, tetapi untuk mencari
bahasa bagi sesuatu yang sedang dihapus.
Rak buku
Paraduta tidak pernah rapi. Buku-buku hukum berdampingan dengan catatan adat,
laporan konflik, novel-novel tentang orang kalah, dan manuskrip yang disalin
tangan. Banyak yang ia temukan di tempat sampah kantor, ruang arsip yang bocor,
atau dari orang-orang yang menyerah dan memilih pergi.
Ia membaca
di malam hari, ketika suara dunia mereda dan kata-kata bisa berbicara lebih
jujur. Dari sana ia belajar satu hal yang tak pernah diajarkan secara resmi. Bahwa
hukum sering kali datang terlambat, dan keadilan hampir selalu datang
sendirian.
Orang-orang
kampung menganggapnya aneh.
“Untuk
apa membaca sebanyak itu?”
“Tanah
tidak kembali karena buku.”
“Perut
tidak kenyang oleh pasal.”
Paraduta
tidak menyangkal. Ia tahu buku tidak menyelamatkan. Tetapi ia juga tahu, tanpa
bahasa, luka hanya akan menjadi bisu.
Ada hari
ketika Paraduta merasa bahwa duduk dan membaca tidak lagi cukup. Bukan karena
ia tiba-tiba percaya pada kemenangan, melainkan karena diam terasa seperti ikut
menandatangani penghapusan.
Hari itu
ia berdiri lama di tepi kebun, melihat alat berat di kejauhan, mendengar suara
mesin yang memotong pagi. Tanah yang ia kenal sejak kecil kini dibagi dengan
pita warna dan papan izin. Semuanya tampak sah. Semuanya tampak final.
Paraduta
pulang, mengambil map lusuh berisi dokumen, dan berjalan. Ia tidak tahu ke
mana, hanya tahu bahwa tetap tinggal akan membuatnya membusuk perlahan.
Ia tidak
menyebut dirinya pejuang. Ia hanya berjalan sebagai seseorang yang merasa
bertanggung jawab pada ingatan.
Paraduta
tidak mengganti namanya. Ia hanya memperluas maknanya. Jika dulu ia adalah satu
tubuh, kini ia merasa menjadi simpul dari banyak suara yang tidak terdengar. Ia
membawa cerita orang-orang yang tidak pernah diundang ke rapat, nama-nama yang
tidak pernah masuk notulen.
Ia mulai
berbicara di tempat-tempat yang tidak ramah. Kantor, aula, pos keamanan. Ia
berbicara pelan, tanpa teriak, dengan bahasa yang berusaha sopan. Ia percaya,
jika kata-kata cukup jujur, dunia akan mendengarkan.
Ia keliru.
Tetapi bukan sepenuhnya.
Panza
datang tanpa rencana. Tubuhnya tambun, langkahnya lambat, dan seleranya
sederhana. Ia tahu dunia tidak adil, tetapi ia juga tahu. Orang harus makan.
“Aku
ikut,” katanya suatu sore.
“Kenapa?”
tanya Paraduta.
“Karena
kalau kau jatuh, setidaknya ada yang mengangkat.”
Panza
tidak membaca buku. Ia membaca wajah. Ia tahu kapan seseorang berbohong, kapan
harus diam, dan kapan harus mundur agar tetap hidup. Ia tidak sepenuhnya
percaya pada perjuangan Paraduta, tetapi ia percaya pada Paraduta.
Kesetiaan
itu sederhana, dan karena itu kuat.
Mereka
tiba di lokasi proyek. Di sana berdiri bangunan-bangunan tinggi, mesin
berputar, dan spanduk yang menjanjikan masa depan. Paraduta melihat sesuatu
yang lain. Sawah yang pernah memberi makan, sungai yang pernah memberi nama.
“Kau
melawan apa?” tanya Panza.
“Apa yang
tidak bisa membela diri,” jawab Paraduta.
Ia
berbicara. Menjelaskan. Menunjukkan dokumen.
Ia ditanggapi dengan senyum dan kalimat yang sudah dihafal.
“Ini
legal.”
“Ini
prosedural.”
“Ini
untuk kepentingan umum.”
Paraduta
pulang dengan tubuh utuh, tetapi sesuatu di dalamnya retak.
Paraduta
menyebut kantor sebagai kastil. Bukan karena ia tidak tahu itu birokrasi,
tetapi karena ia melihat bagaimana kekuasaan bekerja melalui jarak dan simbol.
Di sana, keputusan tidak dibuat untuk dipahami, melainkan untuk dijalankan.
Ia
menunggu berjam-jam. Ia dipersilakan menunggu lebih lama. Ia belajar bahwa
menunggu adalah cara paling sopan untuk mengatakan tidak.
Panza
tertidur di kursi plastik. Paraduta tetap terjaga. Ia takut, jika ia tertidur,
ia akan bangun sebagai orang yang lain. Lebih patuh, lebih lelah, lebih kosong.
Nama
Paraduta mulai beredar. Di media. Di seminar. Di grup diskusi. Ia menjadi
contoh. Aktivis idealis, suara moral, pengingat.
Ia
diundang untuk bicara. Difoto. Diberi waktu terbatas.
Ia mulai merasa, di sinilah perlawanan dijinakkan dengan panggung, bukan
pukulan.
“Apakah
ini artinya kita didengar?” tanya Panza.
“Tidak,”
jawab Paraduta. “Artinya kita aman untuk diabaikan.”
Panza
ditawari jabatan kecil. Sementara. Simbolik.
Paraduta menyuruhnya menerima.
“Lihat
dari dalam,” katanya.
Panza
melihat. Bagaimana keputusan dibuat jauh dari dampaknya, bagaimana kata
“rakyat” digunakan tanpa pernah hadir. Ia mencoba adil. Ia mendengar
orang-orang. Ia memutus dengan akal sehat.
Ia segera
disingkirkan.
“Terlalu
lugu,” kata mereka.
Panza
kembali, lebih diam, lebih berat.
Paraduta
jatuh sakit tanpa peristiwa besar. Tidak ada penangkapan, tidak ada pengusiran.
Hanya kelelahan yang menumpuk, kegagalan yang berulang, dan keyakinan yang
perlahan kehilangan tempat berpijak.
Di
ranjang, ia berbicara pelan.
“Mungkin
dunia memang tidak membutuhkan orang sepertiku.”
Panza
tidak membantah. Ia tahu, dunia jarang membutuhkan. Dunia hanya menggunakan.
Paraduta
berhenti berbicara tentang keadilan. Ia menyebutnya istirahat. Orang-orang
menyebutnya waras.
Ia
kembali menjadi warga biasa.
Ia
menutup buku-bukunya.
Ia
meninggal beberapa hari kemudian, dengan tenang.
Orang-orang
lega.
Dunia
kembali berjalan tanpa gangguan.
Panza
menyimpan map lusuh itu. Ia tidak membacanya sering-sering. Ia hanya
membawanya, seperti membawa sesuatu yang terlalu berat untuk dibuang.
Dan di
tempat lain, selalu ada seseorang yang membaca terlalu dalam, bertanya terlalu
jujur, dan berjalan dengan cara yang salah.
Mereka
tidak mencari kemenangan.
Mereka
hanya menolak menyerah sepenuhnya.
Paraduta
tidak mati sebagai pahlawan.
Ia mati
sebagai manusia yang setia pada kegelisahannya.
Dan
mungkin, di dunia yang terlalu yakin pada kewarasannya,
itulah satu-satunya cara untuk tetap manusia.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar