Setiap
kali konflik lingkungan terjadi, hutan adat digusur, sungai tercemar tambang,
laut direklamasi. Narasi yang sering muncul adalah narasi teknis: izin sudah
lengkap, kajian sudah dilakukan, dampak sudah dihitung. Di atas kertas, semuanya
tampak sah dan rasional. Tapi di lapangan, masyarakat kehilangan ruang hidup,
perempuan memikul beban kerja yang berlipat, dan tubuh manusia menjadi tempat
pertama di mana kerusakan ekologis benar-benar terasa.
Masalahnya
bukan semata soal lemahnya penegakan hukum atau kurangnya pengawasan.
Masalahnya lebih dalam. Siapa yang berhak mendefinisikan alam, dengan
pengetahuan apa, dan untuk kepentingan siapa.
Pemikir
ekologi politik Arturo Escobar pernah mengajukan pertanyaan tajam. Whose
knowledge, whose nature? Pengetahuan siapa yang dipakai, alam versi siapa
yang dijadikan dasar kebijakan? Pertanyaan ini relevan di Indonesia hari ini,
ketika alam direduksi menjadi peta, angka, dan zona, sementara pengalaman hidup
masyarakat yang berelasi langsung dengan hutan, air, dan laut justru dianggap
tidak ilmiah.
Di banyak
wilayah adat dan pedesaan, alam bukan sekadar sumber daya. Ia adalah ruang
hidup, ruang pengetahuan, dan ruang spiritual. Perempuan membaca kesehatan
lingkungan dari rasa air, dari hilangnya tanaman obat, dari perubahan tanah
yang dulu subur menjadi keras. Nelayan membaca laut dari arus dan musim ikan.
Petani membaca tanah dari bau dan teksturnya. Pengetahuan ini lahir dari tubuh
dan praktik sehari-hari bukan dari laboratorium.
Namun
ketika negara dan korporasi masuk dengan proyek pembangunan atau konservasi
versi teknokratis, pengetahuan lokal ini sering disingkirkan. Dokumen AMDAL
tidak mencatat perubahan rasa air. Peta zonasi tidak mengenali mata air
keramat. Kebijakan lingkungan tidak menghitung kerja perawatan perempuan.
Akibatnya, yang disebut “pembangunan berkelanjutan” justru menghasilkan
ketidakadilan ekologis yang sistemik.
Ironisnya,
masyarakat lokal sering dituduh sebagai penghambat pembangunan atau perusak
lingkungan. Padahal, merekalah yang selama ini menjaga ekosistem tersebut.
Konflik lingkungan pun kerap muncul bukan karena masyarakat menolak
pembangunan, melainkan karena cara alam didefinisikan oleh negara tidak sejalan
dengan pengalaman hidup mereka.
Gerakan-gerakan
masyarakat yang kita lihat hari ini, perempuan Kendeng yang menolak tambang
semen, masyarakat adat yang mempertahankan hutan adat, nelayan yang menolak
reklamasi bukan sekadar aksi protes. Mereka sedang menawarkan cara lain
memahami alam. Mereka menantang logika bahwa alam hanya bernilai jika bisa
dieksploitasi atau dikelola secara administratif.
Dalam
perspektif ini, gerakan sosial lingkungan adalah ruang produksi pengetahuan
alternatif. Di sana, alam dipahami sebagai relasi, bukan objek. Sebagai sesuatu
yang hidup bersama manusia, bukan dipisahkan darinya. Ini adalah pelajaran
penting yang sering luput dalam kebijakan publik.
Pengalaman
pendampingan komunitas oleh Akar Global Inisiatif menunjukkan hal yang sama. Di
banyak tempat, kerusakan ekologis pertama kali “terbaca” di tubuh perempuan,
meningkatnya penyakit kulit akibat air tercemar, bertambahnya jarak untuk
mencari air dan kayu bakar, menurunnya kualitas pangan keluarga. Tetapi semua
ini jarang masuk dalam bahasa kebijakan. Tubuh manusia tidak dianggap sebagai
data.
Jika kita
serius bicara tentang krisis iklim dan keberlanjutan, maka pendekatan seperti
ini tidak bisa dipertahankan. Kita tidak bisa terus mengandalkan solusi teknis
sambil menutup mata terhadap ketidakadilan pengetahuan. Keadilan ekologis
mensyaratkan keadilan epistemic. Pengakuan bahwa ada banyak cara mengetahui
alam, dan pengetahuan lokal adalah salah satunya.
Sudah
saatnya kebijakan lingkungan dan pembangunan di Indonesia berhenti memandang
masyarakat lokal sebagai objek yang harus “diatur” atau “disosialisasi”. Mereka
adalah subjek ekologis dengan pengetahuan yang sah. Tanpa mendengarkan mereka,
setiap proyek, seberapa hijau pun jargon yang dipakai berisiko mengulang pola
kolonial lama, merampas ruang hidup atas nama kemajuan.
Pertanyaannya
sederhana, tetapi mendasar. Alam versi siapa yang ingin kita jaga? Jika
jawabannya hanya alam versi peta dan izin, maka konflik akan terus terjadi.
Tetapi jika kita berani mengakui alam sebagaimana dialami oleh mereka yang
hidup bersamanya, maka ada peluang untuk membangun masa depan yang benar-benar
adil dan berkelanjutan.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar