Alam Versi Siapa? Ketika Pembangunan Menghapus Pengetahuan Lokal - Erwin Basrin

Breaking

Recent Posts

 photo Untitled-1_1.jpg

Sabtu, 13 Desember 2025

Alam Versi Siapa? Ketika Pembangunan Menghapus Pengetahuan Lokal

 


Setiap kali konflik lingkungan terjadi, hutan adat digusur, sungai tercemar tambang, laut direklamasi. Narasi yang sering muncul adalah narasi teknis: izin sudah lengkap, kajian sudah dilakukan, dampak sudah dihitung. Di atas kertas, semuanya tampak sah dan rasional. Tapi di lapangan, masyarakat kehilangan ruang hidup, perempuan memikul beban kerja yang berlipat, dan tubuh manusia menjadi tempat pertama di mana kerusakan ekologis benar-benar terasa.

Masalahnya bukan semata soal lemahnya penegakan hukum atau kurangnya pengawasan. Masalahnya lebih dalam. Siapa yang berhak mendefinisikan alam, dengan pengetahuan apa, dan untuk kepentingan siapa.

Pemikir ekologi politik Arturo Escobar pernah mengajukan pertanyaan tajam. Whose knowledge, whose nature? Pengetahuan siapa yang dipakai, alam versi siapa yang dijadikan dasar kebijakan? Pertanyaan ini relevan di Indonesia hari ini, ketika alam direduksi menjadi peta, angka, dan zona, sementara pengalaman hidup masyarakat yang berelasi langsung dengan hutan, air, dan laut justru dianggap tidak ilmiah.

Di banyak wilayah adat dan pedesaan, alam bukan sekadar sumber daya. Ia adalah ruang hidup, ruang pengetahuan, dan ruang spiritual. Perempuan membaca kesehatan lingkungan dari rasa air, dari hilangnya tanaman obat, dari perubahan tanah yang dulu subur menjadi keras. Nelayan membaca laut dari arus dan musim ikan. Petani membaca tanah dari bau dan teksturnya. Pengetahuan ini lahir dari tubuh dan praktik sehari-hari bukan dari laboratorium.

Namun ketika negara dan korporasi masuk dengan proyek pembangunan atau konservasi versi teknokratis, pengetahuan lokal ini sering disingkirkan. Dokumen AMDAL tidak mencatat perubahan rasa air. Peta zonasi tidak mengenali mata air keramat. Kebijakan lingkungan tidak menghitung kerja perawatan perempuan. Akibatnya, yang disebut “pembangunan berkelanjutan” justru menghasilkan ketidakadilan ekologis yang sistemik.

Ironisnya, masyarakat lokal sering dituduh sebagai penghambat pembangunan atau perusak lingkungan. Padahal, merekalah yang selama ini menjaga ekosistem tersebut. Konflik lingkungan pun kerap muncul bukan karena masyarakat menolak pembangunan, melainkan karena cara alam didefinisikan oleh negara tidak sejalan dengan pengalaman hidup mereka.

Gerakan-gerakan masyarakat yang kita lihat hari ini, perempuan Kendeng yang menolak tambang semen, masyarakat adat yang mempertahankan hutan adat, nelayan yang menolak reklamasi bukan sekadar aksi protes. Mereka sedang menawarkan cara lain memahami alam. Mereka menantang logika bahwa alam hanya bernilai jika bisa dieksploitasi atau dikelola secara administratif.

Dalam perspektif ini, gerakan sosial lingkungan adalah ruang produksi pengetahuan alternatif. Di sana, alam dipahami sebagai relasi, bukan objek. Sebagai sesuatu yang hidup bersama manusia, bukan dipisahkan darinya. Ini adalah pelajaran penting yang sering luput dalam kebijakan publik.

Pengalaman pendampingan komunitas oleh Akar Global Inisiatif menunjukkan hal yang sama. Di banyak tempat, kerusakan ekologis pertama kali “terbaca” di tubuh perempuan, meningkatnya penyakit kulit akibat air tercemar, bertambahnya jarak untuk mencari air dan kayu bakar, menurunnya kualitas pangan keluarga. Tetapi semua ini jarang masuk dalam bahasa kebijakan. Tubuh manusia tidak dianggap sebagai data.

Jika kita serius bicara tentang krisis iklim dan keberlanjutan, maka pendekatan seperti ini tidak bisa dipertahankan. Kita tidak bisa terus mengandalkan solusi teknis sambil menutup mata terhadap ketidakadilan pengetahuan. Keadilan ekologis mensyaratkan keadilan epistemic. Pengakuan bahwa ada banyak cara mengetahui alam, dan pengetahuan lokal adalah salah satunya.

Sudah saatnya kebijakan lingkungan dan pembangunan di Indonesia berhenti memandang masyarakat lokal sebagai objek yang harus “diatur” atau “disosialisasi”. Mereka adalah subjek ekologis dengan pengetahuan yang sah. Tanpa mendengarkan mereka, setiap proyek, seberapa hijau pun jargon yang dipakai berisiko mengulang pola kolonial lama, merampas ruang hidup atas nama kemajuan.

Pertanyaannya sederhana, tetapi mendasar. Alam versi siapa yang ingin kita jaga? Jika jawabannya hanya alam versi peta dan izin, maka konflik akan terus terjadi. Tetapi jika kita berani mengakui alam sebagaimana dialami oleh mereka yang hidup bersamanya, maka ada peluang untuk membangun masa depan yang benar-benar adil dan berkelanjutan.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar