Dalam
hampir setiap konflik agraria di Indonesia, satu pola selalu berulang. Hukum
hadir cepat dan keras ketika berhadapan dengan rakyat, tetapi lamban, lentur,
bahkan nyaris tak terlihat ketika berhadapan dengan korporasi dan kekuasaan.
Aparat datang membawa pasal, bukan untuk melindungi tanah hidup, tetapi untuk
mengamankan investasi. Petani dan masyarakat adat diposisikan sebagai pelanggar,
sementara perampasan dilegalkan melalui dokumen, izin, dan kebijakan.
Fenomena
ini sering dijelaskan sebagai “penyalahgunaan hukum”, “oknum aparat”, atau
“lemahnya penegakan hukum”. Tetapi penjelasan semacam itu justru menyempitkan
persoalan. Ia mengalihkan perhatian dari pertanyaan yang lebih mendasar yaitu
bagaimana jika hukum memang bergerak seperti itu sejak awal?
Di titik
inilah buku The Behavior of Law (1976) karya Donald Black yang saya baca
mengis waktu di hari minggu (07/12/2025) menjadi sangat relevan, bahkan terasa
mengganggu. Black tidak melihat hukum sebagai sistem normatif yang menyimpang
dari idealnya, melainkan sebagai perilaku sosial yang konsisten mengikuti
struktur ketimpangan. Hukum, dalam pandangannya, tidak gagal. Hukum hanya bekerja
persis sebagaimana posisi sosial para pihak mengarahkannya.
Bagi
gerakan keadilan agraria dan pembelaan masyarakat adat, tesis ini pahit, tetapi
penting. Ia memaksa kita berhenti berharap pada “netralitas hukum”, dan mulai
membongkar siapa yang membuat hukum bergerak, ke arah mana, dan atas tubuh
siapa.
Donald
Black sejak awal menolak cara pandang hukum yang normatif. Baginya, bertanya
tentang apakah hukum adil atau tidak adalah pertanyaan yang keliru arah.
Pertanyaan yang lebih jujur adalah dalam kondisi sosial seperti apa hukum
bergerak, dan terhadap siapa ia diarahkan.
Black
mendefinisikan hukum secara sederhana sebagai kontrol sosial resmi negara.
Dari definisi ini, ia kemudian mengajukan argumento utama. Hukum adalah
variabel dependen, bukan independen. Ia tidak berdiri di atas masyarakat,
tetapi mengikuti struktur sosial tempat ia bekerja.
Dalam The
Behavior of Law, Black menunjukkan bahwa hukum memiliki pola gerak yang
teratur berdasarkan apa yang ia sebut sebagai geometri sosial, antara lain:
- Stratifikasi sosial (jarak vertikal); perbedaan
kelas, status, dan kekuasaan
- Morfologi sosial (jarak horizontal); perbedaan
etnis, budaya, gaya hidup
- Organisasi sosial; kemampuan berorganisasi dan
mengakses institusi
- Budaya; legitimasi simbolik dan bahasa yang
diakui hukum
Dari sini
lahir tesis yang sangat relevan untuk konflik agraria: hukum cenderung bergerak
dari atas ke bawah, bukan sebaliknya. Artinya, hukum lebih aktif mengontrol
kelompok lemah ketimbang membatasi kelompok kuat.
Dalam
konflik agraria, struktur “hukum bergerak ke bawah” tampak dalam bentuk yang
paling kasat mata. Masyarakat adat yang mempertahankan tanah ulayat kerap
dituduh menyerobot kawasan hutan negara, meskipun mereka telah hidup dan
mengelola wilayah tersebut jauh sebelum negara modern lahir. Ketika korporasi
datang dengan izin konsesi, hukum berdiri di belakang izin itu bukan di
belakang sejarah hidup komunitas.
Masyarakat
adat berada pada posisi bawah dalam hierarki sosial. Miskin secara ekonomi,
jauh dari pusat kekuasaan, dan sering kali dianggap “tradisional” atau
“primitif”. Korporasi, sebaliknya, berada di posisi atas, berjejaring dengan
negara, terorganisasi rapi, dan diakui bahasanya oleh hukum.
Dalam
konfigurasi seperti itu, hukum hampir pasti berpihak pada yang atas, bukan
karena aparatnya jahat secara personal, tetapi karena hukum itu sendiri
mengikuti struktur yang timpang.
Kriminalisasi
petani, penangkapan warga adat, penggunaan pasal-pasal kehutanan, pertambangan,
atau ketertiban umum. Semua itu, dalam kacamata Black, adalah ekspresi normal
dari bagaimana hukum bekerja dalam masyarakat yang berlapis secara kelas.
Selain
bergerak ke bawah, hukum juga bisa menjauh. Donald Black menjelaskan bahwa
semakin besar jarak sosial horizontal. Perbedaan budaya, etnis, dan cara hidup semakin
kecil kemungkinan hukum melindungi pihak yang terpinggirkan. Inilah sebabnya
mengapa masyarakat adat sering kali menjadi korban ganda. Bukan hanya miskin
dan jauh dari kuasa, tetapi juga dianggap “asing” dalam kerangka hukum negara.
Bahasa
hukum negara jarang memahami istilah seperti tanah ulayat, wilayah
adat, atau relasi kosmologis dengan alam. Ketika masyarakat adat
berbicara tentang tanah sebagai ibu atau sungai sebagai leluhur, hukum hanya
mendengar klaim tanpa sertifikat.
Dalam
situasi ini, hukum bukan sekadar tidak adil, ia tidak mampu mendengar. Donald
Black akan menyebutnya sebagai hukum yang lemah dalam jarak sosial tinggi.
Konflik tidak diproses secara legal, tetapi dialihkan menjadi konflik keamanan,
konflik ketertiban, atau persoalan pembangunan nasional. Sehingga Masyarakat
adat bukan dilindungi, tetapi diatur, dipindahkan, atau diamankan.
Konflik
agraria juga menunjukkan satu hal yang ditekankan Black. Hukum lebih responsif
terhadap pihak yang terorganisir dan terdokumentasi. Korporasi memiliki peta,
kontrak, izin, konsultan hukum, dan akses ke pejabat. Masyarakat adat memiliki
ingatan kolektif, batas-batas alam, dan kesepakatan adat yang tidak selalu
tertulis.
Dalam
logika Donald Black, ini berarti hukum lebih mudah bergerak bagi korporasi
karena mereka lebih dekat secara organisasional dengan negara. Masalahnya,
kedekatan ini kemudian dianggap sebagai legitimasinya sendiri. Akibatnya,
konflik agraria selalu dimulai dari posisi tidak setara. Ketika masyarakat adat
melapor, mereka harus membuktikan eksistensinya terlebih dahulu. Sementara itu,
korporasi dianggap sah sejak awal.
Bagi
gerakan agraria, ini berarti satu pelajaran pahit. Akses ke hukum tidak dimulai
dari keadilan, tetapi dari kemampuan sosial untuk mendekati hukum. Meskipun
sangat membantu membongkar bias struktural hukum, pendekatan Donald Black juga
memiliki keterbatasan serius terutama bagi perjuangan masyarakat adat.
Pertama,
Black tidak memberi ruang bagi pluralisme hukum. Baginya, hukum adalah kontrol
sosial negara. Padahal dalam konflik agraria, hukum adat bukan sekadar norma
sosial informal, melainkan sistem hukum hidup yang mengatur tanah, relasi, dan
tanggung jawab ekologis. Dalam banyak kasus, justru hukum adatlah yang menjaga
hutan dan sumber kehidupan. Negara datang belakangan, lalu mengklaim wilayah
itu melalui peta dan izin.
Kedua,
Black menanggalkan pertanyaan normatif tentang keadilan. Ia menjelaskan
bagaimana hukum bekerja, tetapi tidak memberi horizon etis untuk mengubahnya.
Bagi aktivisme agraria, pemahaman struktural penting, tetapi tidak cukup. Kita
tidak hanya ingin tahu bahwa hukum menindas; kita ingin membongkar dan
melawannya.
Di
sinilah pembacaan Donald Black perlu ditempatkan dalam kerja-kerja Akar Global
Inisiatif. Bagi Akar, hukum bukan sekadar perilaku struktural, tetapi arena
konflik. Hukum bisa menjadi alat kekuasaan, tetapi juga bisa direbut,
dilenturkan, dan dilawan melalui kerja-kerja kolektif masyarakat adat.
Tesis
Black membantu satu hal penting: ia membongkar ilusi bahwa kemenangan hukum
akan datang dari ruang normatif semata. Litigasi tanpa penguatan posisi sosial,
ekonomi, dan politik masyarakat adat hampir pasti timpang. Dengan kata lain,
membaca Donald Black membuat satu hal menjadi jelas: perjuangan hukum tanpa
perjuangan struktural adalah perjuangan setengah jalan.
The
Behavior of Law bukan buku penghibur. Ia tidak menjanjikan
keadilan, tidak memuja konstitusi, dan tidak mengagungkan reformasi hukum.
Tetapi justru karena itu, ia jujur.
Dalam
konteks konflik agraria dan masyarakat adat di Indonesia, buku ini membantu
kita memahami satu kebenaran pahit, hukum sering kali tidak gagal, ia berhasil
menjalankan fungsinya dalam sistem yang timpang.
Tugas
gerakan keadilan agraria bukan sekadar menuntut hukum agar adil, tetapi
mengubah kondisi sosial yang membuat hukum terus bergerak ke bawah. Itu berarti
memperkuat organisasi rakyat, memperkecil jarak sosial, membangun legitimasi
pengetahuan adat, dan memaksa negara mendengar bahasa yang selama ini
diabaikan.
Jika
Donald Black mengajarkan kita membaca perilaku hukum, maka perjuangan
masyarakat adat mengajarkan hal yang lebih mendesak. bagaimana hidup dan
bertahan di tengah hukum yang tidak pernah netral.
Dan
mungkin, di sanalah awal perubahan not butir pasal melainkan dari tanah yang
tetap dipertahankan, meski hukum terus bergerak menjauh.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar