Negeri yang Menyalakan Lampu di Siang Hari - Erwin Basrin

Breaking

Recent Posts

 photo Untitled-1_1.jpg

Sabtu, 29 November 2025

Negeri yang Menyalakan Lampu di Siang Hari

 


Di negeri itu, pemilu diadakan setiap lima tahun seperti upacara panen yang sudah kehilangan padi. Spanduk warna-warni berderet di sepanjang jalan, wajah-wajah yang tersenyum canggung menggantung di tiang listrik dan dahan pohon, menatap siapa saja yang lewat dengan janji-janji yang terdengar akrab. Kesejahteraan, lapangan kerja, pembangunan berkelanjutan, partisipasi rakyat. Malam sebelum hari pemungutan suara, televisi penuh dengan iklan kampanye; suara itu mengalun seperti doa yang dihafal tapi tak lagi diimani.

Besoknya, rakyat berbaris rapi menuju TPS. Kertas suara dilipat, dicoblos, lalu dimasukkan ke kotak kardus. Semua tampak sah, tertib, demokratis. Panwas tersenyum, saksi partai duduk di kursi plastik, tinta ungu mengering di jari-jari yang sudah terbiasa menandai janji orang lain. Di layar kaca, negeri itu dipuji sebagai contoh konsolidasi demokrasi yang matang. Mereka menyalakan lampu di siang hari, hanya untuk memastikan dunia melihat betapa mereka sudah dewasa.

Tapi setelah TPS ditutup, ketika kotak suara diangkut, ketika hitung cepat diumumkan, dan ketika nama pemenang resmi disebut, hal-hal yang paling penting justru terjadi di tempat yang tidak pernah ditayangkan di televisi.

Di kota itu, di lantai paling tinggi sebuah gedung perkantoran yang kacanya selalu mengkilap, ada ruangan yang lampunya menyala sepanjang malam. Di ruangan itu tidak ada spanduk, tidak ada slogan, tidak ada baliho. Hanya meja panjang, kursi empuk, layar-layar besar dengan angka dan grafik, serta beberapa orang yang tidak pernah ikut kampanye, tidak pernah berdiri di panggung, tidak pernah meminta suara siapa pun.

Mereka duduk di sekeliling meja, berbicara pelan, kadang tertawa tipis. Di hadapan mereka ada peta besar negeri ini yang penuh titik-titik dan warna; kawasan tambang, konsesi sawit, blok minyak dan gas, koridor industri, jalur kereta barang, pelabuhan, proyek energi. Di sudut peta ada catatan kecil, biaya produksi, proyeksi laba, estimasi risiko sosial.

Seorang pria bertubuh tegap menunjuk satu kawasan di peta, sebuah hamparan hijau yang luas di pedalaman. “Ini wilayah hutan dengan potensi nikel yang cukup besar,” katanya, datar. “Kalau kita mau masuk, kita perlu jaminan dari pemerintah bahwa perizinan disederhanakan. Tidak boleh ada lagi cerita izinnya bertingkat-tingkat.”

Seorang perempuan dengan kacamata tipis menambahkan, “Dan jangan lupa, di sana ada masyarakat adat. Kalau kita langsung masuk, pasti ada penolakan. Kita butuh payung hukum yang membuat kehadiran kita tampak sah… demi kepentingan nasional, misalnya.”

Mereka lalu menyebut beberapa nama menteri, ketua fraksi, pejabat tinggi, bahkan beberapa akademisi dan konsultan. Nama-nama itu melayang di udara seperti mantra. Bukan karena kedalaman pikiran mereka, tapi karena posisi mereka di simpul-simpul kekuasaan. Di negeri iini, demokrasi bekerja di siang hari. Tapi kebijakan dibentuk di malam hari, di ruangan-ruangan seperti ini.

“Rakyat?” tanya seorang pemuda yang baru saja dipromosikan sebagai staf analis. Kata itu meluncur begitu saja, mungkin karena ia masih segar dari kampus, masih ingat buku-buku tentang kedaulatan rakyat yang dulu ia baca di perpustakaan.

“Rakyat…” salah satu dari mereka mengulang, tersenyum. “Rakyat itu penting. Tanpa rakyat, tidak ada legitimasi. Tapi kita tidak perlu khawatir. Mereka sudah punya hari mereka, hari pemilu. Sisanya, biar kita yang urus.”

Kalimat itu diikuti tawa pelan yang menggema singkat, lalu tenggelam oleh suara pendingin ruangan yang terus berdengung, menjaga suhu tetap stabil, negeri tetap nyaman untuk modal.

Jauh dari gedung berkaca itu, di sebuah desa yang tidak pernah ditandai sebagai titik penting dalam peta investasi, hiduplah seorang perempuan bernama Narti. Rumahnya berdiri di ujung kampung, di antara pohon durian tua dan rumpun bambu yang selalu berdesis ketika angin sore datang. Di belakang rumah, terbentang sawah yang ia garap bersama suaminya. Di tanah itulah anak-anak mereka belajar berdiri, jatuh, lalu berlari.

Dulu, tanah itu tidak punya sertifikat, tapi punya cerita. Kakek Narti selalu mengatakan bahwa mereka tidak memiliki tanah itu. Merekalah yang dimiliki tanah itu. Ada sungai kecil di dekatnya yang selalu jernih, tempat anak-anak mandi dan orang tua mengambil air. Setiap panen, sebagian padi selalu disisihkan untuk tetangga yang kekurangan. Desa itu hidup dari kesepakatan-kesepakatan yang tidak pernah ditulis di atas kertas, tetapi tertanam di kebiasaan dan rasa malu.

Suatu hari, kabar dating. Kampung mereka masuk rencana pengembangan kawasan industri. Jalan besar akan dibangun, pabrik akan berdiri, lapangan kerja akan datang. Begitu bunyi pengumuman dari seorang pejabat kecamatan yang datang dengan rombongan, membawa peta dan selebaran. Narti ingat betul kalimat yang diulang berkali-kali. Ini demi kemajuan bersama, demi masa depan anak-anak kita.

Namun yang pertama-tama dilakukan bukan membangun sekolah atau klinik. Yang datang terlebih dahulu adalah orang-orang yang membawa meteran dan patok. Mereka mengukur, memetakan, dan menancapkan tanda di sawah-sawah yang selama ini dianggap tak perlu dipertanyakan lagi siapa pemiliknya. Di atas kertas yang mereka bawa, sawah itu adalah “tanah negara”.

“Kalau tanah ini milik negara,” Narti bertanya pelan suatu malam pada suaminya, “selama ini kita ini apa? Menumpang?”

Suaminya tidak menjawab. Ia hanya menatap sawah yang mulai didatangi truk-truk pengangkut material. Lampu-lampu besar dipasang, menerangi gelap malam. Bersamaan dengan itu, gelap lain menyebar di dada, di kepala, di percakapan.

Desa itu mengadakan musyawarah. Mereka menolak. Mereka menulis surat. Mereka mendatangi kantor bupati. Mereka menghadap wakil rakyat. Mereka bercerita tentang sawah, tentang sungai, tentang kuburan leluhur. Mereka bicara dengan kata-kata yang paling jujur yang mereka punya. Di hadapan mereka, pejabat mengangguk-angguk, sesekali mencatat, sesekali menatap jam.

“Kami mengerti kegelisahan Bapak Ibu,” kata seorang pejabat, dengan suara yang begitu terlatih. “Tapi ini kebijakan nasional. Kita tidak bisa menghambat pembangunan. Nanti kita akan carikan solusi terbaik.”

Solusi itu akhirnya tiba dalam bentuk amplop dan janji relokasi. Di lahan yang jauh dari sungai, jauh dari kubur leluhur, jauh dari tanah yang mereka kenal, kampung baru direncanakan. Rumah-rumah akan dibuat seragam, jalan akan diaspal, listrik akan tersedia. Negara menyebutnya peningkatan kualitas hidup. Mereka yang menolak disebut menghambat program. Beberapa dipanggil polisi karena “memprovokasi”.

Narti menyaksikan bagaimana satu per satu tetangganya menyerah. Bukan karena mereka lupa, tetapi karena lelah. Lelah diomongkan. Lelah diancam halus. Lelah melihat anak-anak mendengar kata “bodoh” dan “kuno” hanya karena mereka masih ingin sawah.

Suatu malam, ketika kampung sedang gelap oleh mati lampu, Narti duduk di beranda, menatap gelap yang tak bisa diusir. Dalam diam ia mengerti, ada sesuatu yang lebih gelap dari malam: ketika suara orang kecil dijadikan gangguan dalam rapat-rapat yang pakai jas.

Di kota, demokrasi merayakan dirinya. Ada diskusi, seminar, konferensi. Ada laporan tahunan tentang indeks demokrasi. Ada perdebatan di televisi tentang calon pemimpin baru, tentang koalisi, tentang strategi kampanye. Semua itu tampak penting, dan memang, di permukaan, penting adanya.

Namun pelan-pelan, demokrasi kehilangan inti yang membuatnya bernyawa. Kedaulatan rakyat direduksi menjadi kehadiran di bilik suara. Hak politik dipadatkan menjadi pilihan A, B, atau C setiap lima tahun. Setelah itu, rakyat kembali ke rumah masing-masing, sementara negara bergerak dengan logikanya sendiri.

Partisipasi publik ada, tetapi dibingkai sebagai prosedur. Ada konsultasi daring tentang rancangan undang-undang, tapi rumusannya sudah diputuskan. Ada dengar pendapat dengan perwakilan masyarakat, tetapi waktu bicara dibatasi lima menit. Ada ruang aspirasi, tetapi dindingnya tebal, di baliknya sudah ada kesepakatan.

Hukum dipuja sebagai netralitas. Kata “supremasi hukum” diucapkan seperti doa. Tapi pada saat yang sama, orang-orang seperti Narti belajar bahwa hukum bisa memihak, selektif, dan tajam ke bawah. Hukum, di tangan negara yang sudah menjadi kantor, bekerja seperti SOP. Siapa yang punya dokumen lebih lengkap, punya konsultan lebih pandai, punya jaringan lebih jauh, dialah yang paling pantas dilindungi.

Konflik agraria, dalam logika negara, bukan lagi jeritan manusia yang kehilangan tanah. Ia adalah “masalah aset” yang harus diselesaikan, kalau perlu dengan Satpol PP, polisi, atau pasal-pasal pidana yang “bersifat mendidik”.

Demokrasi, di negeri ini, dibiarkan hidup sebagai ritual. Ia tidak dibunuh, karena kematiannya bisa memicu kegaduhan. Ia hanya dikosongkan pelan-pelan, seperti rumah tua yang dibiarkan berdiri tanpa penghuni, agar bisa difoto sebagai cagar budaya.

Di suatu sudut kota, tinggal seorang pegawai negeri yang setiap hari bekerja di kantor pemerintahan. Namanya Arman. Ia bukan pejabat tinggi. Hanya staf menengah yang memiliki akses pada dokumen yang tidak pernah dibaca orang-orang seperti Narti. Di mejanya, numpuk berkas-berkas tentang izin lokasi, analisis dampak lingkungan, nota dinas, dan paraf pejabat.

Setiap kali ada proyek baru, Arman akan menerima berkas-berkas itu. Ia memeriksa format, melengkapi berkas, mengetik surat, mengatur jadwal rapat. Di ruang kerjanya, pembangunan tampak rapi. Ada peta, ada tabel, ada rekomendasi.

Suatu hari, ia menemukan nama desa yang asing di salah satu berkas. Desa itu adalah desa Narti. Di berkas itu tertulis: “Area ini memiliki potensi konflik sosial karena klaim masyarakat atas tanah.” Di catatan kaki ada kalimat pendek: “Perlu pendekatan persuasif dan koordinasi dengan aparat keamanan.”

Arman berhenti sejenak. Konflik sosial. Klaim masyarakat. Pendekatan persuasif. Tiga frasa yang tampak netral, tetapi jelas tidak netral bagi orang-orang yang tinggal di sana. Ia teringat foto-foto udara yang dilampirkan. Sawah hijau, rumah-rumah kayu, sungai kecil yang berkilau. Semuanya disebut “area.”

Malamnya, ketika pulang, Arman menyalakan televisi. Berita malam menampilkan diskusi tentang demokrasi. Narasumber membicarakan indeks kebebasan pers, keterbukaan informasi, partisipasi publik. Semua terdengar baik. Negara, kata mereka, sedang berada di jalur yang benar.

Arman memandangi layar itu, lalu memandangi berkas di tas kerjanya. Ia merasa seolah tinggal di dua negeri yang berbeda. Satu negeri di layar, yang penuh kata-kata mulia. Satu lagi di kertas, yang penuh kalimat rapi tentang penggusuran yang disamarkan.

Ia bertanya pada dirinya sendiri. Apa yang sebenarnya ia kerjakan selama ini? Membantu negara atau membantu kantor? Apa bedanya negara dan kantor, jika yang diperjuangkan bukan lagi manusia, tetapi target?

Pertanyaan itu mengendap di kepalanya, seperti asap yang pelan-pelan memenuhi ruang. Ia tidak menemukan jawabannya di buku panduan kerja, tidak pula di naskah akademik. Jawabannya mungkin ada di tempat-tempat seperti rumah Narti, yang tak pernah ia kunjungi.

Sementara itu, perusahaan-perusahaan yang rapat di gedung berkaca terus menyalakan lampu mereka bahkan ketika siang. Mereka tidak percaya pada cahaya yang datang dari matahari, mereka lebih percaya pada cahaya yang bisa mereka kendalikan. Di gedung itu, demokrasi hanyalah data, angka yang menunjukkan seberapa stabil politik, seberapa aman investasi, seberapa kecil risiko protes yang benar-benar berarti.

Mereka memantau media, mengukur sentimen, mengamati tren. Ketika ada demonstrasi di depan gedung DPR, mereka menonton sambil minum kopi. Mereka tahu, selama demonstrasi itu tidak melumpuhkan jalan menuju bandara atau pelabuhan, itu hanyalah bagian dari kebebasan berekspresi yang bisa dipakai sebagai bahan laporan tahunan.

Kadang, ketika tekanan sosial terlalu besar, negara dan korporasi akan melakukan koreksi kosmetik. Mereka membentuk tim, membahas ulang kebijakan, bahkan menarik sedikit langkah. Di media, ini akan disebut kemenangan rakyat. Di ruangan rapat, ini hanya penyesuaian kecil agar proyek besar tetap jalan.

Negara dan korporasi, di titik tertentu, belajar berbicara dengan bahasa yang sama. Bahasa “kepentingan nasional” yang selalu bisa digunakan untuk menutup mulut orang-orang yang mempertanyakan keadilan. Siapa yang tidak mau berkorban demi bangsa? Siapa yang berani menolak kemajuan?

Di sinilah tragedi itu menjadi lengkap. Ketika kata-kata yang dipakai pejuang dulu, bangsa, kemerdekaan, pembangunan dipakai lagi, tapi kini untuk melawan orang-orang yang seharusnya dilindungi.

Pada suatu malam yang dingin, di desa yang kini setengahnya sudah jadi proyek, Narti duduk di samping ibunya yang sudah tua. Ibunya menatap ke arah bekas sawah yang kini menjadi tanah merah, dijejali alat berat. Di sana, lampu-lampu proyek menyala terang. Lebih terang dari bintang di langit.

“Dulu,” kata ibunya pelan, “kalau lampu menyala malam-malam di sawah, itu tandanya ada orang menjaga dari babi hutan. Sekarang lampu menyala bukan untuk menjaga kita, tapi untuk bekerja siang-malam menghilangkan yang dulu kita jaga.”

Narti tidak menjawab. Kakaknya baru saja dipanggil polisi karena ikut aksi penolakan di depan kantor bupati. Anak sulungnya tidak bisa lagi mandi di sungai, karena airnya berbau. Suaminya mulai bekerja sebagai buruh harian di proyek yang dibangun di atas sawah mereka sendiri. “Daripada tidak bekerja sama sekali,” katanya, dengan suara yang tidak ia yakini.

Di sebuah tempat lain yang tak terlihat dari beranda rumah Narti, Arman masih menatap berkas-berkas di mejanya. Di stempel yang ia tekan setiap hari, tertulis lambang negara. Tapi dalam hati kecilnya, ia tahu, setiap kali stempel itu diangkat, sedikit demi sedikit, makna republik itu tergerus. Bukan karena tidak ada hukum, melainkan karena hukum telah dikosongkan dari keadilan.

Di kota, di desa, di kantor, di ladang, mereka semua hidup dalam negeri yang sama, negeri yang menyalakan lampu di siang hari untuk meyakinkan dunia bahwa mereka baik-baik saja, meski di dalamnya, kegelapan perlahan menjadi hal yang paling jujur.

Negara yang disandera korporasi tidak selalu tampak jahat. Ia justru sering tampak ramah. Ia tersenyum di baliho, rajin mengucapkan selamat hari raya, peduli bencana alam, membagikan paket sembako. Ia melakukan banyak hal baik, cukup agar orang-orang masih punya alasan untuk menaruh harapan.

Namun di saat yang sama, negara ini membuat keputusan-keputusan besar yang tidak pernah benar-benar dibicarakan dengan mereka yang akan paling terdampak. Keputusan-keputusan itu lahir dari meja rapat yang tak punya jendela ke kampung seperti milik Narti. Di meja itu, demokrasi tidak punya kursi.

Mungkin, suatu hari nanti, ketika lubang-lubang tambang dipenuhi air keruh, ketika hutan tinggal kenangan, ketika sawah-sawah diganti gudang logistik, seseorang akan berdiri di tengah lapangan upacara dan membacakan teks proklamasi baru. Bukan untuk merdeka dari penjajah asing, tetapi untuk merdeka dari nalar yang menjadikan negeri ini sekadar kantor dan rakyatnya sekadar data.

Sampai hari itu tiba, cerita-cerita seperti milik Narti akan terus terdengar pelan, seperti bisik-bisik di antara desau bambu. Mereka mungkin tidak masuk berita utama. Mereka mungkin tak pernah dibahas di lembar indeks demokrasi. Tapi di sanalah, di antara bisik-bisik itulah, republik yang sebenar-benarnya masih berusaha bertahan.

Dan mungkin, satu-satunya tugas sastra, jika ia masih punya tugas adalah memastikan bahwa bisik-bisik itu tidak padam. Bahwa di tengah negeri yang menyalakan lampu di siang hari, masih ada kata-kata yang berani berdiri di sisi gelap, tempat kebenaran sering kali memilih bersembunyi.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar