Di negeri
itu, pemilu diadakan setiap lima tahun seperti upacara panen yang sudah
kehilangan padi. Spanduk warna-warni berderet di sepanjang jalan, wajah-wajah
yang tersenyum canggung menggantung di tiang listrik dan dahan pohon, menatap
siapa saja yang lewat dengan janji-janji yang terdengar akrab. Kesejahteraan,
lapangan kerja, pembangunan berkelanjutan, partisipasi rakyat. Malam sebelum
hari pemungutan suara, televisi penuh dengan iklan kampanye; suara itu mengalun
seperti doa yang dihafal tapi tak lagi diimani.
Besoknya,
rakyat berbaris rapi menuju TPS. Kertas suara dilipat, dicoblos, lalu
dimasukkan ke kotak kardus. Semua tampak sah, tertib, demokratis. Panwas
tersenyum, saksi partai duduk di kursi plastik, tinta ungu mengering di
jari-jari yang sudah terbiasa menandai janji orang lain. Di layar kaca, negeri
itu dipuji sebagai contoh konsolidasi demokrasi yang matang. Mereka menyalakan
lampu di siang hari, hanya untuk memastikan dunia melihat betapa mereka sudah
dewasa.
Tapi
setelah TPS ditutup, ketika kotak suara diangkut, ketika hitung cepat
diumumkan, dan ketika nama pemenang resmi disebut, hal-hal yang paling penting
justru terjadi di tempat yang tidak pernah ditayangkan di televisi.
Di kota
itu, di lantai paling tinggi sebuah gedung perkantoran yang kacanya selalu
mengkilap, ada ruangan yang lampunya menyala sepanjang malam. Di ruangan itu
tidak ada spanduk, tidak ada slogan, tidak ada baliho. Hanya meja panjang,
kursi empuk, layar-layar besar dengan angka dan grafik, serta beberapa orang
yang tidak pernah ikut kampanye, tidak pernah berdiri di panggung, tidak pernah
meminta suara siapa pun.
Mereka
duduk di sekeliling meja, berbicara pelan, kadang tertawa tipis. Di hadapan
mereka ada peta besar negeri ini yang penuh titik-titik dan warna; kawasan
tambang, konsesi sawit, blok minyak dan gas, koridor industri, jalur kereta
barang, pelabuhan, proyek energi. Di sudut peta ada catatan kecil, biaya
produksi, proyeksi laba, estimasi risiko sosial.
Seorang
pria bertubuh tegap menunjuk satu kawasan di peta, sebuah hamparan hijau yang
luas di pedalaman. “Ini wilayah hutan dengan potensi nikel yang cukup besar,”
katanya, datar. “Kalau kita mau masuk, kita perlu jaminan dari pemerintah bahwa
perizinan disederhanakan. Tidak boleh ada lagi cerita izinnya
bertingkat-tingkat.”
Seorang
perempuan dengan kacamata tipis menambahkan, “Dan jangan lupa, di sana ada
masyarakat adat. Kalau kita langsung masuk, pasti ada penolakan. Kita butuh
payung hukum yang membuat kehadiran kita tampak sah… demi kepentingan nasional,
misalnya.”
Mereka
lalu menyebut beberapa nama menteri, ketua fraksi, pejabat tinggi, bahkan
beberapa akademisi dan konsultan. Nama-nama itu melayang di udara seperti
mantra. Bukan karena kedalaman pikiran mereka, tapi karena posisi mereka di
simpul-simpul kekuasaan. Di negeri iini, demokrasi bekerja di siang hari. Tapi
kebijakan dibentuk di malam hari, di ruangan-ruangan seperti ini.
“Rakyat?”
tanya seorang pemuda yang baru saja dipromosikan sebagai staf analis. Kata itu
meluncur begitu saja, mungkin karena ia masih segar dari kampus, masih ingat
buku-buku tentang kedaulatan rakyat yang dulu ia baca di perpustakaan.
“Rakyat…”
salah satu dari mereka mengulang, tersenyum. “Rakyat itu penting. Tanpa rakyat,
tidak ada legitimasi. Tapi kita tidak perlu khawatir. Mereka sudah punya hari
mereka, hari pemilu. Sisanya, biar kita yang urus.”
Kalimat
itu diikuti tawa pelan yang menggema singkat, lalu tenggelam oleh suara
pendingin ruangan yang terus berdengung, menjaga suhu tetap stabil, negeri
tetap nyaman untuk modal.
Jauh dari
gedung berkaca itu, di sebuah desa yang tidak pernah ditandai sebagai titik
penting dalam peta investasi, hiduplah seorang perempuan bernama Narti.
Rumahnya berdiri di ujung kampung, di antara pohon durian tua dan rumpun bambu
yang selalu berdesis ketika angin sore datang. Di belakang rumah, terbentang
sawah yang ia garap bersama suaminya. Di tanah itulah anak-anak mereka belajar
berdiri, jatuh, lalu berlari.
Dulu,
tanah itu tidak punya sertifikat, tapi punya cerita. Kakek Narti selalu
mengatakan bahwa mereka tidak memiliki tanah itu. Merekalah yang dimiliki tanah
itu. Ada sungai kecil di dekatnya yang selalu jernih, tempat anak-anak mandi
dan orang tua mengambil air. Setiap panen, sebagian padi selalu disisihkan
untuk tetangga yang kekurangan. Desa itu hidup dari kesepakatan-kesepakatan
yang tidak pernah ditulis di atas kertas, tetapi tertanam di kebiasaan dan rasa
malu.
Suatu
hari, kabar dating. Kampung mereka masuk rencana pengembangan kawasan industri.
Jalan besar akan dibangun, pabrik akan berdiri, lapangan kerja akan datang.
Begitu bunyi pengumuman dari seorang pejabat kecamatan yang datang dengan
rombongan, membawa peta dan selebaran. Narti ingat betul kalimat yang diulang berkali-kali.
Ini demi kemajuan bersama, demi masa depan anak-anak kita.
Namun
yang pertama-tama dilakukan bukan membangun sekolah atau klinik. Yang datang
terlebih dahulu adalah orang-orang yang membawa meteran dan patok. Mereka
mengukur, memetakan, dan menancapkan tanda di sawah-sawah yang selama ini
dianggap tak perlu dipertanyakan lagi siapa pemiliknya. Di atas kertas yang
mereka bawa, sawah itu adalah “tanah negara”.
“Kalau
tanah ini milik negara,” Narti bertanya pelan suatu malam pada suaminya,
“selama ini kita ini apa? Menumpang?”
Suaminya
tidak menjawab. Ia hanya menatap sawah yang mulai didatangi truk-truk
pengangkut material. Lampu-lampu besar dipasang, menerangi gelap malam.
Bersamaan dengan itu, gelap lain menyebar di dada, di kepala, di percakapan.
Desa itu
mengadakan musyawarah. Mereka menolak. Mereka menulis surat. Mereka mendatangi
kantor bupati. Mereka menghadap wakil rakyat. Mereka bercerita tentang sawah,
tentang sungai, tentang kuburan leluhur. Mereka bicara dengan kata-kata yang
paling jujur yang mereka punya. Di hadapan mereka, pejabat mengangguk-angguk,
sesekali mencatat, sesekali menatap jam.
“Kami
mengerti kegelisahan Bapak Ibu,” kata seorang pejabat, dengan suara yang begitu
terlatih. “Tapi ini kebijakan nasional. Kita tidak bisa menghambat pembangunan.
Nanti kita akan carikan solusi terbaik.”
Solusi
itu akhirnya tiba dalam bentuk amplop dan janji relokasi. Di lahan yang jauh
dari sungai, jauh dari kubur leluhur, jauh dari tanah yang mereka kenal,
kampung baru direncanakan. Rumah-rumah akan dibuat seragam, jalan akan diaspal,
listrik akan tersedia. Negara menyebutnya peningkatan kualitas hidup. Mereka
yang menolak disebut menghambat program. Beberapa dipanggil polisi karena
“memprovokasi”.
Narti
menyaksikan bagaimana satu per satu tetangganya menyerah. Bukan karena mereka
lupa, tetapi karena lelah. Lelah diomongkan. Lelah diancam halus. Lelah melihat
anak-anak mendengar kata “bodoh” dan “kuno” hanya karena mereka masih ingin
sawah.
Suatu
malam, ketika kampung sedang gelap oleh mati lampu, Narti duduk di beranda,
menatap gelap yang tak bisa diusir. Dalam diam ia mengerti, ada sesuatu yang
lebih gelap dari malam: ketika suara orang kecil dijadikan gangguan dalam
rapat-rapat yang pakai jas.
Di kota,
demokrasi merayakan dirinya. Ada diskusi, seminar, konferensi. Ada laporan
tahunan tentang indeks demokrasi. Ada perdebatan di televisi tentang calon
pemimpin baru, tentang koalisi, tentang strategi kampanye. Semua itu tampak
penting, dan memang, di permukaan, penting adanya.
Namun
pelan-pelan, demokrasi kehilangan inti yang membuatnya bernyawa. Kedaulatan
rakyat direduksi menjadi kehadiran di bilik suara. Hak politik dipadatkan
menjadi pilihan A, B, atau C setiap lima tahun. Setelah itu, rakyat kembali ke
rumah masing-masing, sementara negara bergerak dengan logikanya sendiri.
Partisipasi
publik ada, tetapi dibingkai sebagai prosedur. Ada konsultasi daring tentang
rancangan undang-undang, tapi rumusannya sudah diputuskan. Ada dengar pendapat
dengan perwakilan masyarakat, tetapi waktu bicara dibatasi lima menit. Ada
ruang aspirasi, tetapi dindingnya tebal, di baliknya sudah ada kesepakatan.
Hukum
dipuja sebagai netralitas. Kata “supremasi hukum” diucapkan seperti doa. Tapi
pada saat yang sama, orang-orang seperti Narti belajar bahwa hukum bisa
memihak, selektif, dan tajam ke bawah. Hukum, di tangan negara yang sudah
menjadi kantor, bekerja seperti SOP. Siapa yang punya dokumen lebih lengkap,
punya konsultan lebih pandai, punya jaringan lebih jauh, dialah yang paling
pantas dilindungi.
Konflik
agraria, dalam logika negara, bukan lagi jeritan manusia yang kehilangan tanah.
Ia adalah “masalah aset” yang harus diselesaikan, kalau perlu dengan Satpol PP,
polisi, atau pasal-pasal pidana yang “bersifat mendidik”.
Demokrasi,
di negeri ini, dibiarkan hidup sebagai ritual. Ia tidak dibunuh, karena
kematiannya bisa memicu kegaduhan. Ia hanya dikosongkan pelan-pelan, seperti
rumah tua yang dibiarkan berdiri tanpa penghuni, agar bisa difoto sebagai cagar
budaya.
Di suatu
sudut kota, tinggal seorang pegawai negeri yang setiap hari bekerja di kantor
pemerintahan. Namanya Arman. Ia bukan pejabat tinggi. Hanya staf menengah yang
memiliki akses pada dokumen yang tidak pernah dibaca orang-orang seperti Narti.
Di mejanya, numpuk berkas-berkas tentang izin lokasi, analisis dampak
lingkungan, nota dinas, dan paraf pejabat.
Setiap kali
ada proyek baru, Arman akan menerima berkas-berkas itu. Ia memeriksa format,
melengkapi berkas, mengetik surat, mengatur jadwal rapat. Di ruang kerjanya,
pembangunan tampak rapi. Ada peta, ada tabel, ada rekomendasi.
Suatu
hari, ia menemukan nama desa yang asing di salah satu berkas. Desa itu adalah
desa Narti. Di berkas itu tertulis: “Area ini memiliki potensi konflik sosial
karena klaim masyarakat atas tanah.” Di catatan kaki ada kalimat pendek: “Perlu
pendekatan persuasif dan koordinasi dengan aparat keamanan.”
Arman
berhenti sejenak. Konflik sosial. Klaim masyarakat. Pendekatan persuasif. Tiga
frasa yang tampak netral, tetapi jelas tidak netral bagi orang-orang yang
tinggal di sana. Ia teringat foto-foto udara yang dilampirkan. Sawah hijau,
rumah-rumah kayu, sungai kecil yang berkilau. Semuanya disebut “area.”
Malamnya,
ketika pulang, Arman menyalakan televisi. Berita malam menampilkan diskusi
tentang demokrasi. Narasumber membicarakan indeks kebebasan pers, keterbukaan
informasi, partisipasi publik. Semua terdengar baik. Negara, kata mereka,
sedang berada di jalur yang benar.
Arman
memandangi layar itu, lalu memandangi berkas di tas kerjanya. Ia merasa seolah
tinggal di dua negeri yang berbeda. Satu negeri di layar, yang penuh kata-kata
mulia. Satu lagi di kertas, yang penuh kalimat rapi tentang penggusuran yang
disamarkan.
Ia
bertanya pada dirinya sendiri. Apa yang sebenarnya ia kerjakan selama ini?
Membantu negara atau membantu kantor? Apa bedanya negara dan kantor, jika yang
diperjuangkan bukan lagi manusia, tetapi target?
Pertanyaan
itu mengendap di kepalanya, seperti asap yang pelan-pelan memenuhi ruang. Ia
tidak menemukan jawabannya di buku panduan kerja, tidak pula di naskah
akademik. Jawabannya mungkin ada di tempat-tempat seperti rumah Narti, yang tak
pernah ia kunjungi.
Sementara
itu, perusahaan-perusahaan yang rapat di gedung berkaca terus menyalakan lampu
mereka bahkan ketika siang. Mereka tidak percaya pada cahaya yang datang dari
matahari, mereka lebih percaya pada cahaya yang bisa mereka kendalikan. Di
gedung itu, demokrasi hanyalah data, angka yang menunjukkan seberapa stabil
politik, seberapa aman investasi, seberapa kecil risiko protes yang benar-benar
berarti.
Mereka
memantau media, mengukur sentimen, mengamati tren. Ketika ada demonstrasi di
depan gedung DPR, mereka menonton sambil minum kopi. Mereka tahu, selama
demonstrasi itu tidak melumpuhkan jalan menuju bandara atau pelabuhan, itu
hanyalah bagian dari kebebasan berekspresi yang bisa dipakai sebagai bahan
laporan tahunan.
Kadang,
ketika tekanan sosial terlalu besar, negara dan korporasi akan melakukan
koreksi kosmetik. Mereka membentuk tim, membahas ulang kebijakan, bahkan
menarik sedikit langkah. Di media, ini akan disebut kemenangan rakyat. Di ruangan
rapat, ini hanya penyesuaian kecil agar proyek besar tetap jalan.
Negara
dan korporasi, di titik tertentu, belajar berbicara dengan bahasa yang sama.
Bahasa “kepentingan nasional” yang selalu bisa digunakan untuk menutup mulut
orang-orang yang mempertanyakan keadilan. Siapa yang tidak mau berkorban demi
bangsa? Siapa yang berani menolak kemajuan?
Di
sinilah tragedi itu menjadi lengkap. Ketika kata-kata yang dipakai pejuang dulu,
bangsa, kemerdekaan, pembangunan dipakai lagi, tapi kini untuk melawan orang-orang
yang seharusnya dilindungi.
Pada
suatu malam yang dingin, di desa yang kini setengahnya sudah jadi proyek, Narti
duduk di samping ibunya yang sudah tua. Ibunya menatap ke arah bekas sawah yang
kini menjadi tanah merah, dijejali alat berat. Di sana, lampu-lampu proyek
menyala terang. Lebih terang dari bintang di langit.
“Dulu,”
kata ibunya pelan, “kalau lampu menyala malam-malam di sawah, itu tandanya ada
orang menjaga dari babi hutan. Sekarang lampu menyala bukan untuk menjaga kita,
tapi untuk bekerja siang-malam menghilangkan yang dulu kita jaga.”
Narti
tidak menjawab. Kakaknya baru saja dipanggil polisi karena ikut aksi penolakan
di depan kantor bupati. Anak sulungnya tidak bisa lagi mandi di sungai, karena
airnya berbau. Suaminya mulai bekerja sebagai buruh harian di proyek yang
dibangun di atas sawah mereka sendiri. “Daripada tidak bekerja sama sekali,”
katanya, dengan suara yang tidak ia yakini.
Di sebuah
tempat lain yang tak terlihat dari beranda rumah Narti, Arman masih menatap
berkas-berkas di mejanya. Di stempel yang ia tekan setiap hari, tertulis
lambang negara. Tapi dalam hati kecilnya, ia tahu, setiap kali stempel itu
diangkat, sedikit demi sedikit, makna republik itu tergerus. Bukan karena tidak
ada hukum, melainkan karena hukum telah dikosongkan dari keadilan.
Di kota,
di desa, di kantor, di ladang, mereka semua hidup dalam negeri yang sama, negeri
yang menyalakan lampu di siang hari untuk meyakinkan dunia bahwa mereka
baik-baik saja, meski di dalamnya, kegelapan perlahan menjadi hal yang paling
jujur.
Negara
yang disandera korporasi tidak selalu tampak jahat. Ia justru sering tampak
ramah. Ia tersenyum di baliho, rajin mengucapkan selamat hari raya, peduli
bencana alam, membagikan paket sembako. Ia melakukan banyak hal baik, cukup
agar orang-orang masih punya alasan untuk menaruh harapan.
Namun di
saat yang sama, negara ini membuat keputusan-keputusan besar yang tidak pernah
benar-benar dibicarakan dengan mereka yang akan paling terdampak.
Keputusan-keputusan itu lahir dari meja rapat yang tak punya jendela ke kampung
seperti milik Narti. Di meja itu, demokrasi tidak punya kursi.
Mungkin,
suatu hari nanti, ketika lubang-lubang tambang dipenuhi air keruh, ketika hutan
tinggal kenangan, ketika sawah-sawah diganti gudang logistik, seseorang akan
berdiri di tengah lapangan upacara dan membacakan teks proklamasi baru. Bukan
untuk merdeka dari penjajah asing, tetapi untuk merdeka dari nalar yang
menjadikan negeri ini sekadar kantor dan rakyatnya sekadar data.
Sampai
hari itu tiba, cerita-cerita seperti milik Narti akan terus terdengar pelan,
seperti bisik-bisik di antara desau bambu. Mereka mungkin tidak masuk berita
utama. Mereka mungkin tak pernah dibahas di lembar indeks demokrasi. Tapi di
sanalah, di antara bisik-bisik itulah, republik yang sebenar-benarnya masih
berusaha bertahan.
Dan
mungkin, satu-satunya tugas sastra, jika ia masih punya tugas adalah memastikan
bahwa bisik-bisik itu tidak padam. Bahwa di tengah negeri yang menyalakan lampu
di siang hari, masih ada kata-kata yang berani berdiri di sisi gelap, tempat
kebenaran sering kali memilih bersembunyi.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar