Saya datang ke Bandung dengan waktu yang singkat, hanya dua hari, tetapi dengan kepala yang penuh. Kota ini tidak pernah memberi ruang bagi kunjungan yang ringan. Ia memaksa siapa pun yang berjalan di atas trotoarnya untuk berurusan dengan sejarah, entah disadari atau tidak. Bandung bukan kota yang netral, dan dua hari di sini selalu lebih panjang dari kalender.
Hari pertama saya habiskan untuk bertemu Ronal Regen. Teman sekampung. Teman seperjalanan. Teman yang lima belas tahun lalu saya kenal sebagai aktivis mahasiswa berhaluan kiri dan keras kepala, sulit berkompromi, dan nyaris selalu berada di sisi yang dianggap “terlalu jauh” oleh banyak orang. Lima belas tahun berlalu, banyak hal berubah. Usia, peran sosial, bahkan medan perjuangan. Tetapi Regen, dalam hal yang paling penting, tidak bergeser. Pikiriannya masih radikal. Dan yang lebih langka, tindakannya masih berpihak.
Kami bertemu di Braga.
Bukan karena Braga tempat yang nyaman, tetapi justru karena ia jujur. Braga tidak pernah menyembunyikan masa lalunya. Ia hanya memolesnya. Bangunan-bangunan kolonial berdiri rapi, dicat ulang, diterangi lampu hangat, seolah sejarah bisa diringankan dengan estetika. Tetapi di bawah trotoarnya yang halus, kota ini menyimpan lapisan kekerasan yang tidak pernah benar-benar hilang.
Regen sudah menunggu ketika saya datang. Tidak banyak basa-basi. Kami berjabat tangan, lalu langsung berbicara tentang hal-hal yang tidak pernah benar-benar selesai. Tanah, hukum, Sejarah, rakyat, dan negara yang terlalu sering hadir sebagai penghalang. Kami mengingat Akar Global Inisiatif. Tahun-tahun ketika advokasi hukum dan keadilan agraria terasa seperti perlawanan tanpa jeda. Tentang desa-desa yang kami dampingi, tentang konflik yang berulang dengan wajah berbeda, tentang hukum yang lebih sering melindungi kekuasaan daripada kehidupan.
“Yang berubah,” kata Regen pelan, “bukan ketidakadilannya. Hanya bahasanya.”
Ia bercerita tentang kerja-kerja yang ia lakukan sekarang. Tentang komunitas enterperenor urban yang masih ia dampingi. Tentang bagaimana perampasan tanah hari ini datang bukan dengan kekerasan terbuka, tetapi dengan dokumen yang rapi dan bahasa pembangunan. Ia bicara dengan nada yang tenang, tetapi setiap kalimatnya menyimpan kemarahan yang matang, amarah yang tidak lagi mencari panggung, tetapi mencari hasil.
Kami berjalan menyusuri Braga. Regen menunjuk bangunan demi bangunan, bukan sebagai objek wisata, tetapi sebagai teks. Ia membaca kota seperti orang membaca arsip dengan kecurigaan. “Dulu,” katanya, “jalan ini dibangun untuk menunjukkan siapa yang berkuasa.” Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan, “Sekarang ia dipelihara untuk membuat kita lupa siapa yang pernah disingkirkan.”
Hari pertama berakhir di kawasan Asia Afrika. Di sana, sejarah sering disederhanakan menjadi satu peristiwa besar. Konferensi Asia Afrika. Tetapi bagi kami, Asia Afrika bukan sekadar tanggal dan gedung. Ia adalah simbol perlawanan dunia selatan terhadap dominasi dunia utara. Ia adalah upaya Soekarno dan para pemimpin Asia–Afrika untuk berkata tidak. Tidak pada kolonialisme, tidak pada hierarki global yang menempatkan dunia selatan sebagai pinggiran.
Namun Regen mengingatkan saya pada satu hal penting bahwa penolakan itu tidak pernah final. Dunia utara dia perhalus untuk menyebut kapitalisme, tidak runtuh, ia beradaptasi. Ia tidak lagi datang dengan tentara, tetapi dengan investasi, utang, dan proyek pembangunan. Negara-negara dunia selatan sering kali menjadi perpanjangan tangan dari logika yang sama yang dulu mereka lawan.
“Asia Afrika,” kata Regen, “bukan monumen. Ia janji yang belum ditepati.”
Hari kedua, saya berjalan sendiri.
Saya memilih kembali ke Braga, tetapi dengan ritme yang lebih lambat. Pagi hari, jalan ini terasa berbeda. Lebih sepi. Bangunan-bangunan kolonial berdiri tanpa penonton, tanpa kamera, tanpa percakapan. Dalam kesunyian itu, Braga tampak lebih jujur. Saya membayangkan awal abad ke-20, ketika jalan ini menjelma menjadi etalase modernitas kolonial.
Braga bukan sekadar jalan. Ia adalah proyek ideologis. Jalan ini dipenuhi butik mode Eropa, kafe, bioskop, hotel, dan toko-toko eksklusif milik orang Belanda. Braga bahkan dijuluki “De Parijs van Java”, simbol gaya hidup kosmopolitan yang meniru Paris. Tetapi kosmopolitanisme itu memiliki syarat. Warna kulit dan status sosial. Di balik trotoarnya yang rapi, terdapat segregasi rasial yang ketat. Pribumi hadir sebagai pekerja, pelayan, kuli, tukang bersih bukan sebagai subjek kota.
Modernitas kolonial selalu bekerja dengan cara ini. Menciptakan ilusi kemajuan sambil menyingkirkan sebagian besar penduduk dari hak untuk menikmati kemajuan itu. Braga adalah contoh sempurna. Ia adalah panggung bagi elite kolonial, sementara pribumi menjadi latar belakang yang tidak disebutkan namanya.
Saya menyadari bahwa hari ini, pola itu tidak sepenuhnya hilang. Ia hanya berubah bentuk. Braga dirawat sebagai kawasan heritage. Bangunan kolonial dijaga, direnovasi, dipromosikan. Tetapi pertanyaan tentang siapa yang diingat dan siapa yang dilupakan tetap sama. Sejarah dirawat sebagai estetika, bukan sebagai peringatan.
Dari Braga, saya berjalan ke Asia Afrika. Di jalan ini, Soekarno pernah membayangkan dunia yang berbeda. Dunia tanpa kolonialisme, dunia tanpa hirarki rasial global. Asia Afrika adalah ruang simbolik di mana dunia selatan menolak tunduk. Tetapi hari ini, jalan ini juga berada dalam tarik-menarik yang sama antara ingatan dan komodifikasi.
Saya berdiri di trotoar Asia Afrika dan berpikir tentang politik Global South. Tentang bagaimana istilah itu sering dirayakan dalam pidato, tetapi jarang diwujudkan dalam kebijakan. Dunia selatan masih menjadi pemasok bahan mentah, tenaga murah, dan kini, data. Kolonialisme utara tidak berakhir, ia bermetamorfosis.
Dua hari di Bandung membuat satu hal menjadi jelas bagi saya. Kota adalah teks politik. Jalan-jalan seperti Braga dan Asia Afrika bukan sekadar ruang fisik, tetapi ruang ideologis. Mereka menyimpan pertanyaan yang terus berulang. Siapa yang berhak atas kota? siapa yang berhak atas sejarah? siapa yang berhak menentukan masa depan?
Saya meninggalkan Bandung dengan perasaan yang tidak sederhana. Ada kehangatan karena bertemu kembali dengan Regen, seorang kawan yang tidak berpindah sisi. Ada kegelisahan karena menyadari bahwa perlawanan dunia selatan masih jauh dari selesai. Tetapi ada juga keyakinan, selama masih ada orang-orang yang menjaga ingatan dan keberpihakan, sejarah tidak akan sepenuhnya ditulis oleh pemenang.
Braga, dengan segala pesonanya, mengingatkan saya bahwa modernitas tidak pernah netral. Asia Afrika, dengan segala simbolismenya, mengingatkan saya bahwa penolakan harus terus diperbarui. Dan Ronal Regen, dengan pikiran yang masih radikal dan tindakan yang tetap berpihak, mengingatkan saya bahwa waktu boleh berjalan, tetapi posisi tidak harus berubah.
Di kota yang bergerak cepat, berpihak adalah kerja yang melelahkan. Tetapi Regen memilih tetap melakukannya. Dengan tenang. Dengan konsisten. Dengan keyakinan bahwa sejarah, harus selalu ditanya. Untuk siapa ia bekerja?
Dan di Braga. Jalan yang pandai berdusta itu, cerita Ronal menjadi pengingat bahwa perlawanan tidak selalu berisik. Kadang ia hadir sebagai percakapan panjang, sebagai komunitas kecil, sebagai keputusan untuk tidak menyerahkan seluruh hidup pada mesin yang tidak mengenal keadilan.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar