Aroma yang Membakar Dunia - Erwin Basrin

Breaking

Recent Posts

 photo Untitled-1_1.jpg

Senin, 29 Desember 2025

Aroma yang Membakar Dunia




Sejarah dunia sering ditulis seolah-olah digerakkan oleh ide-ide besar. Pencerahan, revolusi, kemajuan. Tetapi ada sejarah lain yang lebih sunyi, lebih berbau, dan jauh lebih menentukan yaitu sejarah tentang rempah. Pala, cengkeh, lada, kayu manis. Benda-benda kecil yang tidak bisa mengangkat senjata, tetapi sanggup menggerakkan armada, menjatuhkan kerajaan, dan melahirkan sistem ekonomi yang hari ini kita kenal sebagai kapitalisme.


Dalam membaca sejarah rempah, seperti yang ditulis Jack Turner, kita dipaksa untuk menurunkan tempo kekaguman kita pada “kemajuan” Eropa. Rempah bukan sekadar bumbu dapur atau simbol eksotisme Timur. Ia adalah bahan bakar kapitalisme awal, energi yang mendorong akumulasi, kekerasan, dan kolonialisme dalam skala global. Tanpa rempah, kapitalisme Eropa mungkin tidak akan menemukan momentumnya secepat itu. Tanpa rempah, dunia mungkin tidak akan dipetakan ulang dengan cara yang begitu brutal.


Turner menyebut rempah sebagai temptation. Godaan. Kata ini penting, karena ia menempatkan rempah bukan hanya sebagai komoditas, tetapi sebagai pemicu nafsu. Nafsu untuk memiliki, menimbun, dan menguasai. Di Eropa abad pertengahan, rempah adalah barang langka, mahal, dan sarat makna. Ia menandai status, kekuasaan, dan jarak sosial. Tetapi kelangkaan itulah yang justru melahirkan obsesi.


Obsesi itu kemudian bertemu dengan perubahan besar dalam cara Eropa mengorganisir ekonomi. Peralihan dari perdagangan terbatas menuju akumulasi modal. Rempah menjadi medium ideal. Ia ringan, tahan lama, bernilai tinggi, dan yang paling penting dapat dimonopoli. Di titik inilah rempah berhenti menjadi sekadar benda, dan mulai bekerja sebagai energi ekonomi. Ia memanaskan mesin yang kelak disebut kapitalisme.


Untuk mendapatkan rempah, Eropa tidak cukup berdagang. Ia harus menguasai sumbernya. Dan untuk menguasai sumbernya, ia harus menaklukkan manusia dan alam. Dari sini, sejarah rempah berubah menjadi sejarah kekerasan.


Sebelum Eropa menjadikan dirinya pusat dunia, pusat itu ada di tempat lain. Di Asia Tenggara, di kepulauan yang hari ini kita sebut Indonesia. Maluku, dengan pala dan cengkehnya, adalah jantung ekonomi global pra-industri. Jalur perdagangan telah lama terhubung. Arab, India, Tiongkok, dan Nusantara membentuk jaringan niaga yang kompleks, tanpa perlu penaklukan bersenjata.


Turner mengingatkan kita bahwa sebelum kedatangan Eropa, perdagangan rempah tidak didasarkan pada monopoli teritorial. Ia berbasis relasi, pengetahuan lokal, dan keseimbangan ekologis. Tetapi sistem ini tidak cocok dengan logika kapitalisme awal yang sedang tumbuh di Eropa. Logika yang menuntut kontrol, kepastian, dan akumulasi tanpa batas.


Ketika VOC datang, rempah tidak lagi diperlakukan sebagai hasil bumi yang hidup dalam relasi sosial-ekologis. Ia direduksi menjadi komoditas murni. Tanah menjadi ladang produksi. Pohon menjadi unit ekonomi. Manusia menjadi tenaga kerja yang bisa dipaksa, dipindahkan, atau dihabisi.


Sejarah pembantaian Banda adalah contoh paling telanjang. Demi menguasai pala, satu komunitas hampir dilenyapkan. Ini bukan penyimpangan kapitalisme awal, melainkan cara kerjanya. Kekerasan bukan efek samping, ia adalah prasyarat.


Kapitalisme awal tidak tumbuh dari pasar bebas seperti yang sering diajarkan. Ia tumbuh dari monopoli, proteksi, dan kekerasan negara. Rempah menyediakan alasan sekaligus pembenaran. Dengan dalih efisiensi dan stabilitas harga, perusahaan dagang bersenjata seperti VOC diberi hak untuk berperang, memerintah, dan menghukum.


Di sinilah rempah menjadi bahan bakar yang sempurna. Ia menghasilkan keuntungan luar biasa yang kemudian diinvestasikan kembali untuk memperkuat armada, birokrasi, dan kekuatan militer. Siklus ini berulang. Rempah menghasilkan modal, modal menghasilkan kekuasaan, kekuasaan menjamin monopoli rempah.


Kapitalisme awal, dengan demikian, tidak lahir dari inovasi damai, melainkan dari perampasan terorganisir. Tanah dirampas, tenaga kerja dieksploitasi, dan pengetahuan lokal dihapus atau dicuri. Rempah adalah pintu masuknya.


Dalam proses ini, terjadi kekerasan lain yang lebih halus tetapi sama menghancurkannya. Kekerasan pengetahuan. Sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, musim, dan keseimbangan alam disingkirkan. Ia dianggap tidak ilmiah, tidak efisien, atau tidak relevan. Pengetahuan Eropa diposisikan sebagai satu-satunya yang sah.


Padahal, tanpa pengetahuan lokal, rempah tidak akan pernah tumbuh. Kapitalisme awal bergantung pada pengetahuan yang ia curi, lalu mengklaimnya sebagai milik sendiri. Inilah ironi besar sejarah rempah. Eropa menguasai dunia dengan pengetahuan yang bukan ia ciptakan.


Alam pun dibisukan. Hutan yang dulu menjadi ruang hidup berubah menjadi perkebunan. Keanekaragaman hayati direduksi demi satu jenis tanaman. Logika ini masih hidup hingga hari ini. Dari pala ke tebu, dari tebu ke karet, dari karet ke sawit. Kapitalisme selalu mencari satu komoditas unggulan, lalu mengorbankan yang lain.


Turner tidak berhenti pada abad ke-17. Ia menunjukkan bagaimana pola yang dibentuk oleh rempah terus berulang. Kapitalisme belajar dari rempah bahwa keuntungan terbesar datang dari menguasai sumber, bukan sekadar berdagang. Logika ini kemudian diterapkan pada gula, kapas, minyak, dan kini, data.


Jika rempah adalah bahan bakar kapitalisme awal, maka bahan bakar kapitalisme hari ini adalah sumber daya lain yang juga diekstraksi tanpa persetujuan. Tanah, air, hutan, dan bahkan perhatian manusia. Dunia selatan tetap menjadi pemasok, dunia utara tetap menjadi pengolah dan penikmat nilai tambah.


Dalam konteks ini, membaca sejarah rempah bukan nostalgia. Ia adalah peta. Ia membantu kita memahami mengapa konflik agraria hari ini terasa seperti pengulangan. Mengapa bahasa pembangunan sering kali menyembunyikan kekerasan. Mengapa komunitas lokal selalu berada di posisi tawar yang lemah.


Politik Global South, seperti yang pernah digagas oleh Soekarno dan para pemimpin Asia–Afrika, adalah upaya untuk memutus siklus ini. Untuk mengatakan bahwa dunia selatan bukan ladang bahan bakar bagi kemajuan orang lain. Tetapi proyek ini tidak pernah selesai. Kapitalisme global terlalu lentur, terlalu pandai beradaptasi.


Hari ini, dunia selatan tidak lagi dipaksa menanam pala. Ia diminta membuka tambang, perkebunan sawit, dan proyek energi atas nama transisi. Bahasanya berubah, tetapi logikanya sama. Alam tetap menjadi objek. Masyarakat tetap menjadi hambatan.


Sejarah rempah mengajarkan kita bahwa tanpa perubahan struktur, komoditas akan selalu menemukan cara baru untuk menindas. Yang berubah hanya aromanya.


Membaca Jack Turner adalah menghirup aroma sejarah yang tidak nyaman. Ia memaksa kita untuk mengakui bahwa kapitalisme tidak lahir dari kecerdikan semata, tetapi dari kekerasan. Bahwa rempah yang hari ini kita nikmati tanpa pikir Panjang pernah menjadi alasan pembantaian dan perampasan.


Tetapi membaca ulang sejarah rempah juga memberi kita senjata berupa kesadaran. Kesadaran bahwa sistem yang ada tidak alami. Ia dibangun. Dan karena dibangun, ia bisa dibongkar.


Jika rempah adalah bahan bakar kapitalisme awal, maka ingatan adalah bahan bakar perlawanan hari ini. Dengan mengingat bagaimana dunia dibakar oleh nafsu akan komoditas, kita bisa menolak untuk terus menjadi bahan bakar bagi mesin yang sama. Sejarah tidak pernah benar-benar berlalu. Ia hidup dalam pola. Dan tugas kita bukan sekadar mencatatnya, tetapi memutusnya.


Jika kita pakai kacamata Marxis, sejarah rempah adalah sejarah akumulasi primitive, sebuah fase ketika kapital belum berputar melalui pasar bebas, melainkan melalui perampasan langsung. Tanah dirampas, komunitas dihancurkan, tenaga kerja dipaksa, dan kekerasan dilembagakan. Pala dan cengkeh bukan sekadar komoditas, ia adalah alat historis untuk memisahkan manusia dari alat produksinya, memisahkan komunitas dari tanahnya, dan memaksa mereka masuk ke dalam relasi kerja yang timpang. Kapitalisme lahir bukan dari kesepakatan, tetapi dari luka.


Marx mengingatkan bahwa kapital tidak pernah netral. Ia selalu lahir dari relasi sosial yang timpang, dari kerja yang tidak dibayar, dari nilai lebih yang disedot secara sistematis. Dalam sejarah rempah, nilai lebih itu tidak hanya diambil dari kerja manusia, tetapi juga dari alam dan hutan yang ditebang, tanah yang diperas, dan ekologi yang dikorbankan. Inilah momen awal ketika alam direduksi menjadi “sumber daya”, dan manusia direduksi menjadi “tenaga kerja”. Kapitalisme sejak awal adalah proyek dehumanisasi ganda.


Lebih jauh, kolonialisme rempah menunjukkan bagaimana kapitalisme membutuhkan negara sebagai alatnya. VOC bukan sekadar perusahaan dagang. Ia adalah negara mini bersenjata, dengan hak mencetak uang, berperang, dan menghukum. Dalam analisis Marxis, ini menegaskan bahwa pasar bebas adalah mitos yang lahir belakangan. Yang ada sejak awal adalah aliansi antara kapital dan kekuasaan politik. Rempah mengajarkan kita bahwa kapital selalu membutuhkan aparatus koersif untuk memastikan akumulasi berjalan lancar.


Jika kita tarik garis ke hari ini, maka konflik agraria, perampasan tanah, dan krisis ekologis bukanlah anomali, melainkan kelanjutan logis dari modus produksi kapitalis. Dari pala ke sawit, dari cengkeh ke nikel, dari rempah ke data yang berubah hanya objeknya, bukan relasinya. Kapital terus mencari ruang baru untuk diekstraksi, sementara komunitas lokal terus didorong ke pinggir sebagai surplus population. Hidup, bekerja, tetapi tidak pernah benar-benar diakui.


Karena itu, membaca sejarah rempah dengan kacamata Marxis bukan sekadar latihan intelektual, melainkan panggilan politik. Ia menuntut kita untuk tidak berhenti pada kritik moral, tetapi melangkah ke kritik struktural. Selama alat produksi, tanah, hutan, laut, dan pengetahuan masih dikuasai oleh segelintir, maka aroma rempah akan terus bercampur dengan bau darah. Dan selama itu pula, perjuangan keadilan agraria dan ekologis bukan soal perbaikan kebijakan semata, melainkan soal pembongkaran relasi kuasa yang melahirkan kapitalisme itu sendiri. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar