Pasar yang Menjual Jiwa - Erwin Basrin

Breaking

Recent Posts

 photo Untitled-1_1.jpg

Rabu, 31 Desember 2025

Pasar yang Menjual Jiwa



Paraduta tiba di Blok M pada siang yang kelelahan. Bukan lelah karena berjalan jauh, tetapi karena terlalu lama berlari tanpa benar-benar tahu ke mana. Langkahnya mantap, seolah kota ini miliknya, seolah ia telah menaklukkan waktu dengan kalender rapat dan daftar capaian. Di kepalanya, dunia adalah grafik yang harus terus naik. Di dadanya, ada kehampaan yang tak pernah ia akui.


Pasar loak Blok M menyambutnya dengan bau kertas tua, plastik kusam, dan besi yang lama tak disentuh. Tidak ada pendingin ruangan. Tidak ada pencahayaan yang memoles wajah. Yang ada hanya lapak-lapak kecil, saling berhimpitan, menolak rapi, menolak diseragamkan. Buku-buku lama bertumpuk seperti ingatan yang gagal disensor. Kaset pita berjajar seperti suara-suara yang pernah dianggap berbahaya. Piringan hitam menyimpan lagu-lagu yang tidak tunduk pada algoritma.


Paraduta berjalan di antara lorong sempit itu dengan senyum tipis, senyum orang yang yakin ia tidak membutuhkan apa pun di sini. Ia datang bukan untuk membeli, melainkan untuk memastikan satu hal. Bahwa ia telah melampaui sentimentalitas. Bahwa ia telah berdamai dengan kenyataan bahwa nilai hanya bermakna jika bisa diuangkan.


Pasar Ultralis telah mengajarinya itu dengan sabar. Ia tidak memaksa. Ia merayu. Ia menyebut pengorbanan sebagai rasionalitas. Ia menyebut penjarakan sebagai profesionalisme. Ia menyebut kesunyian sebagai harga kemajuan.


Paraduta berhenti di satu lapak buku. Mengambil satu judul yang punggungnya patah. Membalik halaman dengan jari yang terbiasa mengetuk layar. “Ini tidak relevan,” gumamnya. Ia meletakkannya kembali, seperti meletakkan masa lalu yang tidak memberi dividen.


Di lapak ketiga, ia melihat Nararya.


Nararya duduk di bangku plastik rendah, punggungnya sedikit membungkuk, seolah ia telah lama berdamai dengan gravitasi. Di depannya, kaset pita disusun rapi tanpa plastik baru. Labelnya tulisan tangan. Tidak ada harga besar-besar. Tidak ada bujukan.


Nararya tidak menatap Paraduta. Ia sedang membersihkan debu dari satu piringan hitam dengan kain lusuh. Gerakan pelan, hampir seperti ritual. Seolah benda itu bukan barang dagangan, melainkan makhluk hidup yang perlu diperlakukan dengan hormat.


“Kau mencari apa?” tanya Nararya akhirnya, tanpa mengangkat kepala.


“Tidak,” jawab Paraduta cepat. “Aku hanya lewat.”


Nararya mengangguk kecil. “Semua orang yang tersesat selalu bilang begitu.”


Paraduta tersenyum dingin. Ia tidak suka dianggap tersesat. Dalam dunia yang ia pahami, tersesat adalah kegagalan. Dan kegagalan tidak produktif.


Ia mengambil satu kaset. Menimbangnya seperti menimbang logam. “Ini tidak laku,” katanya.


Nararya berhenti membersihkan. Mengangkat kepala. Tatapannya tenang, tetapi tidak kosong. “Tidak,” katanya. “Kaset itu tidak ingin laku.”


Paraduta tertawa pendek. “Benda tidak punya keinginan.”


“Jiwa punya,” kata Nararya lirih. “Dan banyak benda menyimpan sisa-sisanya.”


Kalimat itu menempel seperti debu di tenggorokan. Paraduta meletakkan kaset itu lebih keras dari perlu. “Kau menjual nostalgia,” katanya. “Pasar hari ini tidak butuh itu.”


Nararya berdiri. Tubuhnya tidak tinggi, tidak besar. Tetapi ada sesuatu dalam caranya berdiri yang membuat Paraduta merasa sedang berhadapan dengan waktu. “Pasar hari ini,” kata Nararya, “menjual jiwa dengan cicilan. Dan kau tampak seperti seseorang yang sedang menunggak.”


Paraduta ingin pergi. Namun lorong sempit itu seperti menutup jalan. Atau mungkin yang menutup adalah dirinya sendiri.


Mereka berjalan berdampingan tanpa janji. Paraduta berbicara tentang proyek, tentang target, tentang bagaimana dunia tidak ramah pada yang lambat. Nararya mendengarkan tanpa mengoreksi. Tanpa mengangguk berlebihan. Seperti rak buku yang tidak memilih apa yang disimpan.


“Arogansi perlu,” kata Paraduta. “Tanpa itu, kita diinjak.”


Nararya berhenti di depan lapak piringan hitam. Ia memutar satu lagu tua dengan pemutar portabel. Suaranya pecah. Ada desis. Ada retak. Tetapi ada kejujuran yang tidak bisa disimulasikan. “Arogansi,” kata Nararya pelan, “adalah cara Pasar Ultralis menyembunyikan ketakutan. Ia mengajari kita merasa lebih tinggi agar tidak perlu mengaku rapuh.”


“Rapuh tidak efisien,” balas Paraduta.


“Tidak,” Nararya mengoreksi. “Rapuh tidak bisa dijual.”


Kalimat itu memukul lebih keras daripada teriakan. Paraduta terdiam. Ia ingat bagaimana ia belajar menyingkirkan keraguan. Bagaimana ia menukar empati dengan kecepatan. Bagaimana ia mulai menyebut orang sebagai aset dan relasi sebagai peluang.


Mereka duduk di tepi trotoar. Matahari condong. Orang-orang lewat membawa tas belanja kecil. Tidak ada yang berlari. Tidak ada yang mengejar.


Nararya mengambil satu buku tipis. Halamannya penuh catatan pinggir. “Pemilik sebelumnya,” katanya. “Ia menulis setiap kali dunia terlalu cepat.”


Paraduta membaca satu kalimat. Aku lelah menjadi berguna.


Ia menutup buku itu. “Ini kelemahan,” katanya, tapi suaranya kehilangan keyakinan.


“Tidak,” jawab Nararya. “Ini kejujuran.”


Paraduta ingin membantah, tetapi dadanya terasa sesak. Ia ingat malam-malam panjang di mana angka-angka bergerak, tetapi hatinya diam. Ia ingat kemenangan yang terasa seperti pengumuman kosong.


“Pasar Ultralis,” kata Nararya, “tidak pernah berkata ‘jual jiwamu’. Ia berkata ‘jual sedikit saja’. Waktumu. Prinsipmu. Perasaanmu. Lama-lama, kau lupa apa yang tidak kau jual.”


Paraduta menunduk. Arogansinya terasa berat seperti baju zirah yang dibeli dengan harga terlalu mahal.


Mereka berdebat. Tentang kebebasan. Tentang pilihan. Paraduta berkata pasar memberi ruang. Nararya berkata ruang tanpa tanah adalah ilusi. Paraduta berkata tanggung jawab individual. Nararya berkata diri dibentuk oleh relasi.


“Jika aku berhenti,” tanya Paraduta lirih, “apa yang tersisa?”


Nararya tersenyum tipis. “Yang tidak pernah kau jual.”


Senja turun. Lampu-lampu lapak menyala seadanya. Paraduta membeli satu buku dan satu kaset. Tidak ada diskon. “Jiwa tidak mengenal potongan harga,” kata Nararya.


Paraduta melangkah pergi dengan langkah yang lebih pelan. Pasar Ultralis menunggu di luar sana dengan layar, dengan janji. Tetapi di Blok M, ia belajar bahwa tidak semua nilai perlu dipercepat.


Ia tidak tahu apakah ia telah bebas. Tetapi ia tahu satu hal. Ia tidak ingin menjual yang tersisa.


Malam menutup Blok M. Lapak-lapak berkemas. Buku-buku kembali ke kardus. Suara-suara lama disimpan untuk esok. Nararya duduk sendiri, menjaga kesunyian.


Di kejauhan, Paraduta berhenti sejenak. Menoleh. Tidak melambai. Tidak kembali. Ia hanya berdiri, menahan diri agar tidak berlari lagi.


Pasar yang menjual jiwa akan selalu ada. Tetapi tidak semua jiwa harus laku.


Dan itu, untuk pertama kalinya, terasa seperti kemenangan yang tidak perlu diumumkan.


Paraduta menyadari sesuatu yang selama ini luput. Pasar Ultralis tidak berdiri sendiri. Ia tidak tumbuh liar seperti gulma. Ia dipelihara. Dijaga. Diberi pagar hukum dan bahasa kebijakan. Negara yang dulu ia kira wasit ternyata telah lama turun ke lapangan, bukan untuk melindungi yang lemah, melainkan untuk memastikan permainan berjalan sesuai kepentingan modal.


Nararya menyebutnya tanpa nada berapi-api. “Negara,” katanya, “tidak lagi memerintah. Ia mengatur agar pasar tidak terganggu.” Ia menunjuk ke papan pengumuman kecil di sudut Lorong, izin, aturan, jam buka. “Hukum hari ini bukan soal keadilan, tapi soal kelancaran.”


Paraduta teringat rapat-rapat panjang yang ia ikuti. Regulasi disebut hambatan, perlindungan disebut biaya, keberpihakan disebut distorsi. Negara diajari untuk menyingkir dengan sopan, menyerahkan ruang hidup pada kontrak dan konsesi. Yang tersisa hanyalah aparat untuk menjaga ketertiban, ketertiban agar transaksi tidak terhambat.


“Pasar butuh negara,” lanjut Nararya, “bukan sebagai pelindung rakyat, tapi sebagai penjamin kepemilikan. Ketika tanah diperdebatkan, negara turun. Ketika upah ditekan, negara absen. Itu bukan kebetulan.”


Paraduta merasa dingin. Ia menyadari bahwa arogansinya tumbuh subur karena negara telah merapikan jalur. Ia bebas bergerak karena yang lain dipagari.


Di lorong lain, layar ponsel menyala. Notifikasi berdenting. Algoritma bekerja diam-diam, tanpa seragam, tanpa sidang. Ia tidak memerintah, ia menyarankan. Ia tidak memaksa, ia mengarahkan. Ia tidak menghukum, ia menghapus.


Nararya menatap layar Paraduta. “Algoritma,” katanya, “adalah negara tanpa wajah dan pasar tanpa empati.” Ia tertawa pendek. “Ia tahu keinginanmu sebelum kau berani jujur pada dirimu sendiri.”


Paraduta teringat bagaimana pilihannya terasa bebas, tetapi selalu jatuh pada pola yang sama. Bacaan yang sama. Musik yang sama. Opini yang sama. “Ini efisien,” katanya setengah membela.


“Efisiensi,” jawab Nararya, “adalah kata lain dari penghapusan kemungkinan.”


Algoritma tidak menjual barang, pikir Paraduta. Ia menjual perhatian. Ia menjual waktu. Ia menjual kesunyian. Ia membuat dunia tampak personal, padahal seragam. Ia menyingkirkan yang lambat, yang tidak viral, yang tidak bisa diringkas. Buku-buku lama dan kaset berdebu itu semuanya kalah sebelum bertanding.


Paraduta merasa dirinya dipetakan. Disederhanakan. Dioptimalkan. Arogansinya ternyata hanyalah output yang diinginkan sistem. Individu yang percaya dirinya otonom, padahal patuh.


Nararya berkata pelan, “Ketika warga direduksi menjadi konsumen, maka hak berubah menjadi preferensi. Ketidakadilan menjadi masalah selera. Dan jiwa, ia diubah menjadi data.”


Paraduta teringat formulir, survei, metrik kebahagiaan. Negara tidak lagi mendengar cerita. Ia membaca dashboard. Pasar tidak lagi mengenal manusia. Ia mengenal segmen. Algoritma menghubungkan keduanya dengan cepat, dingin, presisi.


“Aku merasa bebas,” kata Paraduta, hampir berbisik.


“Karena kebebasan hari ini,” jawab Nararya, “tidak diukur dari apa yang bisa kau tentukan, tetapi dari seberapa mulus kau mengikuti arus.”


Paraduta melihat kembali lapak-lapak Blok M. Tidak ada sensor. Tidak ada kurasi algoritmik. Yang ada hanya pilihan yang memerlukan waktu yaitu waktu untuk membuka halaman, waktu untuk mendengarkan lagu sampai selesai. Waktu yang tidak bisa dimonetisasi dengan cepat.


Ia sadar. Pasar Ultralis membenci jeda. Negara membenci kerumitan. Algoritma membenci ambiguitas. Dan jiwa-jiwa hidup justru di sana.


Paraduta tidak berubah menjadi pahlawan. Ia tidak membakar kartu aksesnya. Ia tidak mematikan ponselnya. Ia hanya melakukan satu hal kecil yang terasa berat. Ia menolak satu transaksi batin. Menolak menjual rasa bersalahnya sebagai pembenaran. Menolak menjual kelelahan sebagai bukti sukses.


Nararya tidak mengajarinya cara melawan. Ia hanya menunjukkan medan. Pasar. Negara. Algoritma. Tiga serangkai yang membuat penjualan jiwa terasa wajar.


“Kesadaran,” kata Nararya sebelum berpisah, “selalu datang terlambat. Tapi ia tetap punya nilai selama kau tidak menjualnya kembali.”


Paraduta berjalan pergi. Kota menunggu dengan ritmenya. Negara dengan regulasinya. Algoritma dengan rekomendasinya. Pasar dengan cicilannya.


Ia tidak yakin akan menang. Tetapi ia yakin akan satu hal. Ia kini tahu siapa yang sedang menawar jiwanya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar