Ecocentrisme dan antroposentisme dikenal sebagai pertengkaran ekologis yang memberikan legitimasi moral untuk memperlakukan alam dengan cara tertentu. Antroposentris ingin memberikan argument bahwa alam menjadi mempesona selama dia memiliki fungsi atau kegunaan bagi manusia khas utiltiterianisme. Sedangkan pandangan ecocentris ingin membatalkan pandangan itu karena kepentingan manusia tidak menjadi satu satunya hal yang harus dihitung dalam merumuskan nilai yang diluar dirinya, tapi juga kepentingan binatang, tumbuhan bahkan ekosistem sehingga alam tidak lagi ditatap hanya pada fungsinya secara utiliter bagi manusia.
Dua polarisasi pikiran tersebut bertengkar namun juga memberikan supply ide mengapa pembakaran hutan dinggap bukan kejahatan serius karena korban yang dimaksud adalah manusia yang tengah disiksa paru-parunya oleh asap. Antroposentrisme dengan begitu memberikan legitimasi bahwa pohon tidak memiliki hak untuk menagih keadilan karena ecological justice dihambat untuk diucapkan ketika hanya manusia yang bisa disebut sebagai korban. Berlawanan dengan itu, pandangan ecocentris justru ingin memulihkan relasi yang timpang tersebut dengan memberikan bahwa tumbuhan terutama pohon yang terbakar seharusnya punya hak untuk bertumbuh dan berbuah.
Relasi yang dibangun oleh cara berpikir ecocentris ingin merekonstruksi ulang relasi yang dihapus oleh narasi modern yang pro pada antroposentrisme dengan cara mencicil pada semangat kultural yang masih menyisakan semangat ecocultural. Sehingga seolah-olah pengalaman kelekatan antara manusia dan alam yang harmonis lenyap secara kultural dan digantikan transaksi secara utiliter-ekonomis, dan fakta masalah ekologis semakin memburuk.
Pohon kelapa sawit misalnya, hanya dianggap menguntungkan manusia ketika dia produktif sehingga ketika dia tidak lagi produktif dan biaya untuk memangkas pohon tersebut cukup besar maka pembakaran menjadi hal rasional, karena fungsi utiliter dari pohon sawit telah hilang. Pikiran ini diedarkan dan melegitmasi perlakuan manusia untuk mendominasi alam, sekaligus didorong oleh hasrat ekonomi yang kuat dan memunculkan hirarkisasi manusia dan alam yang makin tajam.
Alam
semakin terdesak dan tidak memiliki hak untuk melawan, kendati secara realitas
manusia bisa merasakan bahwa alam mampu merespon dominasi tersebut. Ecocentris
memberi peluang bagi alam untuk menulis hukumnya sendiri. Hukum itu muncul pada
tanah longsor ketika banyak pohon ditebang ataupun tumbuhnya penyakit ketika
limbah pabrik dibuang ke aliran air. Tentunya pikiran ecocentris berupaya
menarasikan sikap etis bahwa alam juga punya hak, dan hal tersebut hanya
dimungkinkan jika kondisi warga dalam suatu masyarakat tahu betul tentang
konsep hak. Hak yang selama ini dianggap natural rights yang berada pada
manusia harus berpindah dan dikenal sebagai rights of nature.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar