![]() |
“Hukum diselewengkan! Dan kekuasaan negara untuk mengatur menyeleweng bersamanya!” kata Frederic Bastiat dalam Hukum Rancangan Klasik untuk Membangun Masyarakat Merdeka. Menurutnya, hukum tidak hanya menyimpang dari tujuannya yang tepat, tapi dipakai untuk mengejar suatu tujuan yang bertentangan! Hukum menjadi senjata bagi ketamakan! Bukannya mengurangi kejahatan, hukum sendiri bersalah atas kejahatan yang seharusnya ia atasi!
“Jika benar, ini adalah fakta serius, dan saya secara moral terpanggil untuk mengingatkan seluruh warga negara pada masalah ini.” Lanjutnya. Tulisan sederhana ini bukan untuk membedah pemikiran Bastian, tentang hukum yang memelihara keadilan, bahwa hukum adalah sesuatu yang sah dan legal. Pandangan seperti ini begitu merasuk sehingga banyak orang secara salah beranggapan bahwa sesuatu adalah “adil” karena hukum menjadikannya demikian.
Buku Frederic Bastiat saya baca dua puluh lima tahun setelah mendengar cerita tentang peradilan yang di pimpin oleh Kancil di ceritakan dengan detail oleh ibuku sebagai dongeng sebelum tidur. Umur saya baru enam tahun ketika itu, baru duduk di kelas satu di Sekolah Dasar Inpres. Sekolah dasar yang di bangun untuk pengentasan buta huruf. Ceritanya sungguh sederhana tapi cukup kuat menembus dan merentensi hipokampus, sampai setelah saya membaca bukunya Frederic Bastiat, memori itu memangil kembali ingatan cerita ibuku secara detail.
“Menjelang mata hari naik, pancaran sinar mentari menembus semak-semak rerumputan di pingir sungai,” demikian ibuku memulai ceritanya. Burung-burung berterbangan entah kemana, suasana menjadi riuh pertanda kehidupan di mulai. Dari semak-semak rumput tiba-tiba seekor Biawak terburu-buru membawa anaknya menuju bebatuan di yang tersusun rapi di pingir sungai. Setelah dia jemur anaknya di atas sebuah batu, induk Biawakpun segera berenang menuju hulu sungai. Tidak berselang lama, munculah anak Rusa meloncat-loncat seperti menari tarian perang. Tariannya begitu bersemangat sambil mengadahkan wajahnya yang menantang. Tanpa sengaja anak Kijangpun menginjak anak biawak, sela-sela jarinya menekan tepat di leher anak Biawak. Anak Biawak mati seketika. Setelah mengetahui tarian perangnya mengorbankan anak Biawak, anak kijangpun melarikan diri dari tempat kejadian perkara.
Menjelang tengah hari, induk Biawapun berniat menjemput anaknya dengan membawa beberapa tangkapan ikan sebagai bekal makanan untuk anaknya yang lahir beberapa hari lalu. Dan, terkejutlah induk Biawak, dia menemukan anaknya sudah tidak bernapas dan kaku. Anak satu-satunya yang baru dia lahirkan mati. Dia menemukan banyak sekali jejak-jejak kaki anak rusa. Dia marah, satu-satunya tersangka yang dia curigai membunuh anaknya adalah anak Rusa. Sebagai warga yang taat hukum, dia tidak langsung mengelar peradilan rakyat tapi dia membawa jasad anaknya menuju pengadilan negeri para binatang. Pengadilan yang dipimpin oleh Kancil.
Pagi tadi anak saya mati dan tersangka satu-satunya adalah anak Rusa, kata induk Biawak kepada Kancil yang duduk berwibawa di meja pengadilan. “Pangil anak Rusa,” perintah Kancil. Pasukan keamanan di kerahkan. Dan anak Rusa datang ke pengadilan. “Betul pagi tadi, kamu yang menginjak anak Biawak di pingir sungai.?” Bentak Kancil. Anak Rusapun mengakui perbuatannya sambil menjelaskan kenapa dia menari. Saya menari karena mendengar genderang perang dari atas sebuah pohon. Genderang yang di tabuh oleh Monyet, jikalau Monyek tidak menabuh gendang manalah mungkin saya menari, jelas anak Rusa. “Kalua begitu yang salah Monyet, bukan anak Rusa,” sidang untuk anak Rusa sebagai tersangka di tutup. Surat perintah pemangilan pemeriksaan untuk tersangka Monyetpun di terbitkan.
Besoknya, Moyet datang ke pengadilan dengan wajah yang tidak bersalahnya. Peradilan dibuka. “Monyet,” tanya si Kancil. Apakah benar pagi kemaren kamu menabuh gendang? generang perang yang membuat anak Rusa menari meloncat-loncat dan terinjak anak Biawak. “Anak Biawak mati,” tanya Kancil dengan wibawanya. Monyetpun mengakui perbuatannya menabuh gendang dan menyebabkan anak rusa menari. “Tapi saya menabuh gendang karena melihat Siput hilir mudik memakai baju besi, baju perang.” Saya pikir akan ada perang besar maka saya menabuh genderang perang. Cerita Monyet. Kalua begitu yang salah bukan Monyet, tetapi Siput. Simpul Kancil. Siputpun datang ke pengadian setelah mendapatkan surat pemangilan pemeriksaan oleh pengadilan. Siput datang memenuhi pemangilan dengan santainya, tapi tetap mamakai baju besi. Setelah ditanya oleh Kancil. Siputpun mengakui bahwa pagi yang dimaksud dia memakai baju besi karena melihat Udang hilir mudik sepanjang sungai membawa pedang. “Saya bersiap-siap dengan mengenakan baju besi, karena Udang hilir mudik membawa tombak” jawab Udang.
Keputusan pemeriksanaan menyatakan bukan siput yang bersalah tapi Udang. Udangpun datang menghadap ke pengadilan. Setelah ditanya oleh Kancil, Udang menjelaskan pagi tersebut dia benar-benar hilir mudik membawa tombak dan itu di saksikan oleh hewan-hewan yang ada di sungai. Dia membawa tombak hilir mudik karena melihat kepiting di setiap sudut sungai menghunuskan pedangnya. “Saya pikir akan ada perang besar, kalau Kepiting tidak menghunuskan pedangnya makalah berani saya membawa tombak hilir mudik sepanjang sungai.” Kata Udang.
Pengadilan memutuskan Udang tidak bersalah, dan menjadikan Kepiting sebagai tersangka baru. Kepitingpun mendapat surat pemangilan pemeriksaan sebagai tersangka yang menyebabkan terbunuhnya anak Biawak. Kepiting datang ke pengadilan dan membawa pedang yang masih terhunus. “Betul pagi itu kamu menghunus pedang, akibatnya Udang hilir mudik membawa tombak, dan Siput mengenakan baju besi, monyet menabuh gendang dan manarilah anak Rusa dan menginjak anak Biawak, anak Biawak mati di pagi itu” Kata Kancil. Kepitingpun mengakui perbuatannya. Lalu dia menjelaskan pagi itu benar dia menghunuskan pedang karena melihat banyak sekali Ikan Sepat hilir mudik sungai dengan mata merah. “Ikan Sepat seperti murka, aura amarahnya memancar lewat mata yang memerah dengan sorotan tajam,” Saya pikir akan ada kerusuhan di sepanjang sungai, maka saya bersiap-siap menghunuskan pedang. Jelas Kepiting.
“Kalau begitu bukan kamu tersangkanya yang menjebabkan matinya anak Biawak tetapi Ikan Sepat, pangil segera Ikan Sepat!” perintah Kancil. Ikan Sepatpun menghadap ke pengadilan dengan membawa sepucuk surat pemangilan pemeriksaan sebagai tersangka pembunuhan anak Biawak. Setelah di jelaskan oleh si kancil atas dasar pengaduan yang di adukan oleh induk Biawak. Akibat dari mata Ikan Sepat merah penuh amarah, kepitingpun menghunus pedang, melihat pedang terhunus Udangpun mengeluarkan senjata tombaknya, melihat tombak Siput memakai baju besi, baju perang dan monyetpun menabuh genderang perang. Mendengar bunyi gendang anak Rusa manari dan menginjak anak Biawak.
“Benar, ketua Hakim yang mulia,” Jelas Ikan Sepat. Pagi itu saya mengakui bahwa mata saya merah. Mata saya merah karena sungai yang jernih tiba-tiba menjadi keruh karena perbuatan induk Biawak mengacak-acak di hulu sungai.
Kancil pun menganguk-anguk, dia senang buka mian, baru kali ini tersangka memangilnya yang mulia. Dia pun mengalihkan pandangannya kepada Induk Biawak yang duduk di samping kanannya.
“Yang menjadi tersangka sesungguhnya adalah kamu!” bentak Kancil. Akibat perbuatanmu yang mengacak-acak hulu sungai, mata ikan sepat menjadi merah, Kepiting menghunuskan pedang dan melihat pedan terhunus Udangpun mengeluarkan senjata tombaknya, melihat Udang hilir mudik membawa pedang, Siput bersiap-siap perang dengan mengenakan baju besinya. Monyet pikir akan ada huruhara di sungai, diapun menabuh gendering perang. Mendengar bunyi genderang anak Rusapun menari-nari dan menginjak anak kamu.
“Jadi yang menjadi tersangka utamanya adalah kamu” Bentak kancil sambil membantingkan palu keputusan pengadilan. Induk Biawakpun menerima keputusan pengadilan dan mengakui akibat dari perbuatannya yang mengacak-acak hulu sungai yang hilirnya menyebabkan anaknya mati di injak oleh anak Rusa yang menari meloncat-loncat.
Saya sering tertawa sendiri mengingat cerita dongeng Peradilan dunia binatang yang di ceritakan oleh ibuku ini. jika ini benar, maka tak ada yang lebih jelas ketimbang bahwa hukum itu adalah organisasi hak alamiah pertahanan diri yang sah. Ia adalah suatu kekuatan bersama pengganti kekuatan-kekuatan individu. Dan, sebagaimana hak individu yang alamiah dan sah, kekuatan bersama ini seharusnya hanya boleh dipakai untuk melindungi kedirian, kebebasan, dan hak milik; untuk memelihara hak masing-masing individu, dan menjadikan keadilan berdaulat atas kita semua. Mungkin karena itulah induk Biawak menerima meskipun sudah jatuh tetap di timpa tangga.
Jika pengadilan yang dipimpin oleh Kancil ini mengadopsi konsep hukum negative, dengan demikian benarlah pernyataan bahwa tujuan hukum adalah menjadikan keadilan berdaulat, bukan merupakan pernyataan yang akurat. Maka tujuan hukum adalah mencegah bercokolnya ketidakadilan. Dalam kenyataan, ketidakadilanlah, dan bukan keadilan yang memiliki eksistensi sendiri. Keadilan dicapai hanya jika ketika ketidakadilan tak ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar