Seri III Wacana Pendek: Prinsip Moral Etika Lingkungan - Erwin Basrin

Breaking

Recent Posts

 photo Untitled-1_1.jpg

Rabu, 05 Agustus 2020

Seri III Wacana Pendek: Prinsip Moral Etika Lingkungan



Salah satu versi teori ekosentrisme adalah teori etika lingkungan hidup yang sekarang ini populer dikenal sebagai deep ecology. Sebagai sebuah istilah, deep ecology pertama kali diperkenalkan oleh Arne Naess. Deep ecology menuntut suatu etika baru yang tidak berpusat pada manusia, tetapi berpusat pada makhluk hidup seluruhnya dengan upaya mengatasi persoalan lingkungan hidup.

Etika baru ini tidak mengubah sama sekali hubungan antara manusia dengan manusia. Manusia dan kepentingannya bukan lagi pusat dari dunia moral. Deep ecology justru memusatkan perhatian kepada semua spesies, termasuk spesies bukan manusia. Singkatnya, kepada biosphere seluruhnya. Demikian pula, deep ecology tidak hanya memusatkan perhatian pada kepentingan jangka pendek, tetapi jangka panjang. Maka, prinsip moral yang dikembangkan deep ecology menyangkut kepentingan seluruh komunitas ekologis.

Etika yang dikembangkan deep ecology yang sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi ekologi ‘dalam’ untuk membedakan dengan ekologi ‘dangkal’, dirancang sebagai sebuah etika praktis, sebagai sebuah gerakan. Artinya, prinsip-prinsip moral etika lingkungan hidup harus diterjemahkan dalam aksi nyata dan konkret. Etika baru ini menyangkut suatu gerakan yang jauh lebih dalam dan komprehensif dari sekadar sesuatu yang instrumental dan ekspansionis sebagaimana ditemukan pada antroposentrisme.

Dalam pemaknaan deep ecology, sifat holistik tidak berhenti pada pengertian hubungan fungsional antar bagian-bagian, yang pada masing-masing bagian terjadi saling ketergantungan. Lebih dari pada itu segera perlu ditambahkan adanya faktor keterhubungan dengan basis lingkungan alamiah dan basis sosialnya.

Ketika berpikir tentang sepeda misalnya, persepsi yang muncul tidak hanya sebatas pada sepeda sebagai suatu keseluruhan fungsional dan karena itu mengerti kesaling-tergantungan bagian-bagiannya. Pandangan deep ecology mengenai sepeda mencakup pandangan holistik, tetapi segera ditambahkan persepsi tentang bagaimana sepeda tersebut terlekat dalam lingkungan alamiah dan sosialnya, dari mana didapat bahan mentahnya, bagaimana sepeda tersebut diproduksi secara massal, bagaimana pemakaiannya mempengaruhi lingkungan alamiah dan komunitas yang memakai, dan sebagainya.

Berbeda dengan ekologi ‘dangkal’ yang bersifat antropocentris, atau berpusat pada manusia, yakni manusia berada di atas atau di luar alam, manusia adalah sumber nilai dan alam dipandang bersifat instrumental atau hanya memiliki nilai guna. Ekologi ‘dalam’ tidak memisahkan manusia atau apapun dari lingkungan alamiahnya. Benar-benar melihat dunia bukan sebagai kumpulan objek-objek yang terpisah tetapi sebagai suatu jaringan fenomena yang saling berhubungan dan saling tergantung satu sama lain secara fundamental. Ekologi ‘dalam’ mengakui nilai intrisik semua mahluk hidup dan memandang manusia tidak lebih dari satu untaian dalam jaringan kehidupan.

Deep ecology ini kemudian dicirikan oleh pertanyaan-pertanyaan paradigmatik, yakni pertanyaan-pertanyaan mendalam tentang fondasi-fondasi utama pandangan dunia dan cara hidup yang bersifat modern, ilmiah, industrial, berorientasi pertumbuhan dan materialistis. Semua pertanyaan mendasar ini kembali dipertanyakan dari perspektif ekologis: dari perspektif hubungan kita satu sama lain, dengan generasi-generasi masa depan dan dengan jaringan kehidupan di mana kita adalah bagiannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar