Saat itu, malam hari di suatu rabu yang malas. Saya duduk di
sebuah cafe yang cukup ramai, di bagian tengah kota yang sudah mulai sepi. Jam
tangan bertali kulit yang di beli teman dekat saya beberapa tahun lali menunjukkan
pukul sebelas lewat tiga belas menit. Berjam-jam sudah saya mematikan waktu
dengan melumat obrolan-obrolan ringan bersama teman-teman. Dari obrolan tentang
kopi, buku, pencemaran laut, matinya penyu, pilkada sampai obrolan tentang
kelelakian dan keperempuanan. Di hadapan piring-piring bekas pisang bakar dan
nasi goreng, kami telah menandaskan terlalu banyak tawa. Menit-menit terakhir
perjamuan itu akhirnya tenggelam dalam diam pada bibir-bibir kami. Tinggal
gelas berisi tak sampai setengah sisa kopi panas arabika, yang oleh pemilik
café disamarkan asal ketika aku Tanya kopi ini asalnya dari mana?
Melalui sebuah jendela yang terpajang tepat di depan, saya
memperhatikan seseorang anak muda berumur sekitar 20 tahun-an. Memakai
blangkon, baju jas hitam yang muali pudar warnanya, lengkap dengan dasi yang
tidak rapi. Sorot matanyanya tajam menandakan kecerdasan dan militansi. Ia
sibuk bermain dengan asap rokok yang di hirup dan dihembuskannya. Jendela itu
tinggi dan besar. Daun-daunnya dicat putih dan dibuka selebar-lebarnya. Entah
kapan dia berada di sana. Saya baru sadar dia sudah duduk di sana, di ruang
sebelah dari tempat saya duduk, dengan segenggam perekat di wajahnya yang menahan
mata agar tak lepas menatapnya. Saya tak sadarkan diri. Mata saya lekat menatap
sepasang mata yang sorotnya sungguh tajam. Mata saya lekat menatap wajah yang
garis tulangnya sungguh tegas. Dia larut di antara ramainya tawa dan asap rokok,
dan terlihat baginya, seperti seluruh isi dunia mulai menghilang perlahan-lahan
dan meninggalkannya di dalam tatapannya yang tajam.
Pengunjung café mulai sepi, satu-satu meninggalkan tempat
duduknya dan menghilang entah kemana setelah melewati pintu depan yang selalu
terbuka. Saya penasaran dengan pria berblangkon, sesekali kami bertatap muka.
Saya sepertinya familiar dengan garis wajahnya yang tegas. Begitu saya mendekat
ke arahnya, dia tersenyum. Dia berdiri menyambut saya. “Saya Semaun,” sebutnya
waktu kami saling berjabat tangan. “Ia,” sayapun menjadi ingat, dialah anak
muda yang mengusik dominasi Raja Jawa Tanpa Mahkota. Tjokroamonito, di Serikat
Islam. Dialah yang meng-olok-olok Vilksraad dengan “komedi omong Kosong” dan
“kipas pendingin” yang tak akan sanggup menyentuh kepentingan rakyat. Katanya yang
dia tulis di dalam Sinar Djawa, “bukan Volksraad yang akan bisa bikin baik
nasibnya rakyat, tetapi gerakan rakyat (itu) sendiri.”
“Dari tadi saya memperhatikan Bung,” katanya. Saya sudah dua
minggu berada di kota ini, dari beberapa teman, nama Bung beberapa kali di sebut
dan mereka merekomendasi saya untuk bertemu dengan Bung! Saya terdiam, sambil
bertanya-tanya siapa teman-teman yang dia maksud.
“Saya mendengar cerita-cerita dari mereka, Bunglah yang mendapatkan
mandat untuk melakukan Propaganda, Perengkrutan, Pendidikan untuk sebuah
organisasi Pekerja di Pulau Andalas ini.?” Tanyanya.
“Tapi saya dengar sungguh tidak berkembang dan progresnya
tidak progresif, jauh dari yang di harapkan” Sambungnya menghakimi. Dan sayapun
diam dan merasa kecil berhadapan dengan Propagandis yang masih muda umurnya
ini.
“Tapi Bung jangan putus asa, saya tahu perjuangan Bung tentu
lebih berat sekarang di banding dulu,” Kata-katanya menghibur. Sepertinya dia
tahu dinamika yang terjadi di dalam organisasi yang dia maksud.
“Dulu, di tahun 1914, ketika saya masih 15 tahun, saya
bergabung dalam Sarekat Islam yang sama dengan organisasi Bung,” dia berhenti sambil
mengeserkan gelas kopi dan membuang putung-putung rokok dari asbak ke tempat
sampah di bawah mejanya.
“Di sana, H.O.S. Tjokroaminoto, selalu kami anggap sebagai
guru politik”
“Musso, Kartosuwiryo dan Sukarno adalah murid-murid beliau
dan saya paling rendah sekolahnya.” Katanya mengunakan teknisk Plain Folk dengan nada suaranya yang tenang dan datar khas
propagandis. Dalam hati saya bertanya-tanya apakah teman-teman yang dia maksud dan
yang merekemendasi untuk bertemu dengan saya. Tapi, tidak mungkin. Bukankah
mereka-mereka ini sudah lama meninggal dan tidak mungkin mereka mengenal saya.
“Ok, Bung.” Saya mulai membuka pembicaraan.
“Saya banyak menbaca tentang Bung” Lanjut saya. Saya tahu
Bung dari Surabaya pindah ke Semarang pada tahun 1916 sebagai propagandis VSTP
sekaligus propagandis untuk Serikat Islam. Bung berhasil melakukan propaganda
dan perengkrutan, di tahun yang sama Serikat Islam di Semarang yang anggotanya
1.700 orang dan setahun kemudian bertambah anggotanya menjadi 20.000 orang.
Saya berheti bicara, badan saya mulai dingin dan berkeringat. Aura saya seperti
tengelam dan masuk ke dalam pusaran auranya.
“Di bawah SI Semarang Bung bentuk kelompok-kelompok, sub-organisasi
atas dasar latar belakang sosial ekonomi,” ujar saya saya sambil berusaha
menenangkan otak, hati dan tubuh agar tidak terlihat lemah.
“Bung tahu itu,? Jawabnya. Tapi kenapa program Bung gagal?”
Tanyanya. Wajah saya mulai banyak mengeluarkan keringat.
“Zaman yang berubah bung,?” jawab saya membela diri. Ketika
Bung bergabung di Serikat Islam, telah terjadi konsolidasi yang kuat antara
Imprealisme, Kolonialisme berkelindang dengan Kapitalisme. Rakyat semakin
tertindas.
“Tapi kami, ingin berbuat seperti yang Bung lakukan. Kami
ingin melawan, melawan, dan terus melawan. Terhadap penguasa yang diktator,
aktivis yang menjadi broker politik, intelektual yang melacurkan ilmunya, dan
preman yang menggunakan kekerasan pada rakyatnya sendiri.” Dia terdiam.
“Dan di sisi lainnya, sekarang Kapitalisme telah melakukan
evolusi” Semaun masih saja asik memainkan asap rokoknya dan seperti menunggu
hujalam curhatan saya.
“Sekarang kami punya hanya pemimpin karbitan, pemimpin yang
muncul sekejab dan tidak memiliki pikiran-pikiran besar yang menjangkau ke arah
masa depan. Indonesia yang dulu bung perjuangkan kini sudah banyak berubah.
Negeri ini telah membiakkan kebusukan: korupsi, politik identitas, pembunuhan,
kriminalitas, dan kemiskinan.”
“Dan, kondisi sekarang.” Jelas saya. Di tingkat Rakyat,
relasi sosialpun ditopengi kekuatan fetishme komoditi
yang berakar pada logika komoditi berkelindan secara simultan dengan
perwujudan rasionalitas instrumental. Relasi
seperti ini ditemukan dalam konsumsi. Komoditi berperan luas dalam asosiasi dan
ilusi budaya secara luas. Bentuk-bentuk relasi tradisional dalam kehidupan pribadi,
keluarga, dan masyarakat diarahkan untuk menghasilkan suatu massa yang terpecah
menjadi kelompok-kelompok kecil dan termanipulasi. Ujar saja mengeluarkan jurus
ampuh agar terlihat punya kemampuan analisis fenomena factual dan terkesan banyak
membaca.
Dia tersenyum. “Bung tidak masuk dalam inti apa yang disebut
sebagai pembebasan, Bung senang bermain-main pada kulit luar saja”
“Jika itu yang Bung sebut dengan fenomena saat ini, maka Bung harus paham bahwa dengan
logika komoditi yang mendorong massa pada apa yang disebut ideologi
konsumerisme.” Jelas agitator buruh pertama di Indonesia ini melayani
argument saya yang hanya saya petik dari buku yang belum selesai di baca, lalu dia
melanjutkan penjelasannya seperti sedang bicara dengan sahabatnya Sneevliet.
“Bukankah, Ideologi konsumerisme memiliki arti sebagai
sugesti bahwa makna kehidupan manusia harus ditemukan pada apa yang dikonsumsi.
Logika inilah, saya menyebutnya sebagai pergeseran dari logika produksi ke
logika konsumsi.”
“Saya melihat Bung tidak belajar dengan baik dari praktek
yang Bung lakukan seraya berusaha untuk melebarkan referensi bacaan Bung,” Saya
lagi-lagi harus terdiam dengan keluasan pengetahuannya. Kali ini dia menghantam
pertahanan argument lemah saya. Tapi saya sadar, bukankah pada dekade 1910-an, dia
memang seorang pemuda yang banyak melahap bahan bacaan. Karena itu, meski hanya
sebentar mengenyam di bangku Sekolah, Semaoen dianggap sebagai orang
berpendidikan tinggi. Dalam persidangannya tahun 1919 atas kasus delict pers, misalnya.
Presiden Landraad bertanya, “Kowe sekolah dimana?” Setelah Semaoen jawab
Lagere School (sekolah dasar), Presiden Landraad yang tidak percaya bertanya
lagi, “Tidak ada lain?” Semaoen pun menimpali: “Tidak, tetapi cari pengetahuan
sendiri dengan belajar sendiri.”
Pada kasus delict pers inilah, membuat Semaun mendekam
4 bulan di dalam penjara. Usianya ketika baru 20 tahun. Namun, Semaoen tidak
tinggal diam. Dia mengarang sebuah cerita dari balik tembok penjara. Bukan
tentang dirinya, tapi soal pemuda terpelajar yang menemukan penderitaan rakyat
seperti dirinya sendiri. Cerita itu, dia beri judul Hikajat Kadiroen, dimuat secara
bersambung di Sinar Hindia pada 1920. Dalam kata pengantar, Dia menulis dengan merendah
tetapi beraroma propaganda “Moga-moga cerita yang saya tulis dengan air mata
kesengsaraan dalam penjara itu bisa jadi senangnya orang banyak, yaitu pembaca
dan rakyat.”
Di tahun 1920-an dialah yang meyarankan supaya Indische
Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) memakai nama
Partai Komunis Hindia, dan kemudian menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Di
partai ini, Dia menjadi salah satu pemimpin terkemuka. Pada awal pendiriannya,
PKI kerap bersentuhan dengan para buruh. Dia, sebagai pemimpin buruh, tentu
menjadi orang yang dimintai tanggung jawab oleh pemerintah kolonial jika ada
pemogokan.
Pada tahun 1923 dia di buang ke Amsterdam di Belanda, dan
setelah kegagalan pemberontakan PKI tahun 1926, dia bersama Musso tinggal di
Moskow, dan sempat menerbitkan brosur populer bernama Indonesia.
Semasa di Amsterdam dia dianggap sebagai orang yang mendekatkan
Perhimpoenan Indonesia dengan kelompok komunis.
“Maka itu,” dia membangunkan saya dari lamunan tentangnya.
Struktur kapitalis yang Bung jelaskan tadi hanya bisa dilawan dengan kekuatan
pengetahuan dan kekuatan pergerakan. Pengetahuan yang mengabdi pada kepentingan
rakyat bukan yang menjadi alat bagi penguatan sistem produksi kapitalis.”
“Maka senjata gagasan harus kalian kerjakan lebih dulu.
Disitu saya lihat kalian malas, tetapi apa yang sedang Bung lakukan sekarang
sudah baik, dengan meleber bacaan, membangun sekolah kritis dan melakukan
pengorganisasian.
“Maka dari itu tetap berada di garis massa adalah yang
terpenting untuk menjaga kewarasan!” katanya seperti berpesan. Saya tahu kalimat ini hanya card stalking.
“Iya Bung,” Jawab Saya. Tapi kami tidak akan mampu melakukan
seperti yang Bung kerjakan. Kami berada di lingkungan pendidikan yang busuk.
Pendidikan yang tidak bisa membuat kami dekat dengan penderitaan rakyat.
“Kami hanya memiliki sedikit intelektual besar yang mampu
menuliskan penderitaan rakyat. Intelektual kami hanya sibuk dengan urusan
perutnya sendiri. Kami juga tidak memiliki pemimpin gerakan yang berpandangan
terbuka, bergerak progresif dan bisa memahami kebutuhan rakyat, seperti Tjokro,
Tan Malaka, Sukarno, Hatta, Syahrir dan Henk Sneevliet” Lanjut saya dengan nada
menghiba.
“Dalam Sinar Djawa,saya menulis ‘bukan Volksraad yang akan
bisa bikin baik nasibnya rakyat, tetapi gerakan rakyat (itu) sendiri.”. artinya
Bung harus yakin dengan apa yang Bung perjuangkan. Rebutlah saluran-saluran
politik sebagai mana saya lakukan pada tahun 1917, berhasil merebut
kepemimpinan Sarekat Islam (S) di Semarang. Pergantian pengurus adalah wujud
pertama dari perubahan gerakan di dalam SI, dari gerakan kaum menengah menjadi
gerakan buruh tani.”
“Saya
juga menandai kejadian itu sebagai penanda lahirnya gerakan kaum marxis pertama
di Indonesia.” Untunglah pelayan café datang setelah saya minta menambah satu
gelas kopi hitam untuk saya dan satu gelas kopi untuk Semaun, sehingga dia
terganggu untuk mengeluarkan jurus-jurus propagannya.
“Saya
melihat Bung sedang mengalami pertikaian inheren dalam melihat
kontradiski-kontradiksi yang ada” Katanya.
“Iya
Bung,” Jawab saya sambil menyeruput kopi, meskipun pemilik café tidak mau
menjelaskan asal kopi, tapi saya sudah tahu dari aroma rasa, kopi ini pasti
dari seorang petani yang tertindas lama dan sedang kami dampingin agar
hak-haknya di akui oleh Negara.
Semaun
memandangku dengan rasa iba. Seolah-olah ia tahu kecamuk pikiran yang saya rasakan.
Ia menatap dengan tatapan tajam, lalu perlahan-lahan ia mengucapkan serangkaian
kalimat.
“Anak muda apa
yang kaukerjakan selama ini memang masih jauh dari kebutuhan rakyat. Bung seperti
dikepung oleh kekuatan kapitalis yang tumbuh dan berpengaruh luas. Saya lihat Bung
sendiri susah untuk mempertemukan teman-teman BUng yang punya komitmen serupa. Saya
lihat juga jumlah kalian yang sangat kecil dengan ikatan disiplin yang longgar.”
“Anak muda”
Lanjutnya. Bung adalah tumpuan rakyat miskin, jika Bung ingin mengenal,
memahami serta membela mereka, maka yang Bung kerjakan hanya satu. hidup dan
hayati kehidupan bersama mereka.
“Saya
punya teman kosmopolitanisme namanya Tan Malaka sedari awal telah jadi burung
rantau, membujang sebagai pengelana dari satu kota ke kota lain tanpa mengenal
batas negara.”
“Dalam
bukunya Materialisme, Dialektika, dan Logika atau Madilog, dia merumuskan paham
Marxist-Leninisme berdasar adat kebiasaan dan kebudayaan Indonesia. Dan dalam Gerpolek,
dia banyak membahas tentang strategi ekonomi-politik dan gerilya”
“Dan. Begitu juga dengan D.N. Aidit. Dia menulis Laporan singkat
tentang hasil riset mengenai keadaan kaum tani dan gerakan tani di Jawa Barat, judulnya Kaum Tani Mengganyang Setan-setan
Desa. Menurut Aidit penelitian tersebut dilakukan
untuk memperkuat gerakan petani dan kebutuhan untuk meneliti keadaan tani di
perdesaan itu erat kaitannya dengan pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA) 1960 yang mandek.”
“Saya
pikir kedua teman saya ini bisa membantu, paling tidak membantu Bung untuk
menguatkan analisis dan gerakan, saya tahu banyak apa yang sedang Bung kerjakan
saat ini”
Saya
terdiam dengan semangat propagandanya. Dalam hati saya jangan-jangan dia juga
tahu bahwa kerja-kerja yang saya lakukan setengahnya adalah kerja-kerja
professional. Saya dapat sesuatu dari pekerjaan saya, saya numpang hidup dari
aktivitas yang sering saya sebut aksi aktivisme dengan malu-malu. Atau
jangan-jangan dia juga tahu kerja-kerja saya juga di pengaruhi oleh invisible hand, yang entah dimana dan
kepentingan apa mendukung-kerja-kerja yang kami sebut dengan avokasi,
pendampingan dan tidak berani kami sebut kerja-kerja pembebasan dan selalu
hati-hati dan terkesan tidak berani menyebut kata-kata revolusi, marxisme,
komunisme, atau jargon-jargon politik-politik kanan yang fundamentalisme.
Setelah sekali sedot gelas kopinya yang sudah dingin, ia menepuk pundak saya dan melangkah
pergi. Dari punggungnya melintas pintu café, saya lihat ia berjalan bergegas. saya
berdiri ingin mengejarnya. Tapi langkah itu terlalu cepat dan ia menghilang di
balik tembok los-los yang mulai di tinggalkan pedagang karena sepi pembeli. Tatapan sayapun lepas. Saya menutup kelopak mata beberapa
detik dan menunduk beberapa menit. Sejenak kemuadian isi dunia mulai kembali
satu per satu ke tampat di mana mereka seharusnya berada. Saya mulai sadarkan
diri. Saya keluar cafe, melewati meja tempat kami duduk tanpa menengok
sedikitpun.
Saya meninggalkan cafe dengan perjalanan pulang
yang penuh gerimis. Waktu menunjukkan pukul satu lewat tiga puluh empat menit
ketika saya membuka pintu rumah. Saya langsung merebahkan tubuh di atas tempat
tidur dan mumulai lamunan yang lain. Banyak lamunan yang saya punya di dalam
kepala setiap harinya. Saat ini, entah yang mana yang di pilih untuk saya lamunkan.
Tetapi, bayangan Semaun yang saya temuai di café belum bisa lepas dari lamunan.
Semaun dianggap "terlalu paham" soal Soviet, dan dilarang
pulang ke Indonesia. Pemerintah Soviet khawatir Semaun yang pernah menjadi
ketua semacam badan pembangunan nasional Turkmenistan akan dituduh mata-mata
mereka di Indonesia. Namun, banyak pihak menduga sebaliknya. Soviet justru
takut Semaun membeberkan berbagai informasi strategis yang membahayakan
keamanan intelijen negara itu. Semaun meminta bantuan Sukarno ketika berkunjung
kali pertama ke Moskow pada Agustus-September 1956. Sukarno lalu meneruskan permintaannya
kepada Marsekal Barsilov, pemimpin tertinggi Partai Komunis Uni Soviet.
Akhirnya, Semaun bisa pulang ke Indonesia pada 1957.
Pada 1959, Sukarno memberi jabatan penting kepada Semaun sebagai
wakil ketua Bapekan (Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara), yang diketuai
Sultan Hamengkubuwono IX. Bapekan dibubarkan pada 1962. Pada 1961, Semaun
mendapat gelar Doktor Honoris Causa (HC) dalam ilmu ekonomi dari Universitas
Padjadjaran Bandung. Dia menjadi pengajar mata kuliah ekonomi di kampus
tersebut, hingga meninggal pada 7 April 1971. Tapi kenapa dibulan pertama tahun
2020 dia datang menemuiku, dan saya menikmati obrolan dengan semaun muda. Tapi malam
itu bukankah setelah 49 tahun dia meninggal dunia. Lamunan saya mulai liar,
saya seperti terjangkit people’s faith.
Mulai percaya tahayul, percaya hidup setelah mati, hidup itulah mati tidak
berakhir. Dan mengalami persepsi sensorik, yang bisa mengambarkan ilusi sebagai
penampilan. Atau pemicunya memang karena kami sama-sama percaya hidup acap kali
terasa tidak adil. Tetapi ia juga akan selalu memberikan solusi atas segala
permasalahan dan alang rintang. Tidak ada medan yang tak bisa di tembus, tak ada
musuh sehebat apapun yang tak terkalahkan. Bukankah, sebaiknya system yang
sudah tidak seimbang sempurna, jalan keluar akan selalu tersedia bagi siapapun
yang melihat dan mencarinya. Dan ketika kita sudah berjuang sesanggupnya
bertahan, tetapi alang rintang yang dilalui masih terlalu sulit, kita akan “mati”.
Dan mungkin kita akan hidup lagi, mungkin juga tidak, kita tidak akan pernah
tahu. Yang pasti, seandainya kesempatan tersebut datang kembali, tetap akan
kita ulangi. Kita akan berjuang lagi dan lagi. Hidup kembali untuk mati. Demikian
sebaliknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar